BAB II PEMBAHASAN
I. Tinjauan Pustaka
A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian mengenai perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan
yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313
sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313
merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi: “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.1 Beberapa ahli
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mencoba merumuskan definisi
dari perjanjian, yaitu:
a. Subekti
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2
1
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hal. 338.
2
b. Abdulkadir Muhammad
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam lapangan harta kekayaan”.3
c. KRMT Tirtodiningrat
“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang”.4
d. Salim H.S
Menurut Salim H.S., definisi perjanjian dalam Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah memiliki kelemahan
sebagai berikut:
1) Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;
2) Tidak tampak asas konsensualisme;
3) Bersifat dualisme.
Berdasarkan kelemahan tersebut, pengertian perjanjian
menurut Salim H.S. adalah: “Perjanjian atau kontrak adalah
hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum
lain dalam bidang harta kekayaan. Subjek hukum yang satu berhak
atas prestasi dan begitu pula subjek hukum lain berkewajiban
3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 224-225.
4
untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya”.5
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Abdulkadir Muhammad, syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
a. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (konsensus).
Persetujuan kehendak merupakan suatu kesepakatan, seia
sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak
yang lainnya.6
b. Kecakapan para pihak
Kecapakan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek
hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan
perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai
umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21
tahun.7
5
Salim H.S., H., (2004), Op Cit, hal. 15-17. 6
Abdulkadir Muhammad, (2000), Op Cit, hal. 228-231. 7Ibid
c. Suatu hal atau objek tertentu
Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian,
objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu
harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.8
d. Adanya suatu sebab yang halal (causa halal)
Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab.
Sebab adalah suatu yang menyebabkan dan mendorong orang
membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti
yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian,
melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang
menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.
3. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian yang Mengawali Perjanjian
Jaminan
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan
(harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang
yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.9
Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan mengatur bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
8Ibid
, hal. 231. 9
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian
kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank
dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka
sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong
dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya,
namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena di
dalamnya terdapat kekhususan, dimana pihak kreditor adalah pihak
bank sedangkan objek perjanjian adalah uang. Perjanjian kredit ini
dibuat secara tertulis, tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai
apa yang mereka perjanjikan.10
Dalam setiap permohonan pemberian kredit biasanya bank akan
melakukan penilaian dari berbagai aspek antara lain yang lazim adalah
dari segi watak debitor (character), dari segi kemampuan debitor
(capacity), modal (capital), jaminan atau dalam istilah bank disebut
agunan (collateral) dan prospek usaha debitor (condition of economic).11
4. Asas-asas Hukum Perjanjian
Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang
merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan.
Beberapa asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
10
Abdulkadir Muhammad, (2000), Op Cit, hal. 226.
11Eddy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis
Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata,
yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.12 Asas
kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas
membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun
bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan
untuk:13
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4) Menentukan objek perjanjian;
5) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan.
b. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata yang mengandung pengertian bahwa perjanjian
itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu
perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.14
c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)
12
Subekti dan Tjitrosudibio, (2006), Op Cit, hal. 342. 13
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 43-44.
14Ibid
Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu
adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian.15
d. Asas Itikad Baik
Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.16
Itikad baik ada 2 (dua), yaitu:17
1) Bersifat Objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan
kesusilaan;
2) Bersifat Subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang.
5. Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat
seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, serta
menimbulkan akibat hukum, yaitu:18
a. Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa
perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak,
artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
membuatnya. Jika ada yang melanggar, maka ia dianggap
melanggar undang-undang sehingga dapat diberi sanksi hukum
tertentu.
15
Ibid, hal. 45. 16
Subekti dan Tjitrosudibio, (2006), Loc Cit, hal. 342. 17
Handri Raharjo, (2009), Loc Cit, hal. 45. 18
b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang
membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara
sepihak saja tanpa persetujuan pihak lainnya.
c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
Maksudnya adalah bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut
harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
6. Berakhirnya Perjanjian
Menurut R. Setiawan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila:19
a. Ditentukan oleh undang-undang;
b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus;
d. Adanya pernyataan penghentian persetujuan atau perjanjian;
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai.
B. Hak Tanggungan sebagai Jaminan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Tanggungan dapat diartikan sebagai suatu barang yang
dijadikan jaminan guna pelunasan suatu hutang dari Debitur.
Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah adalah: “Hak
19
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain”.
Menurut H. Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:20
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda
itu berada atau disebut droit de suite. Keistimewaannya ditegaskan
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa
walaupun objek hak tanggungan sudah dipindahtangankan haknya
kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih
berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila debitur
cidera janji;
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan;
20
d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan
kemudahan bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa
telah disediakan lembaga jaminan yang kuat yang dapat dibebankan
pada hak-hak atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti
lembaga hypoteek dan creditverband. Selama 30 tahun lebih sejak
mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak
Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya,
karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara
lengkap sesuai yang dikehendaki Pasal 51 tersebut. Dalam kurun
waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam
Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan
ketentuan Hypoteek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUH
Perdata Indonesia dan ketentuan creditverband dalam Staatsblad
1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190,
sepanjang mengenai hal-hal yang belum terdapat aturannya di dalam
Undang-Undang Pokok Agraria.21
2. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, peraturan yang mengatur tentang
pembebanan Hak atas tanah adalah Bab XXI Buku II KUH Perdata,
yang berkaitan dengan hypoteek dan creditverband dalam Staatsblad
21
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190.
Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai
dengan kebutuhan perkreditan di Indonesia.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996, adalah:22
a. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
b. Objek Hak Tanggungan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
c. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
d. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak
Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
e. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
f. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996);
g. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996);
h. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
22
i. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).
3. Asas-Asas Hak Tanggungan
H. Salim H.S menyebutkan bahwa asas-asas Hak Tanggungan
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
adalah:23
a. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang
Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996);
b. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996);
c. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
d. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
e. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah
yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
f. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accesoir) (Pasal 10 ayat (1),
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
g. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
23Ibid
h. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
i. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
j. Tidak dapat diletakkan sita oleh Pengadilan;
k. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11, ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
l. Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996);
m. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
n. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).
Disamping itu, dalam undang-undang hak tanggungan
ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh
diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila
pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal itu dicantumkan,
maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari
semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan
substansi undang-undang hak tanggungan.24
4. Subjek dan Objek Hak Tanggungan
a. Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah:
24Ibid
1) Pemberi hak tanggungan, merupakan perorangan atau badan
hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.
2) Pemegang hak tanggungan, merupakan perorangan atau badan
hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
Dalam praktiknya, pemberi hak tanggungan disebut dengan
debitur, yaitu orang yang meminjam uang di lembaga perbankan,
sedangkan penerima hak tanggungan disebut dengan istilah
kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak berpiutang.
b. Objek Hak Tanggungan
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan
jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa
uang;
2) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas;
3) Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabil
debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan
dijual di muka umum; dan
4) Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.25
25Ibid
Menurut H. Salim H.S, terdapat 5(lima) jenis hak atas tanah
yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu:
1) Hak Milik;
2) Hak Guna Usaha;
3) Hak Guna Bangunan;
4) Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas negara;
5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan
tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas
tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di
dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.26
5. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, dan Hapusnya Hak Tanggungan
a. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan
Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal
10 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata
cara pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan
secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan
hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada penerima
kuasa.
26Ibid
Adapun prosedur pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,
dilakukan dengan cara:
1) Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan tak
terpisahkan dari perjanjian utang piutang;
2) Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) Objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan,
akan tetapi belum dilakukan, pemberian hak tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas
tanah yang bersangkutan.27
b. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran hak tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai
dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib
didaftarkan. Tata cara pendaftaran dikemukakan sebagai berikut:
1) Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan;
2) PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian
hak tanggungan wajin mengirimkan akta pendaftaram hak
27Ibid
tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan
serta berkas yang diperlukan.
3) Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan
dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang
menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;
3) Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada
hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari
kerja berikutnya;
4) Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak
tanggungan dibuatkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996);
5) Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.28
c. Peralihan Hak Tanggungan
Pada dasarnya hak tanggungan dapat dialihkan kepada
pihak lainnya. Peralihan hak tanggungan ini ditaur dalam Pasal 16
sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:29
28Ibid
, hal. 179-184. 29Ibid
1) Cessi, perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur
pemegang hak tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi harus
dilakukan dengan akta autentik dan akta di bawah tangan;
2) Subrogasi, penggantian kreditur oleh pihak ketiga yang
melunasi hutang debitur;
3) Pewarisan;
4) Sebab-sebab lainnya, hal-hal yang terjadi selain hal-hal diatas.
Misalnya, dalam hal terjadinya pengambilalihan atau
penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya
piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan baru.
d. Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai
dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Yang
dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak
berlakunya lagi hak tanggungan. Menurut H. Salim H.S, ada 4
(empat) sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu:30
1) Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;
2) Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;
3) Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan 6 (enam) cara
berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan, yaitu:31
30Ibid
, hal. 187. 31Ibid
1) Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela
oleh debitur (tidak terjadi cidera janji atau sengketa);
2) Debitur tidak memenuhi tepat waktu, yang berakibat debitur
akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya;
3) Debitur cidera janji, dengan adanya cidera janji tersebut, maka
kreditur dapat mengadakan parate executie dengan menjual
barang yang dijaminkan melalui lelang barang tanpa
melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan
lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang
berakhir;
4) Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat
hak tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan
Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi
utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang
piutang berakhir;
5) Debitur cidera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi
maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh
putusan pengadilan yang memenangkan kreditur;
6) Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang
mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka
putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan
umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur,
6. Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dapat dieksekusi adalah
salinan putusan dan grosse akta (salinan pertama dari akta autentik).
Grosse akta dapat dieksekusi karena memuat titel eksekutorial,
sehingga grosse akta disamakan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang memuat titel eksekutorial
juga, dengan demikian dapat dieksekusi. Eksekusi dibedakan menjadi
4 (empat) jenis, yaitu:
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur di dalam Pasal 196
HIR;
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Ini diatur dalam Pasal 225 HIR. Orang tidak dapat
dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan
tetapi, pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar
kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang;
c. Eksekusi riil, yaitu merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung.
Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR akan tetapi diatur dalam Pasal
1033 Rv (Reglement of de Rechtsvordering. HIR hanya mengenal
eksekusi riil dalam pejualan lelang (Pasal 200 ayat (11) HIR) dan;
d. Eksekusi parat (parate executie), Secara etimologis berasal dari
dapat dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap di tangan.
Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti yakni
pelaksanaan yang langsung tanpa harus melewati proses
pengadilan atau hakim.
Menurut Pitlo, parate eksekusi adalah sebuah penjualan
yang berada diluar wilayah hukum acara dan tidak perlu ada
penyitaan. Tidak melibatkan juru sita, keseluruhannya
dilaksanakan seperti orang yang menjual barangnya sendiri
didepan umum.32
Sedangkan “parate executie” menurut Pasal 6 UUHT,
menyebutkan:
“Apabila Debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.33
Atau dengan perkataan lain, parate executie dilaksanakan tanpa
menerima fiat eksekusi atau izin dari Pengadilan Negeri. Adapun
unsur-unsur yang terjalin menjadi esensi dalam Pasal 6 UUHT.
C. Lelang Hak Tanggungan
1. Pengertian Lelang
Pengertian lelang menurut Vendu Reglement (Stbl.Tahun 1908
No.189 diubah dengan Stbl. 1940 No.56).
“Penjualan Umum” adalah: Pelelangan atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya
32
Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2013), hal. 195.
33
diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam
sampul tertutup.34
Pengertian lelang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang sebagaimana di dalam Pasal 1 ayat (1)
menyatakan bahwa: “lelang adalah suatu cara penjualan barang
terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau
lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga
tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang”.
Menurut Yahya Harahap yang dimaksud dengan penjualan di
muka umum atau yang biasanya disebut dengan lelang adalah:
“Pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka
umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin meningkat, atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk
menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan”.35
2. Asas-Asas Lelang
Menurut FX Ngadijarno, Nunung Eko Laksito, dan Isti Indri
Listiani dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang lelang dapat
ditemukan adanya Asas Lelang yaitu:36
a. Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat
mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan
34
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Pasal 19 Ayat (1). 35
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Gramedia Pustaka: 1989), hal. 115.
36
yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh
Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus
didahului dengan pengumuman lelang;
b. Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses
pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara
proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan;
c. Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang yang telah
dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang;
d. Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan
dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang
dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan
pembeli disahkan saat itu juga;
e. Asas Akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan
oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang
meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
3. Syarat-Syarat Lelang
Pasal 2, 3 dan 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
106/PMK.06/2013 jo. Pasal 6 Keputusan Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara Nomor 35/PL/2002 Tentang syarat lelang, syarat
lelang adalah asas atau patokan yang harus ditegakkan Pejabat Lelang
pada pelaksanaan lelang mengenai syarat lelang yang terdiri dari syarat
a. Syarat umum lelang merupakan syarat yang berlaku dalam setiap
pelaksanaan lelang. Yang termasuk syarat umum adalah:
1) Dilaksanakan di hadapan Pejabat Lelang atau ditutup dan
disahkan oleh Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan;
2) Terbuka untuk umum yang dihadiri oleh:
a) Penjual;
b) 1 (satu) orang peserta atau lebih.
3) Pengumuman lelang;
4) Harga lelang dibayar secara tunai selambat-lambatnya 1 (satu)
hari setelah pelaksanaan lelang.
b. Syarat tambahan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan jo. Pasal 6
ayat (2) Keputusan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
memberi hak kepada penjual untuk menentukan syarat-syarat
lelang yang bersifat tambahan, yaitu:
1) Jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum
pelaksanaan lelang;
2) Jangka waktu bagi calon pembeli untuk melihat, meneliti
secara fisik barang yang akan dilelang;
3) Jangka waktu pembayaran harga lelang;
4. Jenis-Jenis Lelang
Jenis-jenis lelang yang ada menurut Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Pasal 1 ayat 4, 5, dan 6 adalah:37
a. Lelang Eksekusi
Lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan
atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu,
dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang
Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi
Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit,
Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan
(UUHT).
b. Lelang Non Eksekusi
Lelang non eksekusi dibedakan menjadi:
1) Lelang Non Eksekusi Wajib
Lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik
negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara atau
barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D)
yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk
dijual secara lelang, termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari
tangan pertama.
37
2) Lelang Non Eksekusi Sukarela
Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk
melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok
masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela
oleh pemiliknya, termasuk BUMN/D berbentuk persero.
5. Lelang Eksekusi Hak Tanggungan
Pasal 1 ayat 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
106/PMK.06/2013 mengklasifikasi lelang menjadi 2 (dua), yaitu
Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi. Pada dasarnya,
pelaksanaan lelang eksekusi menganut prinsip dasar yang sama, yaitu
mencairkan sejumlah tagihan kreditor atas debitor yang ingkar janji
(wanprestasi). Dalam hal penyelesaian kredit macet melalui
Pengadilan Negeri karena adanya perkara gugatan maka pelelangan
dilakukan sebagai pelaksanaan putusan Hakim dalam perkara perdata
yang telah berkekuatan hukum tetap (in kraacht), sebagaimana
ketentuan Pasal 195 HIR dan Pasal 206 RBG.
Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dalam UUHT
diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) UUHT jo.
