• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOLONIALISASI BUDAYA KOREA MELALUI K DRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOLONIALISASI BUDAYA KOREA MELALUI K DRA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KOLONIALISASI BUDAYA KOREA MELALUI K-DRAMA POPULER

Artikel hasil penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama popular di Indonesia. Kolonialisasi saat ini tidak lagi dilakukan dengan pendudukan langsung, melainkan dengan instrumen media dan budaya. Penjajahan gaya baru ini bersifat soft dan langsung menyerang individu dalam suatu wilayah. Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan pascakolonial yang akan melihat teks sebagai praktik diskursus atau praktik wacana untuk menguatkan kekuasaan. Perspektif yang digunakan adalah pascastrukturalis dan paradigm kontruktivisme, hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama terjadi ketika produk-produk media Korea mulai masuk dan mendominasi di layar televisi Indonesia. K-drama yang menginternalisasi budaya Korea dan mendominasi televisi Indonesia sedikit banyak memberi pengaruh pada khalayak pencinta K-drama. Kolonialisasi budaya Korea terlihat dengan banyaknya produk media Korea di Indonesia, baik di televisi, media cetak dan internet, yang kemudian berdampak pada produk media Indonesia dalam memberitakan Korea. Namun, pengaruh Korea tidak sepenuhnya diterima, ada juga perlawanan mikro dari masyarakat yang sadar akan tujuan Korea menyebarkan budaya popnya. Bahkan pengaruh Korea juga memberi kontribusi terhadap tumbuh kembang budaya popular Indonesia.

Kata Kunci: budaya populer, K-drama, kolonialisasi

ABSTRACT

This search-based paper aims to describe and understand the

colonialization of Korean culture through popular K-drama in Indonesia. The

(2)

products in Korean news. However, Korean influence is not fully accepted, there is also micro-resistance from people who aware of Korea's purpose to spreading their pop culture. Korean influences even contribute to the growth of popular Indonesian culture

Keywords: colonization, K-drama, pop culture

PENDAHULUAN

Tren tayangan televisi di Indonesia mengalami beberapa kali pergantian sejak tahun 1990-an. Tayangan telenovela, film India, drama Jepang, drama Korea, sinetron India, Turki dan Filipina bergantian mengisi layar kaca masyarakat Indonesia. Dari beberapa jenis tersebut, tayangan yang cukup menarik perhatian adalah Korea drama (K-drama). K-drama merepresentasikan budaya Korea Selatan di dalam tayangan-tayangannya. Hal ini menjadi menarik karena internalisasi budaya pada produk hiburan akan dinikmati secara tidak sadar.

Dengan demikian, produk hiburan menjadi strategi penyebaran kebudayaan yang dilakukan Korea Selatan (selanjutnya akan di tulis Korea) melalui K-drama.

Drama Korea mulai masuk di Indonesia menggantikan serial Jepang. Ketika Trans TV menayangkan K-drama yang berjudul Mother Sea di tahun 2002.1 Setelah itu stasiun TV lainnya seperti RCTI, B-channel (Rajawali TV), Trans 7 ikut menayangkan K-drama. Bahkan di tahun 2015 RCTI menyiapkan 20 K-drama yang akan ditayangkan.2

K-drama mengikutsertakan nilai, pola hidup, kehidupan sosial, sistem dan tradisi orang-orang Korea yang kemudian dinikmati dan diikuti oleh masyarakat global. Proses inilah yang disebut Koreanization.3 Koreanisasi dalam budaya popular terutama budaya layar (sinema, televisi, internet dan media sosial) telah sukses membawa istilah Hallyu atau Korean wave di kancah internasional.

Korean wave merupakan sebuah penamaan dari kebudayaan Korea yang

1. Gracia Aninditya Sari dan Rah Utami Nugrahani, “Pengaruh Terpaan Tayangan Televisi

Drama Korea Terhadap Gaya Hidup Masyarakat Bandung,” (Tugas Akhir, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University, 2013), 3.

2. Alv, “20 Judul Drama Korea yang Tayang di RCTI,” sindonews.com, diakses pada

tanggal 08 Juni 2016, http://lifestyle.sindonews.com/read/1001132/158/20-judul-drama-korea-yang-tayang-di-rcti-1431590153.

(3)

berkembang pada beberapa dekade terakhir ini. Salah satu bukti terkenalnya negara yang dijuluki negeri ginseng ini, terlihat dari menjamurnya Korean Pop: K-drama, musik pop Korea (K-pop), film, game, produk elektronik dan makanan cepat saji Korea di beberapa wilayah Asia bahkan Eropa dan Amerika. Korea telah melakukan invasi budaya, yang membawa dampak positif bagi industri

fashion, teknologi, maupun otomotif Korea Selatan. Tingginya permintaan atas

barang-barang elektronik Korea di beberapa negara dan banyak wisatawan yang datang ke Korea menjadi pembuktian atas skenario besar yang dirancang untuk menguasai peradaban.

Populer produk hiburan Korea tidak terlepas dari peran media yang nantinya menjadi budaya massa dan dapat dijadikan strategi, alat pencitraan atau promosi untuk mempengaruhi budaya yang akan berimbas kepada konsumsi. Musik pop, film, acara televisi, majalah, tabloid, dan koran yang banyak dinikmati masyarakat mungkin menjadi budaya populer dan dijadikan alat mencapai tujuan. Pemikir Mazhab Frankfurt melihat budaya populer sebagai alat untuk pengelabuhan massa (mass deception) dan membawa mereka sebagai konsumen sejati produk-produk industrial melalui tayangan yang telah diatur dan komodifikasi homogeni.4 Produksi media menjadi strategi nasional Korea, dengan terus memanfaatkan Korean wave ke logika ekonomi developmentalisme, pembentukan nasionalisme bangsa dan bahkan menjadi ancaman budaya lain.5 Korea mencoba membentuk selera dan preferensi massa melalui penyebaran K-drama, maka istilah “meng-Koreakan” dunia melalui K-drama diterima dan dinikmati khalayak banyak.6

K-drama banyak ditayangkan di televisi Indonesia, setelah booming-nya

beberapa judul K-drama seperti Full House. Ketika televisi lokal banyak

4. TW. Adorno & M. Hokheirmer, Dialectic of Enlightenment (New York: Continium, 1993).

5. Younghan Cho, “Desperately Seeking East Asia Amidst the Popularity of South Korean

Pop Culture In Asia,” Jurnal Cultural Studies Vol. 25, No. 3 (2011): 386.

