• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II PEMBAHASAN

I. Tinjauan Pustaka

A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan

1. Pengertian Perjanjian

Pengertian mengenai perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan

yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313

sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313

merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi: “Suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.1 Beberapa ahli

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mencoba merumuskan definisi

dari perjanjian, yaitu:

a. Subekti

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2

1

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hal. 338.

2

(2)

b. Abdulkadir Muhammad

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua

orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu

hal dalam lapangan harta kekayaan”.3

c. KRMT Tirtodiningrat

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata

sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang”.4

d. Salim H.S

Menurut Salim H.S., definisi perjanjian dalam Pasal 1313

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah memiliki kelemahan

sebagai berikut:

1) Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;

2) Tidak tampak asas konsensualisme;

3) Bersifat dualisme.

Berdasarkan kelemahan tersebut, pengertian perjanjian

menurut Salim H.S. adalah: “Perjanjian atau kontrak adalah

hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum

lain dalam bidang harta kekayaan. Subjek hukum yang satu berhak

atas prestasi dan begitu pula subjek hukum lain berkewajiban

3

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 224-225.

4

(3)

untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah

disepakatinya”.5

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Abdulkadir Muhammad, syarat sahnya suatu

perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian (konsensus).

Persetujuan kehendak merupakan suatu kesepakatan, seia

sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak

yang lainnya.6

b. Kecakapan para pihak

Kecapakan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan

perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek

hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan

perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai

umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21

tahun.7

5

Salim H.S., H., (2004), Op Cit, hal. 15-17. 6

Abdulkadir Muhammad, (2000), Op Cit, hal. 228-231. 7Ibid

(4)

c. Suatu hal atau objek tertentu

Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian,

objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu

harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.8

d. Adanya suatu sebab yang halal (causa halal)

Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab.

Sebab adalah suatu yang menyebabkan dan mendorong orang

membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti

yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian,

melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.

3. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian yang Mengawali Perjanjian

Jaminan

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan

(harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu

untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang

yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.9

Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang

Perbankan mengatur bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

8Ibid

, hal. 231. 9

(5)

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian

kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank

dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka

sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong

dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya,

namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena di

dalamnya terdapat kekhususan, dimana pihak kreditor adalah pihak

bank sedangkan objek perjanjian adalah uang. Perjanjian kredit ini

dibuat secara tertulis, tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai

apa yang mereka perjanjikan.10

Dalam setiap permohonan pemberian kredit biasanya bank akan

melakukan penilaian dari berbagai aspek antara lain yang lazim adalah

dari segi watak debitor (character), dari segi kemampuan debitor

(capacity), modal (capital), jaminan atau dalam istilah bank disebut

agunan (collateral) dan prospek usaha debitor (condition of economic).11

4. Asas-asas Hukum Perjanjian

Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang

merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan.

Beberapa asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

10

Abdulkadir Muhammad, (2000), Op Cit, hal. 226.

11Eddy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis

(6)

Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata,

yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.12 Asas

kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas

membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun

bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban

umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan

untuk:13

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

4) Menentukan objek perjanjian;

5) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan.

b. Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat

(1) KUH Perdata yang mengandung pengertian bahwa perjanjian

itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara

pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu

perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.14

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)

12

Subekti dan Tjitrosudibio, (2006), Op Cit, hal. 342. 13

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 43-44.

14Ibid

(7)

Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu

adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian.15

d. Asas Itikad Baik

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,

yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.16

Itikad baik ada 2 (dua), yaitu:17

1) Bersifat Objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan

kesusilaan;

2) Bersifat Subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang.

5. Akibat Hukum Perjanjian yang Sah

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat

seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, serta

menimbulkan akibat hukum, yaitu:18

a. Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa

perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak,

artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa

serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

membuatnya. Jika ada yang melanggar, maka ia dianggap

melanggar undang-undang sehingga dapat diberi sanksi hukum

tertentu.

15

Ibid, hal. 45. 16

Subekti dan Tjitrosudibio, (2006), Loc Cit, hal. 342. 17

Handri Raharjo, (2009), Loc Cit, hal. 45. 18

(8)

b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang

membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara

sepihak saja tanpa persetujuan pihak lainnya.

c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

Maksudnya adalah bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut

harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

6. Berakhirnya Perjanjian

Menurut R. Setiawan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila:19

a. Ditentukan oleh undang-undang;

b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya perjanjian;

c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus;

d. Adanya pernyataan penghentian persetujuan atau perjanjian;

e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;

f. Tujuan perjanjian telah tercapai.

B. Hak Tanggungan sebagai Jaminan

1. Pengertian Hak Tanggungan

Tanggungan dapat diartikan sebagai suatu barang yang

dijadikan jaminan guna pelunasan suatu hutang dari Debitur.

Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 ayat 1

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah

beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah adalah: “Hak

19

(9)

Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain”.

Menurut H. Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:20

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada

pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;

b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda

itu berada atau disebut droit de suite. Keistimewaannya ditegaskan

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa

walaupun objek hak tanggungan sudah dipindahtangankan haknya

kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih

berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila debitur

cidera janji;

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat

pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang

berkepentingan;

20

(10)

d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan

kemudahan bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor

5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa

telah disediakan lembaga jaminan yang kuat yang dapat dibebankan

pada hak-hak atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti

lembaga hypoteek dan creditverband. Selama 30 tahun lebih sejak

mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak

Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya,

karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara

lengkap sesuai yang dikehendaki Pasal 51 tersebut. Dalam kurun

waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam

Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan

ketentuan Hypoteek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUH

Perdata Indonesia dan ketentuan creditverband dalam Staatsblad

1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190,

sepanjang mengenai hal-hal yang belum terdapat aturannya di dalam

Undang-Undang Pokok Agraria.21

2. Dasar Hukum Hak Tanggungan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan, peraturan yang mengatur tentang

pembebanan Hak atas tanah adalah Bab XXI Buku II KUH Perdata,

yang berkaitan dengan hypoteek dan creditverband dalam Staatsblad

21

(11)

1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190.

Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai

dengan kebutuhan perkreditan di Indonesia.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996, adalah:22

a. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996);

b. Objek Hak Tanggungan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

c. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

d. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak

Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996);

e. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

f. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996);

g. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996);

h. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

22

(12)

i. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).

3. Asas-Asas Hak Tanggungan

H. Salim H.S menyebutkan bahwa asas-asas Hak Tanggungan

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

adalah:23

a. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang

Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996);

b. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996);

c. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

d. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang

berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996);

e. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah

yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

f. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accesoir) (Pasal 10 ayat (1),

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

g. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3

ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

23Ibid

(13)

h. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

i. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

j. Tidak dapat diletakkan sita oleh Pengadilan;

k. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11, ayat

(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

l. Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996);

m. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;

n. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).

Disamping itu, dalam undang-undang hak tanggungan

ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh

diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila

pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal itu dicantumkan,

maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari

semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan

substansi undang-undang hak tanggungan.24

4. Subjek dan Objek Hak Tanggungan

a. Subjek Hak Tanggungan

Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah:

24Ibid

(14)

1) Pemberi hak tanggungan, merupakan perorangan atau badan

hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.

2) Pemegang hak tanggungan, merupakan perorangan atau badan

hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

Dalam praktiknya, pemberi hak tanggungan disebut dengan

debitur, yaitu orang yang meminjam uang di lembaga perbankan,

sedangkan penerima hak tanggungan disebut dengan istilah

kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan

sebagai pihak berpiutang.

b. Objek Hak Tanggungan

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan

jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa

uang;

2) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus

memenuhi syarat publisitas;

3) Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabil

debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan

dijual di muka umum; dan

4) Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.25

25Ibid

(15)

Menurut H. Salim H.S, terdapat 5(lima) jenis hak atas tanah

yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu:

1) Hak Milik;

2) Hak Guna Usaha;

3) Hak Guna Bangunan;

4) Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas negara;

5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya

yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan

tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas

tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di

dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.26

5. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, dan Hapusnya Hak Tanggungan

a. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan

Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal

10 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dalam

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata

cara pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan

secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan

hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada penerima

kuasa.

26Ibid

(16)

Adapun prosedur pemberian Hak Tanggungan sebagaimana

diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,

dilakukan dengan cara:

1) Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai

jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan tak

terpisahkan dari perjanjian utang piutang;

2) Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

3) Objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari

konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan,

akan tetapi belum dilakukan, pemberian hak tanggungan

dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas

tanah yang bersangkutan.27

b. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran hak tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai

dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Akta

Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib

didaftarkan. Tata cara pendaftaran dikemukakan sebagai berikut:

1) Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan;

2) PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian

hak tanggungan wajin mengirimkan akta pendaftaram hak

27Ibid

(17)

tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan

serta berkas yang diperlukan.

3) Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan

dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut

pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;

3) Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari

ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang

diperlukan bagi pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada

hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari

kerja berikutnya;

4) Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak

tanggungan dibuatkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996);

5) Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.28

c. Peralihan Hak Tanggungan

Pada dasarnya hak tanggungan dapat dialihkan kepada

pihak lainnya. Peralihan hak tanggungan ini ditaur dalam Pasal 16

sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut:29

28Ibid

, hal. 179-184. 29Ibid

(18)

1) Cessi, perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur

pemegang hak tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi harus

dilakukan dengan akta autentik dan akta di bawah tangan;

2) Subrogasi, penggantian kreditur oleh pihak ketiga yang

melunasi hutang debitur;

3) Pewarisan;

4) Sebab-sebab lainnya, hal-hal yang terjadi selain hal-hal diatas.

Misalnya, dalam hal terjadinya pengambilalihan atau

penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya

piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan baru.

d. Hapusnya Hak Tanggungan

Hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai

dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Yang

dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak

berlakunya lagi hak tanggungan. Menurut H. Salim H.S, ada 4

(empat) sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu:30

1) Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;

2) Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;

3) Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat

oleh Ketua Pengadilan Negeri;

4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Sudikno Mertokusumo, mengemukakan 6 (enam) cara

berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan, yaitu:31

30Ibid

, hal. 187. 31Ibid

(19)

1) Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela

oleh debitur (tidak terjadi cidera janji atau sengketa);

2) Debitur tidak memenuhi tepat waktu, yang berakibat debitur

akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya;

3) Debitur cidera janji, dengan adanya cidera janji tersebut, maka

kreditur dapat mengadakan parate executie dengan menjual

barang yang dijaminkan melalui lelang barang tanpa

melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan

lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang

berakhir;

4) Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat

hak tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan

Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi

utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang

piutang berakhir;

5) Debitur cidera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi

maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh

putusan pengadilan yang memenangkan kreditur;

6) Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang

mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka

putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan

umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur,

(20)

6. Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dapat dieksekusi adalah

salinan putusan dan grosse akta (salinan pertama dari akta autentik).

Grosse akta dapat dieksekusi karena memuat titel eksekutorial,

sehingga grosse akta disamakan dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, yang memuat titel eksekutorial

juga, dengan demikian dapat dieksekusi. Eksekusi dibedakan menjadi

4 (empat) jenis, yaitu:

a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk

membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur di dalam Pasal 196

HIR;

b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu

perbuatan. Ini diatur dalam Pasal 225 HIR. Orang tidak dapat

dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan

tetapi, pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar

kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang;

c. Eksekusi riil, yaitu merupakan pelaksanaan prestasi yang

dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung.

Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR akan tetapi diatur dalam Pasal

1033 Rv (Reglement of de Rechtsvordering. HIR hanya mengenal

eksekusi riil dalam pejualan lelang (Pasal 200 ayat (11) HIR) dan;

d. Eksekusi parat (parate executie), Secara etimologis berasal dari

(21)

dapat dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap di tangan.

Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti yakni

pelaksanaan yang langsung tanpa harus melewati proses

pengadilan atau hakim.

Menurut Pitlo, parate eksekusi adalah sebuah penjualan

yang berada diluar wilayah hukum acara dan tidak perlu ada

penyitaan. Tidak melibatkan juru sita, keseluruhannya

dilaksanakan seperti orang yang menjual barangnya sendiri

didepan umum.32

Sedangkan “parate executie” menurut Pasal 6 UUHT,

menyebutkan:

“Apabila Debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.33

Atau dengan perkataan lain, parate executie dilaksanakan tanpa

menerima fiat eksekusi atau izin dari Pengadilan Negeri. Adapun

unsur-unsur yang terjalin menjadi esensi dalam Pasal 6 UUHT.

C. Lelang Hak Tanggungan

1. Pengertian Lelang

Pengertian lelang menurut Vendu Reglement (Stbl.Tahun 1908

No.189 diubah dengan Stbl. 1940 No.56).

“Penjualan Umum” adalah: Pelelangan atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya

32

Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2013), hal. 195.

33

(22)

diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam

sampul tertutup.34

Pengertian lelang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Lelang sebagaimana di dalam Pasal 1 ayat (1)

menyatakan bahwa: “lelang adalah suatu cara penjualan barang

terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau

lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga

tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang”.

Menurut Yahya Harahap yang dimaksud dengan penjualan di

muka umum atau yang biasanya disebut dengan lelang adalah:

“Pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka

umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin meningkat, atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk

menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan”.35

2. Asas-Asas Lelang

Menurut FX Ngadijarno, Nunung Eko Laksito, dan Isti Indri

Listiani dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang lelang dapat

ditemukan adanya Asas Lelang yaitu:36

a. Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat

mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan

34

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Pasal 19 Ayat (1). 35

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Gramedia Pustaka: 1989), hal. 115.

36

(23)

yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh

Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus

didahului dengan pengumuman lelang;

b. Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses

pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara

proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan;

c. Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang yang telah

dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi

pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang;

d. Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan

dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang

dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan

pembeli disahkan saat itu juga;

e. Asas Akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan

oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua

pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang

meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.

3. Syarat-Syarat Lelang

Pasal 2, 3 dan 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

106/PMK.06/2013 jo. Pasal 6 Keputusan Direktorat Jenderal Piutang

dan Lelang Negara Nomor 35/PL/2002 Tentang syarat lelang, syarat

lelang adalah asas atau patokan yang harus ditegakkan Pejabat Lelang

pada pelaksanaan lelang mengenai syarat lelang yang terdiri dari syarat

(24)

a. Syarat umum lelang merupakan syarat yang berlaku dalam setiap

pelaksanaan lelang. Yang termasuk syarat umum adalah:

1) Dilaksanakan di hadapan Pejabat Lelang atau ditutup dan

disahkan oleh Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh

peraturan perundang-undangan;

2) Terbuka untuk umum yang dihadiri oleh:

a) Penjual;

b) 1 (satu) orang peserta atau lebih.

3) Pengumuman lelang;

4) Harga lelang dibayar secara tunai selambat-lambatnya 1 (satu)

hari setelah pelaksanaan lelang.

b. Syarat tambahan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan jo. Pasal 6

ayat (2) Keputusan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara

memberi hak kepada penjual untuk menentukan syarat-syarat

lelang yang bersifat tambahan, yaitu:

1) Jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum

pelaksanaan lelang;

2) Jangka waktu bagi calon pembeli untuk melihat, meneliti

secara fisik barang yang akan dilelang;

3) Jangka waktu pembayaran harga lelang;

(25)

4. Jenis-Jenis Lelang

Jenis-jenis lelang yang ada menurut Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Pasal 1 ayat 4, 5, dan 6 adalah:37

a. Lelang Eksekusi

Lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan

atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu,

dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang

Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi

Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit,

Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan

(UUHT).

b. Lelang Non Eksekusi

Lelang non eksekusi dibedakan menjadi:

1) Lelang Non Eksekusi Wajib

Lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik

negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara atau

barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D)

yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk

dijual secara lelang, termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari

tangan pertama.

37

(26)

2) Lelang Non Eksekusi Sukarela

Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk

melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok

masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela

oleh pemiliknya, termasuk BUMN/D berbentuk persero.

5. Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

Pasal 1 ayat 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

106/PMK.06/2013 mengklasifikasi lelang menjadi 2 (dua), yaitu

Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi. Pada dasarnya,

pelaksanaan lelang eksekusi menganut prinsip dasar yang sama, yaitu

mencairkan sejumlah tagihan kreditor atas debitor yang ingkar janji

(wanprestasi). Dalam hal penyelesaian kredit macet melalui

Pengadilan Negeri karena adanya perkara gugatan maka pelelangan

dilakukan sebagai pelaksanaan putusan Hakim dalam perkara perdata

yang telah berkekuatan hukum tetap (in kraacht), sebagaimana

ketentuan Pasal 195 HIR dan Pasal 206 RBG.

Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dalam UUHT

diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) UUHT jo.

