• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial pada Anak di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari Tahun 2011 sampai 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial pada Anak di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari Tahun 2011 sampai 2012"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom nefrotik, suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai dengan

proteinuria berat (ekskresi protein ≥ 40 mg/m2LPB/jam, atau rasio

albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+),

hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia (Pais, Avner,

2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada sindrom

nefrotik, antara lain (Noer, 2011, Bagga, Mantan, 2005, Nanjundaswamy,

Phadke, 2002):

1. Remisi : Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

2. Relaps : Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu, dimana sebelumnya pernah mengalami

remisi.

3. Relaps jarang : Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama

setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.

4. Relaps sering : Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah

respon awal, atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun.

5. Sensitif steroid : Remisi tercapai dalam 4 minggu atau kurang setelah

pengobatan steroid dosis penuh (full dose).

6. Dependen steroid : Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan,

atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan, dan

hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

7. Resisten steroid : tidak terjadi remisi setelah 4 minggu pengobatan

(2)

2.2 Etiologi

Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik memiliki bentuk sindrom

nefrotik primer atau idiopatik (Tabel 2.1). Lesi glomerulus yang

berhubungan dengan sindrom nefrotik idiopatik termasuk penyakit

kelainan minimal (yang paling umum), glomerulosklerosis fokal

segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefropati membranosa

dan proliferasi mesangial difus. Etiologi-etiologi ini memiliki distribusi

usia yang berbeda (Gambar 2.1) (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga mungkin sekunder terhadap penyakit

sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein,

keganasan (limfoma dan leukemia), dan infeksi (hepatitis, HIV, dan

malaria) (Tabel 2.1) (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga bisa disebabkan oleh kelainan genetik.

Sindrom nefrotik kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan) telah

dikaitkan dengan kelainan pada gen nephrin (NPHS1), fosfolipase C

epsilon 1 gen (PLCE1), dan gen supresor tumor Wilms.Selain itu, sindrom

genetik lainnya telah dikaitkan dengan sindrom nefrotik, seperti sindrom

Nail-patella, sindrom Pierson, Schimke immuno-osseus displasia, dan

(3)

Tabel 2.1 – Penyebab Sindrom Nefrotik Pada Anak

KELAINAN GENETIK

Sindrom Nefrotik (Tipikal) :

Sindrom nefrotik congenital tipe Finnish (Kehilangan nephrin)

Glomerulosklerosis fokal segmental (mutasi pada podocin, α-actinin 4, TRPC6)

Sklerosis mesangial difus (mutasi pada rantai laminin β2)

Sindrom Denys-Drash (mutasi pada factor transkripsi WT1)

Proteinuria Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :

Sindrom Nail-patella (mutasi pada factor transkripsi LMX1B)

Sindrom Alport (mutasi pada gen biosintesis kolagen)

Sindrom Multisistem Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :

Glomerulosklerosis fokal segmental

(4)

Gambar 2.1 - Hasil biopsi ginjal dari 223 anak-anak dengan proteinuria

dirujuk untuk biopsi ginjal diagnostik (Glomerular Disease Collaborative Network, J. Charles Jennette, MD, Hyunsook Chin, MS, and D.S. Gipson, 2007). n, jumlah pasien, C1Q, nefropati, FSGS, glomerulosklerosis fokal segmental, MCNS, sindrom nefrotik kelainan minimal; MPGN, glomerulonefritis membranoproliferative.

2.3 Patofisiologi

Kelainan yang mendasari sindrom nefrotik adalah peningkatan

permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus, yang meyebabkan

proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan ekstensif

proses kaki podocyte (ciri khas sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan

peran penting untuk podocyte. Sindrom nefrotik idiopatik adalah

berhubungan dengan gangguan yang kompleks dalam sistem

kekebalan/imun tubuh, terutama imunitas diperantarai sel T (T cell–

mediated immunity). Pada glomerulosklerosis fokal segmental, suatu

faktor plasma, yang mungkin dihasilkan oleh subset limfosit aktif,

mungkin bertanggung jawab untuk peningkatan permeabilitas dinding

kapiler. Atau, mutasi pada protein podocyte (podocin, α-actinin 4) dan

MYH9 (gen podocyte) dapat berhubungan dengan glomerulosklerosis

fokal segmental. Sindrom nefrotik resisten steroid (steroid-resistant

nephrotic syndrome) dapat dikaitkan dengan mutasi pada NPHS2

(podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari proses filtrasi

glomerulus, seperti pori celah (slit pore), dan termasuk nephrin, NEPH1,

(5)

Untuk mekanisme pembentukan edema pada sindrom nefrotik,

hilangnya protein urin masif menyebabkan hipoalbuminemia, yang

menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan

dari kompartemen intravaskular ke ruang interstisial. Penurunan volume

intravaskular menurunkan tekanan perfusi ginjal, yang mengaktifkan

sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorpsi natrium

di tubular. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan

hormon antidiuretik, yang meningkatkan reabsorpsi air dalam collecting

duct (Pais, Avner, 2011).

Teori ini tidak berlaku untuk semua pasien dengan sindrom

nefrotik karena beberapa pasien sebenarnya ada peningkatan volume

intravaskular dengan kadar renin dan aldosteron plasma berkurang. Oleh

karena itu, faktor-faktor lain, termasuk aviditas ginjal primer (primary

renal avidity) untuk natrium dan air, mungkin terlibat dalam pembentukan

edema pada beberapa pasien dengan sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011).

Dalam keadaan nefrotik, tingkat lipid dalam darah/serum

(kolesterol, trigliserida) yang meningkat adalah disebabkan dua alasan.

Hipoalbuminemia merangsang sintesis protein hepatik umum, termasuk

sintesis lipoprotein. Ini juga mengapa sejumlah faktor koagulasi

meningkat, lalu meningkatkan risiko trombosis. Selain itu, katabolisme

lipid berkurang akibat dari pengurangan kadar lipoprotein lipase plasma

yang berkaitan dengan peningkatan kehilangan enzim ini ini melalui urin

(Pais, Avner, 2011).

Pasien dengan sindrom nefrotik berada ada peningkatan risiko

infeksi (sepsis, peritonitis, pielonefritis), terutama dengan organisme

berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza.

Beberapa alasan untuk hal ini termasuk hilangnya faktor komplemen C3b,

(6)

risiko tambahan adalah penggunaan obat imunosupresif untuk mengobati

sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik adalah keadaan hiperkoagulasi yang disebabkan

beberapa faktor yaitu stasis vaskular, peningkatan produksi hepatik

fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya, penurunan kadar faktor

antikoagulan serum, peningkatan produksi trombosit plasma (sebagai

reaktan fase akut), dan peningkatan agregasi platelet. Koagulopati

dimanifestasi dengan kejadian tromboemboli (Pais, Avner, 2011).

2.4 Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer

Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik

idiopatik/primer. Sindrom nefrotik idiopatik berhubungan dengan penyakit

glomerulus primer tanpa bukt i adanya penyebab penyakit sistemik

tertentu. Sindrom nefrotik idiopatik mempunyai beberapa tipe secara

histologis: penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangial,

glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa, dan

glomerulonefritis membranoproliferatif (Pais, Avner, 2011).

2.4.1 Manifestasi Klinis

Sindrom nefrotik idiopatik lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada

anak perempuan (2: 1) dan paling sering muncul antara usia 2 dan 6 tahun

(lihat Gambar 2.1). Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) terjadi

pada 85% hingga 90% pasien dibawah usia 6 tahun. Sebaliknya, hanya

20% hingga 30% dari remaja yang tampil untuk pertama kalinya dengan

sindrom nefrotik memiliki SNKM. Penyebab yang lebih umum dari

sindrom nefrotik idiopatik pada kelompok usia yang lebih tua adalah

glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Insidensi GSFS dapat

meningkat, mungkin lebih umum pada pasien Afrika-Amerika, Hispanik,

(7)

Anak-anak biasanya tampil dengan edema ringan, yang awalnya

terdapat di sekitar mata dan di ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik

awalnya dapat disalah diagnosis sebagai gangguan alergi karena adanya

pembengkakan periorbital yang menurun sepanjang hari. Dengan waktu,

edema menjadi generalisasi, dengan adanya perkembangan asites, efusi

pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri abdomen, dan diare

adalah gejala umum. Fitur penting dari sindrom nefrotik idiopatik kelainan

minimal adalah ketiadaan hipertensi dan gross hematuria (sebelumnya

disebut fitur nephritik) (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke,

2002).

Diagnosis differensial anak yang ditandai dengan edema mencakup

enteropati kehilangan protein, gagal hati, gagal jantung, glomerulonefritis

akut atau kronis, dan malnutrisi protein. Diagnosis selain SNKM harus

dipertimbangkan pada anak dibawah usia 1 tahun, riwayat keluarga positif

sindrom nefrotik, adanya temuan ekstrarenal (misalnya, artritis, ruam,

anemia), hipertensi atau edema paru, insufisiensi ginjal akut atau kronis,

dan gross hematuria (Pais, Avner, 2011).

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang

Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk

menetapkan apakah adanya sindrom nefrotik, karena hipoalbuminemia

dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (seperti pada enteropati kehilangan

protein), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia

(misalnya, pada angioedema, kebocoran kapiler, insufisiensi vena, gagal

jantung kongestif) (Lane, 2013).

Dalam rangka menetapkan adanya sindrom nefrotik, tes

laboratorium harus mengkonfirmasi (1) proteinuria nefrotik, (2)

hipoalbuminemia, dan (3) hiperlipidemia (Lane, 2013, Nanjundaswamy,

Phadke, 2002). Oleh karena itu, pengujian laboratorium awal harus

(8)

1. Protein urin - Dengan ekskresi protein ≥ 40 mg/m2LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2

mg/mg, atau dipstick ≥ 2+

2. Albumin serum - Kurang dari 2,5 g/dL

3. Panel lipid - Peningkatan kolesterol total, kolesterol low-density

lipoprotein (LDL), peningkatan trigliserida dengan hipoalbuminemia

berat, kolesterol high-density lipoprotein (HDL) (normal atau rendah)

Setelah menentukan adanya sindrom nefrotik, tugas selanjutnya

adalah untuk menentukan apakah sindrom nefrotik primer (idiopatik) atau

sekunder terhadap gangguan sistemik dan, jika sindrom nefrotik idiopatik

(SNI) telah ditentukan, apakah ada tanda-tanda penyakit ginjal kronis ,

insufisiensi ginjal, atau tanda-tanda yang dapat mengecualikan

kemungkinan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (Lane, 2013,

Nanjundaswamy, Phadke, 2002). Oleh karena itu, di samping tes di atas,

berikut ini harus dimasukkan dalam hasil pemeriksaan:

1. Jumlah sel darah lengkap (Complete Blood Count (CBC)) –

Peningkatan hemoglobin dan hematokrit, jumlah trombosit meningkat

2. Panel metabolik - Elektrolit serum rendah, BUN dan kreatinin tinggi,

kalsium rendah, fosfor, dan kadar kalsium terionisasi normal

3. Pengujian untuk HIV, hepatitis B dan C - Pertimbangkan pemeriksaan

enzim hati, seperti alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat

aminotransferase (AST), ketika skrining untuk penyakit hati.

4. Studi komplemen (C3, C4) – Kadar rendah

5. Antibodi antinuklear (ANA), antibodi anti–double-stranded DNA

(pada pasien yang dipilih)

Pada pasien dengan SNI dapat terjadi kehilangan protein yang

mengikat vitamin D, yang dapat mengakibatkan tingkat vitamin D rendah,

dan globulin yang mengikat tiroid, yang dapat mengakibatkan kadar

(9)

anak yang sering kambuh atau sindrom nefrotik resisten steroid, untuk

melakukan pengujian untuk 25-OH-vitamin D, 1,25-di (OH)-vitamin D,

T4 bebas, dan thyroid-stimulating hormone (TSH) (Lane, 2013).