Pasal 224 HIR atau 258 Rbg, Pasal-pasal tersebut sangat terkait
dengan ketentuan dalam Pasal 6 beserta penjelasan, Pasal 14 dan Pasal
26 UUHT. Sesuai penjelasan umum ayat 9 UUHT, salah satu ciri Hak
Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan
Sehubungan dengan itu, pada sertifikat Hak Tanggungan, yang
berfungsi sebagai surat tanda-bukti adanya Hak Tanggungan,
dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk
memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
6. Prosedur Pelaksanaan Lelang Eksekusi
Berikut merupakan uraian secara sederhana mengenai prosedur
pelaksanaan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL), adapun tahapannya adalah:38
a. Permohonan lelang dari pemilik Barang/Penjual
Penjual mengajukan permohonan lelang secara tertulis yang
ditujukan kepada KPKNL dengan melengkapi surat permohonan
lelang yang disertai dengan dokumen-dokumen/bukti-bukti hak
dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Penjual juga
dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang selama hal
tersebut tidak dianggap bertentangan dengan ketentuan lelang yang
berlaku.
b. KPKNL menetapkan tanggal/hari dan jam pelaksanaan lelang
Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta
dokumen kelengkapannya tersebut dan memperoleh atas legalitas
subjek dan objek lelang, maka kantor lelang (KPKNL) akan
menetapkan waktu dan tempat lelang.
38
c. Pengumuman lelang di surat kabar harian
Pengumuman lelang berdasarakan Pasal 42 PMK Nomor
93/PMK.06/2010 paling sedikit memuat:
1) Identitas Penjual;
2) Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang;
3) Jenis dan jumlah barang;
4) Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya
bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah
dan/atau bangunan;
5) Spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;
6) Waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang;
7) Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka
waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan
adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang;
8) Nilai limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan lainnya dari
tangan pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang
bergerak;
9) Cara penawaran lelang; dan
10)Jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli.
d. Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke rekening KPKNL
Uang jaminan lelang diterima paling lambat 1 (satu) hari
kerja sebelum pelaksanaan lelang. Uang jaminan penawaran lelang
dibebankan kepada pihak Peserta Lelang dengan besaran yang
Nilai Limit dan paling banyak sama dengan Nilai Limit. Ketentuan
mengenai besaran uang jaminan penawaran lelang disebutkan
dalam Pasal 32 PMK Nomor 93/PMK.06/2010.
e. Pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang dari KPKNL
Pejabat lelang merupakan orang yang berdasarkan
Undang-Undang berwenang melaksanakan lelang. Setiap pelaksanaan
lelang (berdasarkan Pasal 1a Vendu Reglement dan Pasal 2 PMK
Nomor 93/PMK.06/2010) harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan
pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah. Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya
diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan dalam pelaksanaan
lelang, pejabat lelang dapat dibantu oleh pemandu lelang.
f. Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL
Pemenang lelang harus menyelesaikan pelunasan
pembayaran paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang,
dan bila pembayaran tidak dilunasi dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka jaminan lelang seluruhnya menjadi Hak Negara
dengan disetorkan ke Kas Umum Negara.
g. Bea lelang disetorkan ke Kas Negara oleh KPKNL
Bea lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang, Staatsblad 1949-390,
yaitu 9% untuk barang bergerak dan 4,5% untuk barang tidak
bergerak, dan uang miskin dipungut berdasarkan Pasal 18 Vendu
barang tidak bergerak. Dilain pihak kepada Penjual juga dipungut
Bea Lelang, yaitu 3% untuk barang bergerak dan 1,5% untuk
barang tidak bergerak dihitung dari Pokok Lelang. Kepada Penjual
tidak dikenakan uang miskin.
h. Hasil bersih lelang disetorkan ke pemohon lelang
Dalam hal pemohon lelang/pemilik barang adalah instansi
pemerintah maka hasil lelang disetorkan ke Kas Negara. Kemudian
KPKNL menyerahkan dokumen dan Petikan Risalah Lelang
sebagai bukti untuk balik nama dan sebagainya.
D. Teori Memutus Menurut Hakim
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal
1 ayat (3) UUD 1945, maka setiap tindakan baik pemerintahan maupun
rakyatnya harus mempunyai dasar hukum yang mengandung legalitas
berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Adapun ciri khas
negara hukum sebagai berikut:39
1. Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi
dan kebudayaan;
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
suatu kekuasaan atau kekuatan apapun;
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Salah satu prinsip dari negara hukum adalah diakuinya peradilan
yang bebas dan tidak memihak. Kemandirian peradilan harus diatur dalam
39
perundang-undangan yang memberikan jaminan yuridis adanya
kemerdekaan kekuasaan kehakiman, undang-undang yang mengatur
tentang kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dalam Pasal 1
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.40
Pada putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta
hukum dan dasar-dasar yang legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan ketentuan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam pertimbangan hukum putusan itu harus memuat:41
1. Alasan-alasan yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian
dikualifisir menjadi fakta hukum;
2. Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan
argumen-argumen pendukung;
3. Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yan berkaitan dengan
dasar hukum yang diterapkan;
4. Alasan hukum tak tertulis yang berupa argumen sosiologis dan
filosofis atau moral justice;
40Ibid,
hal. 42-43. 41
5. Alasan dan dasar hukum harus tepat dan benar sesuai dengan Pasal 53
ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Menurut Pasal 50 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum yang
di sampaikan pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam
menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 53 ayat (2) dan Pasal
14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni:42
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan struktur kasus yang
diyakini oleh hakim sebagai suatu kasus yang riil terjadi;
2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber
hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum
kedalam peristilahan yuridis;
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudia mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan
hukum itu, sehingga menghasilkan suatu struktur aturan yang koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum)
secara silogisme deduktif;
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar;
42Ibid
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudia ditetapkan
sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum putusan.
Seorang hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya bukan hanya
sebagai terompetnya undang-undang, yang beranggapan bahwa
pasal-pasal hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, namun hakim juga
harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti yang diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
kemudian dijabarkan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dimana hakim diharuskan memiliki kemampuan untuk
mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk
pertimbangannya yang dituangkan dalam bentuk putusan-putusan yang
dapat dijadikan acuan berupa yurisprudensi.
E. Teori Kepastian Hukum
Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap;
tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.43 Seorang filsafat hukum
Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide
dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat
hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.44
Munculnya hukum modern membuka pintu bagi masuknya
permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang sekarang kita kenal dengan
nama kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan sesuatu
yang baru, tetapi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional
sudah ada sebelum era hukum modern.
Menurut pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum adalah
“Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum tentang hukum itu
sendiri). Adapun 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian
hukum, diantaranya:
1. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah
perundang-undangan (Gesetzliches Recht);
2. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachem), bukan suatu
rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim,
seperti “kemauan baik”, “kesopanan”;
3. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah
dijalankan;
4. Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.45
Asas kepastian hukum merupakan suatu jaminan dimana suatu
hukum harus dijalankan dengan cara yang baik dan tepat. Pada dasarnya
tujuan utama dari hukum adalah kepastian. Jika hukum tidak ada
kepastian, maka hukum akan kehilangan jati diri serta maknanya, dan
apabila hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak lagi digunakan
sebagai pedoman yang berlaku bagi setiap orang.46
Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum diungkapkan oleh
Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter Mahmud Marzuki dimana kepastian
hukum mengandung dua pengertian, diantaranya:
1. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan;
2. Adanya kemanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang
lain untuk kasus serupa yang telah diputus.47
Dalam asas kepastian hukum, tidak boleh ada hukum yang saling
bertentangan, hukum harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti
oleh masyarakat umum. Dengan demikian, kepastian hukum diharapkan
akan mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara
yang telah ditentukan. Selain itu, dengan adanya asas kepastian hukum
maka masyarakat bisa lebih tenang dan tidak akan mengalami kerugian
akibat pelanggaran hukum dari orang lain.
F. Teori Eksaminasi Publik
Penegakan hukum melalui proses peradilan terus menerus akan
menjadi perhatian masyarakat karena melalui proses penegakan hukum
tersebut instrumen penyelenggaraan negara hukum diuji dan orang yang
bermasalah karena ada dugaan melanggar diadili. Proses peradilan yang
47Ibid
sederhana tersebut kemudian menjadi persoalan yang rumit dan kompleks
bukan disebabkan karena masalah hukum tetapi kemudian menjadi
persoalan non-hukum yang mengaburkan persoalan yang sebenarnya,
yakni persoalan hukum, penegakan hukum dan keadilan.
Melalui pengadilan, akan diuji bagaimana negara melindungi
terhadap warga negara yang dilanggar haknya oleh pelanggar hukum,
perlakuan negara terhadap pelanggar hukum, indenpendensi hakim dan
pengadilan, serta pengujian terhadap instrumen penyelenggaraan negara
hukum lainnya.48
Idealnya dalam mengambil putusan terhadap suatu perkara
mempertimbangkan 4 (empat) elemen, yaitu aspek filosofis, asas-asas
hukum, aturan hukum positif, dan masyarakat hukum. Keempat elemen
tersebut dimasukkan secara proporsional dalam proses pengambilan
putusan hukum dan dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan
masuknya atau dominannya kepentingan non-hukum dalam proses
pengambilan putusan pengadilan.49
Eksaminasi artinya melakukan pengujian, pemeriksaan berkas
perkara untuk meneliti apakah terjadi kesalahan oleh hakim (pengadilan)
dan eksaminasi publik berarti kegiatan kelompok masyarakat untuk
melakukan pengujian terhadap putusan pengadilan dengan melakukan
penelitian secara cermat apakah putusan pengadilan telah dibuat sesuai
48
Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2003), hal. 90.
49Ibid
dengan aturan hukum dan asas-asas penegakan hukum berdasarkan atas
fakta hukum yang terbukti dipersidangan.50
Esensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah
putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah
pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan
apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta
apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.
Disamping untuk mendorong para hakim/jaksa agar membuat
putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang baik dan profesional.51
Eksaminasi dilakukan dengan cara: pertama, melakukan legal
annotation (catatan hukum) terhadap perkara yang telah diputus oleh MA.
Kedua, mengkontestasi putusan itu kepada publik. Cara ini dilakukan
untuk menilai putusan hakim majelis. Hasil dari penilaian tim eksaminasi
ini dapat pula digunakan untuk melakukan punishment kepada para hakim
(agung) yang notabene adalah aparat negara. Sebagai aparat negara tentu
saja pertanggungjawaban mereka tidak saja administratif tetapi harus
sampai kepada pertanggungjawaban hukum.52
Kegiatan eksaminasi publik dapat dilakukan baik atas permintaan
masyarakat atau tidak. Putusan pengadilan yang dieksaminasi adalah
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang
mengandung indikasi awal bahwa:
a. Tahapan proses pengadilan terdapat kejanggalan atau cacat hukum;
50
Ibid, hal. 93. 51
Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik, Edisi Revisi, (Jakarta, Indonesia Corruption Watch, 2011), hal. 19.