Pasal 224 HIR atau 258 Rbg, Pasal-pasal tersebut sangat terkait

dengan ketentuan dalam Pasal 6 beserta penjelasan, Pasal 14 dan Pasal

26 UUHT. Sesuai penjelasan umum ayat 9 UUHT, salah satu ciri Hak

Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan

(27)

Sehubungan dengan itu, pada sertifikat Hak Tanggungan, yang

berfungsi sebagai surat tanda-bukti adanya Hak Tanggungan,

dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk

memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

6. Prosedur Pelaksanaan Lelang Eksekusi

Berikut merupakan uraian secara sederhana mengenai prosedur

pelaksanaan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan

Lelang (KPKNL), adapun tahapannya adalah:38

a. Permohonan lelang dari pemilik Barang/Penjual

Penjual mengajukan permohonan lelang secara tertulis yang

ditujukan kepada KPKNL dengan melengkapi surat permohonan

lelang yang disertai dengan dokumen-dokumen/bukti-bukti hak

dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Penjual juga

dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang selama hal

tersebut tidak dianggap bertentangan dengan ketentuan lelang yang

berlaku.

b. KPKNL menetapkan tanggal/hari dan jam pelaksanaan lelang

Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta

dokumen kelengkapannya tersebut dan memperoleh atas legalitas

subjek dan objek lelang, maka kantor lelang (KPKNL) akan

menetapkan waktu dan tempat lelang.

38

(28)

c. Pengumuman lelang di surat kabar harian

Pengumuman lelang berdasarakan Pasal 42 PMK Nomor

93/PMK.06/2010 paling sedikit memuat:

1) Identitas Penjual;

2) Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang;

3) Jenis dan jumlah barang;

4) Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya

bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah

dan/atau bangunan;

5) Spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;

6) Waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang;

7) Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka

waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan

adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang;

8) Nilai limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan lainnya dari

tangan pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang

bergerak;

9) Cara penawaran lelang; dan

10)Jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli.

d. Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke rekening KPKNL

Uang jaminan lelang diterima paling lambat 1 (satu) hari

kerja sebelum pelaksanaan lelang. Uang jaminan penawaran lelang

dibebankan kepada pihak Peserta Lelang dengan besaran yang

(29)

Nilai Limit dan paling banyak sama dengan Nilai Limit. Ketentuan

mengenai besaran uang jaminan penawaran lelang disebutkan

dalam Pasal 32 PMK Nomor 93/PMK.06/2010.

e. Pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang dari KPKNL

Pejabat lelang merupakan orang yang berdasarkan

Undang-Undang berwenang melaksanakan lelang. Setiap pelaksanaan

lelang (berdasarkan Pasal 1a Vendu Reglement dan Pasal 2 PMK

Nomor 93/PMK.06/2010) harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan

pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang atau

Peraturan Pemerintah. Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya

diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan dalam pelaksanaan

lelang, pejabat lelang dapat dibantu oleh pemandu lelang.

f. Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL

Pemenang lelang harus menyelesaikan pelunasan

pembayaran paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang,

dan bila pembayaran tidak dilunasi dalam jangka waktu yang

ditentukan, maka jaminan lelang seluruhnya menjadi Hak Negara

dengan disetorkan ke Kas Umum Negara.

g. Bea lelang disetorkan ke Kas Negara oleh KPKNL

Bea lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan

Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang, Staatsblad 1949-390,

yaitu 9% untuk barang bergerak dan 4,5% untuk barang tidak

bergerak, dan uang miskin dipungut berdasarkan Pasal 18 Vendu

(30)

barang tidak bergerak. Dilain pihak kepada Penjual juga dipungut

Bea Lelang, yaitu 3% untuk barang bergerak dan 1,5% untuk

barang tidak bergerak dihitung dari Pokok Lelang. Kepada Penjual

tidak dikenakan uang miskin.

h. Hasil bersih lelang disetorkan ke pemohon lelang

Dalam hal pemohon lelang/pemilik barang adalah instansi

pemerintah maka hasil lelang disetorkan ke Kas Negara. Kemudian

KPKNL menyerahkan dokumen dan Petikan Risalah Lelang

sebagai bukti untuk balik nama dan sebagainya.

D. Teori Memutus Menurut Hakim

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal

1 ayat (3) UUD 1945, maka setiap tindakan baik pemerintahan maupun

rakyatnya harus mempunyai dasar hukum yang mengandung legalitas

berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Adapun ciri khas

negara hukum sebagai berikut:39

1. Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang

mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi

dan kebudayaan;

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh

suatu kekuasaan atau kekuatan apapun;

3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Salah satu prinsip dari negara hukum adalah diakuinya peradilan

yang bebas dan tidak memihak. Kemandirian peradilan harus diatur dalam

39

(31)

perundang-undangan yang memberikan jaminan yuridis adanya

kemerdekaan kekuasaan kehakiman, undang-undang yang mengatur

tentang kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dalam Pasal 1

menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.40

Pada putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta

hukum dan dasar-dasar yang legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan ketentuan Pasal 50

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

dalam pertimbangan hukum putusan itu harus memuat:41

1. Alasan-alasan yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian

dikualifisir menjadi fakta hukum;

2. Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan

argumen-argumen pendukung;

3. Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yan berkaitan dengan

dasar hukum yang diterapkan;

4. Alasan hukum tak tertulis yang berupa argumen sosiologis dan

filosofis atau moral justice;

40Ibid,

hal. 42-43. 41

(32)

5. Alasan dan dasar hukum harus tepat dan benar sesuai dengan Pasal 53

ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Menurut Pasal 50 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa putusan pengadilan selain

harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak

tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum yang

di sampaikan pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam

menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 53 ayat (2) dan Pasal

14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni:42

1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan struktur kasus yang

diyakini oleh hakim sebagai suatu kasus yang riil terjadi;

2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber

hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum

kedalam peristilahan yuridis;

3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk

kemudia mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan

hukum itu, sehingga menghasilkan suatu struktur aturan yang koheren;

4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum)

secara silogisme deduktif;

5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar;

42Ibid

(33)

6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudia ditetapkan

sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum putusan.