(4)

menyajikan produk hiburan Korea seperti K-drama, K-pop, dan film Korea memungkinkan suksesnya hallyu di Indonesia. K-drama menjadi produk manipulatif dari industri budaya yang menurut Max dan Horkheimer menghasilkan kesadaran palsu karena memanipulasi ideologi.7 K-drama menjadi alat persuasi penonton untuk menerima budaya Korea.

K-drama yang dianggap hiburan, sebenarnya membawa wacana yang

memiliki tujuan-tujuan tertentu salah satunya promosi wisata dan brand Korea. Fenomena maraknya brand-brand Korea dan populernya hal-hal yang berbau Korea mencerminkan kolonialisasi budaya melalui K-drama, di mana taste kultur dan preferensi masyarakat Indonesia berubah. Koreanisasi pada K-drama menjadi alat merepresentasikan dunia sosial Korea dan menjadikannya sebagai kiblat bagi para penikmat K-drama. Melalui budaya popular, Korea mampu memperkenalkan sejarah dan budayanya bahkan menjadi sebuah fenomena yang digandrungi sekaligus menyedot perhatian dunia. Hal ini menjadikan Korea tidak dapat di pandang sebelah mata, pengukuhan identitas dan penguatan ekonomi Korea karena berhasilnya K-pop, K-drama, dan film dalam membangun citra dan merubah pandangan tentang Korea.

METODE ANALISIS

Artikel yang ditulis berdasarkan hasil penelitian ini berfokus pada kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama di Indonesia dan bentuk-bentuk yang mencerminkan kolonialisasi tersebut. Selain itu penelitian ini juga melihat bagaiamana masyarakat Indonesia menyikapi gempuran budaya melalui K-drama. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut diawali dengan

pemilihan paradigma dan perspektif yang tepat, yaitu paradigma konstruktivisme dan perspektif pascastrukturalis Dalam hal ini, paradigma kontruktivisme dimaksudkan untuk membongkar diskursus-diskursus yang tersembunyi di balik teks dari pemahaman realitas yang ada. Artinya, Konstruktivisme memandang bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif

7. Ruth Mei Ulina Malau, “Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-pop MV

(5)

belaka dan yang dipisahkan dari subjek penyampai pernyataan. Sementara perspektif pascastrukturalis adalah sebuah perspektif yang melihat pemaknaan sebagai sebuah proses yang tidak akan pernah berhenti atau akan terus berlanjut, sehingga teks tidak hanya menampilkan sebuah realitas saja tapi juga akan menampilkan realitas baru. Berdasarkan paradigma dan perspektifnya, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan pascakolonial Pendekatan pascakolonial membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan.8 Poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, dan digunakan untuk menganalisis gejala kultural dan berbagai dokumen.

Sasaran penelitian ini adalah teks-teks yang menggambarkan kolonialisasi budaya melalui K-drama, terutama yang dimuat dalam media terkait dengan budaya dan kehidupan keseharian Korea atau produk budaya Indonesia yang terpangaruh Korean wave. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka, dengan sumber data primer yaitu teks media dan data sekunder dari buku, jurnal serta artikel yang terkait kolonialisasi budaya Korea. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Norman Fairclough.

Penelusuran “realitas” teks dilihat dari konteks produksi teks, konsumsi teks dan

aspek sosial budaya. Ada tiga level analisis: mikro (dimensi tekstual), meso (demensi kewacanaan) dan makro (dimensi sosial-budaya). Serta validitas data digunakan teknik internal dan ekternal. Internal, yaitu penafsiran dicek dengan teori-teori yang sudah ada, dan eksternal adalah membandingkan dengan penelitian-penelitian empirik yang sudah dilakukan.

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan matriks fokus kajiannya, maka hasil dan pembahasan penelitian tentang kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama, terbagi dalam tiga subpokok bahasan yang sistematis, yaitu: 1) Pascakolonialisme dan politik kebudayaan Korea; 2) Media dan kolonialisasi budaya Korea; 3) Kolonialisasi budaya Korea di Indonesia.

1. Pascakolonialisme dan Politik Kebudayaan Korea

Pascakolonial masih fokus pada analisis kolonialisme, akan tetapi lebih menggambarkan pada konsekuensi historis kolonialisme pada bangsa terjajah.9 Perbedaan fokus kajian pascakolonial dan kolonialisme terletak pada konsep kekuasaan yang terpengaruhi tradisi pascastuktural. Teori pascakolonial melihat situasi di mana kolonialisme lebih pada ranah politik dan budaya, bukan ekonomi semata. Teori ini menjelaskan gejala yang berkaitan dengan penggeseran kebudayaan pribumi, penindasan ras dan etnis serta ambivalensi identitas masyarakat yang terjajah. Di era kontemporer ini, dominasi tidak lagi harus menempati wilayah, kolonialisasi dapat dilakukan melalui gempuran kultur dan media. Budaya menjadi jalan untuk melakukan pendudukan, Livingston A. White menyebutnya imperialisme budaya.

Istilah kolonialisasi budaya, imperialism budaya muncul setelah melihat dominasi program-program hiburan Barat di negara-negara Amerika Latin, Afrika

dan Asia. Ini merupakan praktik penguasaan secara soft, sehingga negara dunia ketiga nanti bergantung secara ekonomi ataupun kultural. Kolonialisasi gaya baru tersebut, saat ini semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang kehidupan, termasuk politik. Hal ini membuat kolonialisasi budaya tidak hanya datang dari Barat, melainkan juga dari non-Barat, termasuk Asia. Salah satunya Korea melalui budaya popnya.

Kolonialisasi budaya menciptakan hubungan anatara sang kolonial dan masyarakat yang dikolonial (The colonialized), relasi anatara keduanya biasanya

(7)

tidak imbang, karena budaya the colonialized ditekan oleh kolonial. Posisi kolonial berada pada strata atas, dan the colonialized di bawah, sehingga mau tidak mau The colonialized mengikuti budaya kolonial. Banyak digunakan dan disebarkan budaya kolonial, membuat the colonialized tidak lagi menggunakan budaya mereka. Apa yang dilihat, didengar, dikonsumsi adalah budaya kolonial, maka tidak heran budaya kolonial yang akan digunakan dan diterapkan. Ketika

budaya yang digunakan masyarakat pribumi adalah budaya sang kolonial, maka karakteristik masyarakat juga akan berubah. Dengan demikian, tidak heran saat ini serangan dilakukan melalui praktik kebudayaan, karena dengan serangan budaya akan banyak mempengaruhi berbagai relung-relung kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan Korea saat ini melalui politik kebudayaan, dengan menyebarkan budaya populerya Korea berusaha mendapatkan keuntungan dan menguasai pasar.

Persebaran produk budaya populer Korea dibantu pemerintah, mulai dari kebijakan yang membantu produksi budaya, promosi dan perlindungan. Politik kebudayaan yang dilakukan Korea ini sebagaimana yang diungkapan Bennet, yaitu memusatkan pada pembuatan dan kebijakan dalam institusi yang menghasilkan dan menata bentuk serta isi produk kultural.10 Budaya populer Korea yang disebarkan berupa serial drama televisi, musik pop, game dan film ke seluruh dunia dikenal sebagai istilah Korean wave. Kesuksesan Korean wave terbantu kebijakan kultural dan pemberian modal dari pemerintah. Bantuan ini untuk eksistensi budaya Korea dan persebarannya sebagai tombak industri Korea. Struktur yang dibentuk akan sukses dengan dibantu instrumen politis melalui dukungan arah dan misi pencapaian.11 Seperti dengan dibantuknya instansi

Cultural Industry Bureau yang berada dibawah naungan Korean Ministry of

Culture and Sport (KMCS)1995.12 Kemudian ditindaklanjuti dengan memasukan

10.Astuti, “Imperialisme Budaya Industri Dunia Hiburan Korea di Jakarta (Studi terhadap

remaja-remaja Jakarta yang menggemari Musik Pop Korea),” (Tesis, FISIP, Universitas Indonesia, 2012).

11.Clifford Geertz, Politik Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 161.

12.Noor Rahmah Yulia, “Diplomasi Kebudayaan Republic of Korea melalui film dan drama:

pencapaian kepentingan citra dan dan ekonomi Republic of Koreadi Indonesia,” (Skripsi, FISIP,

(8)

aspek diplomasi kedalam beberapa dokumen penting untuk promosi kebudayaan, yaitu White Paper 2006, Principal Goals and Direction of Korean Cultural

Diplomacy, White Paper 2008, Visi Global Korea.

Kebudayaan menjadi elemen bagi kepentingan Korea, sehingga pemerintah membentuk dua departemen yang secara khusus bertanggungjawab atas penyebaran budaya ke luar negeri yaitu Ministry Culture Sport and Tourism

(MCST) dan Ministry Foreign Affairs and Trade. MCST merupakan kementerian yang bertanggung jawab terhadap budaya Korea, terutama budaya pop. Budaya pop juga terbantu oleh idol, sebagai icon budaya popular Korea dan para pengusaha dalam peningkatan kualitas idustri hiburan Korea serta pendanaan.

Hiburan Korea yang disebarkan, terutama yang menggunakan visual seperti K-drama dan film tidak terlepas dari kebudayaan asli Korea. Masyarakat dan kebudayaan Korea ter-capture jelas dalam budaya pop mereka. Hal ini yang membuat penyebaran budaya dan cintra positif Korea muncul pada khalayak penikmat budaya pop Korea.

2. Media dan Kolonialisasi Budaya Korea

Korea membangun citra di mata dunia melalui Hallyu. Menyebarnya budaya Korea melalui dunia hiburan menciptakan demam Korea di mana-mana. Demam Korea muncul sejak banyak digemarinya film-film, drama dan musik Korea, yang disebarkan media massa terutama televisi dan internet. Sejarah gelombang Hallyu dimulai pada tahun 1990-an, di mana drama dan film menjadi

icon yang berkontribusi besar pada kelahiran Hallyu.13Hallyu memiliki beberapa konten kebudayaan yang menjadi komoditas ekspor utama, yaitu film, drama

televisi (K-drama), musik (K-pop) dan Fashion.

Perkembangan Hallyu di pertengahan tahun 2000-an mendapat respon

positif dari hampir seluruh negara di Asia, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kesuksesan Hallyu berpengaruh terhadap peningkatan minat masyarakat internasional terhadap produk-produk Korea Selatan. Ekspansi

(9)

kebudayaan Korea pun meluas hingga ke kawasan Eropa dan Amerika di awal tahun 2010. Respon positif masyarakat internasional membuat Hallyu muncul sebagai fenomena transnasional yang mempengaruhi lebih dari setengah negara-negara di dunia. Media massa di sini menjadi wadah penyebaran kebudayaan Korea ke lingkungan internasional sekaligus menjadi jembatan infomasi bagi para pencinta budaya Korea.

Media saat ini memegang peranan penting dalam kegiatan penyebaran kebudayaan Korea. Modernisasi dan liberalisasi media Korea akan mempengaruhi gelombang kebudayaan Korea di tingkat lokal maupun internasional. Jaringan televisi kabel seperti Channel M, Channel One, Arirang TV, KBS World dan sebagainya merupakan jaringan televisi yang telah masuk banyak negara. Televisi dijadikan alat untuk mengekspor Hallyu melalui acara yang ditayangkan, seperti: K-drama, film, K-pop, reality show hingga K-Style. Jaringan televisi kabel tersebut tidak semua menggunakan bahasa asing, KBS World tetap menggunakan Bahasa Korea akan tetapi dilengkapi dengan terjemahan dalam bahasa Inggris. Sedangkan Arirang TV yang menggunakan audio Bahasa Inggris untuk para penontonnya di negara lain.