52Ibid
b. Hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan
benar atau bertentangan dengan asas-asas penerapan hukum;
c. Ada indikasi KKN (judicial corruption), penyalahgunaan wewenang,
atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya yang menyebabkan
hukum tidak diterapkan secara baik dan benar;
d. Putusan tersebut menjadi perhatian masyarakat atau membawa dampak
terhadap kehidupan hukum dalam masyarakat.
Lembaga Eksaminasi Publik hendaknya ditempatkan sebagai
lembaga pengujian terakhir (final examination) setelah proses pengujian
melalui prosedur formal tidak dapat melahirkan putusan pengadilan yang
baik, benar dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip penegakan hukum.
Dengan kata lain, eksaminasi publik hanya ditujukan pada putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.53
Eksaminasi publik dapat dilakukan terhadap setiap putusan
pengadilan atau putusan hukum yang dilakukan oleh pejabat hukum yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap. Idealnya suatu putusan hukum yang
dapat dieksaminasi oleh publik adalah putusan hukum yang memiliki
pertimbangan hukum yang lengkap dan dalam bentuk tertulis. Hal ini
sesuai dengan sifat dari eksaminasi itu sendiri, yakni melakukan pengujian
secara objektif berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Parameter dalam
melakukan pengujian adalah peraturan perundang-undangan hukum
positif.54
53
Mudzakkir, (2003), Op Cit, hal. 99-101. 54Ibid
LEP pada masa datang dapat mengambil posisi sebagai lembaga
meta-eksaminasi. Sebagai lembaga meta-eksaminasi kegiatannya dapat
diperluas, bukan hanya menguji putusan pengadilan tetapi juga melakukan
eksaminasi terhadap suatu produk hukum (peraturan
perundang-undangan), putusan hakim, atau layanan jasa profesi hukum. Sehingga
keberadaan LEP dan fungsinya dapat memberi peluang bagi masyarakat
untuk memperoleh akses keadilan.55
II. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini di dasarkan pada data sekunder yaitu Putusan
Nomor 61/Pdt.G/2012/PN.Kdr, yang akan diuraikan sebagai berikut:
A. Kasus Posisi Putusan No.61/Pdt.G/2012/PN.Kdr
1. Para Pihak yang Berperkara
a. Penggugat:
1) Chandra Soegianto dan Juwita Chandra, bertempat tinggal di Jl.
Ronggowarsito 15 RT.05 RW.01 Kelurahan Pocanan
Kecamatan Kota, Kota Kediri.
b. Tergugat:
1) PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang
Kediri, alamat Jl. Komisaris Jendral Polisi Slamet A nomor 37
Kota Kediri, selaku Tergugat I;
2) Efendi Hidayat (Pemimpin PT.BRI (PERSERO) Tbk. Kantor
Cabang Batang, Jawa Tengah, selaku Tergugat II;
55Ibid
3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri alamat Jl. Veteran
11 Kota Kediri, selaku Tergugat III;
4) Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) Malang, alamat Jl. Slamet Supriadi nomor 157
Malang, selaku Tergugat IV.
2. Mengenai Kreditnya
Bahwa Para Penggugat telah melakukan Perjanjian Kredit
Tertanggal 15 Mei 2007 Nomor 101 dengan Tergugat I dengan sistem:
a. Kredit modal kerja I, sebesar Rp. 600.000.000 (enam ratus juta
rupiah)
b. Kredit modal kerja II, sebesar Rp. 1.250.000.000 (satu milyar dua
ratus lima pulus juta rupiah)
Dengan Jaminan:
a. Sebidang tanah Hak Milik nomor: 1290/desa sukorejo, seluas 2695
m2 atas nama JULLY CHANNI yang terletak di Desa Sukorejo,
Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur;
b. Sebidang tanah Hak Milik nomor: 34/Desa Jagalan, seluas 197 m2
atas nama CHANDRA SOEGIANTO yang terletak di Desa Jagalan,
Kecamatan Kota Kediri, Kotamadya Kediri, Provinsi Jawa Timur;
c. Sebidang tanah Hak Guna Bangunan nomor: 2850/Kelurahan
Kalisari, seluas 150 m2 atas nama CHANDRA yang terletak di
Kelurahan Kalisari, Kecamatan Mulyorejo, Kotamadya Surabaya,
Bahwa kredit modal kerja I sebesar Rp. 600.000.000 (enam
ratus juta rupiah) telah terbayarkan sehingga menyisakan kredit modal
kerja II sebesar Rp. 1.250.000.000 (satu milyar dua ratus lima puluh
juta rupiah) yang outstandingnya (saldo debet dari fasilitas kredit yang
telah ditarik) sebesar Rp.1.225.000.000 (satu milyar dua ratus dua
puluh lima juta rupiah). Kemudian bank memberikan tambahan/suplesi
kredit dan diakui telah diterima oleh debitur sebesar Rp. 325.000.000
(tiga ratus dua puluh lima juta rupiah). Dengan demikian jumlah
maksimum kredit sebesar Rp. 1.550.000.000 (satu milyar lima ratus
lima puluh juta rupiah) dengan jaminan:
a. Sebidang tanah Hak milik nomor 1290/Desa Sukorejo, seluas 2695
m2 atas nama JULLY CHANNI dan;
b. Sebidang tanah Hak milik nomor 34/Desa Jagalan, seluas 197 m2
atas nama CHANDRA SOEGIANTO.
