• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia

Mengenai pertimbangan dan putusan hakim dalam perkara No.61/Pdt.G/2012 telah disebutkan oleh penulis dalam tabel pada

pembahasan sebelumnya. Pada bagian ini, penulis akan

56

membahas/menganalisis mengenai pertimbangan tersebut. Adapun pertimbangan hakimnya yaitu, bahwa Kantor Pelayanan Kekayaan Negara

Dan Lelang (KPKNL) Malang tidak memenuhi standar aturan yang ada

dan cenderung menabrak nilai-nilai etika proses pelelangan. Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan adalah penerapan dari Pasal 6 Undang- Undang No.4 Tahun 1996 (selanjutnya disebut UUHT), dalam pasal tersebut diatur apabila debitur cidera janji, maka kreditur memiliki hak untuk menjual obyek hak tanggungan tersebut atas kekuasaannya sendiri dengan cara pelelangan umum dan diharapkan memperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek hak tanggungan dan dapat dijadikan sebagai pelunasan hutang debitur kepada kreditur.

Subekti juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan parate

executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim, yang dirujukan atas sesuatu

barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut.57

Terkait dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam ketentuan

Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:58

“Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Maka dalam asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

57

Herowati Poesoko, (2013), Loc Cit, hal. 196. 58

Dalam hal pelaksanaannya, lelang eksekusi hak tanggungan dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai instansi yang berwenang. KPKNL dalam pelaksanaan lelang tentu saja berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Adapun

prosedur pelaksanaan lelang melalui KPKNL adalah sebagai berikut:59

1. Permohonan lelang dari pemilik barang/penjual;

2. KPKNL menetapkan tanggal/hari dan jam pelaksanaan lelang;

3. Pengumuman lelang di surat kabar harian;

4. Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke rekening KPKNL;

5. Pelaksanaan lelang oleh pejabat lelang dari KPKNL;

6. Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL;

7. Bea lelang disetorkan ke kas negara oleh KPKNL;

8. Hasil bersih lelang disetorkan ke pemohon lelang.

Pada dasarnya, permohonan lelang hak tanggungan yang diajukan oleh Tergugat I telah disertai dengan surat dan dokumen yang diperlukan sehingga telah memenuhi syarat untuk dilaksanakannya lelang, maka berdasarkan alasan tersebut Tergugat IV tidak berwenang untuk menolak permintaan akan perantaraannya untuk mengadakan penjualan lelang. Hal ini berarti Tergugat IV harus melaksanakan lelang tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 PMK No.93/PMK.06/2010 yang berbunyi:

59

“Kepala KPKNL/Pejabat Lelang tidak boleh menolak permohonan

lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek

lelang”.

Maka menurut penulis, dasar pertimbangan hakim yang mengatakan bahwa lelang tersebut dilaksanakan tidak memenuhi standar yang ada dan cenderung menabrak nilai-nilai etika proses pelelangan adalah tidak sesuai dengan hukum positif yang ada. Pada dasarnya KPKNL baru akan melaksanakan lelang apabila pemohon lelang telah melengkapi dokumen dan persyaratan yang telah ditentukan dalam perundang-undang yang berlaku karena dalam pelaksanaan lelang oleh

KPKNL Malang telah sesuai dengan prosedur dalam Vendu Reglement.

Oleh karena itu, bila terdapat kekurangan dalam dokumen dan persyaratan, sudah pasti KPKNL tidak akan melaksanakan lelang tersebut.

Pertimbangan hakim yang selanjutnya, bahwa pemenang lelang merupakan pimpinan dari PT. BRI Tbk. Kantor Cab.Kediri selaku kreditur, sehingga patut dipertimbangkan apakah ia boleh menjadi pemenang lelang (Tergugat II) eksekusi hak tanggungan. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa kapasitas Tergugat II selaku penerima kuasa dari Direksi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero),Tbk (selanjutnya disebut PT. BRI (Persero),Tbk) dalam melakukan kegiatan perbankan baik di bidang operasional maupun kredit maupun hal-hal lainnya yang menunjang bisnis PT. BRI (Persero),Tbk termasuk mewakili BRI Kediri sebagai pembeli asset yang menjadi jaminan di BRI dan Tergugat II bertindak bukan dalam kapasitas pribadi melainkan untuk dan atas nama PT. BRI (Persero),Tbk.

Berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) PMK No.93/PMK.06/2010 menyatakan secara tegas bahwa:

“Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan di bidang pertanahan, bank selaku kreditur dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat pernyataan dalam bentuk Akta Notaris, bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka

waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang.”

Hal tersebut juga terkait terhadap salah satu asas lelang yakni Asas Keterbukaan yang mengehendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang

oleh Undang-Undang.60 Sehingga bank selaku kreditur dapat membeli

agunan/jaminannya sendiri, hal ini dikuatkan dengan Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang berbunyi:

“Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik

melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan

yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”.

