BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan diseluruh dunia. Oleh karena itu, terjadi pergeseran paradigma oftalmologi dari rehabilitasi penglihatan menjadi optimalisasi fungsi penglihatan, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan.1,2
Di Indonesia, menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengenai prevalensi katarak tahun 2013 yaitu sebesar 1.8%. sedangkan di Sumatera Utara didapati 1.4%. Angka prevalensi katarak yang tinggi ini harus ditanggulangi dengan baik.1
Bedah katarak yang terbanyak dilakukan di Indonesia saat ini adalah ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK) beserta lensa tanam intraokular Bedah katarak konvensional dengan insisi 9-10 mm membutuhkan proses penyembuhan luka yang lebih panjang dan menginduksi astigmatisma sehingga lama stabilisasi visus optimal. Atas dasar ini, fakoemulsifikasi dapat memberikan keunggulan karena dapat mengeluarkan katarak dengan sayatan yang lebih kecil, yakni sekitar 3.0 mm.2,3,4 Luka insisi yang kecil meminimalisasi astigmatisma dan perubahan kurvatura kornea setelah operasi, sehingga penyembuhan dan stabilisasi optikal segera tercapai.5
Komponen topografi kornea sangat penting terhadap fungsi optik, yaitu bentuk, kurvatura, dan daya refraksi. Bentuk dan kurvatura merupakan komponen geometri kornea, dan daya refraksi sebagai komponen fungsional. Daya refraksi merupakan parameter utama kornea sentral, satuannya dioptri, dan dianggap sebagai unit pemeriksaan dasar.6
Tajam penglihatan setelah pembedahan secara signifikan dipengaruhi oleh riwayat astigmatisma yang sudah ada sebelumnya dan induksi oleh tehnik pembedahan itu sendiri. Biasanya pada kornea dewasa muda meridian vertikal lebih steep, disebutastigmatisme with the rule (AWR), silindris negatif horizontal. Sesuai pertambahan usia, terjadi pergeseran menjadi
astigmatisme against the rule (ATR), silindris positif horizontal. Pasien katarak grup usia tua paling banyak dijumpai tipe astigmatisma ATR.5
Induksi astigmatisma paska operasi sebagian besar adalah
with the rule astigmatisme (AWR), yaitu astigmatisma akibat kelengkungan kornea pada aksis vertikal lebih kuat (steep) dibandingkan aksis yang horizontal. Tipe astigmatisma ini lebih disukai oleh pasien dibandingkan against the rule astigmatisme(ATR). Pada AWR, benda atau garis yang vertikal (900) akan memberikan bayangan yang lebih jelas dibandingkan benda atau garis yang horizontal (1800), dimana komposisi huruf cetak sehari-hari lebih banyak memiliki komponen yang vertikal. Dengan demikian, penderita ATR akan lebih terganggu dibandingkan WTR.2
dilakukan operasi rataratanya yaitu 0.83 dioptri pada AWR dan -0.76 dioptri pada ATR. Setelah operasi didapati -1.10 dioptri pada kedua grup AWR dan ATR. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan astigmatisma, dimana AWR 0.27 dioptri dan ATR 0.34 dioptri.5
Penelitian mengenai efek lokasi insisi pada fakoemulsifikasi dengan riwayat astigmatisma didapati bahwa insisi meridian kornea tersebut efektif untuk mengurangi riwayat astigmatisma. Nilai astigmatisma sebelum operasi 1.90±0.49 dioptri dengan kisaran 1.20 hingga 3.25 D. Astigmatisma menurun pada 92.92% mata, menetap 3.53%, dan meningkat 3.53%. Penurunan nilai astigmatisma sebesar 0.54±0.27 dioptri, perbedaan ini signifikan secara statistik.7
Penelitian mengenai perbandingan insisi clear cornea
dengan insisi pada steep meridian pada fakoemulsifikasi menunjukkan rata-rata astigmatisma menurun sebanyak 1.31±0.59 dioptri pada insisi clear cornea dan 1.19±0.64 dioptri pada insisi
steep meridien.8
bahwa fakoemulsifikasi merubah kurvatura kornea dan induksi astigmatisma.6
Insisi clear cornea 3.2 mm dari superotemporal dianggap paling stabil dan menyebabkan peningkatan astigmatisma paska operatif kurang dari 0.50 D pada penelitian jangka panjang.5,9
I. 2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu apakah ada perbedaan keratometri sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi penderita katarak senilis?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan keratometri sebelum dan setelah fakoemulsifikasi penderita katarak senilis.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mendapatkan data keratometri pasien yang dilakukan ekstraksi katarak menggunakan tehnik fakoemulsifikasi. 2. Untuk mengetahui distribusi demografi penderita katarak
3. Untuk pendekatan penilaian objektif status refraksi setelah dilaksanakan ekstraksi katarak dengan fakoemulsifikasi berdasarkan nilai keratometri.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
Meningkatkan usaha tindakan pembedahan katarak untuk
mencapai penglihatan yang optimal.
Menambah wawasan dan pengalaman bagi teman sejawat
mengenai tehnik operasi katarak terkait hubungan antara induksi astigmatisma oleh tehnik insisi yang dilakukan.
Sebagai bahan edukasi kepada penderita dan keluarga dalam
rangka optimalisasi penglihatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Data dan informasi tentang keratometri digunakan sebagai
acuan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
1.5 Hipotesa