• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impor (Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Any Miami pada

tahun 2008 dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penetapan Tingkat Risiko

(Risk Ranking) di Bidang Impor”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana

penetapan tingkat risiko (risk ranking) terhadap profil importir dan profil

komoditi di bidang impor. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

tujuan penelitian yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian ini adalah profil

importir dibagi menjadi tiga kategori sesuai tingkat risiko importir, yaitu hi-rski,

medium-risk, dan low-risk. Kemudian profil komoditi dibagi menjadi tiga kategori

yaitu, very hi-risk (sebagai komoditi yang ditetapkan oleh pemerintah), hi-risk,

dan low-risk.

Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Deviyanto The

Dlava dalam skripsinya yang berjudul “Implementasi Manajemen Risiko Dalam

Bidang Impor” yang berlokasi penelitian di KPPBC Soekarno-Hatta. Penelitian

ini membahas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat risiko

suatu impor dan bagaimana penetapan tingkat risiko suatu impor. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif dengan tujuan peneltian bersifat deskriptif. Hasil

penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan tingkat risiko

adalah profil importir, profil komoditi, dan profil pemasok. Kemudian penetapan

(2)

Merah, jalur Kuning, jalur Hijau, jalur MITA Non Prioritas, dan jalur MITA

Prioritas. Berikut adalah tabel perbandingan dari penelitian terdahulu

Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu

Peneliti Any Miami Deviyanto The Dlava

Tahun 2008 2012

Permasalahan 1. Bagaimana penetapan tingkat risiko (risk

ranking) atas profil

importir dan profil komoditi di bidang impor

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat risiko suatu impor?

2. Bagaimana penetapan tingkat risko atas suatu impor?

Metode Kualitatif Kualitatif

Hasil Penelitian 1. Profil importir dibagi menjadi tiga kategori sesuai tingkat risko importir, yaitu

hi-risk, medium-risk dan low-risk

2. Profil komoditi dibagi

menjadi tiga

2. Penetapan tingkat risiko suatu impor dilakukan dengan penetapan jalur impor, yaitu jalur merah, jalur kuning, jalur hijau, jalur MITA Non Prioritas, dan jalur MITA Prioritas

Sumber : Diolah peneliti

I.2 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari - hari, tanpa disadari maupun direncanakan sebuah

resiko dari setiap kegiatan kita lakukanakan menghampiri, baik yang bersifat

positif (baik) maupun negatif (buruk). Oleh karena itu, diperlukan sebuah disiplin

khusus yaitu Manajemen Risiko agar kita mampu memanajemen dengan baik

semua risiko yang akan menghampiri sehingga setiap risiko menjadi keuntungan

(3)

telahterjadi, dan kedepannya kita mulai terlatih untuk menggambarkan

risiko-risiko apa saja yang akan menghampiri setiap kegiatan kita dimasa yang akan

datang.

Tidak berbeda dengan individu, begitu juga dengan organisasi baik

organisasi swasta maupun organisasi di bawah pemerintah. Dalam hal ini adalah

CUSTOMS sebuah Instansi Kepabeanan yang keberadaannya sangat esensial bagi

suatu negara dimanapun, demikian pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai yakni Instansi Kepabeanan yang dimiliki Indonesia adalah suatu instansi

yang memiliki peran yang cukup penting sebagai ujung tombak dalam tugas

pengawasan dan pelayananan barang keluar masuk wilayah Indonesia.Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai selanjutnya kita sebut Bea Cukai merupakan institusi

global yang hampir semua negara di dunia memilikinya.Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai memiliki peran yang cukup penting dari negara dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya untuk melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang

berbahaya, melindungi industri tertentu di dalam negeri dari persaingan yang tidak

sehat dengan industri sejenis dari luar negeri, memberantas penyelundupan,

melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang berkepentingan dengan

lalu lintas barang yang melampaui batas-batas negara, memungut bea masuk dan

pajak dalam rangka impor secara maksimal untuk kepentingan penerimaan

keuangan negara.Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memilik 4 fungsi utama yaitu

:

1. Bea Cukai sebagai pelayan atau pemberi fasilitas perdagangan (Trade

(4)

2. Bea Cukai ikut menunjang industri dalam negeri agar dapat bersaing dengan

industri luar negeri (Industrial Assistance).

3. Bea Cukai sebagai abdi negara (Revenue Collector).

4. Bea Cukai sebagai pelayan dan pengawas dalam perdagangan (Community

Protector) yaitu.

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.

09/2008 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Di Lingkungan Departemen

Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai instansi yang

berada di bawah langsung Kementerian Keuangan telah menerapkan manajemen

risiko sebagai upaya menanggulangi risiko (mitigasi) yang dihadapi oleh

organisasi. Bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tentunya penerapan

Manajemen Risiko memiliki tujuan dan manfaat.Tujuannya adalah untuk

mengantisipasi dan menangani risiko secara efektif dan efisien. Disamping juga

untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko serta memelihara

kinerja manajemen risiko serta untuk mengintegrasikan proses manajemen risiko

ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kinerja. Mengenai manfaat yang

akan diperoleh dengan penerapan Manajemen Risiko adalah menghindarkan

terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam bentuk keluhan maupun keberatan

dari para pemangku kepentingan (stakeholder), meningkatkan efisiensi, reputasi,

(5)

Contoh Kasus Perlunya Penerapan Manajemen Risiko :

Risiko-risiko yang biasa dihadapi oleh Bea dan Cukai adalah pertama,

Penyelundupan fisik yang terjadi di pelabuhan-pelabuhan kecil atau sering disebut

sebagai pelabuhan tikus. Kecenderungan terjadi di Pantai Timur Sumatera. Karena

di sana rawan terjadinya penyelundupan tekstil dan produk tekstil, terutama

pakaian bekas. Kedua adalah soal dokumen. Bea Cukai akan meningkatkan

pengawasan melalui sistem IT. Melalui analisis yang dilakukan atas data yang

tersedia dan melalui observasi serta mempelajari dokumen yang telah selesai. Atas

barang-barang yang termasuk risiko menengah dilaksanakan pemeriksaan secara

selektif seperti mainan anak-anak dan lainnya. Barang-barang yang diimpor

maupun diekspor masih mempunyai potensi risiko yang kemungkinan dapat

merugikan pendapatan negara.

April 2016 pukul 21.44 wib)

Berdasarkan kasus di atas sangat jelas bahwa perlunya penerapan Manajemen

Risiko yang baik. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian

“IMPLEMENTASI MANAJEMEN RISIKO DI BIDANG IMPOR(Studi

(6)

I.3 Rumusan Masalah

Melihat begitu banyaknya risiko – risiko yang ada dihadapan Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai sehingga Manajemen Risiko perlu untuk diterapkan untuk

menentukan mitigasi yang tepat sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih

besar.Penerapan Manajemen Risiko yang baik harus menjadi suatu kewajiban

yang harus diterapkan pada fungsi pengawasan dan pelayanan Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai. Oleh karena itu, pertanyaan yang menjadi rumusan masalah

penelitian ini adalah bagaimana Implementasi Manajemen Risiko di Bidang

Impordi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya C Teluk

Nibung Kota Tanjungbalai?

