BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam
kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran
karena dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan
kegiatan pinjam-meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan
untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomian, meningkatkan taraf
kehidupan dan pembangunan di bidang ekonomi yang merupakan bagian dari
pembangunan nasional.1 Salah satu upaya dalam pembangunan ekonomi
adalah program kredit yang diberikan oleh bank.
Kredit yang diberikan oleh bank sangat erat hubungannya dengan
jaminan. Jaminan sangatlah penting karena berkaitan dengan risiko yang
mungkin saja terjadi seperti kegagalan dan kemacetan pelunasan.2 Salah satu
yang dapat dijadikan jaminan kredit adalah hak tanggungan. Hak tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomo 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA),
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
1
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 1.
2
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor-kreditor lain.3
Sehingga kredit yang diberikan dengan jaminan berupa hak atas tanah
harus dijaminkan dengan hak tanggungan yang dituangkan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT), sebagaimana telah diatur dalam Pasal
10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.4 Hak
Tanggungan dalam UUHT tidaklah dibangun dari suatu yang belum ada. Hak
Tanggungan dibangun dengan mengambil alih atau mengacu asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokok dari Hipotek yang diatur oleh KUHPerdata.5
Kreditur adalah pihak yang memberikan kredit atau pinjaman kepada
pihak lainnya. Terminologi kreditur sering digunakan pada dunia keuangan
khususnya merujuk pada pinjaman jangka pendek, obligasi jangka panjang,
dan hak tanggungan. Dalam perjanjian hutang piutang, diperlukan adanya
suatu agunan untuk menjamin hutang tersebut akan terbayar dan untuk
menghindari kerugian bagi kreditur apabila debitur mengalami gagal bayar.
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran hutang yang paling
disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab
tanah, pada umunya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai
3
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
4 Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
5
tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang
memberikan hak istimewa kepada kreditor.6
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang
yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan
atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:889).
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 disebutkan
pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lainnya.7
Proses pemberian kredit bank dengan jaminan hak tanggungan, akan
menimbulkan kemungkinan dimana nasabah debitur tidak dapat melaksanakan
kewajibannya seperti yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. Salah satu
kelebihan dari sertifikat hak tanggungan adalah adanya hak yang diberikan
oleh undang-undang kepada pemegang hak tanggungan berupa hak
eksekutorial yang memiliki kekuatan hukum tetap sama halnya seperti putusan
pengadilan.
Sehingga apabila debitur cidera janji, obyek hak tanggungan dapat
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
6
Effendi Perangin-angin, Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, (Jakarta : Rajawali Pers, 1981), hal. 9.
7
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak
tanggungan. Selain titel eksekutorial, eksekusi hak tanggungan dapat
dilakukan dengan parate executie yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, apabila
debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.
Konsep ini dalam KUHPerdata dikenal sebagai parate executie
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Dengan
konsep parate executie, pemegang Hak Tanggungan tidak perlu meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi Hak Tanggungan, dan tidak perlu
juga meminta penetapan pengadilan setempat apabila akan melakukan
eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal
debitur cidera janji.8 Pemenang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan
meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas
obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.9
Lelang di Indonesia diatur dalam Vendu Reglement Stbl. Tahun 1908
Nomor 189, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Proses lelang
akan menimbulkan suatu akibat hukum yaitu peralihan hak obyek lelang dari
8
Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 46.
9Ibid
penjual kepada pemenang lelang. Peralihan hak atas tanah melalui lelang
merupakan perbuatan hukum yang sah sepanjang memenuhi syarat yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, bahwa peralihan hak melalui pemindahan hak dengan
lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang
dibuat oleh Pejabat Lelang baik dalam lelang eksekusi dan lelang sukarela.10
Namun dalam peralihan hak tersebut ternyata menimbulkan permasalahan
baru, seperti obyek lelang yang tidak dapat dikuasai oleh pemenang
lelang/pembeli, serta pembatalan lelang berdasarkan putusan Pengadilan
Negeri.
Lelang dapat dilakukan melalui Badan Lelang Swasta, putusan
pengadilan, maupun lembaga khusus yang telah dibentuk oleh pemerintah
yakni Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Permohonan
lelang diajukan secara tertulis oleh penjual/kreditur yang bermaksud
melakukan penjualan barang secara lelang kepada KPKNL guna memperoleh
penyelesaian.11 Namun, pada kenyataannya banyak kendala-kendala serta
masalah yang timbul di dalam pelaksanaannya diantaranya yaitu pemenang
lelang yang beritikad baik tidak dapat memperoleh dan menikmati atas barang
yang telah dimenangkannya.