Seorang hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya bukan hanya

sebagai terompetnya undang-undang, yang beranggapan bahwa

pasal-pasal hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, namun hakim juga

harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti yang diamanatkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

kemudian dijabarkan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, dimana hakim diharuskan memiliki kemampuan untuk

mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk

pertimbangannya yang dituangkan dalam bentuk putusan-putusan yang

dapat dijadikan acuan berupa yurisprudensi.

E. Teori Kepastian Hukum

Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap;

tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.43 Seorang filsafat hukum

Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide

dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat

hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum.44

Munculnya hukum modern membuka pintu bagi masuknya

permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang sekarang kita kenal dengan

nama kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan sesuatu

(34)

yang baru, tetapi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional

sudah ada sebelum era hukum modern.

Menurut pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum adalah

Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum tentang hukum itu

sendiri). Adapun 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian

hukum, diantaranya:

1. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah

perundang-undangan (Gesetzliches Recht);

2. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachem), bukan suatu

rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim,

seperti “kemauan baik”, “kesopanan”;

3. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga

menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah

dijalankan;

4. Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.45

Asas kepastian hukum merupakan suatu jaminan dimana suatu

hukum harus dijalankan dengan cara yang baik dan tepat. Pada dasarnya

tujuan utama dari hukum adalah kepastian. Jika hukum tidak ada

kepastian, maka hukum akan kehilangan jati diri serta maknanya, dan

apabila hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak lagi digunakan

sebagai pedoman yang berlaku bagi setiap orang.46

Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum diungkapkan oleh

(35)

Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter Mahmud Marzuki dimana kepastian

hukum mengandung dua pengertian, diantaranya:

1. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan;

2. Adanya kemanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa

pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam

putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang

lain untuk kasus serupa yang telah diputus.47

Dalam asas kepastian hukum, tidak boleh ada hukum yang saling

bertentangan, hukum harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti

oleh masyarakat umum. Dengan demikian, kepastian hukum diharapkan

akan mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara

yang telah ditentukan. Selain itu, dengan adanya asas kepastian hukum

maka masyarakat bisa lebih tenang dan tidak akan mengalami kerugian

akibat pelanggaran hukum dari orang lain.

F. Teori Eksaminasi Publik

Penegakan hukum melalui proses peradilan terus menerus akan

menjadi perhatian masyarakat karena melalui proses penegakan hukum

tersebut instrumen penyelenggaraan negara hukum diuji dan orang yang

bermasalah karena ada dugaan melanggar diadili. Proses peradilan yang

47Ibid

(36)

sederhana tersebut kemudian menjadi persoalan yang rumit dan kompleks

bukan disebabkan karena masalah hukum tetapi kemudian menjadi

persoalan non-hukum yang mengaburkan persoalan yang sebenarnya,

yakni persoalan hukum, penegakan hukum dan keadilan.

Melalui pengadilan, akan diuji bagaimana negara melindungi

terhadap warga negara yang dilanggar haknya oleh pelanggar hukum,

perlakuan negara terhadap pelanggar hukum, indenpendensi hakim dan

pengadilan, serta pengujian terhadap instrumen penyelenggaraan negara

hukum lainnya.48

Idealnya dalam mengambil putusan terhadap suatu perkara

mempertimbangkan 4 (empat) elemen, yaitu aspek filosofis, asas-asas

hukum, aturan hukum positif, dan masyarakat hukum. Keempat elemen

tersebut dimasukkan secara proporsional dalam proses pengambilan

putusan hukum dan dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan

masuknya atau dominannya kepentingan non-hukum dalam proses

pengambilan putusan pengadilan.49

Eksaminasi artinya melakukan pengujian, pemeriksaan berkas

perkara untuk meneliti apakah terjadi kesalahan oleh hakim (pengadilan)

dan eksaminasi publik berarti kegiatan kelompok masyarakat untuk

melakukan pengujian terhadap putusan pengadilan dengan melakukan

penelitian secara cermat apakah putusan pengadilan telah dibuat sesuai

48

Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2003), hal. 90.

49Ibid

(37)

dengan aturan hukum dan asas-asas penegakan hukum berdasarkan atas

fakta hukum yang terbukti dipersidangan.50

Esensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah

putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah

pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan

apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta

apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.

Disamping untuk mendorong para hakim/jaksa agar membuat

putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang baik dan profesional.51

Eksaminasi dilakukan dengan cara: pertama, melakukan legal

annotation (catatan hukum) terhadap perkara yang telah diputus oleh MA.

Kedua, mengkontestasi putusan itu kepada publik. Cara ini dilakukan

untuk menilai putusan hakim majelis. Hasil dari penilaian tim eksaminasi

ini dapat pula digunakan untuk melakukan punishment kepada para hakim

(agung) yang notabene adalah aparat negara. Sebagai aparat negara tentu

saja pertanggungjawaban mereka tidak saja administratif tetapi harus

sampai kepada pertanggungjawaban hukum.52

Kegiatan eksaminasi publik dapat dilakukan baik atas permintaan

masyarakat atau tidak. Putusan pengadilan yang dieksaminasi adalah

putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang

mengandung indikasi awal bahwa:

a. Tahapan proses pengadilan terdapat kejanggalan atau cacat hukum;

50

Ibid, hal. 93. 51

Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik, Edisi Revisi, (Jakarta, Indonesia Corruption Watch, 2011), hal. 19.

52Ibid

(38)

b. Hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan

benar atau bertentangan dengan asas-asas penerapan hukum;

c. Ada indikasi KKN (judicial corruption), penyalahgunaan wewenang,

atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya yang menyebabkan

hukum tidak diterapkan secara baik dan benar;

d. Putusan tersebut menjadi perhatian masyarakat atau membawa dampak

terhadap kehidupan hukum dalam masyarakat.