Tes dan prosedur lain pada pasien tertentu mungkin termasuk yang

berikut:

1. Studi genetik - Mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2

2. Ultrasonografi ginjal - Ginjal biasanya membesar karena edema

jaringan

3. Radiografi dada - Radiografi dada diindikasi pada anak dengan

gangguan pernapasan. Efusi pleura adalah umum, namun edema paru

jarang terjadi

4. Uji Mantoux - Harus dilakukan sebelum pengobatan steroid untuk

menyingkirkan infeksi TB.

5. Biopsi ginjal - Biopsi ginjal juga harus dilakukan apabila hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik, atau laboratorium menunjukkan sindrom

nefrotik sekunder atau sindrom nefrotik primer selain SNKM

Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik

sindrom nefrotik. Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik dibawah

usia 1 tahun harus dievaluasi untuk sindrom nefrotik kongenital (Lane,

2013). Selain tes di atas, bayi harus dilakukan tes berikut:

1. Infeksi kongenital (sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus,

HIV)

2. Biopsi ginjal

3. Tes genetik untuk mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2

sebagaimana dibimbing berdasarkan temuan biopsi dan presentasi

klinis

Kadang-kadang, pasien dengan sindrom nefrotik juga

menunjukkan atau membentuk tanda-tanda klinis dari abdomen akut, yang

(10)

dikonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis dari aspirasi cairan

peritoneal. Organisme yang paling sering dijumpai pada peritonitis adalah

Streptococcus pneumoniae, namun bakteri enterik usus juga dapat

menyebabkan peritonitis. Penatalaksanaan adalah secara medis daripada

bedah (Lane, 2013).

2.4.3 Histopatologi

Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindrom nefrotik yang

digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982).

Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaan

mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop electron dan

imunofluoresensi. Pada Tabel 2.2, dipakai istilah/terminologi yang sesuai

dengan laporan International Study of Kidney Disease in Children

(ISKDC) (1970) dan Habib dan Kleinknecth (1971) (Wirya, 2002, Bagga,

Mantan, 2005, Mubarak, Kazi, 2013).

Tabel 2.2 – Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada Sindrom Nefrotik Primer

Kelainan minimal (KM)

Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

Glomerulonefritis kresentik (GNK)

Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

Glomerulopati membranosa (GM)

(11)

2.4.4 Diagnosa Differensial

Diagnosa differensial dari sindrom nefrotik adalah (Leung, Wong, 2010):

1. Glomerulonefritis poststreptococcal

2. Sindrom Alport

3. Henoch-Schönlein purpura

4. Systemic lupus erythematosus (SLE)

5. Diabetes mellitus

6. Sindrom nefrotik congenital

7. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)

8. Glomeruloskleresis fokal segmental (GSFS)

9. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

10. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

11. Glomerulopati membranosa (GM)

12. Keganasan (malignancy)

13. Acute tubular necrosis

14. Acute tubulointerstitial nephritis

15. Polycystic kidney disease

16. Proximal renal tubular acidosis

17. Pyelonephritis

18. Toksin

2.4.5 Penatalaksanaan

Pada sindrom nefrotik pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit

dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan

diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi

orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji

Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis isoniazid (INH)

bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat anti

tuberkulosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps hanya

(12)

muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu

dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila

edema tidak berat anak boleh sekolah (Noer, 2011, Nanjundaswamy,

Phadke, 2002)

2.4.5.1 Dietetik

Diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended

daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari dengan kalori yang

adekuat.

• Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang tidak melebihi 30%

jumlah total kalori keseluruhan, lebih dianjurkan memberikan

karbohidrat kompleks daripada gula sederhana.

• Restriksi garam dan cairan tidak diperlukan pada sebagian besar

kasus sindrom nefrotik sensitif steroid.