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara

lebih mendalam mengenai untuk mengetahui secara mendalam Implementasi

Manajemen Risiko di Bidang Impordi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea

Cukai Tipe Madya C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai.

I.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian diharapkan bermanfaat untuk melatih kemampuan berpikir

ilmiah, sistematis, dan bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan

menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan

(7)

2. Manfaat Praktis

Bagi penulis, manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari

seluruh tahapan penelitian serta hasilnya adalah dapat memperluas wawasan

dan sekaligus memperoleh pengetahuan empirik mengenai penerapan fungsi

Ilmu Administrasi Negara yang diperoleh selama mengikuti kegiatan

perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.

3. Manfaat Akademis

Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian dapat

dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan Ilmu Administrasi Negara dan

memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh mahasiswa/i Ilmu

Administrasi negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara serta menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya

ilmiah.

I.6 KERANGKA TEORI

Menurut Masri Singarimbun (1989:37) Teori merupakan serangkaian

asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan preposisi untuk menerangkan suatu

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar

konsep. Kerangka teori ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang

batasan-batasan teori yang akan dipakai sebagai landasan yang akan dilakukan

dalam penelitian. Berikut beberapa teori yang akan dijelaskan sebelum penelitian

(8)

I.6.1 Kebijakan Publik

I.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik

Secara etimoligis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa

Yunani “polis” berarti negara. Diartikan ke dalam bahasa Inggris “policie”

yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau

administrasi pemerintahan (William N Dunn 2000:22).

Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk

perilaku sorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun

suatu badan pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan

tertentu, (Budi Winarno 2002:14). Sedangkan kata publik sendiri dapat

diartikan sebagai negara.

Namun demikian, kebijakan publik merupakan konsep tersendiri

yang mempunyai arti dan definisi khusus akademik. Definisi kebijakan

publik menurut para ahli sangat beragam. Menurut Easton (1963) dalam

(Tangkilisan 2003:2) kebijakan publik adalah sebagai alat pengalokasian

nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya

meningkat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu

tinfakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari

sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupkan bentuk dari

pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Menurut Carl Friedrich (1963)

dalam (Budi Winarno 2002:19), mendefinisikan kebijakan publik sebagai

(9)

suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan

kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk

menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu

atau merealisasikan suatu sasaran dan maksud tertentu.Menurut James E

Anderson (Ibid 2002:16), mendefinisikan kebijakan publik adalah arah

tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau

sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa

yang sebenarnya dilakukan atau bukan pada apa yang diusulkan atau

dimaksudkan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bawha kebijakan

publik merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah

untuk melakukan atau tindakan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk

memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat.

I.6.1.2 Proses Kebijakan Publik

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai

berikut:

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis

dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk

memaknai apa yang disebut sebagai masal

(10)

sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik,

maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang

lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu

isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu

kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan

(policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang

pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan

ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan

tersebut. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya

perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas

suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu

agenda kebijakan.

1. telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi

ancaman yang serius;

2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis;

3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak

(umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;

4. menjangkau dampak yang amat luas ;

(11)

6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi

mudah dirasakan kehadirannya)

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada

agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara

lainnya ditunda untuk waktu lama.

Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan

tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah

kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan

stakeholder.

2. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan

untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan

masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang

ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam

agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing

slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk

memecahkan masalah.

3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses

(12)

oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.

Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang

sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan

dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu

anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola

melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini

orang belajar untuk mendukung pemerintah.

4. Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit,

jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program

kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi

maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil

dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya

finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan

akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para

pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para

pelaksana.

5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum

yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup

(13)

sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya

dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses

kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap

perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan

untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap

dampak kebijakan.

I.6.1.3 Implementasi Kebijakan Publik

Pengertian implementasi adalah serangkaian kegiatan yang terencana

berdasarkan kebijakan/program yang telah dibuat yang berkaitan dengan

kepentingan publik. Kebijakan yang telah dibuat merupakan strategi yang

memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah

publik yang ada. Kebijakan dilaksanakan oleh aktor politik atau sekelompok

aktor politik (implementor) untuk memecahkan masalah-masalah yang ada

sebatas kewenangan yang dimiliki oleh para implementor.

Selama ini kebijakan publik hanya menitik beratkan pada studi

tentang proses pembuatan kebijakan dan studi-studi tentang evaluasi, tapi

mengabaikan permasalahan-permasalahan pengimplementasian. Dua

perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan

sejauhmana implementasi terpisah dari formulasi kebijakan, yakni apakah

suatu kebijakan dibuat oleh pusat dan diimplementasikan oleh daerah

(bersifat Top-Down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan

aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya

(14)

permasalahan yang lebih luas, yakni bagaimana mengidentifikasikan

gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai

ruang dan waktu, serta beragam aktor yang terlibat di dalamnya.

Dalam studi implementasi terdapat berbagai variabel yang

mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan berdasarkan para ahli.

Secara umum yang membuat perbedaan variabel dalam teori implementasi

ini berkaitan dengan keragaman isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan. Isu

atau jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula,

karena ada jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit

karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang

relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki

perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat

kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana.

Ada beberapa teori implementasi kebijakan publik diantaranya,

Model Donald Van Metter dan Van Horn, Model George C. Edward III,

Model Grindle, dan lain-lain. Penulis mengambil teori yang dikemukakan

oleh George C. Edward III (1980), yakni :

1. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III ( 1980)

Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang

mempengaruhi keberhasilan impelementasi suatu kebijakan,yaitu:

Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi dan Struktur birokrasi.

(15)

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

suatu kebijakan menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008 :

150) adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan

keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik.

Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah

mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang

akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan

baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan impelementasi

harus ditansmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang

tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat,

dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar

para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten

dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam

masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur

keberhasilan variabel komunikasi yaitu :

a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan

suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam

penyaluran komunikasi adalah adanya salah

pengertian(misscommunication).

b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan

(street-level-bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak

ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu

(16)

membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada

tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang

hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu

komunikasi haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau

dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah,

maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan,

b. Sumber daya

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting

lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward

III (dalam Agustino, 2008 :151-152). Indikator sumber daya terdiri dari

beberapa elemen, yaitu :

a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf.

Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah

satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai,

ataupun tidak ompoten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan

implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf

dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan

kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan

tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua

(17)

melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus

mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai

data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi

pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus mengetahui apakah

orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh

terhadap hukum.

c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar

perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau

legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang

ditetapkan secara politik. Ketika wewenang nihil, maka kekuatan para

implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat

menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks

yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi

kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak,

efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para

pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan

kelompoknya.

d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam

implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang

mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan memiliki wewenang

untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung

(sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan

(18)

c. Disposisi

Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

kebijakan adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada

variabel disposisi, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino,

2008:152-154), adalah :

a) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan

hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila

personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang

diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan

pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang

memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan.

b) Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan

untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan

memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak

menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh

para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana

kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu

mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana

kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai

upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau organisasi.

d. Struktur birokrasi; Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 :

153-154), yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik

(19)

suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa

yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk

melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak

dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan

dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut

adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif

pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber

daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya

kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat

mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan

melakukan koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak

kinerja struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan

melakukan :

a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang

memungkinkan para pegawai (atau pelaksana

kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau

standar minimum yang dibutuhkan.

b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan

(20)

Gambar 1.1 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edwards III Sumber : (George III Edward, 1980)

Jadi, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan

dengan apa yang terjadi setelah perundang-undangan ditetapkan dengan

memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengna membentuk output yang

jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan

sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan

mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan program pemerintah

(Tangkilisan 2003:9).

I.6.2 Manajemen Risiko

Kata risiko banyak digunakan dalam berbagai pengertian dan sudah biasa

dipakai dalam kehidupan sehari-hari.Risiko adalah ketidaktentuan atau

(21)

Indonesia risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan dan

membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Menurut Ali (2006:2) risiko

adalah terdapatnya ketidakpastian yang menyebabkan profitability atau bahkan

dapat menimbulkan kerugian.Risiko adalah ketidakpastian atau uncertainty yang

mungkin melahirkan kerugian Abbas Salim (1989:3).

Menurut Kasidi (2010:5) risiko secara umum dapat dikelompokkan

menjadi:

1. Risiko spekulatif adalah risiko yang mengandung dua kemungkinan, yaitu

kemungkinan yang menguntungkan atau merugikan.

2. Risiko murni adalah yang mengandung satu kemungkinan yaitu kerugian

saja.

Menurut Kasidi (2010:7) sumber risiko dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Risiko sosial adalah sumber utamanya masyarakat. Artinya, tindakan

orang-orang menciptakan kejadian yang menyebabkan penyimpangan

merugikan.

2. Risiko fisik adalah fenomena alam dan sebagian besarnya dilakukan oleh

manusia.

3. Risiko ekonomi. Banyak risiko yang dihadapi oleh manusia itu bersifat

ekonomi.

Manajemen risiko adalah suatu metode logis dan sistematik dalam

identifikasi kuantitatifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta

melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berhubungan pada setiap aktivitas

(22)

suatu usaha untuk mengetahui, menganalisis serta mengendalikan risiko dalam

setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan memperoleh efektifitas dan efisiensi

yang lebih tinggi.Menurut Dorfman (1998:13) Manajemen Risiko dikatakan

sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami exposure terhadap

suatu kerugian. Tindakan manajemen risiko diambil oleh para praktisi untuk

merespon bermacam-macam risiko.Responden melakukan dua macam tindakan

manajemen risiko yaitu mencegah dan memperbaiki.

I.6.2.1 Tujuan dan Manfaat Penerapan Manajemen Risiko

Ada banyak aspek untuk mencapai kesuksesan suatu program

organisasi dalam pelaksanaan pelayanan dan pengawasan.Manajemen risiko

merupakan turunan dari ilmu manajemen namun bukan satu-satunya cara

ampuh untuk mencapai kesuksesan organisasi. Meskipun

demikian,manajemen risiko dapat meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan, membantumengurangi kejutan-kejutan, dan meningkatkan

kesempatan untuk mencapai kesuksesan organisasi. Jika manajemen risiko

dapat diterapkan dengan baik maka akan memiliki tujuan dan manfaat yang

baik untuk organisasi dalam mengelola risiko.

Tujuan dan manfaat penerapan manajemen risiko menurut Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 191/PMK. 09/2008 Tentang Penerapan

Manajemen Risiko Di Lingkungan Departemen Keuangan adalah untuk

mengantisipasi dan menangani risiko secara efektif dan efisien. Disamping

(23)

memelihara kinerja manajemen rsisiko serta untuk mengintegrasikan proses

manajemen risiko ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kinerja.

Manfaat yang akan diperoleh dengan penerapan manajemen risiko adalah

menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam bentuk

keluhan maupun keberatan dari para pemangku kepentingan (stake holder).

I.6.2.2 Proses Manajemen Risiko

Manajemen risiko dijalankan sebagai sebuah proses dalam

organisasi. Secara umum proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam

beberapa kegiatan. Paul Hopkins menggambarkan proses manajemen risiko

dengan 7Rs dan 4Ts. 7Rs dan 4Ts tersebut antara lain:

1. Recognitian of Risk. 2. Ranking of Risk

3. Responding to significant risk: a. Tolerate.

b. Treat. c. Transfer d. Terminate 4. Resource control

5. Reaction (and event) planning 6. Reporting of risk performance.

(24)

Kegiatan-kegiatan manajemen risiko tersebut dimulai dengan usaha

untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang diihadapi atau yang akan

dihadapi. Identifikasi risiko-risiko adalah langkah dasar dalam proses

manajemen risiko. Dengan telah teridentifikasinya risiko-risiko, maka

selanjutnya risiko-risiko tersebut harus disusun dalam peringkat-peringkat

sesuai dengan kemungkinan terjadinya maupun dampaknya terhadap

organisasi maupun kriteria-kriteria lain yang ditetapkan. Risiko-risiko yang

telah dibagi dalam peringkat-peringkat tersebut kemudian ditetapkan

tanggapan (respond) apa yang akan dilakukan terhadap risiko-risiko

tersebut. Pengendalian sumber daya selanjutnya dilakukan terhadap sumber

daya yang berkaitan dengan risiko-risiko tersebut terjadi. Langkah terkahir

adalah melaporkan kegiatan manajemen risiko dan melakukan ulasan atas

sistem manajemen risiko yang telah dijalankan.

Manajemen Risiko dilaksanakan dengan beberapa proses atau

tahapan. Menurut Ronny (2008:14)proses dan tahapan manajemen risiko

adalah sebagai berikut :

1. Identifikasi risiko

a. Daftar risiko

Risiko perlu diidentifikasi untuk mendapatkan suatu daftar risiko. Daftar

(25)

2. Pengukuran risiko

Setelah semua risiko yang perlu diketahui teridentifikasi dan daftar risiko

telah dibuat kemudian risiko-risiko yang ada pada daftar tersebut diukur.

