• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 161 Pid.Sus TPK 2015 PN.Jkt.Pst)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 161 Pid.Sus TPK 2015 PN.Jkt.Pst)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

38 A. Sejarah Justice Collaborator

Pada dasarnya, lahirnya Undang-Undang yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dengan penegak hukum pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan

omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia

Mafioso Sisilia).38 Dalam United Nations Office on Drugs and Crime, Howard Abadinsky menyebutkan bahwa salah satu dari daftar aturan Mafia Amerika adalah setiap anggota harus menjaga mulutnya untuk tetap diam, apa yang dilihat dan didengar biarlah tetap terjaga di kepalanya, jangan pernah dibicarakan. Jika ada yang melanggar “sumpah diam” tersebut dan bekerjasama dengan polisi, maka keselamatan dirinya dan keluarganya akan terancam karena organisasi yang mereka khianati tidak akan segan untuk membunuh mereka. Dengan begitu, negara menjadi kesulitan untuk membujuk saksi-saksi penting untuk memberi kesaksian melawan bos mereka. Hal inilah yang membuat Departemen Kehakiman Amerika Serikat meyakini bahwa program perlindungan saksi harus dijadikan suatu lembaga.39

Di Indonesia sendiri, perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against

38Lilik Mulyadi, op. cit , Hal. 3-5

39Maria Yudithia Bayu Hapsari, Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator

dalam Sistem Peradian Pidana di Iindonesia, Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia,

(2)

Corruption (UNCAC) Tahun 2003 diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis

Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 tanggal 31 Oktober 2003 dan juga telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) yang berlaku efektif sejak 18 April 2006 dimana ditegaskan bahwa, “setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini”.

(3)

Selain dari ketentuan Konvensi di atas, ada hal-hal lain yang melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator di Indonesia yaitu karena kesulitan para penegak hukum untuk mengumpulkan saksi kunci untuk membuktikan suatu perkara pidana. Hal ini dilatarbelakangi karena kurangnya perlindungan yang diberikan kepada saksi dalam proses beracara mulai dari penyelidikan sampai di pengadilan, sehingga banyak yang enggan untuk menjadi saksi. Sebagaimana diketahui alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selau bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.40

Tetapi di dalam praktek peradilan, aparat penegak hukum seringkali menemukan berbagai kendala yuridis dan nonyuridis untuk mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan sampai proses di pengadilan.41

Kesulitan untuk menghadirkan saksi dalam proses hukum tentu bukan tanpa suatu alasan. Dalam banyak kasus seringkali seorang saksi enggan untuk mengungkapkan apa yang diketahuinya maupun yang dialaminya karena mereka

40

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika Offset, 2013, Hal.

286

(4)

enggan berurusan lebih lanjut dengan aparat penegak hukum. Mereka juga takut diancam ataupun diintimidasi oleh pelaku kejahatan.42

Oleh karena itu lahirlah komitmen untuk menjamin perlindungan saksi dan korban dalam sebuah undang-undang yang berawal dari gagasan reformasi sistem politik dan hukum yang digulirkan sejak 1998. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sejatinya adalah demi menciptakan iklim yang kondusif dengan menumbuhkan partisipasi masyarakat melalui pemenuhan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.43

Sebelum istilah Justice Collaborator, ada istilah lain yang lebih dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia yaitu saksi mahkota. Berikut beberapa definisi mengenai saksi mahkota yang diberikan para ahli:

Upaya untuk menumbuhkan partisipasi publik itulah yang pada akhirnya melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator.

44

1. R. Soesilo

“Saksi mahkota dalah saksi yang ditampilkan dari beberapa terdakwa/ salah seorang terdakwa guna membuktikan kesalahan terdakwa yang dituntut. Saksi mahkota dapat dibebaskan dari penuntutan pidana atau kemudian akan

42Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2015, hal.

18

43Ibid, hal. 19 44

Dwinanto Agung Wibowo, Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di

(5)

dituntut pidana secara tersendiri, tergantung dari kebijaksanaan penuntut umum yang bersangkutan.”

2. Andi Hamzah

“Saksi mahkota adalah salah seorang terdakwa dijadikan (dilantik) menjadi saksi, jadi diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi atau lebih mudahnya bahwa saki mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai saksi dilepaskan.

Biasanya saksi mahkota adalah terdakwa yang paling ringan hukumannya.