• Diet rendah garam (1-2 g/hari atau 2 mmol/kg/hari) plus

menghindari makanan ringan yang asin, dianjurkan selama anak

mengalami edema atau hipertensi (Noer, 2011, Gipson, et al., 2009,

Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.2 Edema/Sembab

• Sebagian pasien dengan sembab ringan tidak memerlukan diuretik.

• Pasien dengan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular

diberikan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali sehari. Bila tidak ada

respons, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari bersama

dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari,

sebagai potassium-sparing agent (diuretik hemat kalium). Bila

dengan terapi tersebut masih gagal, dapat ditambahkan thiazide

(hidroklorotiazid). Kadang-kadang perlu diberikan furosemid bolus

(13)

Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan sembab hebat. Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai

dengan insensible loss plus jumlah urin sehari sebelumnya.

• Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat

membahayakan pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin

serum < 1,5 g/dL) plus deplesi volume intravascular. Pemberian

infuse albumin 20% (kadang-kadang diperlukan beberapa kali

infus) dengan furosemid dapat memacu diuresis dan mengurangi

sembab.

• Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema

refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau

hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan

infus albumin 20 hingga 25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam

untuk menarik cairan dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan

pemberian furosemid intarvena 1-2 mg/kgBB.

• Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma

sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk

mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.

• Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah

overload cairan (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.3 Pengobatan Inisial Sindrom Nefrotik

Prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kg/hari atau 60

mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis diberikan

setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan prednisone dosis

40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara

intermitent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating

(14)

• Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednisone intermittent/alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari diberikan selama 4 minggu.

• Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien

tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid

(Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.4 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

• Prednison dosis penuh setiap hari (dosis tunggal atau terbagi)

sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan

prednison intermittent/alternating (dosis tunggal pada pagi hari)

dosis 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.

• Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga

terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai sindrom nefrotik

resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain

(Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.5 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid

• Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4

minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison

intermittent/alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak

menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating.

Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6

hingga 12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.

• Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping

yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis

2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sahari, selama 4 hingga 12

(15)

CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 8

hingga 12 minggu (Madani, et al., 2010).

• Pada sindrom nefrotik yang tidak responsif dengan pengobatan

steroid atau sitostatik (siklofosfamid (CPA)) dianjurkan pemberian

siklosporin (suatu inhibitor calcineurin) dengan dosis 5-6

mg/kgBB/hari (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.6 Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

• Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien sindrom nefrotik resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran

patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut

mempengaruhi prognosis (Noer, 2011, Gipson, et al., 2009).

• Sitostatik oral : siklofosfamid (CPA) 2-3 mg/kgBB/hari dosis

tunggal selama 3-6 bulan.

• Prednison dosis 40 mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan

dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5

mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

• Atau, siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB

diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat

dilanjutkan tergantung keadaan pasien.

Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off

dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan

0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan)

(16)

2.4.5.7 Pemberian Non Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria

• Pada pasien sindrom nefrotik yang telah resisten terhadap obat

kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin (atau tidak mampu

membeli obat ini), dapat diberikan diuretik (bila ada edema)

dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting

enzyme) untuk mengurangi proteinuria.

• Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.

• Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk menghambat

terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif), dapat

dikombinasikan dengan golongan anti reseptor bloker (ARB)

misalnya losaktan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal (Noer, 2011,

Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.6 Komplikasi

Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik. Anak-anak

yang kambuh telah terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri

karena kehilangan imunoglobulin dan faktor B properdin dari urin, cacat

imunitas cell-mediated, terapi imunosupresif, malnutrisi, dan edema atau

ascites bertindak sebagai medium kultur potensial. Peritonitis bakterial

spontan adalah infeksi umum, namun sepsis, pneumonia, selulitis, dan

infeksi saluran kemih juga dapat dilihat. Meskipun Streptococcus

pneumonia adalah organisme yang paling umum yang menyebabkan

peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli juga dapat

ditemui. Keluarga pasien harus diberi konseling untuk mencari bantuan

medis jika anak tampak sakit, mengalami demam, atau mengeluh sakit

abdomen terus-menerus. Apabila terjadi kecurigaan yang tinggi untuk

bacterial peritonitis, evaluasi cepat (termasuk kultur darah dan cairan

peritoneal), dan inisiasi awal terapi antibiotik sangat penting (Al Salloum,

(17)