Dengan demikian proses selanjutnya setelah identifikasi risiko adalah

pengukuran risiko. Tahap ini digunakan untuk mendapatkan apa yang

disebut dengan status risiko dan peta risiko. Status risiko adalah ukuran

yang bisa menunjukkan tingkatan risiko sehingga kita bisa mengetahui

mana yang paling mengancam. Sedang peta risiko adalah gambar sebaran

risiko dalam suatu peta sehingga kita bisa mengetahui dimana risiko berada

dalam suatu peta.

3. Penanganan

Berdasarkan peta risiko dan status risiko ini, kemudian manajemen

melakukan penanganan risiko yang dimaksud adalah memberikan usulan

apa yang akan dilakukan untuk menangani risiko-risiko yang telah

terpetakan.

4. Evaluasi

Evaluasi merupakan aktivitas selanjutnya dari proses manajemen risiko.

Usulan penanganan risiko diberikan kepada Internal Auditor.

Sekurang-kurangnya setahun sekali, Internal Auditor mengaudit perusahaan sekaligus

mengaudit apakah usulan penanganan risiko yang diberikan oleh

masing-masing manajer dilaksanakan atau tidak. Aktivitas audit ini merupakan

(26)

Gambar 1.2 Tahapan Manajemen Risiko

Sumber : Ronny (2008)

Proses Manajamen Risiko merupakan tindakan dari seluruh entitas

terkait di dalam organisasi. Tindakan berkesinambungan yang dilakukan

sejalan dengan definisi Manajemen Risiko yaitu identifikasi,

menilai/peringkat risiko, menentukan sikap, menetapkan solusi/mitigasi,

pemantauan dan pengkajian ulang risiko Idroes (2008:7).

Penerapan proses manajemen risiko dilakukan secara terus-menerus,

sistematis logis, dan terukur. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

191/PMK. 09/2008 proses manajemen risiko di jelaskan sebagai berikut: Identifikasi

a. Daftar Risiko

Pengukuran

a. Peta

b. Status

Penanganan

(27)

1. Penetapan konteks diperlukan untuk menjabarkan latar belakang, ruang

lingkungan, tujuan, kondisi lingkungan dimana manajemen risiko

diterapkan.

2. Identifikasi risiko adalah proses mengidentifikasi lokasi, waktu, sebab

dan proses terjadinya peristiwa risiko yang dapat menghalangi,

menurunkan, menunda atau meningkatkan tercapainya sasaran.

3. Analisis risiko dilakukan dengan mencermati sumber risiko dan tingkat

pengendalian yang ada serta dilanjutkan dengan menilai risiko dari sisi

konsekuensi dan kemungkinan terjadinya.

4. Evaluasi risiko dilakukan untuk pengambilan keputusan mengenai perlu

tidaknya dilakukan penanganan risiko lebih lanjut serta prioritas

penanganannya.

5. Penanganan risiko dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai opsi

penanganan risiko yang terssedia dan memutuskan opsi penanganan

risiko yang terbaik yang dilanjutkan dengan pengembangan rencana

mitigasi risiko.

6. Monitoring dan Reviu dilakukan dengan cara memantau efektivitas

rencana penanganan risiko, strategi, dan sistem manajemen risiko.

Monitoring risiko bertujuan untuk mengantisipasi adanya perubahan,

baik pada tingkat maupun tren risiko, yang berdampak terhadap profil

(28)

7. Komunikasi dan konsultasi dilakukan dengan cara mengembangkan

komunikasi kepada stakeholder internal maupun eksternal.

Setiap risiko akan berdampak langsung terhadap organisasi. Paul

Hopkin (2010) dalam Deviyanto (2012) menggambarkan hubungan antara

kemungkinan terjadinya risiko dan dampak terjadinya risiko sebagai

berikut:

Gambar 1.3Kemungkinan dan Dampak Risiko

Sumber : Hopkin, 2010

Melihat gambar di atas, Hopkin menggambarkan kemungkinan

terjadinya risiko dan dampak terjadinya risiko dalam empat kuadran.

Organisasi yang memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi harus

menganalisis risiko yang akan datang untuk menentukan langkah-langkah

(29)

I.6.2.3 Prinsip Manajemen Risiko

Manajemen risiko memiliki harus memiliki karakteristik–

karakteristik tertentu sebagai sebuah konsep agar dikatakan baik. Prinsip–

prinsip manajemen risiko yang baik menurut Paul Hopkin (2010) Deviyanto

(2012) adalah sebagai berikut:

1. Proporsional, kegiatan manajemen risiko harus sebanding dengan tingkat

risiko yang dihadapi oleh organisasi

2. Selaras, kegiatan manajemen risiko harus selaras dengan

kegiatan-kegiatan lain dalam organisasi

3. Komprehensif, untuk mencapai manajemen risiko yang efektif,

pendekatan manajemen risiko harus secara menyeluruh atau

komprehensif.

4. Tertanam, kegiatan manajemen risiko harus tertanam di dalam

organisasi.

5. Dinamis, kegiatan manajemen risiko harus dinamus dan responsif

terhadap risiko-risiko yang timbul dan perubahan-perubahan risiko yang

dihadapi.

Prinsip-prinsip manajemen risiko dalam Peraturan Menteri

Keuangan No. 191/PMK.09/2008 :

(30)

Risiko-risiko utama yang harus mendapatkan perhatian adalah risiko

ketidakpatuhan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan. Demikian

pula langkah-langkah pengendalian risiko juga harus memperhatikan

kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

2. Berorientasi Jangka Panjang

Pengendalian risiko tidak hanya untuk mengatasi risiko-risiko jangka

pendek tetapi juga harus mempertimbangkan kemungkinan dan dampaknya

secara jangka panjang.

3. Berimbang

a. Keputusan yang diambil dalam penerapan manajemen risiko harus

memeperhatikan kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders)

secara berimbang dan tidak mendahulukan kepentingan tertentu.

b. Dalam proses manajemen risiko dan langkah-langkah pengendaliannya

harus memperhatikan bahwa biaya pengendalian risiko tidak boleh lebih

besar dari konsekuensi risiko itu sendiri.

Prinsip-prinsip ini harus diterapkan dengan baik oleh organisasi dan

harus dijalankan oleh seluruh bagian di dalam organisasi. Keberhasilan

penerapan manajemen risiko bukan hanya karena perencanaan yang baik

tetapi juga karena pelaksanaan yang dilakukan oleh setiap bagian organisasi

(31)

I.6.2.4 Manajemen Risiko Dalam Pabean

Manajemen risiko yang berkembang sejak tahun 1970 di

negara-negara maju dan baru diterapkan di Indonesia pada akhir tahun 2005, telah

dikenal dalam lingkungan DJBC sejak tahun delapan puluhan. Risiko dapat

diperkirakan dan dihitung melalui analisis resiko berdasarkan teori

probabilitas. Risiko manajemen merupakan aplikasi prosedur manajemen

secara sistematik untuk mengidentifikasikan, menganalisis,

menghitung/memperkirakan serta mengambil tindakan untuk meminimalkan

atau membatasi risiko. Melalui teori ini, terdapat tahapan-tahapan yang

dianggap mengandung risiko dalam setiap kegiatan kepabeanan seperti :

1. Tahap pertama adalah sebelum pemberitahuan (pre clearance), yakni

sebelum, saat dan sesudah pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut,

penyerahan manifest yang dilakukan oleh perusahaan sarana pengangkut

atau agen/yang mewakili. Hal ini dilanjutkan dengan penyampaian

pemberitahuan impor/ekspor.

2. Tahap kedua, pemeriksaan ulang atas semua dokumen yang telah selesai

dan barang sudah dikeluarkan dari tempat penimbunan dan diterbitkan

SPPB.

3. Tahap ketiga, audit kepabeanan (post clearance audit) yang dilakukan di

tempat perusahaan yang menjadi sasaran audit.

4. Tahap keempat, merupakan lingkup investigasi sebagai kelanjutan dari

atas dasar ini pemeriksaan pabean yang dilaksanakan oleh pejabatbea

(32)

pada barang dan importir. Selektif dalam arti bahwa pemeriksaan fisik

dilaksanakan setelah membuat suatu analisis risiko. Barang yang

diimpor/ekspor dikategorikan ke dalam tiga tingkat risiko yaitu, tinggi (hi

risk), tinggi (medium risk) atau rendah low risk, tergantung dari hasil

analisis yang dilakukan petugas.

Tindakan penetapan jalur merupakan bagian tidak terpisahkan dari

kegiatan penelitian administrasi. Penetapan jalur pengeluaran barang

impor didasarkan atas profil Importir, yang dibuat oleh bagian pencegahan

dan/atau profil komoditi yang disusun berdasarkan perkembangan importasi

jenis-jenis barang yang banyak dilakukan pelanggaran. Profil importir dan

profil komoditi dari perusahaan yang pernah melewati penetapan jalur ini

akan dijadikan acuan untuk menentukan profil risiko sebuah perusahaan.

Profil risiko dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK. 09/2008

Tentang Penerapan Manajemen Risiko Di Lingkungan Departemen

Keuangan adalah penjelasan tentang total paparan risiko yang dinyatakan

dengan tingkat (level) risiko. Profil risiko inilah yang dijadikan dasar untuk

menjaring perusahaan yang akan kita lakukan pemeriksaan fisik.

Pemuktahiran profil risiko masih menjadi masalah bagi Bea dan Cukai

karena masih dianggap statis. Profil risiko yang dimiliki di dalam database

perlu perbaharui untuk mendapatkan akurasi penetapan jalur bagi

perusahaan. Jika perusahaan pernah mekakukan pelanggaran baik

pelanggaran administratif maupun pidana, maka akan mempengaruhi profil

(33)

Keempat jalur ini awalnya dikategorikan dengan penerapan

manajemen risiko berdasarkan profil risiko, jenis

record dan informasi-informasi yang ada dalam data base

Sistem penjaluran juga telah menggunakan penjaluran

sangat kecil kemungkinan diintervensi oleh petugas DJBC dalam

menentukan jalur-jalur tersebut pada barang tertentu. Terdapat 4 (empat)

penjaluran secara teknis. Pada tahun 2007 DJBC telah memperkenalkan

Jalur MITA, yaitu sebuah jalur fasilitas yang khusus berada pada kantor

Pelayanan Utama (KPU). Jalur tersebut adalah:

1. Jalur prioritas yang khusus untuk importir yang memiliki track record

sangat baik, untuk importir jenis ini pengeluaran barangnya dilakukan

secara otomatis (sistem otomasi) yang merupakan prioritas dari segi

pelayanan, dari segi pengawasan maka importir jenis ini akan dikenakan

sistem

sistem komputer akan ditetapkan untuk dikenakan pemeriksaan fisik.

2. Jalur hijau, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan

risk) untuk kedua jalur tadi pemeriksaan fisik barang tetap akan

dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena

adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap

(34)

3. Jalur Kuning, jalur ini diperuntukkan untuk importir denga

risk) untuk jalur tersebut pemeriksaan dokumen barang tetap akan

dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena

adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap

barang.

4. Jalur merah (red channel) ini adalah jalur umum yang dikenakan kepada

importir baru, importir lama yang memiliki catatan-catatan khusus,

importir dengan risiko tinggi karena track record yang tidak baik, jenis

komoditi tertentu yang diawasi

menggunakan jasa customs broker atau

jasa kepabeanan dengan track record yang tidak baik ( "biro Jasa" atau

"calo"), dan lain sebagainya. Jalur ini perlu pengawasan yang lebih

intensif oleh karenanya diadakan pemeriksaan fisik barang.

pemeriksaan

100%

Petugas Pabean diserahi pengawasan dan pelayanan sesuai dengan

kebutuhan industri dan pengguna jasa lainnya dalam rangka upaya untuk

menghindari ketidaklancaran arus barang impor maupun ekspor. Di satu sisi

kepabeanan dituntut untuk dapat memberikan fasilitas sesuai dengan

(35)

Kepentigan industri dan proses perdagangan yang membutuhkan ketepatan

dan kecepatan waktu penyerahan barang. Di sisi lain melakukan

pengawasan yang dianggap sebagai “hambatan birokrasi” berupa sistem dan

prosedur kepabeanan yang rumit sebagai pelaksana ketentuan dari instansi

teknis lain, di bidang pengawasan dan penegakan hukum pabean.

Fungsi kepabeanan yang harus mendukung perdagangan dan juga

tetap menjaga kepatuhan kepabeanan pada setiap stakeholder menyebabkan

kepabeanan pada saat ini harus menerapkan pendekatan yang lebih efektif

dalam menjalankan kedua peran tersebut secara baik. Salah satu cara terbaik

untuk mencapai hal tersebut adalah dengan melakukan manajemen risiko.

Kepabeanan harus mampu untuk menjaga dua risiko secara bersamaan,

yaitu risiko kegagalan memfasilitasi perdaganan internasional dan risiko

ketidakpatuhan pabean di dalam negeri.

I.6.3 Definisi Pengawasan Pabean

Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar

rencana dapat diwujudkan dengan efektif sehingga orgasnisasi tersebut dapat

mencapai tujuannya pengawasan berfungsi menjaga agar seluruh jajaran berjalan

di atas rel yang benar. Pengawasan dapat dilakukan dari jauh maupun dari dekat.

Menurut Colin Vassarotti (Risk Management 1996:19) tujuan pengawasan Pabean

adalah memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan

(36)

hukum, peraturan dan prosedur pabean yang ditetapkan. Untuk menjaga dan

memastikan agar semua barang, kapal dan orang yang keluar/masuk dari dan ke

suatu negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan.