Berkembangnya media digital dan polulernya media sosial di masyarakat membuat penyebaran Hallyu juga dilakukan melalui media sosial, seperti Youtube, Melon, Facebook, Twitter dan lain-lain. Sosial media dimanfaatkan untuk menyebarkan konten-konten kebudayaan. Penggunaan intensif sosial media berdampak pada peningkatan jumlah ekspor kebudayaan. Hal ini terbukti, KBS menjadi jaringan televisi utama di dunia yang mengekspor konten-konten kebudayaan ke 38 negara di dunia. Upaya lainnya adalah

penyediaan situs live streaming untuk para penggemar Hallyu. Seperti acara penghargaan musik “Mnet Asian Music Award 2013” yang disiarkan langsung di

Hongkong dapat disaksikan via live streaming di situs: Mnet.com, Japan-Gyao, Youtube, Tving, China-Sofu.com, Youku dan Tudou (situs Cina), dan banyak lagi.

(10)

dilakukan untuk mendominasi konsumsi negara yang lebih kecil dengan menyebarkan budaya pada audiens. Budaya tunggal coba diberlakukan dan dipaksakan melalui propaganda politik dan media, pemaksaan ekonomi.14 Budaya pop Korea banyak dikonsumsi, dan sedikit banyak menggeser budaya masyarakat pengonsumsi. Hal ini dapat terjadi karena Korea secara konsisten menampilkan kebudayaannya dalam K-drama ataupun film yang mereka sebarkan. Apalagi

globalisasi dan modernisasi mendukung proses pemudaran nilai-nilai budaya tradisional. Korea menjadi sebuah negara dengan industri budaya yang kuat, mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan bahkan menyebarkan pengaruh kultural. 15 Ketika media negara Korea dianggap mengesankan, sehingga ditiru budayanya. Proses peniruan tersebut adalah penghancuran budaya asli negara ke tiga.

Kolonialisasi budaya termasuk pada kolonialisasi modern, di mana dalam kolonialisasi pasti akan ada penindasan. Penindasan dalam koloniasi budaya Korea, dilakukan melalui tiga hal, yaitu: pendidikan, budaya pop dan wacana media.

2.1 Pendidikan sebagai Jalan Penyebaran Budaya

Penekanan pada pendidikan sering disebut sebagai dasar pertumbuhan sebuah bangsa ataupun negara. Pendidikan diperlukan untuk pemecahan masalah dan pencapaian kemajuan dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan merupakan elemen penting dalam masyarakat yang akan menuntun bagaimana kondisi dan perkembangan masyarakat. Tak ayal dalam melakukan penguasaan dilakukan melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan akar dari

masyarakat. Seperti melalui tulisan ilmiah, tulisan Allabout Korea di situs-situs resmi negara sangat mudah ditemukan, mereka banyak mengdeskripsikan dan

mengeksplor diri melalui tulisan baik cetak ataupun online; Program beasiswa,

14. Dave Pollard, “Colonization, from Without and from Within,” howtosavetheworld.ca, diakses pada tanggal 10 Juli 2017, http://howtosavetheworld.ca/2010/08/02/colonization-from-without-and-from-within/.

15. Anisa Nur Andina, “Minat Terhadap Musik Korea Di Kalangan Remaja di Yogyakarta

(11)

beasiswa menjadi salah satu jalan kolonialisasi dikarenakan dengan masuknya individu ke Korea, mereka akan berkontak langsung dengan masyarakat Korea. Pengalaman, pendidikan, budaya yang dapatkan selama belajar di Korea dapat melekat pada individu tersebut; Lembaga riset, membantu kemajuan pengetahuan dan ilmu.

2.2 Industrialisasi Produk Budaya: Penciptaan Budaya Pop

Penciptaan budaya populer menjadi serangan dominan kolonialisasi budaya Korea. Hal ini terjadi karena dengan terciptanya budaya pop Korea, budaya masyarakat Korea berhasil go public. Diciptakannya budaya yang disenangi masyarakat banyak, memudahkan pengenalan dan penyebaran budaya Korea. Produk-produk budaya seperti K-drama, K-pop, wisata budaya serta acara seni dan festival menjadi “tools” untuk menduniakannya budaya Korea. Penyebaran budaya pop terbantu media massa.

2.3 Wacana dalam Media Korea: Nasionalisme dan Kolonialisasi

Media menjadi sarana penyebar produk, maka tidak heran media menjadi bagian dari kolonialisasi. Hal ini karena isi yang ditayangkan dalam media dapat disesuaikan. Ada tiga media yang digunakan, yaitu cetak, TV dan internet. Ketiga media ini banyak membantu populernya produk-produk budaya. Pemberitaan tentang informasi, penayangan isi produk dapat diakses melalui ketiga media massa. Oleh karena itu, tidak heran budaya Korea cepat sekali tersebar. Selain untu menyebarkan produk kebudayaan, Korea memanfaatkan media untuk membangun nasionalisme masyarakat, edukasi, dan pembangnan citra Korea.

Wacana tersebut dicoba dibangun di berbagai media, salah satunya televisi Korea melalui drama yang menginternalisasi nilai-nilai sejarah dan bangsa untuk

menguatkan rasa nasionalisme.

(12)

tidak hanya menikmati hiburan akan tetapi tertarik akan kebudayaan Korea. Media menjadi alat yang tepat untuk membangun citra Korea dan wacana lainnya, karena pesan pada media dapat disesuaikan kebutuhan dan tujuan.

Produk-produk Korea seperti Hyundai, KIA, samsung ditampilkan dalam produk budaya pop Korea. Hal ini untuk mengenalkan dan mempromosikan produk Korea di masyarakat Korea dan dunia global, sehingga

pertumbuhan ekonomi juga ikut berkembang. Pengandalan pada produk dalam negeri ini akan mempertahankan eksistensi bahasa (produk lokal pasti dalam bahasa Korea), selain itu memperluas lapangan kerja, dan jam kerja rakyatnya dibeli oleh rakyat sendiri. Apalagi jika produk mereka berhasil menguasai pasar global, hal ini akan memberi banyak keuntungan.

Terbukti saat ini Korea tidak dapat dipandang sebelah mata, pertumbuhan ekonomi mereka menguat dan menjadi salah satu Macan Asia Timur. Korea telah mencapai rekor ekspor impor yang memukau, nilai ekspornya terbesar kedelapan d dan nilai impornya terbesar kesebelas di dunia. Wacana dalam media saat ini tidak sekedar untuk mempertahankan nasionalisme bangsa Korea, namun ikut mempengaruhi citra Korea di mata dunia.

Serangan dari berbagai arah, terutama media dan budaya pop yang terlihat gencar akan menciptakan lahan pergelutan. Media dan budaya mana yang akan mendominasi dan menciptakan subordinan. Ketika media Korea dan produk budaya Korea mendominasi mengalahkan pribumi, maka pribumi sudah tertindas. Tertindasnya suatu negara dapat dilihat dari seberapa banyak penggemar dan kefanatikannya. Kecintaan penggemar terhadap produk budaya Korea, menimbulkan budaya penggemar yang biasanya konsumtif, bahkan hingga

fanatisme muncul.

Serangan melalui pendidikan, budaya populer dan media sama dengan

(13)

pribumi. Ketika produk pribumi kalah dan Korea yang mendapatkan banyak perhatian serta diminati, ini menandakan tertindasnya negara tersebut.

Korea pada penyebaran budaya populer terbantu globalisasi dan perkembangan teknologi modern. Globalisasi yang menekankan pada bahaya Amerikanisasi, sepertinya menjadi wacana perdebatan lama. Hal ini terjadi khususnya di Asia, di mana masyarakat mulai merasa bosan dengan budaya pop

Amerika yang telah lama menguasai pasar. Oleh karena itu, muncullah budaya global alternatif yang menyisipkan nilai-nilai Asia untuk mengobati kebosanan atas budaya pop Amerika dan mulai mendominasi Asia yaitu Hallyu. Hallyu muncul dengan strategi ala Amerika, tetapi kental akan budaya-budaya Korea. Bahkan awalnya untuk menarik perhatian, industri budaya Korea ini

menggunakan slogan 'Belajar dari Hollywood‟, Korea mencoba meniru dan

menyesuaikan industri budaya Amerika yang telah lama menguasai pasar supaya mudah diterima. Elemen dan simbol-simbol Barat dipinjam oleh Korea, sebagaimana konsep mimikri yang dibicarakan Homi Bhabha ada proses peniruan sebagai strategi menghadapi penjajah. 16 Peniruan dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri, dengan memanfaatkan „yang lain‟ sebagai visualisasi kekuatan.

Peniruan yang dilakukan menjadi dasar adanya identitas hibrid, di mana budaya populer Korea diterima dengan meniru sekaligus mengenalkan budaya mereka. Mempertahankan identitas lokal dan berkerja di konteks global dengan meniru Amerika ini merupakan bentuk kreatif yang terlahir dari globalisasi. Penyesuaian yang mengarah pada percampuran kultural disebut budaya hibridisasi. Karakteristik budaya lokal dalam masyarakat berusaha dipertahankan

dan dinegosiasikan sembari mengikuti dan mempraktikkan budaya modern. Hal ini dilakukan Korea untuk mempertahankan keragaman budaya mereka dalam

menghadapi erosi budaya.

3. Kolonialisasi Budaya Korea di Indonesia

16 . Febrina Windy, “Imperialisme dan Kolonialalisme Menurut Homi K. Bhaha”

web.unair.ac.id, diakses pada tanggal 14 Juni 2017. http://febrina-windy-

(14)

Korea merupakan negara yang sukses dalam memanfaatkan budaya sebagai sumber kekuatan, terbukti dengan Hallyu yang menjadi fenomenal.

Booming-nya kebudayaan Korea di negara lain terbantu arus globalisasi yang

menghapus sekat-sekat dan batas-batas sebuah negara. Hal tersebut membuat nilai-nilai asing masuk tidak lagi melalui negara, akan tetapi melalui individu dalam sebuah negara. Masyarakat dalam sebuah negara akan mudah terpengaruhi

nilai-nilai asing, karena akses yang mudah dan tidak ada batas. Terutama melalui media yang banyak digunakan masyarakat.

3.1 Proses Kolonialisasi Budaya melalui K-drama di Indonesia

Masuknya K-drama dimulai ketika Trans TV menayangkan “Mother

Sea” dan Indosiar menayangkan “Endless Love” di tahun 2002. memulai demam

Korea di Indonesia. Penanyangan K-drama ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia, hal ini terjadi karena K-drama berbeda dengan sinetron Indonesia. Produk hiburan Korea sangat memperhatikan keinginan penonton dalam penyajian, sehingga baik masyarakat Korea sendiri maupun negara lain menggemari produk tersebut. Demam Korea di Indonesia dirasakan ketika drama

yang berjudul “Boys Before Flowers” (BBF) ditayangkan. Drama ini mendapat

sambutan dan dicintai oleh masyarakat Indonesia, terutama remaja. Banyaknya

pencinta drama ini, membuat drama tersebut „roadshow‟ tayang dari stasiun satu

ke stasiun tv lainnya. Pertama ditayangkan Indosiar tahun 2009 bahkan diulang sampai tiga kali.

Dominasi tayangan K-drama sebagai hiburan Korea memulai terciptanya demam Hallyu di Indonesia. Internalisasi budaya dan brand pada

K-drama membuat serba-serbi Korea makin dikenal. Dengan demikian, K-K-drama tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi penyebaran budaya dan sebagai soft

diplomasi Korea. Sejarah Korea banyak dikemas drama kolosal, sehingga penonton tidak hanya akan terhibur tetapi juga mendapatkan pengetahuan. Hal ini yang memungkinkan generasi saat ini lebih mengetahui cerita dan sejarah Ratu pertama di Korea yang diceritakan pada drama yang berjudul “The Great Queen

(15)

Ada taktik kewacanaan yang coba dibangun Korea dalam drama untuk menyebarkan budaya mereka. Upaya tersebut memberi dampak terhadap budaya masyarakat pencinta K-drama, sehingga budaya Korea yang lebih banyak dipelajari dan bahkan diikuti. Lunturnya budaya penggemar dan diikutinya budaya Korea oleh masyarakat merupakan bagian wacana Koreanisasi. Korea memang dengan sengaja menyebarkan produk hiburan mereka sebagai soft power

dalam mengukuhkan budaya mereka dan menjadikan budaya mereka diikuti. Sebagaimana de Certeau berpendapat, medan budaya adalah situs konflik yang berlangsung terus-menerus (diam dan hampir tidak ketara) di antara „strategi‟ penimpaan budaya (produksi) dan „taktik‟ penggunaan budaya (konsumsi).17

Persepsi, preferensi, dan prilaku masyarakat sangat terpengaruh sajian media, terutama televisi sebagai media banyak digunakan. Seperti ujaran Jess C.