Anak-anak dengan sindrom nefrotik harus menerima vaksin

pneumokokus serotype-23 (selain vaksin pneumokokus konjugat 7-valent),

diberikan sesuai dengan jadwal imunisasi rutin, idealnya diberikan ketika

anak berada dalam fase remisi dan terapi selang sehari. Vaksin virus

hidup tidak boleh diberikan kepada anak-anak yang menerima steroid

dosis tinggi harian atau selang sehari (≥ 2 mg/kg/ hari prednison atau yang

setara, atau ≥20 mg/hari jika anak memiliki berat >10kg). Vaksin dapat

diberikan setelah terapi kortikosteroid telah dihentikan selama

sekurangnya 1 bulan. Anak dengan nefrotik nonimmune yang kambuh,

jika terkena varicella, harus menerima immunoglobulin varicella-zoster (1

dosis ≤ 96 jam setelah eksposur yang signifikan). Vaksin influenza harus

diberikan secara tahunan (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011,

Bagga, Mantan, 2005).

Anak-anak dengan sindrom nefrotik juga mengalami peningkatan

risiko kejadian tromboemboli. Insidensi komplikasi ini pada anak-anak

adalah 2% hingga 5%, yang merupakan risiko yang jauh lebih rendah

dibandingkan orang dewasa dengan sindrom nefrotik. Trombosis baik

arteri dan vena dapat dilihat, termasuk trombosis vena ginjal, emboli paru,

trombosis sinus sagital, dan trombosis kateter arteri dan vena. Risiko

trombosis terkait dengan peningkatan faktor prothrombotik (fibrinogen,

trombositosis, hemokonsentrasi, imobilisasi relatif) dan penurunan faktor

fibrinolitik (kehilangan antitrombin III, protein C dan S urin).

Antikoagulan profilaksis tidak dianjurkan pada anak-anak kecuali

sebelumnya pernah ada riwayat tromboemboli. Untuk meminimalkan

risiko komplikasi tromboemboli, penggunaan agresif obat diuretik dan

penggunaan kateter indwelling harus dihindari jika mungkin.

Hiperlipidemia, terutama pada pasien dengan sindrom nefrotik yang rumit,

dapat menjadi faktor risiko penyakit jantung; infark miokard merupakan

komplikasi yang jarang pada anak-anak. Telah dikemukakan bahwa obat

(18)

harus digunakan untuk mengobati hiperlipidemia yang terlihat pada

sindrom nefrotik persisten, namun data terkontrol mengenai risiko atau

manfaatnya tidak tersedia (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011).

2.4.7 Prognosis

Meskipun tidak ada cara yang terbukti untuk memprediksi perjalanan

penyakit anak secara individu, anak-anak yang member respon dengan

cepat terhadap steroid dan mereka yang tidak kambuh semula selama 6

bulan pertama setelah diagnosis cenderung jarang kambuh sindrom

nefrotiknya. Untuk meminimalkan efek psikologis dari kondisi dan

terapinya, anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tidak boleh

dianggap sakit kronis dan boleh berpartisipasi dalam semua kegiatan anak

sesuai dengan usia dan mempertahankan diet yang tak terbatas ketika

dalam fase remisi (Pais, Avner, 2011, Al Salloum, et al., 2012).

Anak-anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid, paling sering

disebabkan oleh GSFS, umumnya memiliki prognosis yang jauh lebih

buruk. Anak-anak dapat terjadi insufisiensi ginjal progresif, akhirnya

mengarah ke stadium akhir penyakit ginjal yang memerlukan dialisis atau

transplantasi ginjal. Sindrom nefrotik berulang/rekuren terjadi pada 30%

hingga 50% dari penerima transplantasi dengan GSFS (Pais, Avner, 2011,

Al Salloum, et al., 2012).