Bahwa selanjutnya ada persetujuan perpanjangan kredit yang
semula harus dilunasi pada tanggal 23 April 2009 diperpanjang dalam
jangka waktu 12 bulan terhitung mulai tanggal 23 April 2009. Maka,
selanjutnya pelunasan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 23 April
2010. Telah dibayar utang sebesar Rp. 1.200.000.000 (satu milyar dua
ratus juta rupiah), dengan demikian sisa kredit Rp. 350.000.000 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah) dan masih menyisakan 1 agunan yaitu
berupa sebidang tanah hak milik nomor: 1290, seluas 2695 m2 atas
nama JULLY CHANNI. Selanjutnya sebidang tanah hak milik
Bahwa obyek sengketa tersebut oleh Tergugat I telah di lelang
di kantor Tergugat IV pada Tanggal 20 Oktober 2011. Permohonan
lelang yang dilakukan oleh Tergugat I dan dilaksanakan oleh Tergugat
IV dianggap tidak memenuhi standar aturan yang ada dan cenderung
menabrak nilai-nilai etika proses pelelangan. Pemberitahuan lelang oleh
Tergugat IV diberitahukan kepada para Penggugat hanya sehari
sebelum pelelangan dan pemenang lelang adalah Tergugat II yang saat
itu masih menjabat sebagai Pemimpin PT. BRI Cabang Kediri, harga
limit lelang yang sejumlah Rp. 375.000.000;- (tiga ratus tujuh puluh
lima juta rupiah) dirasa terpaut jauh dari harga pasaran obyek sengketa
lelang. Berdasarkan alasan tersebut, lelang yang dilakukan oleh
Tergugat IV pada tanggal 20 Oktober 2011 dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang sah/batal demi hukum.
Tabel 1: Alat Bukti Penggugat
KODE JENIS SURAT
P-1 Foto copy Akta Perjanjian Kredit, tanggal 15 Mei 2007,
Nomor: 101;
P-2 Foto copy Akta Perubahan, tanggal 23 April 2008, Nomor:
177;
P-3 Foto copy Akta Persetujuan Perpanjangan Kredit, tanggal
23 April 2009, Nomor: 153;
P-4 Foto copy Buku Tanah Hak Milik No.1290, tanggal 03
November Nomor: 199;
P-5 Foto copy Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, tanggal 23 April 2010.
3. Jawaban Para Tergugat
Penggugat merupakan nasabah dari Tergugat I yang pertama
kali mendapatkan fasilitas kredit berdasarkan Akta Perjanjian
Membuka Kredit No. 101 tanggal 15 Mei 2007 yang dibuat dihadapan
Notaris Paulus Bingadiputra, S.H sampai dengan Perjanjian
Addendum Restrukturisasi Kredit No. 164 tanggal 21 Mei 2010.
Dalam hal menjamin pelunasan kredit diatas, Para Penggugat
menjaminkan agunan berupa:
a. SHM No. 1290/ Desa Sukorejo a/n Jully Channi yang telah
dipasang Hak Tanggungan Tingkat I/SHT I No.686/2007;
b. SHM No. 34/ Desa Jagalan a/n Chandra Soegianto yang telah
dipasang Hak Tanggungan Tingkat I/SHT I No.458/2007;
c. SHGB No. 2850/Kelurahan Kalisari a/n Chandra yang telah
dipasang Hak Tanggungan Tingkat I/SHT I No.8120/2007.
Selanjutnya, Para Penggugat melanggar ketentuan yang tercantum
dalam perjanjian kredit tersebut, serta melanggar isi dari addendum
perjanjian restrukturisasi kredit yang telah disepakati Para Penggugat
dan Tergugat I atau dengan kata lain Para Penggugat wanprestasi.
Kemudian, Tergugat I memberikan SP (Surat Peringatan) sebanyak 3
kali, yakni:
1. Surat Peringatan I No. B.1460-KC-XVI/ADK/04/2011;
2. Surat Peringatan II No. B.1597-KC-XVI/ADK/04/2011;
Dikarenakan tidak adanya tanggapan dari Penggugat terhadap
surat-surat peringatan yang telah diberikan oleh Tergugat I, maka
berdasarkan pada ketentuan yang berlaku dan yang telah disepakati
dalam perjanjian kredit tersebut, penyelesaian kredit macet tersebut
diselesaikan melalui parate executie.
Penggugat dalam gugatannya menyatakan bahwa
pemberitahuan lelang yang disampaikan oleh Tergugat IV hanya sehari
sebelum dilaksanakannya lelang tidaklah dapat dijadikan alasan lelang
yang telah dilaksanakan melalui KPKNL (Tergugat IV) dapat
dibatalkan karena para penggugat telah diberitahu melalui surat
peringatan sebanyak 3 (tiga) kali yakni pada tanggal 13 April 2011, 27
April 2011, dan 31 Mei 2011. Tergugat I juga telah mengumumkan
berita lelang melalui media massa yaitu Koran Surya dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang, kemudian Tergugat I
melalui Tergugat IV telah melaksanakan lelang sebanyak 3 (tiga) kali
yaitu pada tanggal 18 Agustus 2011, 15 September 2011, dan baru
laku terjual pada tanggal 20 Oktober 2011. Jadi, sangatlah tidak
beralasan apabila pemberitahuan dilakukan sehari sebelum
pelaksanaan lelang tanggal 20 Oktober 2011 dijadikan dasar untuk
menyatakan proses lelang bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Berkaitan dengan dalil gugatan pelawan pada angka 5 bahwa
harga lelang sebesar Rp. 375.000.000, adalah benar karena harga
transparan dan sesuai dengan cara dan peraturan penilaian agunan yang
berlaku di Indonesia dan telah disesuaikan dengan harga pasaran yang
berlaku dan data pasar serta data dari kepala desa setempat yang telah
diolah sehingga ditentukan harga yang cocok dan sesuai dengan harga
pasar wajar pada umumnya. Harga atau nilai pasar wajar obyek
sengketa sebelumnya telah disetujui dan diketahui bahkan ditanda
tangani oleh Para Penggugat yang dituangkan dalam lembar penilaian
jaminan (Pj-07) yang akan dijadikan bukti dipersidangan oleh
Tergugat I pada tahap pembuktian nantinya.