Scott “People are sheep, TV is the shepherd” (orang-orang itu domba, TV adalah

gembala).18 Oleh karena itu, ketika hiburan asing mendominasi tidak heran khalayak terpengaruh. Seperti hiburan K-drama banyak ditayangkan, maka mungkin budaya Korea mempengaruhi masyarakat dan tersebar di negara yang menayangkannya. Sebagaimana Cess Hamelink secara deskriptif menggambarkan hilangnya identitas lokal berupa adat istiadat, pakaian, musik, cita rasa dan gaya hidup suatu masyarakat digantikan oleh budaya asing akibat serbuan media mereka.19

Pesan dan tampilan dalam media seperti K-drama ini dapat disesuaikan. Pencitraan, kesejarahan dapat dimuat di K-drama dengan menarik dan tidak terlalu ketara. Menikmati K-drama secara terus menerus, dengan pola yang sama dalam menggambarkan Korea akan membuat khalayak penikmat K-drama

terpengaruh. Seperti model televisual dari Hall, di mana siklus makna dalam wacana televisi melewati tiga momen: Pertama, memaknai wacana televisi

sebagai peristiwa sosial „mentah‟; Kedua, formal bahasa dan wacana „bebas

17. John Storey, Cultural studies dan Kajian Budaya Pop (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 161. 18. Wahyudi Wibowo, Budaya Hallyu Korea: K-drama, Industri Kreatif Berbasis Budaya Populer (Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada, 2013), 22.

(16)

dikendalikan‟, pesan kini terbuka; Ketiga, cara lain dalam melihat dunia

(„ideologi‟) „bisa dengan bebas dikendalikan.20

Oleh karena itu, makna dan pesan dari televisi yang diatur memungkinkan merubah khalayak pengonsumsi.

Kekaguman penonton K-drama terhadap Korea dapat berpengaruh pada sikap, dan prilaku. Koreanisasi dalam drama menjadi salah satu sarana kolonialisasi budaya Korea di Indonesia. Terciptanya budaya penggemar Korea di

Indonesia akan memberi banyak keuntungan. Apalagi Indonesia memiliki penduduk yang tinggi, sehingga memungkinkannya menjadi salah satu negara dengan fan base (sebutan untuk klub penggemar) yang besar. Dengan banyaknya penggemar akan berimbas pada banyaknya penjualan produk-produk Korea di negara tersebut.

3.2 Bentuk-Bentuk Budaya yang Mencerminkan Kolonialisasi Korea di

Indonesia

Banyak produk-produk budaya Korea menghiasi media Indonesia, membuktikan kolonialisasi budaya Korea. Hak tayang hiburan seperti K-drama dibeli media Indonesia, dilakukan karena peminat K-drama yang banyak. Media di sini menjadi tombak penting, sebagai sarana penyebar produk budaya dari pembuat ke khalayak. Media akan membawa budaya pop Korea ke luar negeri yang menunjang berhasilnya gelombang Koreanisasi di dunia internasional. K-drama ataupun K-pop tidak akan menjadi populer tanpa bantuan media. Ketika konten pembahasan Korea di media banyak, membuat pengetahuan tentang Korea pun makin banyak. Media yang menunjukkan kolonialisasi budaya Korea:

Pertama, Televisi yang merupakan media massa dengan pengguna

terbanyak, didominasi produk Korea. Mulai dari drama, musik, film bahkan

reality show. Contohnya penayangan K-drama, MV K-pop, reality show Korea

dan beberapa acara Indonesia mengikuti program Korea. Mission X yang tayang di Trans TV, merupakan program acara reality show yang mengadopsi program Korea. Program ini mengikuti program reality show populer Korea yaitu

“Running Man”, dengan membeli lisensinya dan kemudian dijadikan versi

(17)

Indonesia. Ada juga sinetron “Kau yang Berasal dari Bintang” di RCTI yang me

-remake K-drama “You Came from The Star”. Tidak hanya terinspirasi acara-acara

Korea, televisi Indonesia bahkan menampilkan acara asli Korea seperti “The

Return of Superman” yang ditayangkan di RCTI setiap senin-jum‟at.21

Stasiun televisi seperti Global TV, Indosiar, RCTI dan RTV juga berlomba-lomba menayangkan K-drama. Indosiar sampai menayangkan K-drama

pada 3 slot, RTV juga memiliki slot yang terbilang padat dalam menayangkan K-drama. Indosiar bahkan menayangkan acara musik Mnet Asian Music Awards (MAMA) hampir setiap tahun untuk para penggemar musik Korea di Indonesia. Musik-musik Korea juga dapat kita dengar di acara musik Indonesia seperti

“Sweet Popcorn”. Tayangnya produk hiburan Korea ataupun acara Indonesia yang mengikuti Korea, membuktikan kolonialisasi budaya Korea di Indonesia. Fenomena ini membuat budaya Korea semakin dikenal oleh masyarakat. Apalagi melihat respon masyarakat terhadap stasiun televisi yang menayang hiburan Korea (musik, drama, film, reality show). Pengenalan Korea juga terbantu media lain seperti majalah dan internet.

Kedua, media cetak seperti koran, majalah dan tabloid memberitakan

Korea. Ketika booming-nya Korea, banyak majalah yang memiliki rubrik khusus tentang Korea. Mulai dari artis, fashion, lifestyle, makanan, budaya dan kegiatan mereka dimuat, seperti tabloid gaul dan top idol. Kedua tabloid ini sejak booming -nya Korea, memiliki rubrik khusus Korea. Bahkan ada edisi-edisi khusus grup idol Korea, seperti edisi khusus Super Junior, Shinee, Bigbang dan lain sebagainya.