Lembaga Eksaminasi Publik hendaknya ditempatkan sebagai

lembaga pengujian terakhir (final examination) setelah proses pengujian

melalui prosedur formal tidak dapat melahirkan putusan pengadilan yang

baik, benar dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip penegakan hukum.

Dengan kata lain, eksaminasi publik hanya ditujukan pada putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.53

Eksaminasi publik dapat dilakukan terhadap setiap putusan

pengadilan atau putusan hukum yang dilakukan oleh pejabat hukum yang

telah memiliki kekuatan hukum tetap. Idealnya suatu putusan hukum yang

dapat dieksaminasi oleh publik adalah putusan hukum yang memiliki

pertimbangan hukum yang lengkap dan dalam bentuk tertulis. Hal ini

sesuai dengan sifat dari eksaminasi itu sendiri, yakni melakukan pengujian

secara objektif berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Parameter dalam

melakukan pengujian adalah peraturan perundang-undangan hukum

positif.54

53

Mudzakkir, (2003), Op Cit, hal. 99-101. 54Ibid

(39)

LEP pada masa datang dapat mengambil posisi sebagai lembaga

meta-eksaminasi. Sebagai lembaga meta-eksaminasi kegiatannya dapat

diperluas, bukan hanya menguji putusan pengadilan tetapi juga melakukan

eksaminasi terhadap suatu produk hukum (peraturan

perundang-undangan), putusan hakim, atau layanan jasa profesi hukum. Sehingga

keberadaan LEP dan fungsinya dapat memberi peluang bagi masyarakat

untuk memperoleh akses keadilan.55

II. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini di dasarkan pada data sekunder yaitu Putusan

Nomor 61/Pdt.G/2012/PN.Kdr, yang akan diuraikan sebagai berikut:

A. Kasus Posisi Putusan No.61/Pdt.G/2012/PN.Kdr

1. Para Pihak yang Berperkara

a. Penggugat:

1) Chandra Soegianto dan Juwita Chandra, bertempat tinggal di Jl.

Ronggowarsito 15 RT.05 RW.01 Kelurahan Pocanan

Kecamatan Kota, Kota Kediri.

b. Tergugat:

1) PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang

Kediri, alamat Jl. Komisaris Jendral Polisi Slamet A nomor 37

Kota Kediri, selaku Tergugat I;

2) Efendi Hidayat (Pemimpin PT.BRI (PERSERO) Tbk. Kantor

Cabang Batang, Jawa Tengah, selaku Tergugat II;

55Ibid

(40)

3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri alamat Jl. Veteran

11 Kota Kediri, selaku Tergugat III;

4) Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang

(KPKNL) Malang, alamat Jl. Slamet Supriadi nomor 157

Malang, selaku Tergugat IV.

2. Mengenai Kreditnya

Bahwa Para Penggugat telah melakukan Perjanjian Kredit

Tertanggal 15 Mei 2007 Nomor 101 dengan Tergugat I dengan sistem:

a. Kredit modal kerja I, sebesar Rp. 600.000.000 (enam ratus juta

rupiah)

b. Kredit modal kerja II, sebesar Rp. 1.250.000.000 (satu milyar dua

ratus lima pulus juta rupiah)

Dengan Jaminan:

a. Sebidang tanah Hak Milik nomor: 1290/desa sukorejo, seluas 2695

m2 atas nama JULLY CHANNI yang terletak di Desa Sukorejo,

Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur;

b. Sebidang tanah Hak Milik nomor: 34/Desa Jagalan, seluas 197 m2

atas nama CHANDRA SOEGIANTO yang terletak di Desa Jagalan,

Kecamatan Kota Kediri, Kotamadya Kediri, Provinsi Jawa Timur;

c. Sebidang tanah Hak Guna Bangunan nomor: 2850/Kelurahan

Kalisari, seluas 150 m2 atas nama CHANDRA yang terletak di

Kelurahan Kalisari, Kecamatan Mulyorejo, Kotamadya Surabaya,

(41)

Bahwa kredit modal kerja I sebesar Rp. 600.000.000 (enam

ratus juta rupiah) telah terbayarkan sehingga menyisakan kredit modal

kerja II sebesar Rp. 1.250.000.000 (satu milyar dua ratus lima puluh

juta rupiah) yang outstandingnya (saldo debet dari fasilitas kredit yang

telah ditarik) sebesar Rp.1.225.000.000 (satu milyar dua ratus dua

puluh lima juta rupiah). Kemudian bank memberikan tambahan/suplesi

kredit dan diakui telah diterima oleh debitur sebesar Rp. 325.000.000

(tiga ratus dua puluh lima juta rupiah). Dengan demikian jumlah

maksimum kredit sebesar Rp. 1.550.000.000 (satu milyar lima ratus

lima puluh juta rupiah) dengan jaminan:

a. Sebidang tanah Hak milik nomor 1290/Desa Sukorejo, seluas 2695

m2 atas nama JULLY CHANNI dan;

b. Sebidang tanah Hak milik nomor 34/Desa Jagalan, seluas 197 m2

atas nama CHANDRA SOEGIANTO.