2.5 Sindrom Nefrotik Sekunder

Sindrom nefrotik dapat terjadi sebagai karakteristik sekunder dari

penyakit glomerulus. Nefropati membranosa, glomerulonefritis

membranoproliferatif, glomerulonefritis pascainfektsi, nefritis lupus, dan

nefritis Henoch-Schönlein purpura semua dapat memiliki komponen

nefrotik (lihat Tabel 2.1). Sindrom nefrotik sekunder harus dicurigai pada

(19)

disfungsi ginjal, gejala ekstrarenal (ruam, arthralgia, demam), atau

penurunan tingkat komplemen serum (Pais, Avner, 2011).

Di daerah tertentu di dunia, malaria dan schistosomiasis adalah

penyebab utama dari sindrom nefrotik. Agen infeksi lainnya yang terkait

dengan sindrom nefrotik termasuk virus hepatitis B, virus hepatitis C,

filaria, kusta, dan HIV (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik telah dikaitkan dengan malignansi, khususnya

pada populasi orang dewasa. Pada pasien dengan tumor padat, seperti

karsinoma pada paru-paru dan saluran pencernaan, patologi ginjal sering

menyerupai glomerulopati membranosa. Kompleks imun terdiri dari

antigen tumor dan antibodi spesifik tumor mungkin memediasi

keterlibatan ginjal. Pada pasien dengan limfoma, terutama limfoma

Hodgkin, patologi ginjal paling sering menyerupai sindrom nefrotik

kelainan minimal (SNKM). Mekanismenya adalah bahwa limfoma

menghasilkan limfokin yang meningkatkan permeabilitas dinding kapiler

glomerulus. Sindrom nefrotik dapat terjadi sebelum atau setelah keganasan

terdeteksi, setelah regresi tumor, dan kembali jika tumor berulang (Pais,

Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga dapat terjadi selama terapi dengan berbagai

obat-obatan dan bahan kimia. Gambaran histologis dapat menyerupai

glomerulopati membranosa (penisilamin, kaptopril, anti-inflamasi

nonsteroid, senyawa merkuri), SNKM (probenesid, ethosuximide,

methimazole, lithium), atau glomerulonefritis proliferatif (procainamide,

chlorpropamide, phenytoin, trimethadione, paramethadione) (Pais, Avner,

2011).

2.6 Sindrom Nefrotik Kongenital

Sindrom nefrotik memiliki prognosis yang buruk apabila terjadi dalam 1

(20)

pada masa kanak-kanak. Sindrom nefrotik kongenital didefinisikan sebagai

sindrom nefrotik yang hadir pada saat lahir atau dalam 3 bulan kehidupan.

Sindrom nefrotik kongenital dapat diklasifikasikan sebagai primer atau

sebagai sekunder untuk beberapa etiologi seperti infeksi di rahim

(sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, hepatitis B dan C, HIV), lupus

eritematosus sistemik infantil, atau paparan merkuri (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik kongenital primer adalah disebabkan berbagai

sindrom yang diwariskan sebagai gangguan resesif autosomal. Sejumlah

kelainan struktural dan fungsional dari barrier filtrasi glomerulus

menyebabkan sindrom nefrotik kongenital yang telah dijelaskan. Barrier

filtrasi glomerulus, baik ukuran dan muatan selektif, terdiri dari 3 lapisan:

endotelium fenestrated, membran basal glomerulus, dan podocyte foot

processes. Podosit saling berhubungan dengan menjembatani struktur,

celah diafragma, yang bertindak sebagai filter ukuran, sedangkan membran

basal glomerulus membatasi molekul berdasarkan muatan ion mereka

(Pais, Avner, 2011).