Sebenarnya tidak ada peraturan perundangan-undangan yang mengatur
tentang asas lelang secara keseluruhan, namun apabila dicermati dari rumusan
10
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukaan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cet.XII, (Jakarta : Djambatan, 2008), hal. 516.
11
undang-undang dan pendapat para doktriner di bidang lelang, dapat ditemukan
adanya asas-asas lelang yaitu:12
1. Asas Keterbukaan
Menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Dalam hal ini lelang dilakukan dimuka umum;
2. Asas Keadilan
Mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan dan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan penjual atau putusan dari lembaga peradilan umum;
3. Asas Kepastian Hukum
Menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang;
4. Asas Efisiensi
Menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya relatif murah karena lelang dilakukan dalam tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan saat itu juga;
5. Asas Akuntabilitas
Menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggung-jawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan.
Adapun beberapa kebaikan lelang berdasarkan asas-asas lelang diatas.
Menurut Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan, kebaikan lelang antara lain adalah cepat, aman, harga
yang wajar, dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan lelang.
Namun, kebaikan lelang seakan terabaikan pada putusan Perkara
Pengadilan Negeri Kediri dengan Nomor: 61/Pdt.G/2012/PN Kdr Tanggal 12
Juni 2013 yang kemudian dikuatkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1908/K/Pdt/2014 karena merugikan pembeli lelang dan kreditur dengan
terjadinya pembatalan obyek lelang oleh pengadilan, serta menimbulkan tidak
adanya kepastian hukum.
12
Kasus tersebut berawal dari adanya gugatan yang diajukan oleh
Chandra Soegianto dan Juwita Chandra selaku debitur kepada PT. Bank BRI
Persero Tbk. Kantor cabang Kediri, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL) Malang, Effendi Hidayat (Pimpinan Bank BRI) selaku
pemenang lelang, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri. Gugatan
tersebut dilakukan para penggugat karena merasa tidak adil dalam pelaksanaan
lelang eksekusi hak tanggungan yang telah dilaksanakan oleh PT. Bank BRI
karena obyek jaminan milik Penggugat telah dijual dibawah harga pasar (tidak
sesuai nilai limit) dan dimenangkan oleh Effendi Hidayat selaku pimpinan PT
Bank BRI dengan Risalah Lelang Nomor: 1042/2011, tanggal 20 Oktober
2011.
Kemudian dalam putusannya, Pengadilan Negeri Kediri membatalkan
lelang eksekusi atas obyek hak tanggungan tersebut dan menyatakan bahwa
Risalah Lelang Nomor: 1042/2011, tanggal 20 Oktober 2011 tidak memiliki
kekuatan hukum. Hakim juga menyatakan bahwa pemohon lelang selaku
kreditur dan KPKNL Malang telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum.
Berdasarkan isu hukum tersebut, penulis berpendapat bahwa Hakim
tidak mempertimbangkan kepentingan pembeli lelang yang beritikad baik
yang sama sekali tidak mengetahui cacat yuridis obyek lelang tersebut.
Kemudian Bank BRI selaku kreditur juga tidak memperoleh pelunasan dari
pelaksanaan lelang eksekusi tersebut, serta pembeli lelang tidak berhak atas
Dengan adanya pembatalan lelang, mengakibatkan kreditur pemegang
hak tanggungan merasa dirugikan karena tidak mendapatkan pelunasan
hutangnya. Salah satu asas lelang yakni kepastian hukum yang memiliki arti
menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang,
namun pengertian tersebut pada kenyataannya tidak sesuai dengan proses
pelaksanaan lelang yang ada. Sehingga menimbulkan adanya asas yang tidak
tercapai.
Adanya asas yang tidak tercapai mengakibatkan pelaksanaan lelang
tidak memberikan kepastian bagi pembeli lelang, sehingga pembeli lelang
seringkali mengalami kerugian baik waktu, tenaga, dan biaya. Dalam
mempertegas argumen penulis yang tidak sependapat dengan pertimbangan
hukum putusan tersebut, penulis akan menjelaskan mengenai apakah Putusan
Hakim dalam perkara No. 61/Pdt.G/2012 PN Kediri didasarkan pada
pertimbangan Hakim yang tepat dan bagaimanakah kepastian hukum bagi
pemegang Hak Tanggungan dan pemenang lelang dalam perspektif kepastian
hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah putusan hakim dalam perkara No. 61/Pdt.G/2012 PN Kediri
didasarkan pada pertimbangan hakim yang tepat?