Bahwa selanjutnya ada persetujuan perpanjangan kredit yang

semula harus dilunasi pada tanggal 23 April 2009 diperpanjang dalam

jangka waktu 12 bulan terhitung mulai tanggal 23 April 2009. Maka,

selanjutnya pelunasan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 23 April

2010. Telah dibayar utang sebesar Rp. 1.200.000.000 (satu milyar dua

ratus juta rupiah), dengan demikian sisa kredit Rp. 350.000.000 (tiga

ratus lima puluh juta rupiah) dan masih menyisakan 1 agunan yaitu

berupa sebidang tanah hak milik nomor: 1290, seluas 2695 m2 atas

nama JULLY CHANNI. Selanjutnya sebidang tanah hak milik

(42)

Bahwa obyek sengketa tersebut oleh Tergugat I telah di lelang

di kantor Tergugat IV pada Tanggal 20 Oktober 2011. Permohonan

lelang yang dilakukan oleh Tergugat I dan dilaksanakan oleh Tergugat

IV dianggap tidak memenuhi standar aturan yang ada dan cenderung

menabrak nilai-nilai etika proses pelelangan. Pemberitahuan lelang oleh

Tergugat IV diberitahukan kepada para Penggugat hanya sehari

sebelum pelelangan dan pemenang lelang adalah Tergugat II yang saat

itu masih menjabat sebagai Pemimpin PT. BRI Cabang Kediri, harga

limit lelang yang sejumlah Rp. 375.000.000;- (tiga ratus tujuh puluh

lima juta rupiah) dirasa terpaut jauh dari harga pasaran obyek sengketa

lelang. Berdasarkan alasan tersebut, lelang yang dilakukan oleh

Tergugat IV pada tanggal 20 Oktober 2011 dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum yang sah/batal demi hukum.

Tabel 1: Alat Bukti Penggugat

KODE JENIS SURAT

P-1 Foto copy Akta Perjanjian Kredit, tanggal 15 Mei 2007,

Nomor: 101;

P-2 Foto copy Akta Perubahan, tanggal 23 April 2008, Nomor:

177;

P-3 Foto copy Akta Persetujuan Perpanjangan Kredit, tanggal

23 April 2009, Nomor: 153;

P-4 Foto copy Buku Tanah Hak Milik No.1290, tanggal 03

November Nomor: 199;

P-5 Foto copy Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, tanggal 23 April 2010.

(43)

3. Jawaban Para Tergugat

Penggugat merupakan nasabah dari Tergugat I yang pertama

kali mendapatkan fasilitas kredit berdasarkan Akta Perjanjian

Membuka Kredit No. 101 tanggal 15 Mei 2007 yang dibuat dihadapan

Notaris Paulus Bingadiputra, S.H sampai dengan Perjanjian

Addendum Restrukturisasi Kredit No. 164 tanggal 21 Mei 2010.

Dalam hal menjamin pelunasan kredit diatas, Para Penggugat

menjaminkan agunan berupa:

a. SHM No. 1290/ Desa Sukorejo a/n Jully Channi yang telah

dipasang Hak Tanggungan Tingkat I/SHT I No.686/2007;

b. SHM No. 34/ Desa Jagalan a/n Chandra Soegianto yang telah

dipasang Hak Tanggungan Tingkat I/SHT I No.458/2007;

c. SHGB No. 2850/Kelurahan Kalisari a/n Chandra yang telah

dipasang Hak Tanggungan Tingkat I/SHT I No.8120/2007.

Selanjutnya, Para Penggugat melanggar ketentuan yang tercantum

dalam perjanjian kredit tersebut, serta melanggar isi dari addendum

perjanjian restrukturisasi kredit yang telah disepakati Para Penggugat

dan Tergugat I atau dengan kata lain Para Penggugat wanprestasi.

Kemudian, Tergugat I memberikan SP (Surat Peringatan) sebanyak 3

kali, yakni:

1. Surat Peringatan I No. B.1460-KC-XVI/ADK/04/2011;

2. Surat Peringatan II No. B.1597-KC-XVI/ADK/04/2011;

(44)

Dikarenakan tidak adanya tanggapan dari Penggugat terhadap

surat-surat peringatan yang telah diberikan oleh Tergugat I, maka

berdasarkan pada ketentuan yang berlaku dan yang telah disepakati

dalam perjanjian kredit tersebut, penyelesaian kredit macet tersebut

diselesaikan melalui parate executie.

Penggugat dalam gugatannya menyatakan bahwa

pemberitahuan lelang yang disampaikan oleh Tergugat IV hanya sehari

sebelum dilaksanakannya lelang tidaklah dapat dijadikan alasan lelang

yang telah dilaksanakan melalui KPKNL (Tergugat IV) dapat

dibatalkan karena para penggugat telah diberitahu melalui surat

peringatan sebanyak 3 (tiga) kali yakni pada tanggal 13 April 2011, 27

April 2011, dan 31 Mei 2011. Tergugat I juga telah mengumumkan

berita lelang melalui media massa yaitu Koran Surya dalam jangka

waktu 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang, kemudian Tergugat I

melalui Tergugat IV telah melaksanakan lelang sebanyak 3 (tiga) kali

yaitu pada tanggal 18 Agustus 2011, 15 September 2011, dan baru

laku terjual pada tanggal 20 Oktober 2011. Jadi, sangatlah tidak

beralasan apabila pemberitahuan dilakukan sehari sebelum

pelaksanaan lelang tanggal 20 Oktober 2011 dijadikan dasar untuk

menyatakan proses lelang bertentangan dengan ketentuan hukum yang

berlaku.

Berkaitan dengan dalil gugatan pelawan pada angka 5 bahwa

harga lelang sebesar Rp. 375.000.000, adalah benar karena harga

(45)

transparan dan sesuai dengan cara dan peraturan penilaian agunan yang

berlaku di Indonesia dan telah disesuaikan dengan harga pasaran yang

berlaku dan data pasar serta data dari kepala desa setempat yang telah

diolah sehingga ditentukan harga yang cocok dan sesuai dengan harga

pasar wajar pada umumnya. Harga atau nilai pasar wajar obyek

sengketa sebelumnya telah disetujui dan diketahui bahkan ditanda

tangani oleh Para Penggugat yang dituangkan dalam lembar penilaian

jaminan (Pj-07) yang akan dijadikan bukti dipersidangan oleh

Tergugat I pada tahap pembuktian nantinya.