Dalam studi kohort di Eropa menunjukkan anak-anak dengan

sindrom nefrotik kongenital, 85% menunjukkan penyakit, menyebabkan

mutasi di 4 gen (NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2), 3 yang pertama

yang mengkode komponen penghalang filtrasi glomerulus. Sindrom

nefrotik kongenital tipe Finnish disebabkan oleh mutasi pada gen NPHS1

atau NPHS2, yang mengkode nephrin dan podocin, komponen-komponen

penting dari celah diafragma. Bayi yang terkena paling sering terlihat saat

lahir dengan edema akibat proteinuria masif, dan mereka biasanya

dilahirkan dengan plasenta membesar (> 25% dari berat bayi).

Hipoalbuminemia berat, hiperlipidemia, dan hypogammaglobulinemia

adalah hasil dari hilangnya penyaringan selektivitas pada penghalang

filtrasi glomerulus. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan adanya

(21)

Sindrom Denys-Drash disebabkan oleh mutasi pada gen WT1,

yang menghasilkan fungsi podosit abnormal. Pasien datang dengan onset

awal sindrom nefrotik, insufisiensi ginjal progresif, ambigu genitalia, dan

tumor Wilms (Pais, Avner, 2011).

Mutasi pada gen LAMB2, terlihat pada sindrom Pierson,

menyebabkan kelainan β2 laminin, komponen penting dari glomerulus dan membran basal okular. Selain sindrom nefrotik kongenital, bayi yang

terkena menunjukkan bilateral microcoria (penyempitan tetap pupil)

(Pais, Avner, 2011).

Tanpa memperhatikan dari etiologi sindrom nefrotik kongenital,

diagnosis dibuat secara klinis pada bayi baru lahir atau bayi yang

menunjukkan edema generalisasi berat, pertumbuhan dan gizi yang buruk

dengan hipoalbuminemia, peningkatan kerentanan terhadap infeksi,

hipotiroidisme (karena kehilangan globulin pengikat tiroksin urin), dan

meningkatkan risiko trombotik. Kebanyakan bayi memiliki insufisiensi

ginjal progresif (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik kongenital sekunder dapat diterapi dengan

pengobatan penyebab yang mendasari, seperti sifilis. Pengelolaan sindrom

nefrotik kongenital primer meliputi perawatan suportif intensif dengan

albumin intravena dan diuretik, pemberian rutin intravena

globulin-gamma, dan dukungan nutrisi yang agresif (sering parenteral),

angiotensin-converting enzyme inhibitor, angiotensin II receptor inhibitor,

dan penghambat sintesis prostaglandin atau bahkan nefrektomi unilateral.

Jika manajemen konservatif gagal, dan pasien menderita anasarka

persisten atau infeksi berat berulang, nefrektomi bilateral dilakukan dan

dialisis kronis dimulai. Transplantasi ginjal adalah pengobatan definitif

sindrom nefrotik kongenital, meskipun kekambuhan dari sindrom nefrotik

Gambar

Tabel 2.1 – Penyebab Sindrom Nefrotik Pada Anak
Gambar 2.1 - Hasil biopsi ginjal dari 223 anak-anak dengan proteinuria dirujuk untuk biopsi ginjal diagnostik (Glomerular Disease Collaborative Network, J

Referensi

Dokumen terkait

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Untuk itulah penulis mencoba untuk membuat web site Melo Pop Core Distro yang terdapat Shopping Cart sederhana dengan menggunakan bahasa pemrograman HTML (Hyper Text Mark-up

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pengadaan Langsung Nomor : 011.10a/MTsN-SJJ/2012 tanggal 27 September 2012 Perihal Penetapan Pemenang Pengadaan Langsung untuk

[r]

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pengadaan Langsung Nomor : 011.9a/MAN-OK/2012 tanggal 27 September 2012 Perihal Penetapan Pemenang Pengadaan Langsung untuk pekerjaan

[r]

Perusahaan diharap membawa Dokumen kualifikasi asli yang di upload di LPSE dan Bukti keabsahan Dokumen (Akta pendirian) termasuk daftar kontrak yang dilampirkan, keabsahan

Sedangkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) pada model regresi kuadratik dan kubik memberikan nilai yang sama yaitu sebesar 0,216 dan pada model regresi linear sebesar 0,148. Hal