Maka berdasarkan ketentuan tersebut, Tergugat II yang bertindak sebagai Pimpinan dari PT. BRI (Persero),Tbk selaku kreditur dan mengikuti lelang eksekusi hak tanggungan yang kemudian menjadi pemenang merupakan suatu perbuatan hukum yang sah sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, pemenang lelang yang merupakan pimpinan dari PT. BRI (Persero),Tbk selaku

60

kreditur berhak pula mendapatkan kepastian hukum sebagai pemenang lelang atas penguasaan obyek lelang.

Dasar pertimbangan yang selanjutnya, bahwa harga limit obyek lelang yang ditentukan oleh pemohon/penjual terlalu rendah, sehingga tidak sesuai dengan harga obyek di pasaran. Kemudian terkait dengan nilai limit tersebut, hakim juga menyatakan bahwa kreditur telah melanggar prosedur lelang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 36 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal bank kreditur akan ikut menjadi peserta pada lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, nilai limit harus ditetapkan oleh

penjual berdasarkan hasil penilaian dari penilai.”

Dalam hal pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan, ketentuan nilai limit obyek telah diatur dalam Pasal 36 ayat (6) PMK No.106/PMK.06/2013 yang menyatakan bahwa dalam lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT dengan nilai limit paling sedikit Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), nilai limit juga harus ditetapkan oleh penjual berdasarkan hasil penilaian dari tim penilai. Dalam perkara ini, nilai limit yang telah ditentukan oleh penjual/kreditur telah didasarkan pada penilaian yang dibuat oleh tim independen yakni, Kantor Jasa Penilai Publik Hari Utomo & Rekan tertanggal 10 Agustus 2011 dengan nilai likuidasi sebesar Rp. 345.200.000 (tiga ratus empat puluh lima juta dua ratus ribu rupiah). Hasil penelitian tersebut dianggap valid karena tim penilai bersifat independen, bukan dari pihak penjual/kreditur dan telah terbukti dengan adanya bukti T.1-7 mengenai laporan penilaian jaminan.

Kemudian atas dasar nilai likuidasi tersebut, ditetapkan nilai objek sengketa pada tanggal 20 Oktober 2011 sebesar Rp. 375.000.000 (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dengan demikian tidak berdasar

hukum apabila Judex Facti menyebutkan penetapan nilai limit tanpa

berdasarkan tim penilai independen. Selanjutnya pelaksanaan lelang ulang yang dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2011 hanya diikuti oleh 1 (satu) penawar yaitu Sdr. Farina yang penawarannya telah sesuai dengan nilai limit sehingga ditetapkan sebagai pembeli lelang yang sah. Meskipun dalam pelaksanaan lelang tersebut hanya adanya satu penawar yang mengajukan penawaran, namun karena pelelangan tersebut telah diumumkan melalui media massa, maka pelaksanaan lelang tersebut telah memenuhi asas publisitas dan sesuai dengan Pasal 47 PMK No.93/PMK.06/2010. Dengan demikian, pelaksanaan lelang ulang yang dilaksanakan oleh KPKNL Malang tersebut sah dan sesuai peraturan perundang-undangan

Dalam Pasal 36 ayat (5) juga menyatakan bahwa dalam hal bank kreditor akan ikut menjadi peserta pada lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, nilai limit harus ditetapkan oleh penjual berdasarkan hasil penilaian dari penilai. Bila dikaitkan dengan kasus tersebut yang menyatakan bahwa kreditur ikut serta menjadi peserta lelang, maka sudah pasti nilai lelang ditentukan oleh tim penilai. Jika tidak melalui tim penilai, maka sudah pasti peserta lelang yang selanjutnya menjadi pemenang lelang (kreditur) tidak dapat mengikuti proses pelelangan yang dilaksanakan oleh pejabat lelang (KPKNL). Menurut penulis, hasil

penilaian tersebut adalah valid karena tim penilai bersifat independen, bukan dari pihak penjual/kredit, dan Tergugat I juga telah menyebutkan bahwa nilai tersebut telah dinilai secara benar, nyata, transparan dan sesuai dengan cara dan peraturan penilaian agunan yang berlaku di Indonesia dan disesuaikan dengan harga pasaran yang berlaku serta data dari kepala desa setempat yang telah diolah sehingga ditentukan harga yang cocok/sesuai dengan harga pasar wajar pada umumnya. Sehingga penulis menganggap bahwa pertimbangan hakim tersebut dirasa kurang tepat.

Pertimbangan hakim selanjutnya, bahwa kreditur telah melanggar asas-asas dalam lelang yaitu asas keadilan. Adapun asas keadilan itu sendiri adalah dalam proses pelaksanaannya lelang harus memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan yang berdasarkan Pasal 6 UUHT merupakan suatu proses penyelesaian kredit bermasalah dengan jaminan hak tanggungan yang dapat memenuhi asas keadilan. Mengapa demikian, karena lelang akan memecahkan permasalahan utang piutang antara debitur dan kreditur. Hasil dari proses lelang dapat melunasi kewajiban debitur, dan kreditur memperoleh pemecahan masalah yang adil dengan adanya lelang eksekusi hak tanggungan.

Menurut penulis, dengan adanya pembatalan lelang tersebut justru menyebabkan tidak tercapainya asas-asas lelang, adapun asas-asas lelang

menurut FX Ngadijarno adalah:61

61Ibid,

1. Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang- Undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang;

2. Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses

pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya berkepihakan Pejabat Lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya pada kepentingan penjual;

3. Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang yang telah

dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik. Risalah lelang digunakan penjual/pemilik barang, pembeli dan Pejabat Lelang untuk mempertahankan dan melaksanakan hak dan kewajibannya;

4. Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan

cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan saat itu juga;

5. Asas Akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh

yang berkepentingan. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.

Hakim dalam dasar pertimbangan selanjutnya, bahwa tergugat I, II, dan IV telah memenuhi salah 1(satu) unsur perbuatan melawan hukum (PMH). Hakim berpendapat bahwa unsur PMH berlaku secara alternatif, sehingga apabila salah satu unsur PMH terpenuhi maka seseorang dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut penulis, pertimbangan ini tidak sesuai dengan kaidah hukum yang ada karena rumusan dari unsur PMH dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah berlaku secara kumulatif. Unsur-unsur PMH dalam Pasal 1365 KUHPerdata yakni:

1. Adanya perbuatan;

2. Perbuatan itu melawan hukum;

3. Adanya kerugian;

4. Adanya kesalahan; dan

5. Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan

hukum dengan akibat yang ditimbulkan.

Kelima unsur di atas bersifat kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi akan menyebabkan seseorang tidak bisa dikenakan pasal perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam hal tersebut hakim juga tidak memberikan alasan atau fakta mengenai unsur perbuatan melawan hukum mana yang menurut hakim telah dipenuhi oleh tergugat I, II, dan IV. Pada dasarnya dalam memberikan pertimbangan maupun putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pertimbangan hukum

putusan itu harus memuat:62

1. Alasan-alasan yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian

dikualifisir menjadi fakta hukum;

2. Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan

argumen-argumen pendukung;

3. Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yan berkaitan dengan

dasar hukum yang diterapkan;

4. Alasan hukum tak tertulis yang berupa argumen sosiologis dan

filosofis atau moral justice;

5. Alasan dan dasar hukum harus tepat dan benar sesuai dengan Pasal 53

ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan penjelasan diatas terlihat bahwa adanya dampak yang timbul dari putusan pengadilan yang dianggap tidak adil dan merugikan bagi beberapa pihak yang terkait. Seorang hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya bukan hanya sebagai terompetnya undang-undang, yang beranggapan bahwa pasal-pasal hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, namun hakim juga harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian dijabarkan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim diharuskan memiliki

62

Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim Edisi Pertama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hal. 50.

kemampuan untuk mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk pertimbangannya yang dituangkan dalam bentuk putusan-putusan yang dapat dijadikan acuan berupa yurisprudensi. Sehingga, menurut penulis, dalam hal tersebut sangatlah perlu dilakukannya eksaminasi guna terwujudnya tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Seperti dalam tinjauan pustaka mengenai teori eksaminasi yang telah dibahas sebelumnya, eksaminasi artinya melakukan pengujian, pemeriksaan berkas perkara untuk meneliti apakah terjadi kesalahan oleh hakim (pengadilan) dan atau dakwaan (jaksa), apakah pertimbangan- pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Secara implisit tindakan eksaminasi juga berarti menguji atau menilai kecapakan

seorang hakim dalam memutus suatu perkara.63

Eksaminasi dapat dilakukan dengan cara: pertama, melakukan

legal annotation (catatan hukum) terhadap perkara yang telah diputus oleh MA. Kedua, mengkontestasi putusan itu kepada publik. Cara ini dilakukan untuk menilai putusan hakim majelis. Hasil dari penilaian tim eksaminasi

ini dapat pula digunakan untuk melakukan punishment kepada para hakim

yang notabene adalah aparat negara. Sebagai aparat negara tentu saja

63

pertanggungjawaban mereka tidak saja administratif tetapi harus sampai

kepada pertanggungjawaban hukum.64

Secara keseluruhan pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dalam UUHT telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) UUHT jo. Pasal 224 HIR atau Rbg, Pasal-pasal tersebut sangat terkait dengan ketentuan dalam Pasal 6 beserta penjelasan, Pasal 14 dan Pasal 26 UUHT. Sesuai penjelasan umum ayat 9 UUHT, salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur cidera janji. Sehubungan dengan itu, pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda-bukti

adanya Hak Tanggungan, telah dibubuhkan dengan kata-kata “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,

Dokumen terkait