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil bantahannya,

Tergugat I telah mengajukan bukti-bukti surat, sebagai berikut:

Tabel 2: Alat Bukti Tergugat I

KODE JENIS SURAT

T.I-1 Foto copy Salinan Akta Perjanjian Kredit tanggal 15 Mei 2007,

Nomor: 101;

T.I-2 Foto copy Salinan Akta Persetujua Perpanjangan dan

Restrukturisasi Kredit, tanggal 21 Mei 2010, Nomor: 164;

T.I-3 Foto copy Salinan Buku Tanah Hak Tanggungan Nomor:

686/2007, tanggal 18 Juni 2007;

T.I-4 Foto copy Surat Peringatan ke-I (satu), tanggal 13 April 2011,

No. B.1460-KC.XVI/ADK/04/2011;

T.I-5 Foto copy Surat Peringatan ke-II (dua), tanggal 27 April 2011,

No. B.1527-KC.XVI/ADK/04/2011;

T.I-6 Foto copy Surat Peringatan ke-III (tiga), tanggal 31 Mei 2011,

No. B.1966-KC.XVI/ADK/04/2011;

T.I-7 Foto copy Laporan Penilaian Jaminan (Untuk Tanah Yang

Tidak Ada Bangunannya) atas nama Chandra Soegianto, tanggal 08 Februari 2010;

T.I-8 Foto copy Kutipan Risalah Lelang Nomor: 1042/2011, tanggal

20 Oktober 2011;

(46)

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil bantahannya,

Tergugat II juga telah mengajukan bukti surat, sebagai berikut:

Tabel 3:

Alat Bukti Tergugat II

KODE JENIS SURAT

T.II-1 Foto copy Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005

Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, tanggal 20 Januari 2005;

T.II-2 Foto copy Surat Edaran Nomor: S.26-DIR/ADK/08/2007

Tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Kualitas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), tanggal 20 Agustus 2007;

T.II-3 Foto copy Surat Permohonan Lelang Ulang Nomor:

B.7233-KC/XVI/ADK/09/2011, tanggal 12 September 2011;

T.II-4 Foto copy Surat Keputusan NOKEP: 179-DIR/SDM/03/2010

Tentang Pemindahan Unit Kerja Direksi PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Tanggal 19 Maret 2010.

Sumber: Putusan PN Kediri No: 61/Pdt.G/2012/PN Kdr

Menimbang, bahwa selanjutnya Tergugat IV juga telah

mengajukan bukti surat, sebagai berikut:

dan Lelang Malang Nomor: S.2019/WKN.10/KNL.03/2011 tanggal 11 Oktober 2011, perihal Penetapan Hari dan Tanggal Pelaksanaan Lelang;

T.IV-3 Foto copy Surat Peringatan ke-I (satu), tanggal 13 April 2011,

No. B.1460-KC.XVI/ADK/04/2011, yang dikeluarkan oleh Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;

T.IV-4 Foto copy Surat Peringatan ke-II (dua), tanggal 27 April 2011,

No. B.1527-KC.XVI/ADK/04/2011, yang dikeluarkan oleh Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;

T.IV-5 Foto copy Surat Peringatan ke-III (tiga), tanggal 31 Mei 2011,

(47)

Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;

T.IV-6 Foto copy Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Nomor:

45/2011, tanggal 03 Agustus 2011, yang dikeluarkan oleh Kantor PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang;

T.IV-7 Foto copy Surat Nomor: B.465-KC-XVI/ADK/10/2011 tanggal

11 Oktober 2011, perihal pemberitahuan pelaksanaan lelang ulang;

T.IV-8 Foto copy Pengumuman Lelang Ulang Eksekusi Hak

Tanggungan melalui Harian Surya, tanggal 13 Oktober 2011;

T.IV-9 Foto copy Risalah Lelang Nomor: 1042/2011 tanggal 20

Oktober 2011.

Sumber: Putusan PN Kediri No: 61/Pdt.G/2012/PN Kdr

4. Pertimbangan dan Putusan Hakim

Mengenai pertimbangan hakim dan amar putusannya, disajikan

dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 5:

Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.61/Pdt.G/2012/PN.Kdr dan Putusan Mahkamah Agung No.1908

(48)
(49)

Para Pemohon Kasasi:

PUTUSAN - Mengabulkan gugatan para

(50)

mempunyai kekuatan

III. Analisis Terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri Dalam Perspektif Kepastian Hukum

A. Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Perkara No.61/Pdt.G/2012/PN.Kediri Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia

Mengenai pertimbangan dan putusan hakim dalam perkara

No.61/Pdt.G/2012 telah disebutkan oleh penulis dalam tabel pada

pembahasan sebelumnya. Pada bagian ini, penulis akan

56

Gambar

Tabel 1: Alat Bukti Penggugat
Tabel 2: Alat Bukti Tergugat I
Tabel 3: Alat Bukti Tergugat II
Tabel 5: Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan nilai daya serap klasikal dan ketuntasan belajar klasikal pada kegiatan pembelajaran siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai kaidah bahasa Bali sebagai rujukan Dapat menggunakan konfiks dalam pembentukan keilmuan yang mendukung mata pelajaran

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk

Setiap perbuatan manusia yang berkaitan dengan orang lain akan menimbulkan hak dan kewajiban, begitu juga dengan jual beli. kewajiban yang harus dipenuhi oleh

Penelitian yang berjudul “ H UBUNGAN ANTARA INTIMACY DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR ( SKB ) KECAMATAN KALIBAGOR” penelitian ini

Dari kedua penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penelitian kualitatif yang sering menonjol digunakan para ahli untuk meneliti suatu kebenaran,

The first factor was origined of phosphate rock (Sukabumi, west Java and Selagailingga, central Lampung) and the second factor was solvent types (agroindustrial

Bulukumba, dengan sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan populasi yang berjumlah 28 peserta didik, teknik pengambilan sampel yang digunakan sampel jenuh