Pengubahan status terdakwa menjadi saksi itulah yang dipandang sebagai pemberian mahkota “saksi” (seperti dinobatkan menjadi saksi). Biasanya Jaksa memilih terdakwa yang paling ringan kesalahannya atau yang paling “kurang dosanya” sebagai saksi.”

3. Loebby Loeqman

“Saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”

4. Mardjono Reksodiputro

(6)

saksi mahkota. Disebut saksi mahkota yang merupakan penerjemahan langsung dari kroon artinya mahkota dan getuige artinya saksi.”

Dari seluruh pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa saksi mahkota adalah saksi yang diajukan oleh terdakwa, dimana yang menjadi saksi ini adalah terdakwa yang paling kecil peranannya. Dikatakan saksi mahkota karena saksi ini berbeda dari saksi yang lain, dimana berdasarkan kesaksiannya dia diberikan mahkota bisa berupa pengurangan hukuman bahkan dibebaskan dari penuntutan pidana tergantung dari kebijaksanaan penuntut umum, dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.

(7)

Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan’ didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing); adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru tentang penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu perkara pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa ”penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi HAM” (lihat : Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ; MARI, No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995.

(8)

instrumen hak asasi manusia secara internasional (International Covenant on Civil and Political Right).45 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan saksi mahkota dilihat sebagai pilihan terakhir jika alat bukti sangat minim sehingga menghambat jalannya acara pembuktian dan agar keterangan saksi mahkota tidak hanya menjadi satu-satunya alat bukti dalam suatu persidangan.46

Selain saksi mahkota, ada juga istilah lain yang dikenal dalam hukum Indonesia yaitu Whistleblower. Quentin Dempster berpendapat Whistleblower adalah orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya mal praktik, atau korupsi. Sedangkan Prof. Mardjono Reksodiputro menngartikan whistleblower sebagai pembocor rahasia atau pengadu. Ibarat sempritan wasit (peniup peluit), Prof. Mardjono berharap kejahatan dan pelanggaran hukum yang terjadi dapat berhenti apabila dilakukan dengan mengundang perhatian publik. Sementara informasi yang dibocorkan oleh seorang peniup peluit berupa informasi yang bersifat rahasia di kalangan lingkungan informasi itu berada. Baik tempat, informasi yang diberikan, maupun informann bermacam-macam.47

Whitleblower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di Amerika Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana. Adakah perbedaan

whistle blower ini dengan saksi mahkota? Keduanya memang sama-sama

Prof. Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/ Whistle Blowers dan Penyadapan

(Wiretapping, Electronic Interception) dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, (dalam)

(9)

mengungkap suatu tindak pidana, namun bedanya adalah whistle blower bukan tersangka. Sementara saksi mahkota adalah tersangka yang bersedia membantu penyidik mengungkap seluruh jaringan kejahatan dan membeberkan semua pelaku yang terlibat. Untuk itu, dia dikeluarkan dari tersangka dan dijadikan saksi (mahkota), dan harus dilindungi dari balas dendam teman-temannya sebagaimana

whistle blower.48

Saksi mahkota sendiri hampir memiliki persamaan dengan Justice

Collaborator, dimana saksi mahkota dan Justice Collaborator sama-sama

merupakan salah satu tersangka dari kasus yang ia terlibat di dalamnya dan akan dibongkarnya. Namun tetap ada perbedaan antara saksi mahkota dan Justice

Collaborator yaitu dimana berdasarkan pendapat para ahli diatas, saksi mahkota

dapat dibebaskan dari tuntutan pidana yang diberikan kepadanya, namun untuk

Justice Collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama) seseorang tersebut tidak

dapat dibebaskan namun reward yang ia dapatkan yaitu berupa keringanan penjatuhan pidana serta pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana, hal ini tercantum dalam Pasal 10 A ayat (3). Selain perbedaan tersebut, ada perbedaan lainnya yaitu, peran saksi mahkota diberikan oleh inisiatif jaksa, sedangkan peran Justice Collaborator diberikan karena ada inisiatif sendiri dari terdakwa yang mengakui kesalahannya dan membantu aparat penegak hukum untuk membongkar kasus yang ia terlibat di dalamnya tersebut.