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil bantahannya,
Tergugat I telah mengajukan bukti-bukti surat, sebagai berikut:
Tabel 2: Alat Bukti Tergugat I
KODE JENIS SURAT
T.I-1 Foto copy Salinan Akta Perjanjian Kredit tanggal 15 Mei 2007,
Nomor: 101;
T.I-2 Foto copy Salinan Akta Persetujua Perpanjangan dan
Restrukturisasi Kredit, tanggal 21 Mei 2010, Nomor: 164;
T.I-3 Foto copy Salinan Buku Tanah Hak Tanggungan Nomor:
686/2007, tanggal 18 Juni 2007;
T.I-4 Foto copy Surat Peringatan ke-I (satu), tanggal 13 April 2011,
No. B.1460-KC.XVI/ADK/04/2011;
T.I-5 Foto copy Surat Peringatan ke-II (dua), tanggal 27 April 2011,
No. B.1527-KC.XVI/ADK/04/2011;
T.I-6 Foto copy Surat Peringatan ke-III (tiga), tanggal 31 Mei 2011,
No. B.1966-KC.XVI/ADK/04/2011;
T.I-7 Foto copy Laporan Penilaian Jaminan (Untuk Tanah Yang
Tidak Ada Bangunannya) atas nama Chandra Soegianto, tanggal 08 Februari 2010;
T.I-8 Foto copy Kutipan Risalah Lelang Nomor: 1042/2011, tanggal
20 Oktober 2011;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil bantahannya,
Tergugat II juga telah mengajukan bukti surat, sebagai berikut:
Tabel 3:
Alat Bukti Tergugat II
KODE JENIS SURAT
T.II-1 Foto copy Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005
Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, tanggal 20 Januari 2005;
T.II-2 Foto copy Surat Edaran Nomor: S.26-DIR/ADK/08/2007
Tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Kualitas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), tanggal 20 Agustus 2007;
T.II-3 Foto copy Surat Permohonan Lelang Ulang Nomor:
B.7233-KC/XVI/ADK/09/2011, tanggal 12 September 2011;
T.II-4 Foto copy Surat Keputusan NOKEP: 179-DIR/SDM/03/2010
Tentang Pemindahan Unit Kerja Direksi PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Tanggal 19 Maret 2010.
Sumber: Putusan PN Kediri No: 61/Pdt.G/2012/PN Kdr
Menimbang, bahwa selanjutnya Tergugat IV juga telah
mengajukan bukti surat, sebagai berikut:
dan Lelang Malang Nomor: S.2019/WKN.10/KNL.03/2011 tanggal 11 Oktober 2011, perihal Penetapan Hari dan Tanggal Pelaksanaan Lelang;
T.IV-3 Foto copy Surat Peringatan ke-I (satu), tanggal 13 April 2011,
No. B.1460-KC.XVI/ADK/04/2011, yang dikeluarkan oleh Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;
T.IV-4 Foto copy Surat Peringatan ke-II (dua), tanggal 27 April 2011,
No. B.1527-KC.XVI/ADK/04/2011, yang dikeluarkan oleh Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;
T.IV-5 Foto copy Surat Peringatan ke-III (tiga), tanggal 31 Mei 2011,
Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;
T.IV-6 Foto copy Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Nomor:
45/2011, tanggal 03 Agustus 2011, yang dikeluarkan oleh Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;
T.IV-7 Foto copy Surat Nomor: B.465-KC-XVI/ADK/10/2011 tanggal
11 Oktober 2011, perihal pemberitahuan pelaksanaan lelang ulang;
T.IV-8 Foto copy Pengumuman Lelang Ulang Eksekusi Hak
Tanggungan melalui Harian Surya, tanggal 13 Oktober 2011;
T.IV-9 Foto copy Risalah Lelang Nomor: 1042/2011 tanggal 20
Oktober 2011.
Sumber: Putusan PN Kediri No: 61/Pdt.G/2012/PN Kdr
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim
Mengenai pertimbangan hakim dan amar putusannya, disajikan
dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 5:
Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.61/Pdt.G/2012/PN.Kdr dan Putusan Mahkamah Agung No.1908
Para Pemohon Kasasi:
PUTUSAN - Mengabulkan gugatan para
mempunyai kekuatan
III. Analisis Terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri Dalam Perspektif Kepastian Hukum
A. Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Perkara No.61/Pdt.G/2012/PN.Kediri Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia
Mengenai pertimbangan dan putusan hakim dalam perkara
No.61/Pdt.G/2012 telah disebutkan oleh penulis dalam tabel pada
pembahasan sebelumnya. Pada bagian ini, penulis akan
56