Pengawasan dari jauh disebut pemantauan atau monitoring ini dapat

dilakukan menggunakan sarana telepon, fax, atau radio. Wujud pengawasan cara

ini adalah permintaan laporan kepada bawahan dan jawaban dari bawahan atas

permintaan tersebut. Jika pengawasan dari jauh tidak efektif dapat dilakukan

pengawasan langsung ke obyeknya. Dalam hal ini pengawasan yang dilakukan

disebut sebagai pemeriksaan yang berarti pemeriksa berhadapan langsung dengan

obyek yang diperlukan.

Pengawasan adalah kegiatan untuk menjaga agar semua peraturan dipenuhi

atau dijalankan. Petugas yang melakukan pemeriksaan barang impor pada

hakikatnya melakukan pengawasan karena ia meneliti apakah importir

memberitahukan jumlah dan jenis barang sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Selama ini yang dianggap pengawasan adalah orang mengawasi orang misalnya

kegiatan seorang petugas Bea Cukai yang mengawasi petugas lainnya yang

sedang memeriksa barang.

Petugas Bea Cukai yang meneliti dokumen juga melakukan pengawasan

kepada importir yang mengajukan dokumen. Dalam Surat Keputusan Menteri

Keuangan Nomor: KEP-32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 tentang

Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dalam ketentuan ini

terjadi perubahan tugas dan fungsi dimana Kantor Wilayah mempunyai fungsi

(37)

Penindakan dan penyidikan yang tidak dimiliki oleh Kantor Pelayanan,

fungsi pengawasan berada di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan hanya

berfungsi pelayanan. Dalam hal ini muncul pertanyaan apakah dengan demikian

di Kantor Pelayanan Bea Cukai tidak dimungkinkan adanya operasi pencegahan

pelanggaran peraturan perundang undangan, penindakan dan penyidikan.

Yang menjadi acuan kegiatan pengawasan adalah rencana, program kerja,

prosedur atau petunjuk pelaksanaan yang pada umumnya dituangkan dalam

bentuk perundang-undangan baik itu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen (Direktur Jenderal)

dan sebagainya. Pengawasan bekerja dengan memakai semua undang-undang,

prosedur dan tatacara yang telah ditetapkan sebagai tolok ukur atau pembanding.

Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan

pengawasan pabean meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh

petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu memeriksa: kapal, barang,

penumpang, dokumen, pembukuan, melakukan penyitaan, penangkapan,

penyegelan, dan lain-lain. Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan

yang dibuat oleh WCO (World Customs Organization) disebutkan bahwa

pengawasan pabean adalah salah satu metode untuk mencegah dan mendeteksi

pelanggaran kepabeanan.

Berdasarkan modul WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea

Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan

paling tidak harus mencakup kegiatan : penelitian dokumen, pemeriksaan fisik,

(38)

pengawasan Bea Cukai untuk mencegah penyelundupan. Jika kita lihat uraian

tugas dan fungsi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai tidak terlihat adanya fungsi

pencegahan pelanggaran, penindakan dan penyidikan tetapi kalau dilihat pada

fungsi seksi-seksi di dalamnya terlihat adanya fungsi patroli, pemeriksaan kapal,

periksaaan barang, pemeriksaan badan, penelitian dokumen dan sebagainya yang

merupakan kegiatan pengawasan (Customs Control) menurut terminologi WCO.

Apabila ditinjau dari kegiatan kepabeanan mulai dari saat kedatangan kapal

atau penumpang, pembongkaran barang, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan

barang atau penumpang, nampaklah bahwa fungsi-fungsi yang dimiliki

seksi-seksi di dalam Kantor Pelayanan telah dapat melaksanakan sebagian fungsi

pengawasan. Petugas Kantor Pelayanan berwenang melakukan pengawasan

pembongkaran, penelitian dokumen, pemeriksaan barang dan pemeriksaan

penumpang.

Yang tidak dapat dilaksanakan hanyalah kegiatan audit pasca impor,

penindakan dan penyidikan karena ketiga kegiatan ini tidak tercantum dalam

uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan maupun seksi-seksi di dalamnya.

Kegiatan penindakan dan penyidikan sebenarnya merupakan tindak lanjut dari

pengawasan pabean. Pengawasan pabean yang dilakukan melalui penelitian

dokumen, pemeriksaan fisik, audit pasca-impor, maupun patroli jika menemukan

adanya pelanggaran atau tindak pidana akan ditindaklanjuti dengan penindakan

atau bahkan penyidikan.

Penelitian dokumen atau audit yang menemukan dokumen palsu akan

(39)

pemeriksaan fisik ditemukan barang larangan/terlarang akan ditindaklanjuti

dengan penyidikan. Jika petugas Bea Cukai di Kantor Pelayanan tidak mempunyai

wewenang melakukan penindakan akan timbul masalah apabila dalam tugasnya ia

menemukan pelanggaran.

Pemeriksaan barang di pelabuhan adalah upaya pencegahan (preventif) agar

tidak terjadi pelanggaran, demikian pula penelitian dokumen sebelum barang

diizinkan keluar dari pelabuhan. Petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan yang

melakukan penelitian dokumen berarti memberikan pelayanan kepada masyarakat

tetapi penelitian dokumen itu juga sekaligus suatu pengawasan pabean (Customs

Control).

Dari berbagai tipe pelanggaran sebagian besar adalah pengimporan atau

pengeksporan di pelabuhan tempat pengawasan Bea dan Cukai. Untuk tipe

pelanggaran ini informasinya lebih banyak dan lebih mudah diperoleh dari

dokumen-dokumen yang diajukan pada Bea dan Cukai Kantor Pelayanan, tetapi

untuk penyelundupan yang terjadi di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai

informasinya harus dicari langsung di lapangan. Intelijen (termasuk Surveillance)

hanya dilakukan oleh petugas Kantor Wilayah tidak akan efektif dan tidak

mungkin bisa meliputi seluruh wilayah karena terbatasnya jumlah petugas dan

dana dibandingkan dengan luasnya wilayah.

Secara teoritis bisa secara rutin dikirim satuan tugas Surveillance dari

Kantor Wilayah untuk mengumpulkan dan mencari informasi ke seluruh wilayah

(40)

kegiatan intelijen juga dilakukan oleh Kantor Pelayanan karena mereka berada

didekat sumber informasi. Pada umumnya yang dianggap informasi bagi orang

awam adalah pemberitahuan dari seseorang atau badan secara tertulis atau lisan

bahwa akan terjadi penyelundupan yang dilakukan oleh seseorang.

