• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penggunaan Obat Kumur Chlorhexidine, Fluoride, dan Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn) Terhadap Pelepasan Ion Nikel Braket Stainless Steel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penggunaan Obat Kumur Chlorhexidine, Fluoride, dan Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn) Terhadap Pelepasan Ion Nikel Braket Stainless Steel"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa tahun terakhir ini, terjadi peningkatan minat para biomedis dan praktisi terhadap efek samping penggunaan dental material terutama metal. Alat ortodonti cekat pada perawatan ortodonti umumnya menggunakan material metal seperti pada braket, wire, dan cincin. Lingkungan rongga mulut yang tidak stabil dapat menyebabkan kerugian pada alat ortodonti cekat yang memiliki komposisi metal tersebut. Kerugian yang dapat terjadi seperti pelepasaan ion dan korosi, dapat berbahaya bagi tubuh serta menyebabkan perawatan ortodonti yang tidak optimal. 2.1 Braket Ortodonti

Braket merupakan komponen yang sangat penting pada perawatan ortodonti. Para praktisi terus mencoba untuk meningkatkan kualitas braket ortodonti. Braket

ceramic dan plastik telah diperkenalkan beberapa tahun terakhir, akan tetapi braket jenis ini memiliki kerugian yang signifikan saat digunakan pada perawatan ortodonti.

Braket plastik umumnya terbuat dari polikarbonat atau poliuretan. Braket plastik memiliki keuntungan dalam hal estetis akan tetapi memiliki banyak kekurangan. Kekurangannya antara lain mudah terjadi diskolorisasi dan adanya bau tidak sedap oleh karena absorpsi air sehingga perlu diganti dengan yang baru. Braket ini juga memiliki ketahanan abrasi yang rendah sehingga menyebabkan terkikisnya permukaan braket saat sikat gigi sehingga dapat melemahkan braket dan menyebabkan hilangnya satu atau dua sayap braket. Braket plastik memiliki

(2)

ketahanan deformasi yang rendah pada saat pemberian gaya tork yang besar terutama saat menggunakan wire besar seperti wire rektangular (persegi empat).16

Selain braket plastik, braket estetis jenis lain yang diminati saat ini adalah braket ceramic. Akan tetapi sifat brittle alami pada ceramic mengakibatkan peningkatan terjadinya fraktur pada braket selama debonding. Bagian braket ceramic

yang paling sering fraktur adalah bagian sayap braket. Selain sifat brittle alami yang dimiliki braket ceramic, perlu dipertimbangkan faktor lain yang mempengaruhi ketahanan braket itu sendiri. Beberapa faktor intraoral yang mempengaruhi ketahanan braket ceramic yaitu, korosi, pengunyahan, plak, saliva, kepadatan tulang, jumlah gigi, daerah permukaan akar, susunan anatomi, dan oklusi.

Dibandingkan dengan braket plastik dan ceramic, braket metal tidak memiliki nilai estetik yang baik. Akan tetapi braket metal memiliki physical dan mechanical properties yang baik dibandingkan dengan braket estetik sehingga braket metal sering digunakan pada bidang ortodonti.

17-20

Salah satu braket metal yang dikenal saat ini adalah braket titanium. Dengan memakai titanium, aloi titanium atau sejenisnya, braket ortodonti dapat dibuat lebih ringan dan kuat daripada braket konvensional semacam baja nirkarat, plastik, dan bahkan ceramic. Titanium telah dikenal sebagai bahan yang sangat kompatibel dalam lingkungan mulut dan mempunyai integritas struktural yang lebih baik dari baja nirkarat. Braket ini mempunyai daya tahan terhadap korosi dan biokompatibilitas yang sangat baik, akan tetapi tidak semua pabrik membuat braket dari titanium. Meskipun braket titanium tidak mengandung nikel, aloi ini cenderung mempunyai

(3)

nilai gaya geser (friksi) yang tinggi, sehingga membuat mekanika pergeseran (sliding) lebih sulit.

Braket metal memiliki sifat yang mendekati ideal dan paling sering digunakan pada perawatan ortodonti cekat. Sebagian besar braket metal yang digunakan saat ini terbuat dari stainless steel.

21

2.1.1 Braket Stainless Steel 1,2

Stainless steel (Iron-Chromium-Nickel: FeCrNi), Titanium (Ti), dan Elgiloy (Cobalt-Chromium: CoCr) merupakan material yang sering digunakan pada pembuatan braket metal. Cincin, braket, dan wire ortodonti umumnya terbuat dari

stainless steel yang terdiri dari sekitar 8-12% nikel dan 17-22% kromium. Komposisi ini memberikan elastisitas dan ketahanan korosi pada stainless steel. Kelebihan dari

stainless steel yaitu harganya tidak mahal, kekuatan lebih tinggi, modulus elastisitas yang lebih besar, mudah dibentuk, dan memiliki ketahanan korosi yang tinggi di dalam mulut. Adanya kelebihan ini menyebabkan stainless steel digunakan secara luas sebagai braket, wire, dan cincin pada perawatan ortodonti. Braket stainless steel

(4)

Tabel 2.1. Komposisi braket stainless steel merk American Orthodontic®

Nama Sampel

slot 0.018 inci dengan preskripsi Edgewise.

Kandungan Unsur (%)

77,26±0,04 7,90±0,09 2,64±0,03

Aloi stainless steel pada alat ortodonti bergantung pada formasi permukaan

passive oxide film untuk menahan korosi. Akan tetapi lapisan pelindung ini tidak sempurna. Lapisan ini dapat hancur atau lepas oleh gangguan mekanis dan kimia. Walaupun tanpa adanya gangguan, passive oxide film ini pelan-pelan dapat larut akibat kondisi asam ataupun karena adanya ion chloride.

2.2 Korosi dan Pelepasan Ion

1,3,4,23,24

Korosi didefinisikan sebagai proses interaksi antara material padat dengan lingkungan kimia maupun fisik yang menyebabkan hilangnya substansi dari material tersebut (Gambar 2.1). Hal ini menyebabkan perubahan pada karakteristik struktur, atau kehilangan integritas struktural. Korosi dan pelepasan ion alat ortodonti pada lingkungan oral disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama disebabkan oleh proses pembuatan yang meliputi tipe aloi dan karakteristik metal yang digunakan. Kedua adalah faktor lingkungan seperti mechanical stress, pola makan, waktu, aliran rata-rata saliva, kesehatan pasien, dan kondisi psikosomatik pasien.