Sejak populernya Korea, banyak tabloid dan majalah membahas tentang

Korea. Serba-serbi tentang Korea dari artis, idol, budaya, bahasa, makanan,

fashion banyak dicari dan diminati. Bagaimana majalah-majalah memberitakan

Korea, penggunaan artis Korea sebagai icon, mengutamakan pemberitaan tentang Korea, merupakan gambaran lain dari kolonialisasi budaya Korea di Indonesia. Hal ini menjelaskan begitu kuatnya pengaruh Korea, sehingga mampu menguasai

21. RCTI, “Jadwal Acara: The Return of Superman,” rcti.tv, diakses pada tanggal 6 April

(18)

dan mempangaruhi isi media di Indonesia. Di tahun 2014, media cetak di Indonesia mengalami krisis dan masyarakat beralih menggunakan internet untuk mengakses informasi.

Ketiga, Internet. Hal ini dikarenakan tidak semua K-drama, film dan

musik Korea yang ditampilkan di televisi, sehingga untuk tetap menikmati produk budaya pop Korea Internet menjadi salah satu jalan.K-drama yang belum

ditayangkan di televisi dapat dicari dan dinikmati melalui web streaming atau

download. Lagu-lagu Korea dan pemberitaan dapat diakses dengan cepat,

sehingga penyebaran produk Korea lebih cepat pula. Meski produk hiburan tidak dibeli negara, jika negara tersebut memiliki kebebasan akses internet, maka wacana Koreanisasi tetap tersampaikan.

Beberapa media online Indonesia seperti showbiz.liputan6.com, wowkeren.com juga menyediakan pemberitaan khusus Korea. Web streaming dan

download konten hiburan Korea terutama K-drama dengan terjamahan bahasan

Indonesia, sudah sangat banyak di internet. Ada bioskopkeren.co, nontononlinedrama.com, dramaqu.com, streamingdramakorea.com, bosdrama.com, movietube21.com, sobatdrama.net dan masih banyak lagi. Banyaknya web-web streaming dan download berbahasa Indonesia menunjukan tingginya pencinta K-drama di Indonesia.

Selain pada media, bentuk kolonialisasi budaya Korea juga terlihat dari kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan dalam K-drama mulai diikuti masyarakat. Kebiasaan kuliner dan makanan Korea misalnya, cara makan dengan memasak sendiri diatas panggangan menjadi fenomenal. Restoran-restoran ala Korea dan makanan khas Korea banyak di jual di Indonesia. K-drama benar-benar memberi

efek terhadap tren-tren di kalangan anak muda. Bahkan hal seperti adegan di mana Goblin dalam drama tertusuk pedang ikut menjadi tren. Editing foto supaya mirip

(19)

drama, artis atau idol Korea, ada yang tergabung dalam komunitas secara langsung dan ada juga yang tergabung hanya di dunia maya. Selain bergabung dengan komunitas penggemar biasanya menunjukkan kesetiaannya dengan sikap dan prilaku, seperti mengikuti tayangan dan mengkoleksi K-drama, mengikuti komunitas dan fanbase, belajar bahasa Korea, dan tren wisata Korea.

3.3 Respon Masyarakat Indonesia terhadap Kolonialisasi Budaya Korea

Globalisasi memang tidak dapat dihindari, dengan demikian kolonialisasi dengan gaya baru hanya perlu disikapi dengan baik. Negara yang memiliki masyarakat didalamnya, dapat memberi respon berbeda-beda terhadap serangan budaya tergantung individu sendiri. Ketika budaya dan masyarakat dapat mengimbangi gempuran budaya luar, budaya lokal tidak akan tergerus. Ada beberapa respon terhadap kolonialisasi budaya Korea:

Pertama, produk budaya Korea diterima oleh para pencinta budaya pop

Korea, bahkan malah menyebarluaskan tren Korea, sebagaimana budaya penggemar. Baik melalui cover lagu, dance, parodi drama, cerita fiksi dan lain sebagainya. Penerimaan budaya pop Korea yang seperti ini yang membawa kehawatiran akan dilupakannya budaya masyarakat lokal. Diikutinya budaya Korea ini biasa dilakukan bagi para penggemar. Bahkan para penggemar sampai pada tahap konsumsi dan perubahan referensi, seperti membeli aksesoris yang ada dalam K-drama dan menyukai makanan, fashion ala Korea. Salah satu contoh tempat makan ala Korea di Purwokerto selalu ramai, dan biasanya makanannya sudah habis sebelum jam 20.00 (WIB).22 Masyarakat lainnya tidak seantusia penggemar Hallyu, diterimanya produk budaya tidak sampai menyebarluaskan

kembali dan mengonsumsi.

Kedua, dilakukan penguatan Budaya. Kolonialisasi budaya yang

berdampak banyak terhadap kehidupan masyarakat, mendapat banyak respon baik positif dan negatif. Dalam menyikapi respon negatif yang ditimbulkan, seperti fanatisme, pemerintah, kaum intelektual, pengusaha, dan masyarakat yang menyadari akan ancaman besar dari dominasi budaya pop Korea, berupaya

(20)

menyadarkan masyarakat dan mengimbangi serangan budaya dengan penguatan budaya masyarakat lokal. Hal ini dilakukan dengan menulis kajian tentang pentingnya peran budaya oleh akdemisi, dikeluarkannya kebijakan dan program untuk menguatkan budaya serta nasionalisme masyarakat oleh pemerintah. Kemudian stasiun televisi melakukan counter-culture (perlawanan) untuk menguatkan indigeneous culture (budaya asli) dengan berupaya menguatkan

produk-produk hiburan sediri.23 Penguatan budaya daerah ini dilakukan supaya gempuran budaya Korea yang intens melalui media, tidak melunturkan budaya lokal yang ada. Konsumsi produk budaya pop Korea tidak menjadi masalah ketika budaya masyarakat sendiri kuat.