2. Bagaimanakah kepastian hukum bagi pemegang hak tanggungan dan
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui putusan hakim dalam perkara No. 61/Pdt.G/2012 PN
Kediri telah didasarkan pada pertimbangan hakim yang tepat.
2. Untuk mengetahui kepastian hukum bagi kreditur pemegang hak
tanggungan dan pemenang lelang terhadap pembatalan lelang eksekusi hak
tanggungan.
3. Menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan penulis mengenai
pertimbangan hakim dalam perkara No. 61/Pdt.G/2012 PN Kediri serta
kepastian hukum bagi kreditur pemegang hak tanggungan dan pemenang
lelang terhadap pembatalan lelang eksekusi hak tanggungan
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan. Khususnya mengenai
kepastian hukum terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dan
pemenang lelang dan juga penelitian ini diharapkan mampu menjadi
rujukan ataupun bahan bantu dalam dunia perkuliahan maupun untuk
kepentingan pribadi.
2. Praktis
Dengan adanya penelitian ini, hasil penelitian secara praktis diharapkan
Hakim Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan hakim yang
tepat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
penelitian Yuridis Normatif tentang kepastian hukum terhadap kreditur
pemegang hak tanggungan dan pemenang lelang. Penelitian Yuridis
Normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya yang obyeknya adalah
hukum itu sendiri.13 Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan bahwa
“Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian terhadap data sekunder.”14
Pertimbangan yang digunakan dalam
menentukan jenis penelitian ini adalah analisis terhadap ketentuan dalam
hukum positif Indonesia yang mengatur tentang lelang apakah telah
memberikan kepastian hukum kepada pemenang lelang eksekusi hak
tanggungan atas penguasaan obyek lelang dan kepastian hukum terhadap
kreditur pemegang hak tanggungan.
2. Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu
memahami hierarki, dan asas-asas dari dalam peraturan
perundang-undangan.15 Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.12 Tahun
2011, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.16
Dari paparan tersebut dapat dilihat bahwa analisis hukum yang
dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), akan lebih akurat
bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok, guna
memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk
menghadapi problem hukum yang dihadapi.17 Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) itu sendiri digunakan untuk meneliti
bagaimana kepastian hukum bagi kreditur pemegang hak tanggungan
dan pemenang lelang dalam perspektif kepastian hukum dan
sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam tradisi common
law, sebagaimana yang telah dibahas terdahulu, Edward J. Levy
memperkenalkan penalaran dari kasus ke kasus : “reasoning from the
example from case to case”, yaitu jenis penalaran dari yang khusus ke
16
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia, 2011), hal. 302.
17Ibid
khusus.18 Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami
oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang
digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusan-putusannya.19
Pendekatan kasus (case approach) itu sendiri digunakan untuk
menganalisis apakah putusan hakim dalam perkara Nomor
61/PDT.G/2012/PN.KEDIRI sudah didasarkan pada pertimbangan
hakim yang tepat.
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer:
Penelitian hukum berbeda dengan penelitian sosial. Untuk
menyelesaikan isu mengenai masalah hukum dan sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, peneliti
memerlukan sumber-sumber penelitian yang disebut bahan hukum,
baik bahan hukum primer maupun sekunder.20
Badan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
otoritas (autoritatif).21
1. Pengadilan Negeri Kediri, Putusan Nomor 61/Pdt.G/2012/Kdr
tentang Pembatalan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan oleh
Pengadilan Negeri.
2. Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor 189).
3. Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
18
Ibid, hal. 321.
19
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi,(Jakarta : Kencana, 2005), hal. 158.
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ,(Jakarta : Kencana, 2007), hal. 141.
21
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
6. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
b. Bahan Hukum Sekunder:
Bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer,
misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para
ahli, makalah, jurnal, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier:
Bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan
sekunder untuk memberikan suatu informasi tentang bahan-bahan
sekunder misalnya majalah, surat kabar, kamus Bahasa Indonesia,
kamus hukum, website.
4. Unit Amatan dan Unit Analisis
Unit amatan pada penelitian ini ialah pada putusan Nomor
61/PDT.G/2012/PN.KEDIRI tentang Pembatalan Lelang Eksekusi Hak
Tanggungan oleh Pengadilan Negeri, Vendu Reglement (Peraturan Lelang
Stb. 1908 Nomor 189), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Tanah, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PMK
No.93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dan PMK
No.106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Dimana unit amatan ini akan menjadi bahan acuan terhadap unit analisis
yang dalam hal ini ialah kepastian hukum terhadap kreditur pemegang hak