Korosi elektrokimia dapat terjadi di dalam saliva karena saliva merupakan elektrolit yang lemah. Sifat elektrokimia dari saliva tergantung pada konsentrasi dari

(5)

komponen, pH, tegangan permukaan, dan kapasitas bufer saliva. Hal-hal tersebut akan mengontrol terjadinya proses korosi. Kuhta dkk (2009) menyatakan apabila pH saliva turun dari 6,75 ke 3,5 maka dapat menyebabkan lepasnya ion metal dari alat ortodonti, dimana rendahnya pH mengurangi ketahanan korosi aloi tersebut. Sandin dan Chorot (1985) meneliti tentang pengaruh stres dan kecemasan pada pasien terhadap pH saliva, dimana ditemukan bahwa semakin tinggi stres dan kecemasan seseorang maka pH salivanya cenderung meningkat.1,3,4,23-25

Gambar 2.1. Korosi pada braket metal.

Korosi terjadi karena hilangnya ion metal secara langsung. Korosi terjadi melalui dua reaksi simultan yaitu oksidasi dan reduksi (redoks). Sebagai contoh besi yang diletakkan di dalam larutan asam lemah. Reaksi oksidasi (anoda) menghasilkan disolusi dari besi dan menghasilkan ion ferum. Reaksi reduksi (katoda) berupa reduksi ion hidrogen menjadi gas hidrogen. Proses korosi ini akan berlangsung terus

(6)

menerus sampai metal terlepas, kecuali bila metal dapat membentuk protective surface layer (pasivasi) atau reaktan katoda dilenyapkan. Tingkat korosi pada berbagai metal tergantung dari lingkungan kimia dimana metal ditempatkan.

Beberapa tipe korosi yang disebabkan oleh proses kimia maupun fisik, yaitu (Gambar 2.2) :

4,23-25

1. Korosi uniform

Merupakan pelepasan metal dari permukaan yang biasanya terjadi dan seragam. Ini merupakan tipe korosi yang paling sering terjadi pada semua metal. Proses terjadinya berasal dari interaksi metal dengan lingkungan dan kelanjutan pembentukan dari hidroksit atau komponen organometalik. Pada korosi uniform, lingkungan korosif harus mempunyai akses yang sama ke semua bagian permukaan, dan metal itu sendiri harus memiliki metalurgi dan komposisi yang seragam. Serangan uniform biasanya tidak terdeteksi sebelum sejumlah besar metal lepas.

2. Korosi pitting

Merupakan bentuk korosi yang terlokalisir, dimana terjadi korosi yang simetris dengan bentuk pit pada permukaan metal. Korosi pitting ini dapat terjadi pada permukaan braket dan wire.

3. Korosi crevice

(7)

4. Korosi-erosi dan Korosi fretting

Korosi erosi disebabkan oleh aliran cairan berkecepatan tinggi pada permukaan material. Pergerakan atau aliran yang tinggi menghilangkan lapisan pelindung sehingga aloi yang reaktif menjadi terpapar dan menyebabkan terjadinya korosi yang lebih cepat. Korosi fretting merupakan jenis dari korosi erosi dimana korosi terjadi akibat beban dan pergerakan yang diberikan pada suatu material misalnya seperti pada sistem wire dan braket.

5. Korosi intergranular

Biasanya terjadi pada saat proses pembuatan brazing dan welding. Hal ini dapat terjadi pada suhu di bawah 350o

6. Korosi galvanik

C.

Korosi ini terjadi pada saat dua metal bergabung bersama dan ditempatkan di larutan saliva yang konduktif atau larutan elektrolit. Korosi dapat terjadi karena perbedaan kekasaran permukaan dan keadaan pH pada 2 metal yang berbeda.

7. Korosi stress

Terjadi karena metal fatique pada saat berada pada lingkungan yang korosif. Hal ini biasa terjadi pada wire ortodonti yang diligasi pada gigi yang crowded berat sehingga menyebabkan reaktivitas aloi metal meningkat.

8. Korosi mikrobial

(8)

mikrobial lain dapat mengubah kondisi sekitar sehingga membuat kondisi yang kondusif untuk terjadinya korosi.23,24

Gambar 2.2. Tipe-tipe korosi.24

2.3 Pelepasan Ion Nikel

(9)

2.3.1 Efek pelepasan ion nikel bagi tubuh

Produk korosi yang paling sering dilepaskan oleh stainless steel adalah ferum, kromium dan nikel. Produk korosi ini dapat menyebabkan nyeri lokal atau pembengkakan pada daerah alat ortodonti tanpa adanya infeksi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. Nikel dan kromium diketahui dapat merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe IV pada tubuh yang dimediasi oleh limfosit T. Ion nikel yang lepas diketahui paling sering menyebabkan alergi berupa dermatitis kontak pada wanita. Nikel dan kromium juga menyebabkan beberapa respon sitotoksik meliputi penurunan aktivitas enzim, gangguan jalur biokimia, karsinogenik, dan mutagenik.3,4,24,26

Selain terdapat pada metal, ion nikel terdapat di alam bebas dan sangat mudah terpapar melalui air minum, sayuran, sereal, padi-padian, dan atmosfer. Rata-rata ion nikel yang ada pada makanan yaitu 300-500 µg/hari dan pada air 20 µg/L. Nikel merupakan salah satu komponen yang paling sering menyebabkan dermatitis kontak dan mengakibatkan reaksi alergi lebih banyak dibandingkan metal-metal lain bila digabungkan. Hipersensitif terhadap nikel menjadi perhatian semenjak 3 dari 10 subjek diketahui sensitif terhadap ion nikel. Semakin lama subyek terpapar ion nikel maka semakin besar resiko alergi. Rentang usia yang paling sering mengalami reaksi alergi terhadap ion nikel adalah 10-20 tahun dimana pada rentang usia tersebut adalah usia dimana perawatan ortodonti paling banyak dilakukan. Diagnosa alergi ion nikel ini berdasarkan riwayat pasien, keadaan klinis, faktor genetik, dan hasil tes patch. Komponen lain yang dapat menyebabkan alergi dan toksik adalah hexavalent

(10)

kromium. Tetapi elemen ini jarang ditemukan lepas baik pada penelitian in vivo

maupun in vitro.

Lugowski dkk (1991) menyatakan bahwa di antara ion-ion metal yang terlepas, nikel merupakan ion yang berbahaya baik bagi hewan maupun manusia serta bersifat karsinogenik bagi sistem pernapasan dan kavitas nasal. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa paparan jangka panjang bahan kedokteran gigi yang mengandung nikel dapat mempengaruhi monosit dan sel mukosa oral. Ion nikel berperan sebagai medium reaksi imun yang kuat dan dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas, dermatitis kontak, asma, dan sitotoksisitas yang berat. Fernadez dkk (1986), Spiechowicz dkk (1984), dan Romaguera dkk (1988) melaporkan bahwa protesa yang terbuat dari aloi nikel dapat menyebabkan sensasi terbakar pada daerah esofagus dan leher, serta kehilangan indra perasa. Van Loon dkk (1984) mengungkapkan bahwa aloi nikel ini dapat menyebabkan stomatitis kontak. Di bidang ortodonti, Greig (1983) dan Dickson (1983) melaporkan terjadinya dermatitis kontak pada pasien yang menggunakan headgear. Rickles (1980) dan Levy dkk (1980) juga melaporkan alergi nikel pada penggunaan alat ortodonti, dan Haudrechy dkk (1994;1997) menemukan bahwa dermatitis dapat terjadi pada pasien yang sensitif terhadap ion nikel yang terlepas dari stainless steel. Untuk terjadinya suatu reaksi alergi pada mukosa oral diperlukan antigen 5-12 kali lebih besar daripada yang diperlukan untuk terjadi alergi pada kulit.

3,4,11,12,15

(11)

2.3.2 Efek pelepasan ion nikel bagi perawatan ortodonti

Korosi dan pelepasan ion dapat menyebabkan larutnya filler metal sehingga material braket menjadi lemah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelepasan ion metal pada alat ortodonti mencapai puncaknya pada hari ketujuh dan selesai pada minggu keempat. Penelitian Bishara menunjukkan bahwa pelepasan ion nikel alat ortodonti stainless steel dan nikel-titanium, mencapai puncaknya pada minggu pertama dan setelah itu menurun. Sedangkan menurut Eliades dkk (2003) dan Huang dkk (2004) menyatakan bahwa pelepasan ion pada alat ortodonti cekat semakin lama akan semakin meningkat. Gjerdet dkk (1991) menemukan adanya kandungan nikel pada saliva yang diambil segera setelah pemasangan alat ortodonti. Park dan Shearer melaporkan adanya pelepasan ion Nikel sebesar 40 mg per hari dari simulasi alat ortodonti cekat di dalam mulut yang terdiri dari cincin molar pertama, molar kedua, premolar pertama, premolar kedua, braket kaninus, insisivus lateralis, dan insisivus sentralis yang direndam dalam larutan saline 0,5%. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan metode penelitian, metode pengambilan sampel, lamanya perendaman alat ortodonti, jumlah sampel yang kecil. Sebaiknya jumlah sampel diperbesar dan disarankan dilakukan penelitian longitudinal untuk melihat pola pelepasan ion pada interval waktu yang berbeda.

Lemahnya material braket akibat korosi dan pelepasan ion dapat mengakibatkan lepasnya sayap braket dari basisnya.

4,9,24,25

(12)

ligasi, dan interaksi alat ortodonti dengan lingkungan oral. Korosi yang terjadi pada permukaan metal dapat meningkatkan friksi pada dua permukaan metal yang berbeda. Hal ini menyebabkan pergerakan gigi menjadi lambat dan adanya rasa tidak nyaman pada pasien, sehingga perawatan yang optimal tidak dapat dicapai.

Disamping kerugian yang disebabkannya, ion nikel memiliki peranan penting pada ketahanan korosi stainless steel. Jadi sangat tidak mungkin untuk menghilangkan komponen ini.

7,24

2.4 Efek Obat Kumur pada Perawatan Ortodonti

1,7,24

Komponen-komponen perawatan ortodonti seperti braket, wire, ligatur, dan cincin dapat menyebabkan akumulasi plak. Hal ini dapat menjadi masalah bagi pasien dengan alat ortodonti cekat jika tidak segera diatasi. Kurang baiknya kebersihan rongga mulut pada pasien dengan alat ortodonti cekat dapat menyebabkan demineralisasi atau lesi karies.

Selama perawatan ortodonti, ortodontis juga bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pada alat ortodonti terjadi akumulasi lokus bakteri yang berbeda yang menyebabkan terbentuknya biofilm. Stainless steel memiliki tegangan permukaan kritis tertinggi sehingga menjadikan permukaannya memiliki kapasitas tahanan plak yang lebih tinggi dibanding metal lain. Braket metal diketahui secara spesifik dapat mengubah lingkungan oral seperti mengurangi tingkat pH dan afinitas bakteri ke permukaan metal oleh karena reaksi elektrostatik, dan juga dapat meningkatkan akumulasi plak dan kolonisasi S.mutans. Pemasangan wire ortodonti cenderung menciptakan permukaan baru bagi pembentukan plak sehingga terjadi

(13)

peningkatan jumlah mikroorganisme di rongga mulut. Wire dan cincin ortodonti telah lama diduga meningkatkan akumulasi plak dan level streptokokus serta laktobasilus. Sedangkan kolonisasi yeast dari Candida albicans banyak ditemui pada semen, enamel, dan dentin. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi para ortodontis.