48Nurul Ghufron, Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pustaka

(10)

Lahirnya peran Justice Collaborator di Indonesia tentu saja masih menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono di Jakarta dimana ia mengatakan penetapan Justice Collaborator (JC) terhadap tersangka dan terdakwa yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar tidak pidana di pengadilan belum memiliki kesamaan pandangan dalam penegakan hukum. Padahal, sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diberlakukan, setidaknya praktik berlangsung sepuluh tahun masih ditemukan permasalahan krusial dalam pemberian reward terhadap Justice Collaborator di pengadilan. Cara pandang hakim, jaksa, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atas pelaku bekerjsama yang berbeda-beda mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerjasama sulit di dapatkan, ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerjasama. Selain perbendaan pandangan soal penetapan stasus tersangka menjadi Justice Collaborator, frasa “pelaku utama” dalam regulasi dinilai kurang tepat. Sebab dimungkinkan bakal menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda. Oleh karena itu ia merekomendasikan agar seluruh institusi penegakan hukum untuk kembali duduk bersama untuk menyamakan pandangan terkait frasa ”pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan Justice

Collaborator. Karena bila perbedaan pandangan penetapan Justice Collaborator

(11)

dalam membongkar perkara bakal surut. Boleh jadi, tersangka maupun terdakwa bakal berpikir ulang bekerjasama dengan penyidik dan penuntut umum di pengadilan. Dan hal ini akan mempersulit tugas Jaksa dalam mengungkap kasus-kasus khusus.49

B. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Namun sekalipun banyak pro dan kontra terhadap peran Justice

Collaborator, peran Justice Collaborator sebenarnya efektif untuk digunakan,

hanya saja pengaturan hukum mengenai Justice Collaborator inilah yang perlu lebih disempurnakan lagi.

Tahapan korupsi yang telah berkembang di Indonesia ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, sampai setelah berakhirnya rezim Soeharto.

Perkembangan tindak pidana korupsi dari setiap periodenya akan dijabarkan di bawah ini:

1. Kekuasaan negara Republik Indonesia –wewenang dan pelaksanaan kebijakan maupun programnya—terselenggara berkat sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyimpangan atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para pejabat dan pegawainya.

(12)

2. Nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber keuangan bagi negara. Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi rebutan bagi para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari kalangan perwira Angkatan Darat (AD), perusahaan negara yang penting pun mereka kuasai. Korupsi besar-besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, Bank-Bank Pemerintah, Perhutani, serta Telkom dan PLN.

3. Para birokrat, baik sipil maupun militer, telah terlibat kolusi dalam bisnis yang mengandalkan patron politik (political patron) baik melalui pemberian lisensi, proyek dan kredit, maupun monopoli dan proteksi sampai privatisasi BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru sampai masa pemulihan ekonomi saat ini, patronasi bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya, dan kini masih bertahan.

4. Berbagai lembaga militer dan kepolisian mengembangkan jaringan bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar ordernya bersumber dari negara. Di samping menjadi “mesin uang” bagi pemupukan kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan bagi berbagai operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer. 5. Perluasan korupsi telah berkembang melalui praktik pembiaran bagi

(13)

otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai oleh sejumlah konglomerat Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)

6. Dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para pegawainya yang korup. Suap-menyuap, “jual beli perkara”, dan pemerasan adalah potret mengenai julukan prestasinya yang disebut sebagai “mafia peradilan” yang terus berlangsung hingga kini. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

7. Birokrasi tidak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan dana pembangunan, tetapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi yang dibutuhkan para pelaku ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan “birokrasi pungutan” (collect money bureaucracy)

8. Berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis illegal, seperti penebangan hutan secara liar, pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta proteksi atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian.

(14)

(armed conflict) di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan konflik komunal di Sambas, Sampit, Poso, dan Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan senjata api.

10. Pemilihan umum (Pemilu) 1999 telah menjadi ajang perebutan kursi kekuasaan politik. Partai-partai politik yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan yang besar –dengan merebut kursi DPR dan DPRD- telah menikmati hasil tersebut berkat sokongan dana yang populer disebut “politik uang” (money politics) dengan membagi-bagikannya kepada calon pemilh

11. Selain tumbuh sebagai bagian dari patronasi politik dalam kegiatan bisnis, para politisi (birokrat) di parlemen (DPR) –dengan menguatnya kedudukan mereka- telah pula timbul dugaan diantara mereka dalam menikmati permainan “politik daging sapi” baik dalam menghadapi lawan dan membentuk koalisi maupun menseleksi calon pejabat tertentu, Hakim Agung, dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada parlemen. Selain itu, politik ini juga berguna untuk melindungi orang-orang yang diduga terlibat korupsi dengan mengorbankan satu-dua orang yang terlibat atau lawan politiknya.

(15)

timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial ini juga telah membuka dugaan terjadinya penyimpangan.

13. Reformasi tidak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil dan lapisan politisi sipil, tetapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan ekonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), daerah-daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Seperti Aceh, Riau, Papua, dan Kalimantan Timur juga telah menjadi incaran bagi praktik penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dan SDA tersebut.

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman kita ini. Korupsi telah mewabah dan ada dimana-mana. Darimana dan bagaimana memulai pemberantasan korupsi, ketika penyimpangan kekuasaan itu sudah sistemik merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan, dalam lingkungan politik dan birokrasi yang tidak mendukung.

Korupsi merupakan masalah yang telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negara ini dengan mengatakan, bahwa “corruption is

(16)

kehidupan bangsa Indonesia.50 Oleh karena itu, pandangan pesimistis akan menyatakan hampir tidak mungkin untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia.51

Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan di setiap masa kepemimpinan nasional di Indonesia. Berikut akan dijelaskan secara singkat kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemimpin bangsa ini mulai dari masa kepemimpinan Soekarno sampai masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Perkembangan modus salah satu kejahatan, yakni korupsi, akhir-akhir ini menunjukkan skala yang semakin meluas dan juga semakin canggih. Dampak yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi demikian mengguncang moralitas norma dan praktek peradilan. Kategori extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi tindak pidana korupsi tentu saja membutuhkan extra ordinary measures / extra

ordinary enforcement (penanganan yang luar biasa).

Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi, mustahil mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela. Sangat naif memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, atau mempertinggi mutu pendidikan jika korupsi tetap dibiarkan merajalela.

52

1. Masa pemerintahan Soekarno (1945-1966)

Dalam kurun waktu 1956-1957 muncul gerakan anti korupsi yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Kampanye anti korupsi, memberantas orang-orang yang dianggap “tak tersentuh”

50Elwi Danil, ibid

(17)

dan kebal hukum, baik di kalangan politisi, pengusaha maupun pejabat. Zulkifli bekerjasama dengan Jaksa Agung Suprapto dan melibatkan pemuda-pemuda mantan tentara pelajar. Konon, alasan Zulkifli waktu itu aparat hukum tidak berjalan dan tidak berfungsi, sehingga dia harus bertindak dengan caranya sendiri dengan membentuk “pasukan khusus”. Pada masa itu dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantsan Korupsi. Dalam aturan itu muncul istilah korupsi. Peraturan itu dibuat karena KUH Pidana dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktik-praktik korupsi ketika itu.

Satu tahun kemudian dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda. Terakhir pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Pada 1961, Pemerintah dan DPR Gr menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang.

2. Masa pemerintahan Soeharto (1967-1998)

Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor di masa pemerintahan Soeharto dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu sebagai berikut:

(18)

Sebagai Pejabat Presiden waktu itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sekaligus payung hukum untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Tim ini bertanggungjawab kepada Jaksa Agung. Pada Tahun 1982, Tim Pemberantasan Korupsi dibubarkan. b. Periode 1970

Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970 tentang Pembentukan Komisi Empat. Komisi yang dibentuk pada Januari 1970 itu bertugas meneliti dan mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi. Usia Komisi Empat sangat singkat. Pada Mei 1970, Komisi Empat dibubarkan.

c. Periode 1971

Presiden Soeharto membentuk Komite Anti Korupsi, menggantikan Komisi Empat, pada Juni 1970. Namun, Komite Anti Korupsi juga dibubarkan tiga bulan kemudian persisnya pada Agustus 1970. Kemudian Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana orupsi. Untuk pertaa kalinya, Indonesia memiliki Undang-Undang khusus Tindak Pidana Korupsi.

d. Periode 1977

(19)

menindaklanjuti langkah Pemerintah mencanangkan Operasi Tertib. Tim itu dibentuk untuk meningkatkan daya dan hasil gunaserta meningkaatkan kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis praktik-praktik penyelewengan dalam segala bentuk. Tim Operasi Tertib yang dibentuk pada Juli 1977 dibubarkan pada Maret 1988.

e. Periode 1980

Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 mengatur bahwa baik pemberi maupun penerima suap bisa didakwa melakukan kejahatan. Kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai Negeri.

f. Periode 1982

Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun tidak dilandasi surat Keputusan presiden sebagai payung hukumnya. 3. Masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999)

a. Periode 1998

(20)

1) Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, olusi, dan Nepotisme (KKN), dihasilkan dalam Sidang Umum MPR RI 1998, dan

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Pennyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR.

b. Periode 1999

Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan dari Undang Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk sejumlah peraturan perundang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk Tim Pemberantasan Tipikor, meliputi antara lain sebagai berikut:

a. Periode 1999

(21)

2) Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan Presiden, bertanggal 13 Oktober 1999, tentang Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan Standar Pemeriksaan yang Telah Ditetapkan.

b. Periode 2000

1) Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000, bertangggal 10 Marret 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON)

2) Presiden Abdurrrahman Wahid menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Teroris (TGPTPK) pada 5 April 2000. Tim gabungan beranggotakan 24 orang dari berbagai unsur ini berada di bawah koordinasi Jaksa Agung dan merupakan cikal bakal dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

3) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM, tanggal 7 Juli 2000, menerbitkan Surat Keputusan untuk menetapkan Pembentukan Tim Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

(22)

1) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maksud dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:

a) Memberikan pijakan hukum untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi yang nyata-nyata merugikan keuangan negara, dan

b) Memberikan pijakan hukum untuk pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagai komisi yang bersifat independen.

2) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pada 5 April 2000, terpaksa dibubarkan menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tersebut pada Juli 2001.

b. Periode 2002

1) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(23)

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3) Pemerintah membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berkedudukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

c. Periode 2003

1) Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tanggal 21 September 2003. Hasil panitia seleksi, diperoleh 10 nama dan diserahkan ke Presiden pada 6 Desember 2003. Dari 10 nama itu, DPR memilih lima sebagai pimpnan KPK. 2) DPR pada 19 Desember 2013 mengesahkan lima pimpinan KPK

hasil pilihan anggota Komisi Hukum DPR.

3) Pemerintah Indonesia, diwakili Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra menandatangani Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi 2003, di New York, AS, pada 18 Desember 2003.

6. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)

(24)

berkaitan dengan upaya pemberantasan Tipikor, dan tidak ketinggalan pula membentuk “tim khusus”.

a. Periode 2004-2005

1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Surat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

2) Presiden SBY membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dimana dasar hukumnya diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2005, bertanggal 2 Mei 2005. Dalam pelaksanaan tugasnya Timtas Tipikor menjalankannya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Keppres tersebut menegaskan, Timtas Tipikor dibentuk untuk mendukung lembaga-lembaga penegak hukum dalam rangka meningkatkan upaya percepatan pemberantasan Tipikor.

(25)

pengawasan itu adalah dilibatkannya partisipasi aktif masyarakat untuk menyampaikan laporan, kritik, dan saran perihal kinerja aparat Polri di lapangan kepada Kompolnas.

4) Presiden SBY mengeluarkan Surat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan. Melalui Keputusan Presiden Nomor 116/ M/ 2005, Presiden menetapkan tujuh orang anggota Komisi Kejaksaan yanga akan mengawasi jaksa dan kinerja kejaksaan. Komisi Kejaksaan dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden atau Jaksa Agung mengenai pemberhentian jaksa dari tugasnya.

5) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

6) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

(26)

peradilan dan dipertegas lagi dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Periode 2006-2008

1) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. 2) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003.

3) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

4) Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor: 012-016-019/ PUU-IV/ 2006, bertanggal 19 Desember 2006, berisi pembatalan atas keberadaan Pengadilan Tipikor. MK menilai, Pengadilan Tipikor yang dasar pembentukannya adalah ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tipikor dengan Undang-Undang khusus sebagai payung hukumnya.

(27)

6) Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

7. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014)

a. Presiden SBY membentuk UPK3R dipimpin Koentoro Mangkusubroto dibentuk Presiden SBY.

b. Presiden SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. c. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

d. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (Konvensi PBB menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi)

e. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

f. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

g. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

(28)

kinerja Jokowi-JK dalam bidang pemberantasan Korupsi. Padahal dalam program visi dan misi Jokowi-JK yang dikenal dengan Program Nawacita salah satu agenda yang erat dengan isu pemberantasan korupsi adalah program Nawacita nomor 4 yaitu “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan

penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”. Lemahnya

kinerja Jokowi-JK dalam upaya pemberantasan Korupsi dapat dilihat dalam beberapa hal, misalnya penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian harus dikatakan belum memuaskan dan masih jauh dari harapan. Kinerja pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi-JK justru tenggelam dibalik sejumlah kegaduhan di bidang hukum khususnya soal kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK.

(29)

Terakhir, pemberian remisi oleh pemerintah yaitu remisi dasawarsa kemerdekaan unuk 1938 narapidana korupsi.53 Remisi sebenarnya sah-sah saja ketika narapidana telah melakukan Justice Colaborator di mana syarat sebagai

Justice Collaborator telah diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Namun kita

harus mempertanyakan apakah dari total 1.938 narapidana korupsi tersebut telah melakukan Justice Colaborator ataukah tidak. Dan kalau tidak hal ini tentu menjadi catatan buruk pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Jokowi-JK.54

Peran sebagai Justice Collaborator yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 merupakan salah satu syarat pemberian remisi, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 34 A ayat (1) huruf a, dimana disebutkan bahwa Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Dari ketentuan ini sebenarnya dapat dilihat bagaimana semangat pemberantasan korupsi dengan peranan seorang Justice

Collaborator. Justice Collaborator atau yang dikenal juga dengan Saksi pelaku

(30)

yang bekerjsama dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.55

D. Pengaturan Justice Collaborator dalam mengungkap Kasus Korupsi di

Indonesia

Berdasarkan hal ini pemerintah seharusnya menegakkan peran seorang Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Di Indonesia, pengaturan tentang Justice Collaborator termuat dalam beberapa aturan sebagai berikut:

1. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

Dalam konsideran peraturan bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik

55

(31)

Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia disebutkan bahwa keberadaan pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat membantu penegak hukum dalam upaya mengetahui, menemukan kejelasan dan mengungkap tindak pidana, termasuk pelaku utama suatu tindak pidana.

Dalam peraturan bersama ini diatur lebih lanjut mengenai pengertian pelapor, saksi pelapor, saksi pelaku yang bekerjasama, tindak pidana serius, dan perlindungan. Diatur juga mengenai maksud dan tujuan dibentuknya peraturan bersama tersebut. Selain itu, dalam peraturan bersama ini diatur mengenai syarat mendapatkan perlindungan, bentuk perlindungan, mekanisme untuk mendapatkan perlindungan dan membatalkan perlindungan, sosialisasi serta pembiayaan.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

Pengaturan mengenai Justice Collaborator dalam SEMA Nomor 4 tahun 2011 diatur secara singkat. Dimana dalam SEMA Nomor 4 tahun 2011 ini disebutkan bahwa:

SEMA Nomor 4 Tahun 2011, dalam angka 9 menyebutkan:

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

(32)

dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengaungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana;

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/ atau

2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(33)

bahwa perubahan beberapa pasal dalam peraturan ini disebabkan karena beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Beberapa aturan harus diatur ulang sehingga peraturan ini diharapkan bisa lebih efektif. Adapun salah satunya yaitu ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang-Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum di masyarakat. Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (Justice Collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan.

(34)

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Pelelangan Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi yang di laksanakan oleh Panitia Pengadaan barang/Jasa Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan untuk

Bukti fisik di dalam berkas/dokumen yang saya lampirkan untuk keperluan PPG Dalam Jabatan ini benar dan abash adanya, dan jika di kemudian hari ternyata bukti fisik saya

Pengukuran kandungan makronutrien meliputi kandungan karbohidrat mereduksi dan tidak mereduksi, protein dan serat dilakukan mengacu pada metode AOAC (1990),

[r]

1) PIHAK KEDUA wajib melaksanakan pekerjaan sesuai dengan Petunjuk Teknis Fasilitasi Sarana Kesenian di Satuan Pendidikan Tahun 2018. 2) PIHAK KEDUA bertanggung jawab

Kita bersyukur pada Allah atas nikmat dan karunia yang telah Allah berikan pada kita. Allah masih memberikan kita nikmat sehat, umur panjang serta kesempatan

<<Input>> <<Input>> <<Input>> NIP Nama <<Display>> Data Pegawai <<Pilih>> <<Input>> Tanggal Lahir

Taong 1543 dumating si aong 1543 dumating si Villalobos sa pulo ng Leyte. Siya Villalobos sa pulo ng Leyte. Siya ang nagpangalan sa ang nagpangalan sa ating bansa ng Felipinas