Informasi yang sudah matang ini di Bea Cukai lazim disebut hasil intelijen

atau intelijen positif. Sebenarnya informasi tidak hanya sebatas yang sudah

matang saja tetapi banyak informasi yang masih mentah berserakan disana-sini

berada dalam dokumen Pabean maupun dokumen pelengkapnya, informasi ini

kalau diolah juga akan menghasilkan informasi matang (intelijen positif) yang

dapat digunakan mendeteksi penyelundupan atau pelanggaran Kepabeanan.

Pengawasan pabean antara lain adalah penelitian dokumen, pemeriksaan

fisik dan audit pasca-impor.

1) Untuk dapat melaksanakan pengawasan diperlukan informasi yang mencukupi

dan khusus untuk Bea dan Cukai informasi yang diperlukan itu sebagian besar

berada dalam dokumen pabean atau dokumen pelengkap pabean yang

diserahkan kepada Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan. Dengan demikian

Kantor Pelayanan mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan Kantor

Wilayah dalam penguasaan informasi ini dan lebih mudah melakukan

pengawasan.

2) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No: 32/KMK.01/1998

tanggal 4 Pebruari 1998 tentang Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai titik berat fungsi pengawasan berada pada Kantor Pelayanan

(41)

Kantor Pelayanan lebih potensial untuk melakukan pengawasan dalam

pengertian dayto- day-operations.

3) Fungsi pengawasan yang bersifat pencegahan (Preventif) oleh Kantor Wilayah

akan menghadapi kendala kurangnya informasi, jumlah tenaga dan biaya yang

harus dikeluarkan tetapi untuk pengawasan yang tidak bersifat pencegahan

misalnya verifikasi dan audit dapat dilakukan sepenuhnya.

4) Meskipun di dalam fungsi Kantor Pelayanan tidak tersebut adanya pencegahan,

penindakan dan penyidikan namun seyogyanya kegiatan ini tetap dapat

dilaksanakan di Kantor Pelayanan sebab kegiatan-kegiatan tersebut merupakan

tindak lanjut dari pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang, pemeriksaan

penumpang, hasil patroli.

Informasi yang umumnya dipakai untuk kegiatan pengawasan berada di

dalam dokumen Airway Bill (AWB), Bill of Lading (B/L), manifest,

Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB),

Invoice, Polis Asuransi, Certificate of Origin, Letter of Credit (L/C), profit

importir, data pemeriksaan kapal, data kapal, data Pengusaha Pengurusan Jasa

Kepabeanan, dan sebagainya yang berada di Kantor Pelayanan karena data

tersebut berada dalam dokumen-dokumen yang harus diserahkan kepada Bea dan

Cukai dalam rangka pelayanan. Kantor Wilayah hanya bisa memperoleh data

tersebut apabila dikirim ke Kantor Pelayanan. Untuk bisa melakukan pengawasan

Kantor Wilayah harus mempunyai informasi yang cukup. Informasi yang

(42)

Sebenarnya Kantor Pelayanan adalah institusi yang paling efektif untuk

mendeteksi dan mencegah adanya pelanggaran atau penyelundupan karena

menguasai informasi yang banyak. Informasi tentang muatan kapal, jumlah, dan

jenisnya, importir dan eksportir semua ada pada Kantor Pelayanan. Petugas

Kantor Pelayanan juga melihat dan mengawasi langsung penimbunan atau

pemuatan dan dapat mendeteksi adanya kejanggalan yang merupakan indikator

adanya pelanggaran.

Hukuman atau sanksi sanksi yang diberikan diharapkan membuat jera

pelakunya sehingga dikemudian hari tidak melakukan pelanggaran lagi. Jika

dilihat dari banyaknya importir/eksportir yang melakukan kegiatan tentunya tidak

seluruh perusahaan diaudit. Untuk menyeleksi perusahaan mana yang perlu

dilakukan audit juga diperlukan informasi dan informasi yang diperlukan ini

tersedia di Kantor Pelayanan.

Jika tidak ada transfer informasi dari Kantor Pelayanan ke Kantor Wilayah

akan sulit bagi Kantor Wilayah menentukan sasaran audit. Fungsi pengawasan di

Kantor Pelayanan saat ini sebagian dilaksanakan oleh Seksi Kepabeanan yang

melakukan kegiatan pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang, pemeriksaan

penumpang, dan Seksi Manifest dan Informasi yang melakukan patroli dan

pemeriksaan sarana pengangkut.

I.6.4 Perdagangan Internasional

Setiap negara berbeda dengan negara lainnya ditinjau dari sumber alamnya,

(43)

keadaan sturuktur ekonomi, dan sosialnya. Keadaan ini menciptakan perbedaan

barang yang diproduksi, biaya yang diperlukan, serta kualitas dan kuantitas

barang. Karena itu mudah dipahami adanya negara yang lebih unggul dan lebih

istimewa dalam memproduksi hasil tertentu. Hal ini dimungkinkan karena ada

barang yang hanya dapat diproduksi di daerah dan diiklim tertentu atau karena

suatu negara mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara

lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih bersaing.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menjaga tingkat harga barang

dalam negeri, maka suatu negara melakukan kegiatan perdagangan internasional

(ekspor dan impor) dengan negara lain. Sama halnya dengan perdagangan dalam

negeri yakni melakukan transaksi “jual-beli” maka dalam perdagangan luar negeri

pun dilakukan juga hal yang sama hanya saja tata caranya lebih sulit dan lebih

rumit disebabkan faktor-faktor. Menurut Amir (2000:3), beberapa faktor yang

membuat perdagangan luar negeri menjadi lebih sulit dan rumit, sebagai berikut:

1. Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan;

2. Barang yang dikirim atau diangkut ke suatu negara lainnya malalui bermacam

peraturan seperti peraturan pabean yang bersumber dari pembatasan yang

dikeluarakan masing-masing pemerintah;

3. Antara satu negara dengan negara lainnya tidak jarang terdapat perbedaan

dalam bahasa, mata uang, takaran, dan timbangan, hukum, dalam perdagangan,

(44)

Oleh karena itu dalam melakukan perdagangan luar negeri, diperlukan pengetahuan

yang cukup misalnya dalam segi teknis pembiayaan baik impor maupun ekspor masalah

peraturannya, masalah shipping, urusan pabean, dan lain-lain.

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan

internasional, di antaranya sebagai berikut :

1. Faktor Alam/ Potensi Alam

2. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri

3. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan

4. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan

5. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu menjual produk tersebut.

6. Adanya perbedaan keadaan seperti perbedaan hasil

7. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.

8. Keinginan membuka negara lain.

9. Terjadinya era hidup sendiri.

Bea dan Cukai dibentuk pemerintah suatu negara untuk memeriksa

barang-barang dan bagasi ketika memasuki suatu negara. Pemeriksaan ini diperlukan

untuk melihat apakah pajaknya telah dibayar. Pemeriksaan jugauntuk mengecek

barang-barang tersebut barang selundupan ataupun barang terlarang atau tidak.