Ketiga, dilakukan pengadosian budaya Korea untuk Industri Lokal.

Tayangan budaya asing memiliki sisi negatif dapat mempengaruhi budaya lokal, atau bahkan tergerus. Namun seperti sekeping mata uang, ada juga sisi positif nya. Bertambahnya wawasan tentang kebudayaan masyarakat lain, dan dapat dimanfaatkan kepopuleran hiburan asing tersebut untuk kepentingan sendiri. Semisal produksi pakaian ala Korea, meniru dan belajar dari K-drama dalam membuat sinetron, sehingga produk lokal lebih baik.

KESIMPULAN

Penelitian tentang kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama di Indonesia ini memiliki beberapa kesimpulan. Pertama, kolonialisasi budaya Korea terjadi ketika K-drama masuk dan mendominasi TV Indonesia. Hal ini terjadi dapat terjadi karena acara televisi di Indonesia cenderung tergerus media global, sehingga tayangan televisinya sering menayangkan produk asing

dibanding dalam negeri. Tren tayangan K-drama, sedikit banyak memberi pengaruh terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan K-drama memiliki pola yang

sama dalam produksinya, di mana internalisasi budaya Korea sangat kental. Drama seakan sedang mempromosikan Korea dengan cerita yang asik dan apik. Oleh karena itu, ini membuat budaya Korea dikenal dan bahkan diikuti oleh para

23. Dedy Djamaluddin Malik, “Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia,” Journal

(21)

pencinta K-drama. Kedua, adanya kolonialisasi Korea terlihat dari dominasi produk media Korea di Indonesia, baik di televisi, media cetak dan internet yang kemudian berdampak pada produk media Indonesia. Populernya hiburan Korea, membuat acara televisi Indonesia di tahun 2014 mengikuti Korea. Baik itu dengan remake ataupun membeli lesensi acara. Ketiga, tidak semua masyarakat menerima pengaruh Korea. Kolonialisasi ini mendapat perlawanan juga dari masyarakat

yang sadar akan tujuan Korea menyebarkan budaya popnya. Meskipun perlawanannya dalam level mikro, seperti melalui riset, tulisan, inovasi idustri lokal ala Korea dan lain sebagainya.

Astuti. “Imperialisme Budaya Industri Dunia Hiburan Korea di Jakarta (Studi terhadap remaja-remaja Jakarta yang menggemari Musik Pop Korea).”

Tesis, FISIP, Universitas Indonesia, 2012.

Aziz, Sohaimi Abdul. Teori & Kritikan Sastera. Modenisme. Pascamodenisme.

Pascakolonialisme. (Literary Theory & Criticism. Modernism.

Postmodernism. Postcolonialism). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka, 2003.

Cho, Younghan. “Desperately Seeking East Asia Amidst the Popularity of South Korean Pop Culture In Asia.” Jurnal Cultural Studies Vol. 25, No. 3 (2011): 386.

Cummings, Milton. Cultural Diplomacy and the United States Government: A

Survey. Washington D.C: Center for Arts and Culture, 2003.

Gandhi, Leela. Teori Poskolonialal: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam, 2006.

Geertz, Clifford. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Hamelink, Cess J. Cultural Autonomy in Global Communication. New York and London: Longman, 1983.

Malik, Dedy Djamaluddin. “Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia.”

(22)

Malau, Ruth Mei Ulina. “Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-pop MV di Youtube.” Tesis, Universitas Diponorogo, 2013.

Pollard, Dave. “Colonization, from Without and from Within.”

howtosavetheworld.ca. Diakses pada tanggal 10 Juli 2017.

http://howtosavetheworld.ca/2010/08/02/colonization-from-without-and-from-within/.

Raditya, Damar. Budaya Hallyu Korea: Hallyu Citra Korea di Mancanegara. Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada, 2013.

RCTI. “Jadwal Acara: The Return of Superman.” rcti.tv. Diakses pada tanggal 6

April 2017,

http://rcti.tv/program/view/714/RETURN%20OF%20SUPERMAN#.WO ZiOPmGPIU.

Sari, Gracia Aninditya dan Rah Utami Nugrahani. “Pengaruh Terpaan Tayangan Televisi Drama Korea Terhadap Gaya Hidup Masyarakat Bandung.”

Tugas Akhir. Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University. 2013.

Storey, John. Cultural studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.

TW. Adorno & M. Hokheirmer. Dialectic of Enlightenment. New York: Continium, 1993.

Wibowo, Wahyudi. Budaya Hallyu Korea: K-drama, Industri Kreatif Berbasis

Budaya Populer. Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas

Gadjah Mada, 2013.

Windy, Febrina. “Imperialisme dan Kolonialalisme Menurut Homi K. Bhaha.”

web.unair.ac.id. Diakses pada tanggal 14 Juni 2017.

http://febrina-windy-

fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-87894-Ideide%20politik-Imperialisme%20dan%20Kolonialalisme%20Menurut%20Homi%20K.%2 0Bhaha.html.

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan struktur yang dibentuk oleh mineral yang equidimensional sehingga terdiri alas butiran - butiran (granular), dapat dijumpai pada batuan hornfelsa. Foliasi

Terdapat beberapa kelemahan dari skema ini antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan

Pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama (heuristik) membuahkan sebuah heterogenitas yang tak gramatikal, tidak padu, akan tetapi setelah diadakan

Kegunaan praktis dimaksudkan hasil dari penelitian dapat dijadikan bahan masukan kepada aparat penegak hukum, instansi yang berwenang untuk memperbaiki dan menyempurnakan

There are two basic approaches to describe the shape of an object surface: point segmentation based on criteria such as the proximity of points, and direct estimation

Aset keuangan FVTPL termasuk aset keuangan untuk diperdagangkan dan aset keuangan yang ditetapkan pada saat pengakuan awal sebagai FVTPL disajikan dalam laporan posisi

Dengan adanya aktivitas pengendalian yang baik dalam pengelolaan persediaan di perusahaan akan dapat membantu dan memudahkan pemilik dalam mengawasi jumlah

Menurut M.Quraish Shihab kata ار (katsiran)banyak bukan يث ك berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh