• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Depresipada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Depresipada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Pengertian

Diabetes melitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi produksi insulin oleh pankreas atau ketidakefektifan produksi insulin baik karena faktor keturunan atau didapat (acquired). Defisiensi ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (KGD), yang akhirnya membuat kerusakan banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf (WHO, 2013b)

Defek sekresi atau aksi atau sekresi dan aksi insulin pada penderita DM mengakibatkan terjadinya hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2004).

2.1.2 Klasifikasi

A. Diabetes Melitus Tipe I

1. Diabetes yang Dimediasi Sistem Imun

(2)

2. Diabetes Idiopatik

Diabetes Idiopatik merupakan beberapa bentuk dari DM tipe 1 yang tidak diketahui etiologinya. Beberapa pasien diabetes idiopatik mengalami insulinopenia (kekurangan insulin) permanen dan cenderung mengalami ketoasidosis, tapi tidak dijumpai bukti adanya mekanisme autoimunitas. Meskipun jarang pasien DM tipe 1 yang memenuhi kategori ini, keturunan Afrika dan Asia paling banyak menderita DM jenis ini. Individu dengan diabetes idiopatik mengalami episodik ketoasidosis dan menunjukkan derajat bervariasi defisiensi insulin antar episode. DM jenis ini sangat erat kaitannya dengan faktor keturunan, kurangnya bukti imunologi autoimunitas sel β, dan tidak berhubungan dengan HLA (ADA, 2004).

B. Diabetes Melitus Tipe 2

(3)

akan berkurang dengan reduksi berat badan dan/atau terapi farmakologis hiperglikemia, tapi jarang kembali ke keadaan normal (ADA, 2004).

C. Diabetes Melitus Gestasional

DM Gestasional didefinisikan sebagai setiap derajat intoleransi glukosa dengan onset atau dikenali pertama kali saat kehamilan. Definisi ini dipakai tanpa melihat apakah insulin atau hanya modifikasi diet yang diberikan selama pengobatan atau apakah kondisi menetap setelah kehamilan (ADA, 2004).

D. Tipe spesifik lain dari Diabetes Melitus 1. Defek genetik fungsi sel β

a. Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3) b. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) c. Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)

d. Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4) e. Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

f. Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria g. Lainnya.

2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, I eprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya.

3. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.

4. Endokrinopati : akromegali, sindroma cushing, feokromasitoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.

5. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidine, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya.

6. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya.

(4)

8. Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya (Purnamasari, 2009 : 1883).

2.2. Diabetes Melitus Tipe 2 2.2.1 Faktor Risiko

Berikut merupakan faktor risiko untuk terkena DM tipe 2 : 1. Usia ≥ 45 tahun

2. Dapat terjadi pada usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2, yang disertai dengan faktor risiko lain (PERKENI, 2006).

3. Riwayat keluarga menderita DM (orang tua atau saudara kandung dengan DM Tipe 2)

4. Aktivitas fisik yang kurang

5. Ras (Afrika-Amerika, Latin, Amerika Nativ, Asia Amerika, Kepulauan Pasifik)

6. Sebelumnya pernah teridentifikasi IFG atau IGT

7. Riwayat DM Gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg.

8. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)

9. Kadar kolesterol HDL < 35 mg/dL dan/atau kadar trigliserida >250 mg/dL

10. Polycystic olivarian syndrome atau achantosis nigricans

11. Riwayat penyakit pembuluh darah ( ADA, 2007 dalam Powers, 2010 : 271).

2.2.2 Patogenesis

(5)

tipe 2, kedua mekanisme ini gagal dan akhirnya menyebabkan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin (Holt & Hanley, 2012 : 289-292).

Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan insulin melakukan efek biologisnya pada konsentrasi fisiologis. Hal ini ditandai dengan ketidakmampuan insulin menstimulasi pengambilan glukosa oleh otot rangka dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin juga gagal menekan lipolisis pada jaringan adiposa sehingga terjadi peningkatan asam lemak non-esterifikasi (Holt & Hanley, 2012 : 289-292).

Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal merupakan awal dari perkembangan DM tipe 2. Meskipun defek primer masih kontroversial, banyak studi mendukung pandangan yang menyatakan bahwa resistensi insulin mengawali defek sekresi insulin. DM terjadi hanya jika sekresi insulin menjadi tidak adekuat (Powers, 2010 : 275-277).

Karekteristik DM tipe 2 adalah adanya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hepar yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Pada tahap awal penyakit ini, toleransi glukosa masih mendekati normal meskipun reistensi insulin telah terjadi. Hal ini disebabkan kompensasi sel β pankreas dengan meningkatkan produksi insulin. Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia terus berkembang, lama kelamaan pankreas pada individu tertentu menjadi tidak mampu untuk tetap dalam keadaan hiperinsulinemia. IGT mulai berkembang, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa post-prandial. Penurunan lebih lanjut dari sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan keadaan berkembang menjadi IFG yakni hiperglikemia puasa. (Powers, 2010 : 275-277).

Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan sensitif-insulin dan meningkatkan produksi glukosa hepatik. Meningkatnya produksi glukosa hepatik menyebabkan terjadinya hiperglikemia puasa, sedangkan menurunnya penggunaan glukosa perifer menyebabkan hiperglikemia postprandial (Powers, 2010 : 275-277).

(6)

fosforilasi/defosforilasi yang diregulasi oleh insulin diduga dominan dalam patogenesis resistensi insulin. Sebagai contoh, defek signaling PI-3 kinase menyebabkan berkurangnya translokasi GLUT-4 ke membran plasma. Abnormalitas lain adalah akumulasi lipid dalam myosit otot rangka, yang dapat mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi produksi ATP mitokondria. Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam myosit otot rangka mungkin menghasilkan ROS seperti lipid peroksidase (Powers, 2010 : 275-277).

Obesitas yang menyertai DM tipe 2 – khususnya yang lokasinya di sentral atau viseral – diduga merupakan bagian proses patogenik DM tipe 2. Peningkatan massa adiposit menyebabkan peningkatan level asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Adiposit mensekresikan sejumlah produk biologik (asam lemak bebas non-esterifikasi, retinol-binding protein 4, leptin, TNF, resistin, dan adiponektin). Untuk meregulasi berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi, adipokin memodulasi sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan adipokin menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Asam lemak bebas mengganggu penggunaan glukosa pada otot rangka, meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan mengganggu fungsi sel β. Sebaliknya, produksi adiponektin – peptida yang mensensitasi insulin – berkurang pada individu dengan obesitas sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Adiposit dan adipokin juga menyebabkan keadaan inflamasi dan mungkin menjelaskan mengapa marker inflamasi seperti IL-6 dan CRP sering ditemukan meningkat pada individu dengan DM tipe 2 (Powers, 2010 : 275-277).

2.2.3 Tanda dan Gejala

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini.

(7)

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2006).

Masharani (2007) memaparkan gejala & tanda klinis DM tipe 2 sebagai berikut :

1. Gejala

a) Gejala klasik poliuria, rasa haus, pandangan kabur, paresthesia, dan rasa lelah adalah manifestasi hiperglikemia dan diuresis osmotik yang juga terjadi pada DM tipe 1.

b) Pada pasien DM tipe 2 sering terjadi peningkatan mendadak KGD dan relatif asimptomatik awalnya. Khususnya terjadi pada pasien obese yang terdeteksi menderita DM hanya setelah terjadi glikosuria atau hiperglikemia.

c) Infeksi kulit kronik. Pruritus general dan gejala vaginitis sering dikeluhkan wanita dengan DM tipe 2.

d) Wanita dengan vulvovaginitis kandida kronik, melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg, atau polihidramnion, pre-eclampsia, atau keguguran janin yang tak terjelaskan harus dicurigai menderita DM tipe 2.

e) Pria dengan impotensi perlu dicurigai menderita DM tipe 2

2. Tanda

a) Individu dengan distribusi lemak pada abdomen, dada, leher , wajah, dan relatif sedikit lemak di daerah tungkai (obesitas android, terjadi akumulasi lemak di regio omentum dan mesenterik).

(8)

2.2.4 Kriteria Diagnostik

Berdasarkan PERKENI (2006), berikut adalah beberapa kriteria diagnostik DM :

A. Gejala klasik DM dan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

atau

B. Gejala klasik DM dan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam atau

C. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

2.2.5 Tatalaksana

Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila KGD belum mencapai target (Tabel 2.3.), dilakukan terapi farmakologis dengan OHO atau injeksi insulin (PERKENI, 2006).

A. Non-farmakologis 1. Edukasi :

a) Deskripsikan proses penyakit diabetes dan pilihan pengobatan yang ada. b) Diet.

c) Aktivitas fisik.

d) Pengobatan termasuk keefektifan dan keamanan insulin. e) Monitor sendiri KGD.

f) Mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi akut. g) Strategi personal untuk mengidentifikasi masalah psikososial.

(9)

2. Diet pada individu dengan DM : a) Karbohidrat

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. 2) Pembatasan karbohidrat < 130 g/hari tidak dianjurkan.

3) Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

4) Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi. 5) Makan tiga kali sehari.

b) Lemak

1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

2) Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori.

3) Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

4) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

5) Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA), membatasi PUFA dan asam lemak jenuh.

c) Protein

1) Dibutuhkan sebesar 15-20% total asupan energi.

2) Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang, kacang-kacangan (Leguminosa), tahu, dan tempe.

3) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB per hari atau 10% dari kebutuhan energi. d) Garam

1) Tidak > 3000 mg.

(10)

e) Serat

1) Konsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayur serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

2) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25g/hari. f) Lainnya

1) Fruktosa tidak dianjurkan pada penderita DM karena efek samping pada lipid plasma.

2) Batasi penggunaan pemanis bergizi. Dalam penggunaannya pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

3) Pemanis tak bergizi termasuk : aspartam, sakarin, sukralose, dan neotame.

4) Pemanis aman digunakan selama tidak melebihi batas aman (PERKENI, 2006).

3. Olahraga

Olahraga merupakan komponen penting gaya hidup sehat. Olahraga pada pasien DM perlu memperhatikan beberapa hal :

1) olahraga yang terlalu lama (>30 menit) dan terlalu berat,

2) dosis insulin yang tidak disesuaikan (pada pengguna insulin), serta 3) konsumsi karbohidrat yang terlalu sedikit.

Ketiga hal tersebut akan menyebabkan konsentrasi glukosa yang terlalu rendah sehingga dapat memicu terjadinya hipoglikemia (Holt & Hanley, 2012 : 271-272).

B. Farmakologi

1. OHO (Obat Hipoglikemik Oral)

(11)

Tabel 2.1. Kelas obat-obatan antidiabetik oral dan kerja utamanya

Kelas beserta contoh menurunkan glukosa Kerja utama Mekanisme kerja seluler Biguanide

Metformin insulin (khususnya Melawan resistensi menurunkan output glukosa hepatik)

Meningkatkan ragam kebergantungan dan ketidakbergantungan insulin yang melibatkan AMPK kanal potasium Kir6.2 sensitif ATP

Meglitinides

Repaglinide, nateglinide insulin (onset lebih Stimulasi sekresi cepat dan durasi lebih singkat daripada Sulfonylureas)

Berikatan dengan sisi benzamido pada reseptor SUR1 pada sel β pankreas, yang menutup kanal potasium Kir6.2 sensitif ATP utamanya di jaringan

adiposa, yang Textbook of Diabetes, 4th ed. Wiley-Blackwell : 455-456

2. Insulin

(12)

stress berat, berat badan yang menurun cepat, dan adanya ketonuria (PERKENI, 2006). Tabel 2.2 menyajikan preparat insulin, dosis harian, dosis/hari, dan terapi kombinasinya.

Tabel 2.2. Preparat Insulin Dosis harian

biasa (U) Dosis/hari Terapi Kombinasi NPH

insulin 4–40 Bedtime pagi sulfonylurea, metformin, Dapat digunakan dengan dosis atau troglizatone pagi.

NPH

insulin 4-100 sebelum 1-2, biasanya makan pagi dan sebelum makan malam

Kombinasi sama dengan NPH bedtime

Ultralente 4-100 1-2 Kombinasi sama dengan NPH

Lente 4-100 1-2 Kombinasi sama dengan NPH

Semilente 2-30 1-2 Biasanya dikombinasi dengan ultralente

Regular 2-30 1-2 Biasanya dikombinasi dengan

NPH dan diberi sebelum makan

Lispro 2-30 1-2 Diberi sebelum makan untuk

kontrol glikemik post-prandial Sumber : Johnson, D. G & Bressler, R., 1999. Type 2 Diabetes Mellitus. In: Meikle, A. W., ed. Hormone Replacement Therapy. Humana Press : 156

Untuk menatalaksana DM, target pengobatan perlu ditetapkan. Pada umumnya, digunakan target glikemik dari ADA dan ACE seperti terlihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Target Glikemik

Parameter Normal ADA ACE

KGD puasa <100 (rata-rata-90) 70-130 <110 KGD post-prandial <140 <180 <140

HbA1c 4-6 <7 ≤6,5

(13)

2.2.6. Komplikasi

Powers (2010) membagi komplikasi DM tipe 2 menjadi komplikasi akut dan kronik

A. Komplikasi Akut

Komplikasi akut DM terdiri dari hipoglikemia, diabetik ketoasidosis dan hyperosmolar non-ketoacidotic coma.

1. Hipoglikemi

Lebih dari 30% pasien DM yang diobati dengan insulin mengalami keadaan hipoglikemik, setidaknya sekali dalam hidup mereka dan kira-kira 3% mengalami episode ini sering dan berat. Dalam Diabetes Control and Complications Trial, insiden hipoglikemia berat lebih tinggi dan diperkirakan 3 kali lebih tinggi pada mereka yang menjalani pengobatan insulin intensif. Hipoglikemia berat lebih sering terjadi selama tidur. Penyebab utamanya adalah dosis yang berlebihan dari insulin dan sulfonylurea, porsi makanan yang tidak adekuat, terlambat makan, dan olahraga yang tiba-tiba dan berlebihan (JDRF, 2013).

Hipoglikemia akut memproduksi gejala otonom (seperti berkeringat, tremor, palpitasi, dan rasa lapar) atau gejala neurologis (gangguan fungsi kognitif, seperti kesulitan dalam berkonsentrasi dan tidak terkoordinasi). Jika gejala neuroglikopenik terjadi tanpa didahului gejala otonom, pasien dapat berada dalam kondisi tidak sadarkan diri (JDRF, 2013).

2. Diabetik Ketoasidosis dan Hyperosmolar Non-Ketoacidotic Coma

(14)

Diabetik ketoasidosis ditandai dengan gejala mual, muntah, haus, poliuria, dan kadang-kadang nyeri abdomen yang diikuti tanda-tanda dehidrasi, asidosis respirasi, keton pada udara pernafasan, hipotermia, dan gangguan kesadaran (JDRF, 2013).

Angka kematian Hyperosmolar non-ketoacidotic coma adalah sebesar 30% kasus dan ditandai dengan hiperglikemia berat, dehidrasi, dan uremia prerenal. Hyperosmolar non-ketoacidotic coma biasanya mengenai usia paruh baya atau usia tua dengan DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Faktor presipitasi termasuk infeksi, terapi diuretik dan mimum minuman dengan kadar glukosa tinggi (JDRF, 2013).

B. Komplikasi Kronik

Antara lain komplikasi kronik DM adalah diabetik retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular, disfungsi ereksi, dan depresi.

1. Diabetik Retinopati

Diabetik retinopati (DR) merupakan komplikasi serius dan paling sering terjadi pada pendeita DM. DR merupakan penyakit progresif yang merusak pembuluh darah kecil di retina yang akhirnya menyebabkan masalah penglihatan. Pada tahapannya yang lebih lanjut (retinopati proliperatif) bisa menyebabkan kebutaan. Sebagian besar penderita DM mengalami DR setelah 20 tahun menderita DM; diperkirakan sekitar 20-30% dari mereka mengalami tahap lanjut diabetik retinopati (JDRF, 2013).

2. Diabetik nefropati

Diabetik nefropati, yang merupakan salah satu komplikasi DM yang paling sering dan paling mengerikan. Pada penyakit ini, terjadi kemerosotan secara perlahan-lahan ginjal dan fungsi ginjal yang mana pada kasus berat bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal, yang juga disebut end-stage renal disease (JDRF, 2013).

(15)

nefropati dapat ditegakkan jika proteinuria lebih dari 0,5 g/hari di mana ISK dan penyakit ginjal lainnya telah disingkirkan (Scobie, 2007 : 70).

3. Diabetik neuropati

Setelah menderita DM selama 20 tahun, 40% pasien DM akan mengalami diabetik neuropati. Neuropati dapat muncul saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Komplikasi neurologis terjadi sama pada DM tipe 1 maupun tipe 2. Dampak dari kerusakan saraf berkisar dari sedikit gangguan sampai pada kematian. Diabetik neuropati menyebabkan hilangnya sensasi dan kadang-kadang bermanifestasi nyeri dan kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, dan merupakan penyebab utama amputasi yang tidak disebabkan oleh kecelakaan di US. Pada neuropati otonom, KGD yang tinggi menghancurkan sistem saraf otonom yang mengontrol pernapasan, sirkulasi, berkemih, fungsi seksual, regulasi temperatur, dan pencernaan sehingga dapat menyebabkan beberapa masalah pada pencernaan, diare, disfungsi ereksi, meningkatnya denyut jantung, dan tekanan darah yang rendah (JDRF, 2013).

4. Penyakit Kardiovaskular

Penyakit Kardiovaskular baik stroke maupun serangan jantung, adalah penyebab utama kematian pada penderita DM. Dua jenis paling utama penyakit kardiovaskular adalah penyakit jantung koroner – disebabkan oleh deposit lemak pada arteri yang menutrisi jantung – dan hipertensi atau tingginya tekanan darah. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan DM lebih mudah mengalami peningkatan kadar kolesterol darah dan hipertensi, di mana keduanya dapat menyebabkan kerusakan sel pelapis dinding arteri. Para peneliti menduga bahwa KGD yang tinggi mungkin berkontribusi terhadap terjadinya kedua kondisi ini (JDRF, 2013).

5. Disfungsi Ereksi

(16)

tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan adanya penyakit jantung memiliki risiko paling tinggi untuk mengalami disfungsi ereksi (Canadian Diabetes Association, 2012).

6. Depresi

Sekitar 25% individu dengan DM menderita depresi (Canadian Diabetes Association, 2012).

2.3 Depresi 2.3.1 Pengertian

Depresi mayor didefinisikan sebagai mood depresi yang terjadi minimal dua minggu. Episode ditandai dengan kesedihan, ketidakacuhan, apatis, atau iritabilitas dan biasanya berhubungan dengan perubahan dalam pola tidur, nafsu makan, dan berat badan, agitasi atau retardasi motorik, kelelahan, gangguan konsentrasi dan pengambilan keputusan, perasaan malu atau bersalah, dan terus berpikir akan kematian. Pasien dengan depresi kehilangan kesenangan terhadap aktivitas yang dulunya menyenangkan baginya, sering bangun lebih pagi pada pagi hari, mengalami mood disforik yang secara kualitatif berbeda dari kesedihan, dan seringnya menunjukkan variasi diurnal dalam mood yakni memburuk pada pagi hari (Fauci et al, 2008).

(17)

2.3.2 Beck Depression Inventory (BDI)

Beck Depression Inventory (BDI) adalah kuesioner yang selalu digunakan dalam studi-studi psikologi klinis dan psikiatri. BDI dikembangkan untuk mengukur manifestasi perilaku depresi pada remaja dan dewasa. Alat ukurnya didesain untuk menstandarisasi penilaian keparahan depresi untuk pemonitoran perubahan sepanjang waktu atau untuk menjelaskan gangguannya secara sederhana. Pokok-pokok dalam BDI orisinalnya diperoleh dari observasi penderita-penderita depresi yang dibuat sepanjang perjalanan psikoterapi psikoanalitik. Sikap dan gejala-gejala yang muncul secara spesifik terhadap kelompok penderita ini dijelaskan oleh rentetan pernyataan dan suatu nilai angka diberikan untuk setiap pernyataan (Beck, 2000 dalam Amin, 2008).

Dalam bentuk orisinilnya, 21 manifestasi perilaku diungkapkan di sini, setiap area diwakili oleh empat hingga lima pernyataan yang menjelaskan keparahan gejala mulai dari ringan hingga berat. Subjek diminta untuk mengidentifikasi pernyataan yang paling tepat yang menjelaskan perasaannya. Pokok-pokoknya kemudian dinilai dan disimpulkan untuk memperoleh suatu nilai total keparahan gejala depresi. Nilai keparahan depresi dibuat dengan menyimpulkan nilai-nilai dari pokok-pokoknya. Panduan terakhir menyarankan interpretasi score BDI : 0-9, minimal; 10-16 ringan; 17-29, sedang; dan 30-63, berat (Beck, 2000 dalam Amin, 2008).

(18)

2.3.3 Penyebab Depresi

Berikut merupakan beberapa faktor pencetus terjadinya depresi : A. Faktor genetik

Faktor genetik sangat berpengaruh pada individu dengan depresi berat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya depresi meningkat pada keluarga keturunan pertama. Peningkatan risiko ini tidak berhubungan (independen) dengan faktor lingkungan. Penanda genetik potensial berlokasi di kromosom X, 4, 5, 11, 18, dan 21 (Baldwin & Birtwistle, 2002).

B. Gangguan neurotransmitter

Ada bukti yang menunjukkan bahwa terjadi abnormalitas kadar atau fungsi dari neurotransmitter serotonin, norepinefrin, dan dopamine yang bekerja di sistem saraf pusat meskipun bukti ini belum mencapai kesimpulan yang pasti (Baldwin & Birtwistle, 2002).

C. Faktor psikososial

1. Pengalaman buruk masa kecil. 2. Kesulitan mayor kronik.

3. Kejadian hidup yang tidak diharapkan.

4. Pergaulan atau kemampuan bersosialisasi yang kurang. 5. Penghargaan diri yang rendah (Baldwin & Birtwistle, 2002).

Menurut Baldwin & Brtwisitle (2002), depresi juga terjadi pada beberapa penyakit tertentu, yaitu :

8. Penyakit endokrin (penyakit tiroid, penyakit Addison)

13.Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

(19)

2.3.4 Kriteria Diagnostik

Menurut Mudjaddid (2009), untuk mempermudah mengenal keadaan depresi terdapat gejala yang merupakan trias depresi yaitu :

1. Tidak bisa menikmati hidup.

2. Tidak ada perhatian pada lingkungan. 3. Lelah sepanjang hari.

Namun, untuk menentukan diagnosis pasti depresi dipakai kriteria yang merujuk pada DSM-IV-TR (Mudjaddid, 2009).

Kriteria DSM-IV-TR Episode Depresi Berat

A. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada dalam periode waktu 2 minggu dan menunjukkan perubahan fungsi sebelumnya; setidaknya satu gejalanya adalah (1) mood menurun atau (2) kehilangan minat atau kesenangan. Catatan : jangan memasukkan gejala yang jelas-jelas disebabkan kondisi medis umum, atau waham atau halusinasi yang tidak kongruen mood.

1. Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (contoh: perasaan sedih atau kosong) atau pengamatan orang lain (contoh: tampak bersedih). Catatan : pada anak dan remaja dapat berupa mood irritable.

2. Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau hampir semua aktivitas hampir sepanjang hari (seperti yang ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang lain).

3. Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat badan bertambah, atau menurun maupun meningkatnya nafsu makan hampir setiap hari.

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari. 5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari. 6. Lelah atau hilang energi hampir setiap hari.

7. Perasaan tidak berarti atau perasaan bersalah yang tidak sesuai atau berlebihan hampir setiap hari.

(20)

9. Pikiran berulang mengenai kematian, gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau upaya bunuh diri, atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.

B. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran.

C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis bermakna atau hendaya di dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi lain.

D. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat, atau kondisi medis umum (hipotiroid).

E. Gejala sebaiknya tidak disebabkan berkabung, yakni setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih lama dari 2 bulan, atau ditandai dengan hendaya fungsi yang nyata, preokupasi patologis mengenai ketidakberartian, gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor (Sadock & Sadock, 2010).

2.4Diabetes Melitus dan Depresi

2.4.1 Kejadian Depresi pada Penderita Diabetes Melitus

Depresi merupakan reaksi yang sering muncul apabila seseorang didiagnosis dengan penyakit seumur hidup yang membutuhkan pengobatan seumur hidup dan berisiko untuk terjadinya komplikasi (Holt & Hanley, 2012 : 334-335).

Diabetes melitus mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Diagnosis menderita DM memiliki efek pada aspek lain kehidupan pasien DM. Di banyak negara berkembang, pasien dengan DM mengalami banyak hambatan untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan. Perusahaan asuransi sering kali menolak mereka atau membatasi premium mereka. Hal-hal ini sering kali memicu stress dan depresi pada individu dengan DM (Scobie, 2007 : 115).

(21)

dan makrovaskular meningkat, harapan hidup memendek, dan biaya kesehatan meningkat (Holt & Hanley, 2012 : 334-335). Individu dengan DM yang terjadi bersamaan dengan depresi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi termasuk mortalitas dibanding mereka yang tanpa gejala depresi. Individu dengan DM dan gejala depresi memiliki angka mortalitas hampir 2 kali lebih tinggi dibanding individu dengan DM tanpa depresi. Juga lebih tinggi sebagai pengguna layanan kesehatan yang menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung peningkatan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan sehingga pada akhirnya menghalangi tercapainya target pengobatan. Individu dengan DM dan depresi mengeluarkan biaya pengobatan 5 kali lebih tinggi dibanding individu penderita DM tanpa depresi, hampir 195 milyar USD (Malphrus, 2007 : 29-37).

Depresi memiliki relevansi klinis yang penting dengan DM dikarenakan hubungan potensialnya dengan kontrol glikemik yang buruk dan penurunan kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Namun, masih tidak jelas apa etiologi di balik hubungan yang kuat antara kedua penyakit ini. Ada beberapa mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan hubungan antara depresi dan DM. Namun, tidak satu pun yang jelas didukung oleh bukti (Malphrus, 2007 : 29-37).

Gejala depresi dicetuskan oleh DM. Gejala depresi berhubungan dengan perubahan biokimiawi yang berhubungan dengan DM (seperti : hiperglikemia, inflamasi, aktivasi HPA axis, stress) dan mungkin merupakan faktor penting yang mengganggu kontrol metabolik secara keseluruhan. Lebih lanjut, adanya penyakit DM dengan gejala depresi mungkin muncul sebagai akibat pilihan gaya hidup (contoh: diet yang buruk, tidak ada aktivitas fisik) penderita DM (Malphrus, 2007 : 29-37).

(22)

Pada satu studi, induksi eksperimental hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar kortisol plasma meskipun hubungannya terhadap perubahan mood akut belum dilaporkan. Peningkatan kortisol akan kembali normal jika depresi membaik. Hal ini menunjukkan bahwa hiperglikemia kronik akan menyebabkan perubahan aktivitas kortisol, glukagon, dan growth hormone, dan manifestasi otonom (Holt & Hanley, 2012 : 334-335).

Tenaga kesehatan harus selalu waspada terhadap efek buruk DM pada kesehatan mental. Beberapa kuesioner pendek telah dikembangkan untuk mengidentifikasi mereka dengan depresi dan klinisi semestinya mempertimbangkan untuk melakukannya selama konsultasi (Holt & Hanley, 2012 : 334-335).

2.4.2 Faktor-Faktor Penyebab Depresi dan Epidemiologi Depresi pada Penderita Diabetes Melitus

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi yakni : A. Jenis kelamin

Beberapa faktor risiko yang telah dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam prevalensi depresi :

1. Perbedaan hormon seks

Mengingat bahwa puncak onset gangguan depresi pada perempuan bertepatan dengan usia reproduksi (antara usia 25 sampai 44 tahun usia), faktor risiko hormon mungkin memainkan peran. Estrogen dan progesteron telah terbukti mempengaruhi neurotransmitter, neuroendokrin, dan sistem sirkadian yang terlibat dalam gangguan suasana perasaan. Hormon lain yang dapat menyebabkan wanita berisiko untuk mengalami depresi berhubungan dengan hypothalmic-hipofisis-adrenal (HPA) axis dan fungsi tiroid (Schimeilpfering, 2009 dalam Hidayat, 2010).

2. Perbedaan gender dalam Sosialisasi

(23)

terhadap pendapat orang lain, sementara laki-laki didorong untuk mengembangkan kesadaran yang lebih besar, penguasaan, dan kemandirian dalam kehidupan mereka (Schimeilpfering, 2009 dalam Hidayat, 2010).

3. Perbedaan gender dalam menghadapi masalah

Penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung menggunakan emosi yang lebih fokus, ruminative mengatasi masalah, dan merenungkan masalah mereka ke dalam pikiran mereka. Sementara laki-laki cenderung menggunakan masalah yang lebih fokus, gaya coping mengganggu untuk membantu mereka melupakan masalah (Schimeilpfering, 2009 dalam Hidayat, 2010).

4. Perbedaan Frekuensi dan Reaksi terhadap Stres dalam kehidupan

Bukti menunjukkan bahwa sepanjang hidup mereka, perempuan mungkin mengalami peristiwa kehidupan yang lebih stres dan memiliki kepekaan yang lebih besar daripada pria. Hal ini dibuktikan bahwa gadis remaja cenderung untuk melaporkan peristiwa kehidupan yang lebih negatif daripada anak laki-laki, biasanya berkaitan dengan hubungan mereka dengan orang tua dan teman sebaya (Schimeilpfering, 2009 dalam Hidayat, 2010). 5. Peran sosial dan pengaruh budaya

Perempuan yang menjadi ibu dan ibu rumah tangga dapat menemukan peran mereka, sementara perempuan yang mengejar karir di luar rumah mungkin akan menghadapi diskriminasi dan ketidaksetaraan pekerjaan atau mungkin merasa konflik antara peran mereka sebagai seorang istri dan ibu dengan pekerjaan mereka (Nevid et al , 2003 dalam Hidayat, 2010).

Pada tahun 2000 diperkirakan gangguan depresi lebih tinggi terjadi pada wanita (4.930 per 100.000) daripada pria (3.199 per 100.000) dan secara global gangguan depresi merupakan penyebab ke-4 beban penyakit pada wanita dan ke-7 pada pria (Egede & Ellis, 2010).

(24)

Roupa et al (2009), wanita penderita DM tipe 2 (41.4%) memiliki kecenderungan menderita depresi 2 kali lebih tinggi dibanding pria (17,8%).

B. Usia

Depresi mampu menjadi kronis apabila depresi muncul untuk pertama kalinya pada usia 60 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi pasien lanjut usia yang mengalami depresi yang diikuti selama 6 tahun, sekitar 80% tidak sembuh namun justru terus mengalami depresi berkepanjangan atau mengalami depresi yang pasang surut (Schimeilpfering, 2009 dalam Hidayat, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Raval et al (2010), depresi sangat berhubungan dengan usia > 54 tahun pada pasien DM tipe 2.

C. Tingkat pendidikan

Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh tingkat pendidikan dan khususnya beberapa faktor di bawah ini :

1. Pandangan yang keliru terhadap penyakit yang diderita.

2. Coping strategy. Dengan “coping strategy” yang baik, pikiran untuk lari dari kenyataan dapat dihindari dan adaptasi psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan gejala depresi (Mudjaddid & Putranto, 2009 : 2159-2161).

Tingkat pendidikan adalah komponen kunci sosioekonomik yang akhirnya menentukan pekerjaan seseorang dan pendapatannya. Individu dengan tingkat pendidikan rendah cenderung mengalami kesulitan untuk menghindari kejadian yang dapat mencetuskan stress dan kurang mampu untuk coping dengan kejadian tersebut (Miech & Shanahan, 2000).

Sedangkan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menghindari stressor kronik dan memiliki gaya hidup yang lebih sehat sehingga dapat mengatasi berbagai stressor yang potensial menyebabkan depresi (Miech & Shanahan, 2000).

(25)

pendidikan setinggi SMA atau lebih rendah di mana hubungannya sangat signifikan dengan peningkatan kejadian depresi.

Pada analisis bivariat oleh Egede & Ellis (2010), satu-satunya faktor demografik yang berhubungan dengan depresi yang persisten pada penderita DM adalah rendahnya tingkat pendidikan (tidak tamat SMA). Kurangnya edukasi pada pasien juga menyebabkan depresi menetap.

D. Tingkat Pendapatan

Posisi relatif status sosioekonomik masyarakat akan menunjukkan angka kepercayaan diri masyrakat tersebut, ada tidaknya kejadian disforia, dan gejala kardinal gangguan depresi. Individu dengan tingkat pendapatan yang rendah cenderung menyalahkan diri sendiri dan terus-menerus merasa bersalah karena statusnya sehingga gejala-gejala depresi muncul pada individu ini. Kehidupan dengan status sosioekonomi (termasuk tingkat pendapatan) yang rendah merupakan penyebab stress yang berhubungan dengan gangguan depresi. Studi pada status hirarki primata menunjukkan bahwa status dan perubahan status menyebabkan perubahan hormonal yang sama dengan gangguan depresi pada manusia (Eaton et al, 2001).

Akhtar-Danesh & Landeen (2007) mengemukakan hasil penelitiannya yang menunjukkan kemungkinan menderita depresi pada mereka dengan pendapatan rendah sebesar dua kali lebih tinggi dibandingkan mereka dengan pendapatan tinggi.

(26)

E. Jumlah komplikasi

Depresi lebih sering terjadi pada individu yang baru didiagnosa mengalami komplikasi DM, atau komplikasi yang menyebabkan gangguan fungsi kognitif dan fisik, atau kejadian komplikasi multiple, khsususnya komplikasi yang menyebabkan gangguan penglihatan , fisik, fungsi kognitif, dan disfungsi seksual (Golden et al, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Raval et al (2010), kejadian depresi sangat berhubungan dengan neuropati, nefropati, penyakit pembuluh darah perifer, dan penyakit kaki diabetik.

Pasien dengan jumlah komplikasi lebih dari dua memiliki angka kejadian depresi yang lebih tinggi. Adanya komplikasi multiple menyebabkan depresi menetap (Egede & Ellis, 2010). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Groot et al (2001) bahwa tingkat depresi berat berhubungan erat dengan meningkatnya jumlah komplikasi.

Sebuah meta-analisis hubungan antara depresi dan komplikasi DM mengindikasikan hal yang sama bahwa peningkatan gejala depresi berhubungan dengan banyaknya jumlah komplikasi DM, termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati yang diderita oleh pasien (Malphrus, 2007).

F. Lama sakit

Prediktor mayor/faktor risiko signifikan untuk terjadinya depresi pada pasien DM adalah lama sakit (Bener et al, 2011). Dibandingkan dengan mereka yang tanpa depresi, pasien dengan depresi umumnya memiliki lama sakit DM yang lebih lama (Williams et al, 2010). Lama sakit menyebabkan stress yang berlangsung kronik, jumlah komplikasi yang meningkat yang akhirnya mempengaruhi kualitas hidup (Fisher et al, 2001).

(27)

vaskular. Lama sakit DM lebih dari 10 tahun memiliki kemungkinan 3 kali lipat mengalami komplikasi disfungsi ereksi dibanding lama sakit DM kurang dari 5 tahun (Malphrus, 2007).

Fisher (2001) merangkumkan bahwa depresi lebih banyak dijumpai pada perempuan ras minoritas, tidak menikah, umur pertengahan, status sosial ekonomi rendah dan tidak bekerja. Depresi lebih banyak dijumpai bila terdapat komirbiditas atau komplikasi, adanya riwayat depresi sebelumnya, derajat hendaya yang tinggi dan rasa nyeri yang menetap.

2.4.3 Tatalaksana Depresi pada Penderita Diabetes Melitus

Pengobatan depresi pada penderita DM telah menunjukkan manfaat pada kontrol glikemik, mood, bahkan sensitivitas insulin. Ada bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan antidepresan dan psikoterapi bisa memperbaiki outcome depresi maupun DM (Malphrus, 2007 : 32-35).

Pengobatan depresi dan DM dilakukan bersama-sama dengan memberikan psikoterapi, psikoedukasi, dan psikofarmaka secara serentak. Pada keadaan tertentu apabila gejala DM-nya berat, terapi DM didahulukan sementara terapi depresinya dimulai dengan psikoterapi dan psikoedukasi (Mudjaddid & Putranto, 2009 : 2161).

A. Pengobatan Psikofarmakologi Depresi pada Penderita Diabetes Melitus Pemilihan psikofarmaka untuk depresi pada DM harus didasarkan pada pertimbangan efektifitas obat, kemanan, dan efek samping serta interaksi dengan obat lain (Mudjaddid & Putranto, 2009 : 2161).

Pengobatan yang bermanfaat bagi pasien DM dengan depresi adalah antidepresan. Pengobatan dengan antidepresan menunjukkan dampak positif pada mood dan regulasi glukosa. Efek samping antidepresan perlu dipertimbangkan khususnya pada pasien usia tua. Regimen obat yang dapat digunakan : sertralin, fluoxetine, nortriptyline (Malphrus, 2007 : 35-37).

(28)

akibatnya tentu meningkatkan KGD. Penggunaan obat antidepresan jangka panjang dapat meningkatkan gula darah puasa sampai dua kali lipat, dan menyebabkan KGD menjadi sulit untuk dikontrol (Mudjaddid & Putranto, 2009 : 2161).

Ditinjau dari farmakodinamiknya, pemberian golongan SSRI (Selective Serotonine Reuptake Inhibitor) lebih aman. Dapat mengurangi resistensi insulin sehingga KGD dapat lebih terkontrol. Beberapa obat seperti fluoxetine memiliki efek menurunkan berat badan sehingga baik diberikan pada penderita DM yang gemuk. Efek samping yang perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai gangguan ginjal (Mudjaddid & Putranto, 2009 : 2161).

Golongan MAOI (Monoamine Oxidase Inhibitor) selain memiliki efek antidepresan juga dapat menurunkan KGD melalui mekanisme penghambatan oksidasi asam lemak rantai panjang. Namun, pemberian obat ini kurang disukai penderita DM karena harus membatasi tiramin sehingga pengaturan diet menjadi lebih sulit. Golongan MAOI klasik (isokarbozid, fenelzin) mempunyai efek samping yang nyata yaitu hipotensi ortostatik dan krisis hipertensi yang terjadi secara sekunder melalui interaksi dengan tiramin yang terdapat pada makanan seperti keju yang dipadatkan dan daging yang disimpan lama. Oleh karena DM sering terjadi hipertensi, pemakaian obat golongan ini tidak dianjurkan (Mudjaddid & Putranto, 2009 : 2161).

B. Terapi Psikososial Depresi pada Penderita Diabetes Melitus

Gambar

Tabel 2.1. Kelas obat-obatan antidiabetik oral dan kerja utamanya Kerja utama Mekanisme kerja
Tabel 2.3.

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

[r]

Pada hari ini SELASA tanggal ENAM BELAS Bulan OKTOBER Tahun DUA RIBU DUA BELAS, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah Tahun

[r]

&#34;STRI VI NG FOR WORLD SPORT ACHI VEMENTS THROUGH SPORT AND PHYSI CAL EDUCATI ON&#34; conducted by Faculty of Sport Science, Yogyakarta State University on May 24, 2011. as

Berdasarkan Penetapan Pemenang Seleksi Umum pekerjaan Jasa Konsultansi Perencana Pembangunan Gedung Kuliah Terpadu STAIN Kudus Tahun Anggaran 2016

Universitas Sumatera

Berdiskusi kegiatan apa saja yang sudah dimainkannya hari ini, mainan apa yang paling disukai2. Bercerita pendek yang berisi