Cara yang digunakan dalam pemeriksaan antara lain dengan melihat dokumen

(45)

pelacak.

Perdagangan internasional dalam penelitian ini adalah kegiatan impor.

Impor adalah proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara

lain. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea

cukai di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari

perdagangan internasional.

26 Juni 2016 pukul 13.29)

Oleh karena itu dalam melakukan perdagangan luar negeri, diperlukan pengetahuan

yang cukup misalnya dalam segi teknis pembiayaan baik impor maupun ekspor masalah

peraturannya, masalah shipping, urusan pabean, dan lain-lain.

I.6.5 Sistem Informasi Manajemen

Sistem informasi manajemen merupakan salah satu aspek penting dalam

organisasi. Sistem informasi manajemen adalah jaringan prosedur pengolahan

data yang dikembangkan dalam suatu organisasi dan disahkan bila diperlukan

untuk memberikan data kepada manajemen untuk dasar pengambilan keputusan

dalam rangka mencapai tujuan. Data-data tersebut diolah untuk menjadi sebuah

informasi. Sistem informasi manajemen adalah sebuah sistem manusia atau mesin

yang telah terintegrasi dengan baik untuk menyajikan informasi yang berguna

untuj menunjang fungsi operasi, manajemen, dan dalam pengambilan keputusan

(46)

dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), prosedur pedoman,

model manajemen keputusan dan sebuah database.

Pada saat organisasi menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan,

maka terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi peristiwa potensial yang

mempengaruhi pencapaian sasaran, mengukur level risiko, dan mengambil

langkah penting untuk mengelola risiko, dll. Untuk mempermudah dan

meningkatkan akurasi dalam pengelolaan risiko atau manajemen risiko diperlukan

sebuah aplikasi sistem informasi manajemen risiko yang handal. Pengelolaan

risiko harus terus menerus dilakukan terkait dengan berbagai perubahan

lingkungan perusahaan baik internal maupun eksternal. Berikut Gambar Piramida

dari Robert V. Head (dalam Davis, 2002:2)

(47)

1. Lapisan terbawah terdiri dari informasi untuk pengolahan transaksi, penjelasan

status.

2. Lapisan kedua terdiri dari sumber-sumber informasi yang mendukung operasi

manajemen.

3. Lapisan ketiga terdiri dari sumber daya sistem informasi untuk membantu

perencanaan taktis dan pengambilan keputusan untuk pengendalian

manajemen.

4. Lapisan keempat (puncak) terdiri dari sumber daya informasi untuk

mendukung perencanaan dan perumusan kebijakan oleh tingkat puncak

manajemen.

I.7 Definisi Konsep

Konsep merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat

perhatian ilmu sosial. Dengan konsep peneliti melakukan abstraksi dan

menyederhanakan pemikiranya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa

kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainya maka defenisi konsep

untuk penelitian ini ialah:

1. Implementasi kebijakan adalah proses ataupun tindakan-tindakan terhadap

kebijakan yang telah di tetapkan dan dijalankan oleh individu-individu (dan

kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan

sasaran yang telah ditetapkan. Implementasi Kebijakan yang dimaksud dalam

(48)

09/2008 dengan memperhatikan 4 variabel yang di kemukakan oleh George C.

Edwards III Sebagai Berikut :

a. Komunikasi

b. Sumberdaya

c. Disposisi

d. Struktur Birokrasi

2. Manajemen Risiko adalahtindakan berkesinambungan yang dilakukan sejalan

dengan untuk mengantisipasi risiko-risiko yang dihadapi organisasi yang akan

berdampak terhadap organisasi. Secara umum proses manajemen risiko dapat

dibagi ke dalam beberapa kegiatan. Paul Hopkins menggambarkan proses

manajemen risiko dengan 7Rs dan 4Ts. 7Rs dan 4Ts tersebut antara lain:

1. Recognitian of Risk. 2. Ranking of Risk

3. Responding to significant risk: a. Tolerate.

b. Treat. c. Transfer d. Terminate 4. Resource control

5. Reaction (and event) planning 6. Reporting of risk performance.

(49)

3. Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar rencana

dapat diwujudkan dengan efektif sehingga organisasi tersebut dapat mencapai

tujuannya pengawasan berfungsi menjaga agar seluruh jajaran berjalan di atas

rel yang benar.

4. Sistem informasi manajemen adalah jaringan prosedur pengolahan data yang

dikembangkan dalam suatu organisasi dan disahkan bila diperlukan untuk

memberikan data kepada manajemen untuk dasar pengambilan keputusan

dalam rangka mencapai tujuan.

I.8 Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, permasalahan yang

menjadi rumusan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, serta sistmematika penulisan

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian,

informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis

data.

(50)

Bab ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian dan

karakteristik lokasi penelitian.

BAB IV : PENYAJIAN dan ANALISIS DATA

Bab ini menyajikan data yang diperoleh selama penelitian di lapangan

dan dokumentasi yang akan dianalisis. Bab ini berisikan analisis data

dari data yang diperoleh saat melakukan penelitian dan memberikan

interpretasi atas permasalahan yang diajukan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil

Gambar

Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu Any Miami Deviyanto The Dlava
Gambar 1.1 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edwards III
Gambar 1.2 Tahapan Manajemen Risiko
Gambar 1.3Kemungkinan dan Dampak Risiko
+2

Referensi

Dokumen terkait

8.6 In the event that the Purchaser defaults in complying with any of the conditions herein or fails to pay the Balance Purchase Price within the time allowed, then the Assignee

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa nilai kadar karbon paling rendah yaitu briket dengan perbandingan komposisi sekam padi dan ampas tebu (3:2) gram

Kesimpulan: (1) Dari 25 jenis penyakit hewan menular strategis yang teridentifikasi, terdapat beberapa jenis diantaranya yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia

adalah pemberlakuan pajak yang sangat tinggi kepada masing-masing kepala keluarga terutama petani yang setiap tahunnya menghasilkan tanaman padi dan gandum.

Walaupun Pesta Adat Belian Paser Nondoi ini juga dirancang untuk menarik wisatawan tetapi pelaksanaannya tetap tidak meninggalkan ciri-ciri ritualnya seperti

Untuk mengetahui metode HATAM (Hafal Tanpa Menghafalkan) dalam mengatasi Interferensi Retroaktif menghafal Al- Qur’an siswa di Muhammadiyah Boarding School SMA

Untuk indikator kuesioner variabel kesadaran merek yang kedua yaitu “Saya mengetahui sepatu Converse dalam kehidupan sehari - hari”, dengan rincian. 10 orang responden

Berikut ini hasil rekapitulasi dari tanggapan responden mengenai fasilitas yang ada di Kebun Binatang Kasang Kulim yang di dalamnya terdapat fasilitas utama (