Investigasi klinis mengungkapkan adanya penyebaran bakterimia setelah prosedur ortodonti. McLaughlin dkk melaporkan sekitar 10 % prevalensi bakterimia terjadi setelah prosedur pemasangan cincin. Sedangkan Erverdi dkk menemukan bahwa 7,5 % prevalensi bakterimia terjadi setelah pemasangan cincin, dan 6,6 % prevalensi bakterimia terjadi setelah pelepasan cincin. Dickeman dkk (1962) meneliti tentang perbedaan jumlah mikroorganisme pada pasien dengan perawatan ortodonti dan pada pasien tanpa perawatan ortodonti, dan menemukan adanya peningkatan jumlah streptokokus dan laktobasilus pada pasien yang menggunakan alat ortodonti

stainless steel. Penggunaan obat kumur segera setelah prosedur dental dapat menurunkan insidensi dan keparahan bakterimia.

8,29-31

2.4.1 Obat kumur Chlorhexidine

8,29-31

Obat kumur sangat bermanfaat mengurangi plak mikroba. Salah satu obat kumur yang efektif melawan plak mikroba adalah chlorhexidine. Chlorhexidine gluconate adalah bis-guanida kationik dengan mekanisme aksi bakterisidal langsung dan singkat, diikuti dengan aksi bakteriostatik yang panjang yang bergantung pada absorbsi antiseptik oleh lapisan pelikel permukaan gigi. Chlorhexidine memiliki rumus kimia C22H30Cl2N10 (Gambar 2.3). Obat kumur chlorhexidine komersial

(14)

internasional. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat kumur chlorhexidine

dengan konsentrasi 0,1%-0,2% efektif terhadap gingivitis. Penelitian menunjukkan bahwa berkumur dengan chlorhexidine 0,2% dua kali sehari sebanyak 10 ml dapat menurunkan skor plak sebesar 85% dan skor perdarahan sebesar 77% pada hari ke-7 (Prijantojo dan Lelyati 1992 cit. Rosmelita 2003), sedangkan penelitian Alberto dkk, (1991) menemukan bahwa chlorhexidine 0,12% efektif menekan jumlah bakteri aerob dan anaerob fakultatif dalam mulut sampai 97%. Najafi (2012) melaporkan bahwa chlorhexidine 0,2% lebih baik dalam mengurangi indeks perdarahan gingiva

dibanding chlorhexidine 0,12%.

Chlorhexidine dapat berinteraksi dengan fluoride dan sodium lauryl sulfat

(deterjen yang ditemukan pada pasta gigi) sehingga obat kumur ini baiknya digunakan 0,5-2 jam setelah menyikat gigi. Chlorhexidine sangat efektif mengurangi plak dental dan mikroorganisme patogenik termasuk Streptococcus mutans. Saat ini,

chlorhexidine digunakan sebagai gold standard sehingga sebagian besar penelitian menggunakan chlorhexidine sebagai kontrol positif untuk membandingkan efektivitas produk lain.

7,18,29-37

7,8,29-34

(15)

Kapoor dkk (1979) meneliti tentang efek konsentrasi chlorhexidine digluconate

terhadap plak bakteri pada anak-anak, dimana disimpulkan bahwa aktivitas antiplak bergantung pada konsentrasi baik pada laki-laki maupun perempuan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa chlorhexidine gluconate dapat direkomendasikan sebagai inhibitor plak kimia dan dapat mengeliminasi plak secara efektif dengan cara menggunakan 10 ml larutan obat kumur chlorhexidine dengan konsentrasi 0,2 % selama 15 detik. Anderson dkk (1997) melakukan penelitian tentang efek klinis obat kumur chlorhexidine pada 32 pelajar kelompok usia 11-15 tahun yang sedang dalam perawatan ortodonti. Peneliti menyimpulkan bahwa obat kumur chlorhexidine

bermanfaat untuk mempertahankan oral hygiene yang baik. Manfaatnya antara lain mengurangi indeks plak, indeks gingival, dan indeks retensi pada pasien yang menggunakan alat ortodonti.

Disamping kelebihan yang dimilikinya, chlorhexidine memiliki beberapa efek samping seperti diskolorisasi gigi geligi, rasa yang tidak enak, dryness, dan sensasi terbakar di rongga mulut, sehingga beberapa pasien menolak untuk menggunakan obat kumur chlorhexidine. Dosis toksik chlorhexidine secara oral yaitu 1800 mg/kg sedangkan secara intravena 22 mg/kg. Penelitian Danaei dkk (2011) menunjukkan bahwa obat kumur chlorhexidine (chlorhexidine digluconate 0,2 %) menyebabkan pelepasan ion nikel paling tinggi dibandingkan dengan obat kumur Oral-B dan

Persica. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa

chlorhexidine memiliki kemampuan irigasi atau kemampuan korosif, sehingga bila berkontak dengan metal dapat terjadi pelepasan ion.

29,33,34

(16)

2.4.2 Obat kumur Fluoride

Fluoride telah digunakan secara luas untuk mencegah terjadinya karies gigi.

Fluoride tersedia dalam berbagai macam sediaan seperti pasta gigi, obat kumur, dan gel topikal. Salah satu sediaan yang sering diresepkan oleh ortodontis pada pasien dalam masa perawatan adalah obat kumur yang mengandung sodium fluoride. Obat kumur fluoride terdaftar dalam FDA (Food and Drug Administration) dan CDT (Council Dental Therapeutics) pada tahun 1974 dengan konsentrasi sodium fluoride

yang bervariasi, yaitu 0.2% untuk obat kumur yang diresepkan, serta 0.05% dan 0.02% untuk obat kumur komersil. Obat kumur fluoride 0.2% diresepkan untuk pemakaian seminggu sekali, sedangkan obat kumur fluoride 0.05% dan 0.02% dapat digunakan setiap hari. Marinho dkk (2003) menemukan bahwa efektivitas anti karies obat kumur fluoride 0.2% yang diaplikasikan seminggu sekali, sama dengan obat kumur fluoride 0.05% yang diaplikasikan setiap hari. Penelitian tersebut juga menyebutkan pemakaian obat kumur fluoride 0.05% lebih disarankan dikarenakan pasien lebih sering lupa menggunakan obat kumur 0.2% yang hanya diresepkan seminggu sekali. Obat kumur 0.2% lebih sering diaplikasikan pada program komunitas gigi seperti program pencegahan karies di sekolah. Yu dkk (2004) menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas antara obat kumur fluoride

0.05% dan 0.02%. Di Indonesia sendiri, obat kumur fluoride komersil rata-rata mengandung sodium fluoride 0.02%.

Substansi fluoride dalam obat kumur diperlukan untuk mencegah terjadinya karies pada pasien dalam masa perawatan ortodonti. Fluoride berperan dengan cara remineralisasi dengan fluoroapatit dan fluoro-hidroksiapatit yang meningkatkan

(17)

ketahanan enamel terhadap suasana asam sehingga dapat mencegah terjadinya karies.2,5,14,39

Karies dental terjadi oleh karena adanya peran bakteri kariogenik yaitu streptokokus dan laktobasilus. Bakteri ini melakukan metabolisme terhadap karbohidrat yang dapat difermentasi, sehingga menghasilkan asam yang mampu melakukan demineralisasi jaringan keras gigi pada pH dibawah 5,5. Selama serangan asam ini, sub-permukaan saliva memiliki pH 3,8-4,8 disertai hilangnya ion kalsium dan fosfat dari kristal-kristal jaringan keras gigi. Kemudian pH kembali normal setelah 30 menit terjadinya serangan asam dimana terjadi remineralisasi dengan

calcium phospate pada sisi demineralisasi. Adanya episode berulang dari demineralisasi (tanpa adanya remineralisasi), menyebabkan terjadinya white spot

(Gambar 2.4). Pada pasien ortodonti, white spot ini dapat ditemukan disekitar braket dan berkaitan dengan dekalsifikasi ortodonti.

2,5,14,39

(18)

Fluoride topikal sebagai agen anti karies bekerja dengan cara mencegah terjadinya demineralisasi dan memicu terjadinya remineralisasi. Pemakaian fluoride

topikal konsentrasi tinggi menyebabkan terbentuknya globul alkali-soluable calcium fluoride pada permukaan gigi yang jumlahnya dipengaruhi oleh aplikasi dan konsentrasi penggunaan fluoride. Globul berperan sebagai reservoir fluoride, sedangkan fosfat pada globul ini bertanggung jawab menstabilkan pH agar tetap normal. Ketika serangan asam terjadi, globul ini akan pecah dan melepaskan kalsium, fosfat, dan fluoride yang menyebabkan konsentrasi ion-ion ini lebih tinggi dipermukaan gigi dibandingkan di dalam gigi. Ion-ion ini kemudian berpindah ke sisi demineralisasi dan me-remineralisasi defek yang terjadi dan juga membentuk hidroksiapatit terfluoridasi (Gambar 2.5). Pada saat yang sama terjadi pembentukan asam hydrofluoric yang berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri, akan tetapi asam ini juga dapat menyebabkan degradasi aloi-aloi metal dengan cara menghancurkan lapisan oksida yang melindungi aloi. Reaksi degradasi lapisan pasif aloi stainless steel ini dijelaskan dalam persamaan : CrO2 + 6HF 2CrF3 + 3H2O.

Saat pertama kali lapisan pasif terdegradasi, stainless steel cenderung mengabsorpsi hidrogen yang menyebabkan kerapuhan (embrittlement) dan stress corrosion cracking. Stress corrosion cracking pada stainless steel oleh karena adanya larutan

(19)

Gambar 2.5. Absorpsi fluoride dan kontrol karies.

Pada pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti, karies rentan terjadi. Efek antikaries dari fluoride ini, dapat membantu mencegah terjadinya karies pada pasien ortodonti. Akan tetapi, adanya efek fluoride terhadap korosi metal alat ortodonti perlu menjadi pertimbangan peresepan jenis obat kumur yang mengandung

fluoride.

39

2.4.3 Obat kumur ekstrak daun sirih hijau (Piper betle Linn)

13,33

Indonesia memiliki jenis tanaman obat mencapai lebih dari 1000 jenis, salah satunya yaitu daun sirih hijau (Piper betle Linn). Daun sirih dapat digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit diantaranya obat sakit gigi dan mulut, sariawan, abses rongga mulut, luka bekas cabut gigi, penghilang bau mulut, batuk dan serak, hidung berdarah, keputihan, wasir, tetes mata, gangguan lambung, gatal-gatal, kepala pusing, jantung berdebar, dan trakoma.

Daun sirih hijau diketahui mengandung 4,2 % minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari kavikol, kavibetol, paraalyphenol, isomer eugenol

(20)

allypyrocatechine, Cineol methil eugenol, Caryophyllen, estragol, dan terpenin. Kavikol merupakan turunan dari fenol yang mempunyai daya anti bakteri lima kali lipat dari fenol biasa. Kavikol telah diteliti sebagai agen anti mikroba dan dapat diaplikasikan, salah satunya sebagai agenanti mikroba pada produk kesehatan rongga mulut. Cara kerjanya yaitu dengan mendenaturasi protein bakteri tersebut sehingga aktivitas biologis bakteri menjadi rusak.

Salah satu bakteri rongga mulut yang paling sering menyebabkan karies adalah

Streptococcus mutans. Streptococcus mutans mampu mesintesa insoluble glucan

sehingga membentuk plak dan mengolonisasi permukaan gigi secara agresif. Perluasan pembentukan water-insoluble glucan oleh reaksi antara sukrosa dan enzim

glucocyltransferase (GTF) yang dihasilkan oleh bakteria, dan kondisi asam sebagai hasil dari reaksi tersebut, akan menyebabkan terjadinya karies. Hal ini membuat

Streptococcus mutans menjadi bakteri paling kuat yang dihubungkan sebagai bakteri penyebab karies. Ekstrak daun sirih hijau (Piper betle Linn) mendenaturasi protein dari bakteri Streptococcus mutans, sehingga menghambat pembentukan enzim GTF yang akan mempengaruhi pembentukan glukan dan pada akhirnya tercipta lingkungan yang tidak kondusif bagi bakteri tersebut.

Setyavardana (2004) melaporkan bahwa berkumur dengan air rebusan daun sirih 25%, 50%, dan 75% dapat menurunkan indeks plak. Penelitian Widowati (1994) melaporkan bahwa rebusan air sirih 25 % berfungsi sebagai antiseptik. Penelitian Soepartinah melaporkan bahwa air sirih 25% yang diolah dengan cara direbus menyebabkan tidak tumbuhnya bakteri.

41

(21)

Afrilla Mita (2011) meneliti efektivitas ekstrak daun sirih hijau terhadap bakteri

Streptococcus mutans pada 20 konsentrasi yaitu 20%, 10%, 9%, 8%, 7%, 6%, 5%, 4%, 3%, 2%, 1%, 0.9%, 0.8%, 0.7%, 0.6%, 0.5%, 0.4%, 0.3%, 0.2%, 0.1%. Ekstrak daun sirih hijau didapatkan dengan metode ekstraksi perkolasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa KHM (Kadar Hambat Minimum) ekstrak daun hijau adalah pada konsentrasi 1%. Kadar hambat minimum merupakan suatu konsentrasi minimum yang masih memiliki daya antibakteri terhadap Streptococcus mutans, dimana konsentrasi dibawah konsentrasi minimum tidak menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri sama sekali.

Penelitian Padmanathan (2016) melaporkan bahwa obat kumur ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) 3% yang diekstraksi dengan cara perkolasi, memiliki efektivitas untuk mencegah akumulasi plak. Ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) ini juga memiliki KHM sebesar 1% sama seperti ekstrak daun sirih hijau (Piper betle Linn).

43

44

(22)

Plak dental dapat dikurangi dengan aplikasi oral hygiene yang baik seperti menyikat gigi, flossing, dan aplikasi obat kumur. Aplikasi obat kumur setelah sikat gigi dapat mengontrol jumlah bakteri oral dengan cara penetrasi biofilm dari plak. Obat kumur ekstrak daun sirih bekerja dengan cara menghambat produksi asam dari bakteri di rongga mulut.

2.5 Spektrofotometri

41,45

Instrumentasi adalah alat-alat dan piranti yang dipakai untuk pengukuran dan pengendalian dalam suatu sistem yang lebih besar dan lebih kompleks. Secara umum instrumentasi mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat pengukuran, sebagai alat analisa, dan sebagai alat kendali. Salah satu alat yang digunakan untuk penelitian saat ini adalah spektrofotometri.

(23)

menggunakan standar yang berbeda-beda dalam jenis tergantung pada panjang gelombang penentuan fotometrik.

Contoh dari sebuah percobaan dimana spektrofotometri digunakan adalah penentuan konstanta kesetimbangan solusi. Reaksi kimia tertentu dalam solusi mungkin terjadi dalam arah maju dan mundur dimana reaktan dan produk bentuk terurai menjadi reaktan. Pada titik tertentu, reaksi kimia ini akan mencapai titik keseimbangan disebut titik ekuilibrium. Dalam rangka untuk menentukan masing-masing konsentrasi reaktan dan produk pada titik ini, transmitansi cahaya dari solusi dapat diuji dengan menggunakan spektrofotometri. Jumlah cahaya yang melewati solusinya adalah indikasi dari konsentrasi bahan kimia tertentu yang tidak memungkinkan cahaya untuk melewati.

46,47

Penggunaan spektrofotometri mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti fisika, ilmu material, kimia, biokimia, dan biologi molekular. Alat ini digunakan pada banyak industri termasuk semikonduktor, laser dan manufaktur optik, percetakan dan pemeriksaan forensik, juga dalam laboratorium untuk studi zat kimia. Spektrofotometri mampu menentukan jenis dan jumlah suatu zat yang terdapat dalam target melalui perhitungan panjang gelombang yang diamati. Hal ini bergantung pada kontrol atau kalibrasi.

46,47

Kelebihan spektrofotometri sebagai alat analisa kuantitatif (penentuan kadar suatu zat), antara lain :

46,47

(24)

larutan tidak berwarna maka harus direaksikan terlebih dahulu dengan reagen-reagen tertentu atau reaksi kimia tertentu.

b) Mempunyai kepekaan yang tinggi. Dimana dapat dideteksi suatu senyawa dengan konsentrasi

c) Sangat selektif, dapat menentukan suatu komponen tanpa pemisahan d) Pengerjaannya mudah dan cepat, bisa mendeteksi 5-10 cuplikan / menit 2.5.1 Prinsip dasar kerja Spektrometri

Prinsip dasar kerja dari suatu spektrofotometri adalah berdasarkan hukum Beer-Lambert. Hukum Beer-Lambert menyatakan bahwa intensitas cahaya dari cahaya monokromatik menurun secara eksponensial apabila konsentrasi dari medium yang terabsorbsi meningkat. Dimana semakin banyak substansi yang terlarut, maka semakin tinggi absorpsi dan semakin rendah transmitan. Hukum ini di jelaskan pada gambar 2.6.

Gambar 2.7. Energi cahaya dengan intensitas ‘Io’ melewati sampel dengan konsentrasi ‘C’. Sebagian energi cahaya terabsorbsi oleh sampel. Jumlah intensitas energi cahaya yang keluar dari sampel dinyatakan dengan ‘I’.

Keterangan gambar diatas meliputi : 47

•Intensitas cahaya yang masuk ke sampel = Io

•Intensitas cahaya yang keluar dari sampel = I

(25)

•Panjang lintasan cahaya dalam gelas sampel = L

•Konstanta untuk larutan dan panjang gelombang tertentu = K.

Dari hukum Beer-Lambert dapat dirumuskan : •Absorbansi cahaya (A) = log (Io/I) = - log T= KCL

•Transmitan cahaya (T) = I/Io = 10

Transmitan adalah rasio dari jumlah cahaya yang ditransmisikan terhadap jumlah cahaya inisial yang terpapar pada permukaan. Sedangkan absorbansi merupakan logaritma negatif dari transmiten.

-KCL

Gambar 2.8. Hubungan antara (a) Absorbansi dan (b) Transmitan dengan konsentrasi larutan sampel. Semakin tinggi konsentrasi (C), (a) absorbpsi (A) semakin besar; (b)Transmitan semakin rendah.47

2.5.2 Cara kerja Spektrofotometri

1.

Spektrofotometri adalah suatu metoda analisa yang didasarkan pada penyarapan sinar oleh larutan. Alat yang dapat melakukan hal ini harus mempunyai lima komponen dasar yaitu :

2.

Sumber cahaya,

Prisma atau kisi difraksi,

(26)

3. 4.

Celah masuk,

5.

Detektor (tabung foto elektris), dan Indikator.

Gambar 2.9. Susunan alat spektrofotometri.47

a.

Bila seberkas sinar polikromatis melewati kisi difraksi maka sinar tersebut akan diuraikan menjadi sinar monokromatis sesuai dengan warna dan panjang gelombangnya. Warna yang kita inginkan dapat kita peroleh dengan cara menggeser atau merubah posisi kisi difraksi. Sinar monokromatis tadi kemudian melewati celah (exit slit) dan terus mengenai phototube, dimana pada phototube ini akan dihasilkan arus listrik yang besarnya sebanding dengan jumlah foton sinar monokromatis yang mengenainya. Bila suatu meter digital dihubungkan pada alat fotometer tadi maka arus yang dihasilkan tersebut dapat kita ukur. Skala meter tadi umumnya dikalibrasi dengan dua cara, yaitu :

b.

% transmitan, dengan rentang skala dari 0% sampai 100%.

(27)

Gambar 2.10. Skema alat spektrofotometer.

Alat ini sudah banyak digunakan sebagai alat penelitian dalam bidang kesehatan pada umumnya dan kedokteran gigi pada khususnya.

40

2.5.3 Atomic Absorbtion Spectrophotometry (AAS)

46,47

Spektrofotometri serapan atom pertama kali digunakan pada tahun 1955 oleh Walsh. AAS digunakan untuk analisa kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit (ultratrace) (Gambar 2.11). Cara analisa ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak bergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk kelumit logam karena mempunyai kepekaan tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit. AAS didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya.

Kerja AAS berdasarkan prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Sebagai contoh, Natrium menyerap pada 589 nm, Uranium pada 358.5 nm, sementara

(28)

Kalium menyerap pada panjang gelombang 766.5 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Dengan menyerap suatu energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom dalam keadaan dasar dapat ditingkatkan energinya ke tingkat eksitasi. Misalkan, suatu unsur Na mempunyai konfigurasi elektron 1s2, 2s2, 2p6, dan 3s1. Tingkat dasar untuk valensi 3s1 ini dapat mengalami eksitasi ke tingkat 3p dengan energi 2.2 eV atau ke tingkat 4p dengan energi 3.6 eV yang masing-masing bersesuaian dengan panjang gelombang 589.3 nm dan 330.2 nm. Kita dapat memilih diantara panjang gelombang ini yang dapat menghasilkan garis spektrum yang tajam dan dengan intensitas yang maksimal. Garis inilah yang dikenal dengan garis resonansi.48

(29)

2.5.3.1 Instrumentasi AAS

Sistem peralatan spektrofotometer dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 2.12)48,49:

Gambar 2.12. Sistem peralatan AAS.

1. Sumber sinar

48

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas pancaran lampu yang lebih rendah. Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalanannya menuju anoda akan berbenturan dengan gas-gas mulia yang diisikan tadi.

(30)

pula. Sebagaimana disebutkan di atas, pada katoda terdapat unsur-unsur yang sesuai dengan unsur yang dianalisa. Unsur-unsur ini akan berbenturan oleh ion-ion positif gas mulia. Akibat benturan ini, unsur-unsur akan terlempar ke luar dari permukaan katoda. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi elektron-elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisa.

2. Tempat sampel

Dalam analisa dengan AAS, sampel yang akan dianalisa harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom yaitu: dengan nyala (flame) dan dengan tanpa nyala (flameless).

3. Monokromator

Pada AAS, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisa. Disamping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut chopper.

4. Detektor

(31)

5. Readout

Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

2.5.3.2 Analisa kualitatif dengan AAS

Penggunaan AAS sebenarnya lebih digunakan untuk analisa kuantitatif daripada analisa kualitatif. Sumber radiasi kontinyu dan monokromator narrow band-pass

digunakan untuk AAS kualitatif. Panjang gelombang dipindai melalui rentang yang diinginkan dan spektrum dicatat. Panjang gelombang garis absorbtif dibandingkan dengan nilai elemen yang telah diketahui. Atomic emissive spectrometry lebih berguna dalam analisa kualitatif daripada AAS.

2.5.3.3 Analisa kuantitatif dengan AAS

50

Untuk keperluan analisa kuantitatif dengan AAS, maka sampel harus dalam bentuk larutan. Untuk menyiapkan larutan, sampel harus diperlakukan sedemikian rupa yang pelaksanaannya tergantung dari macam dan jenis sampel. Penting untuk diingat adalah bahwa larutan yang akan dianalisa haruslah sangat encer. Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel, yaitu :

a) Langsung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai. b) Sampel dilarutkan dalam suatu asam.

(32)

Metode pelarutan apapun yang akan dipilih untuk dilakukan analisa dengan

AAS, yang terpenting adalah bahwa larutan yang dihasilkan harus: jernih, stabil, dan tidak mengganggu zat-zat yang akan dianalisa.

Ada beberapa metode kuantifikasi hasil analisa dengan metode AAS yaitu dengan kurva kalibrasi; dengan perbandingan langsung; dengan menggunakan dua baku; dan dengan menggunakan metode standar adisi (metode penambahan baku).

48

2.5.3.4 Kuantifikasi dengan kurva baku (kurva kalibrasi)

AAS bukan merupakan metode analisa yang absolut. Suatu perbandingan dengan baku merupakan metode yang umum dalam melakukan metode analisa kuantitatif. Kurva kalibrasi dalam AAS dibuat dengan memasukkan sejumlah tertentu konsentrasi larutan dalam sistem dilanjutkan dengan pengukuran.

Dalam prakteknya disarankan untuk membuat paling tidak 4 baku dan 1 blanko untuk membuat kurva kalibrasi linier yang menyatakan hubungan antara absorbansi (A) dengan konsentrasi analit untuk melakukan analisa. Disarankan absorbansi sampel tidak melebihi dari absorbansi baku tertinggi dan tidak kurang dari absorbansi baku terendah. Dengan kata lain, absorbansi sampel harus terletak pada kisaran absorbansi kurva kalibrasi. Jika absorbansi terletak diluar kisaran absorbansi kurva kalibrasi, maka diperlukan pengenceran atau pemekatan. Ekstrapolasi atau pembacaan absorbansi di luar kisaran absorbansi baku tidak direkomendasikan karena kurangnya linieritas.

48

2.6 Landasan Teori

48

Perawatan ortodonti cekat umumnya menggunakan braket dengan bahan

(33)

stainless steel umumnya terbuat dari stainless steel tipe AISI 304 atau 316L. Stainless steel memiliki beberapa kelebihan yaitu harganya tidak mahal, kekuatan lebih tinggi, modulus elastisitas yang lebih besar, mudah dibentuk, dan memiliki ketahanan korosi yang tinggi di dalam mulut. Oleh karena itu, stainless steel digunakan secara luas pada alat ortodonti cekat.

Perawatan ortodonti cekat umumnya berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Selama rentang waktu tersebut, braket stainless steel di lingkungan rongga mulut terpapar substansi-substansi yang berasal dari luar yang dapat menyebabkan terjadinya pelepasan ion dan korosi pada braket stainless steel.

Korosi elektrokimia dapat terjadi di dalam saliva karena saliva merupakan elektrolit yang lemah. Korosi dan pelepasan ion alat ortodonti pada lingkungan rongga mulut menjadi perhatian klinisi saat ini dimana perhatian ini mencakup dua hal. Pertama saat terjadi korosi dan pelepasan ion, produk korosi akan diabsorpsi oleh tubuh dan dapat menyebabkan efek lokal dan sistemik. Kedua, lepasnya ion dari metal tersebut dapat memberikan efek pada physical properties stainless steel dan kemampuan klinis alat ortodonti. Salah satu ion yang paling banyak lepas adalah nikel. Nikel merupakan salah satu komponen yang paling sering menyebabkan dermatitis kontak dan mengakibatkan reaksi alergi lebih banyak dibandingkan metal-metal lain bila digabungkan. semakin lama pasien terpapar ion nikel, semakin tinggi kemungkinan terjadinya reaksi alergi.

Karies merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien ortodonti. Karies dental terjadi oleh karena adanya peran bakteri kariogenik yaitu streptococcus

(34)

streptococcus dan lactobasilus pada pasien yang menggunakan alat ortodonti

stainless steel. Stainless steel memiliki tegangan permukaan kritis tertinggi sehingga menjadikan permukaannya memiliki kapasitas tahanan plak yang lebih tinggi dibanding metal lain. Penggunaan obat kumur segera setelah prosedur dental dapat menurunkan insidensi dan keparahan bakterimia.

Salah satu obat kumur yang efektif melawan plak mikroba adalah

chlorhexidine. Obat kumur chlorhexidine bermanfaat untuk mempertahankan oral hygiene yang baik. Manfaatnya antara lain mengurangi indeks plak, indeks gingival, dan indeks retensi pada pasien yang menggunakan alat ortodonti. Akan tetapi,

chlorhexidine memiliki kemampuan irigasi atau kemampuan korosif, sehingga bila berkontak dengan metal dapat terjadi korosi dan pelepasan ion.

Fluoride telah digunakan secara luas untuk mencegah terjadinya karies gigi.

Fluoride berperan dengan cara remineralisasi dengan fluoroapatit dan fluoro-hidroksiapatit yang meningkatkan ketahanan enamel terhadap suasana asam sehingga dapat mencegah terjadinya karies. Akan tetapi, produk yang mengandung fluoride

seperti pada obat kumur dapat meningkatkan terjadinya korosi. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa pada lingkungan asam yang terfluoridasi, terjadi peningkatan korosi pada beberapa jenis metal.

(35)

sehingga bisa menjadi alternatif dalam pemilihan obat kumur untuk mencegah terjadinya karies.

(36)
(37)

2.8 Kerangka Konsep

Braket Ortodonti Braket Stainless Steel

Direndam dalam larutan

Obat Kumur

Fluoride Artifisial

saliva

Pelepasan Ion Nikel

AAS

Obat Kumur

Chlorhexidine

(38)

2.9 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan jumlah ion nikel yang dilepaskan oleh braket stainless steel

Gambar

Gambar 2.1. Korosi pada braket metal.23
Gambar 2.2. Tipe-tipe korosi.24
Gambar 2.3. Rumus kimia Chlorhexidine.32
Gambar  2.4. Proses karies : demineralisasi dan remineralisasi.39
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ion nikel yang terlepas dari braket ortodonti antara tiga macam braket standar Edgewise stainless steel yang di rendam

Analisis Pelepasan Ion Nikel dan Kromium pada Kawat Ortodontik Stainless Steel yang Direndam dalam Minuman Berkarbonasi : Rey Kristianingsih, 101610101007; 2013:

4.8 Analisis Post Hoc untuk mengetahui perbedaan waktu pelepasan ion nikel antara braket SS bernikel dan braket SS nikel-free pada perendaman saliva buatan....

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristianingsih (2014) mengenai pelepasan ion Ni dan Cr kawat ortodontik staInless steel yang direndam dalam minum berkarbonasi

Penulis terdorong untuk melakukan penelitian mengenai besaran pelepasan ion nikel dari braket metal ortodonti pada perendaman dalam saliva buatan serta besarnya

Hasil pengukuran pelepasan ion kromium dalam air laut setelah perendaman selama 48 jam menunjukkan terdapat pelepasan yang bervariasi pada masing- masing sampel braket,

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui pula bahwa pelepasan ion Ni lebih banyak dibandingkan dengan ion Cr, hal ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian yang

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristianingsih (2014) mengenai pelepasan ion Ni dan Cr kawat ortodontik staInless steel yang direndam dalam minum berkarbonasi