PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikaruniai dengan salah satu hutan tropis yang paling luas dan tinggi tingkat kaya keanekaragaman hayatinya di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Berkurangnya luasan hutan alam di Indonesia merupakan sambutan hangat terbentuknya Hutan Tanaman Industri (HTI) yang merupakan kawasan hutan produksi yang menerapkan budidaya kehutanan (silvikultur) secara intensif untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan, baik kayu maupun non kayu. Di tengah semakin langkanya hutan produksi alam, HTI menjadi tumpuan produksi hasil hutan masa depan.
Tanaman sukun merupakan tanaman tahunan yang termasuk ke dalam famili Moraceae. Daerah asalnya adalah Pacifik, Polynesia, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kanopi pohon sukun sangat bagus, memiliki warna daun hijau tua dengan sistem perakaran yang kuat, sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan pencegah intrusi air laut ke darat di sekitar pantai. Pada masa lalu sukun dianggap penting bagi kehidupan bangsa. Pada tradisi Hawai, sukun digunakan sebagai simbol kreativitas dan penggugah kedermawanan. Namun sekarang produsen sukun terbesar didunia adalah Kepulauan Karibia, yang memanfaatkan sukun sebagai makanan pokok (Alrasyid 1993).
Sebaran tanaman sukun di Indonesia cukup luas baik di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur maupun di luar Pulau Jawa seperti
Aceh, Sumatera Utara, Pulau Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua/Irian. Pada umumnya masing-masing daerah menyatakan keunggulan dari sukun daerahnya, sedangkan informasi yang menjelaskan jenis-jenis sukun yang ada di Indonesia belum ada (Pitojo, 1992).
Penggunaan mulsa organik merupakan pilihan alternatif yang tepat karena mulsa organik terdiri dari bahan organik sisa tanaman (seresah padi, serbuk gergaji, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman yang akan dapat memperbaiki kesuburan, struktur dan secara tidak langsung akan mempertahankan agregasi dan porositas tanah, yang berarti akan mempertahankan kapasitas tanah menahan air, setelah terdekomposisi (Forth ,1994).
Penggunaan mulsa bertujuan untuk mencegah kehilangan air dari tanah sehingga kehilangan air dapat dikurangi dengan memelihara temperatur dan kelembaban tanah. Aplikasi mulsa merupakan salah satu upaya menekan pertumbuhan gulma, memodifikasi keseimbangan air, suhu dan kelembaban tanah serta menciptakan kondisi yang sesuai bagi tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Mulyatri, 2003).
Tanaman tahan kering dalam pengembangan pemuliaan tanaman pertama-tama perlu diketahui tanggapan tanaman tersebut terhadap kekeringan, untuk mengetahui sejauh mana tingkat toleransinya salah satunya mengenai tanggap tanaman terhadap lengas tanah tersedia di lapangan (Lestari, 2006).
Berlangsungnya pertumbuhan tanaman yang baik harus didukung oleh keadaan air yang optimum. Cekaman (kelebihan maupun kekurangan) air dapat
berakibat buruk karena akan mengganggu proses-proses metabolisme dalam tubuh tanaman (Jasminarni, 2008)
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan kerapatan mulsa organik
dan frekuensi penyiraman terbaik terhadap pertumbuhan bibit sukun
(Artocarpus communis) di rumah kaca.
Manfaaat Penelitian
Sebagai informasi untuk penggunaan berbagai kerapatan mulsa organik sebagai media tambahan untuk membantu tanaman memperoleh air yang cukup terutama pada lahan dengan kadar air yang sedikit serta untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Hipotesis penelitian
1. Mulsa organik anyaman daun sawit berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun.
2. Interval penyiraman yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun.
3. Mulsa organik anyaman daun sawit dan Interval penyiraman berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun.