• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadilan restoratif dan Sistem Peradilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keadilan restoratif dan Sistem Peradilan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Keadilan restoratif dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, demikian disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Republik Indonesia, 2002:1). Negara Hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama, hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah, dan kedua, norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum.

Usaha melindungi masyarakat dalam kehidupan yang damai, aman dan tertib atas segala gangguan dari pelaku pelanggar norma, maka salah satu sarana untuk menanggulanginya dengan hukum pidana. Menurut E. Utrecht (1968) dalam Faal (1991:4) bahwa hukum pidana merupakan hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tak kenal kompromi, walaupun seumpama si korban tindak pidana sudah memaafkan, mendamaikan dengan si pelaku dan atau sudah menerima nasib agar pelakunya dimaafkan atau tidak dituntut, namun hukum pidana itu bersikap tegas, hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak.

Kekuatan hukum pidana tersebut diimbangi dengan berbagai kelemahan terkait sanksinya, yaitu bahwa sanksi pidana keras/kejam, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan membutuhkan biaya yang tinggi, mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang berefek samping negatif, bersifat pengobatan simptomatik (kurieren am sympton), hukum pidana hanya sebagian kecil dari sarana kontrol yang tidak mampu mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusian yang sangat kompleks, sistem pemidanaan bersifat fragamentair dan individual/personal, serta keefektifan pidana masih tergantung pada banyak faktor, karenanya penggunaannya harus sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) (Arief, 1998:139-140).

(2)

memiliki tujuan untuk pembalasan dan pencegahan. Dalam rangka penegakan hukum pidana, setiap penjatuhan pidana setidaknya memenuhi asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Meskipun pada prakteknya tidak mudah, mengingat penjatuhan pidana yang tegas atau pasti belum tentu menjamin adanya keadilan dan kemanfaatan, begitu pula sebaliknya.

Mengapa pemidanaan harus melihat asas keadilan dan asas kemanfaatan? Patut diperhatikan bahwa berangkat dari tujuan pemidanaan yang dalam literatur biasanya dikenal dengan 3R dan 1D yaitu Reformation, Restraint, Retribution dan Detterence (A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, 2010 : 42), maka apabila pemidanaan hanya memiliki asas kepastian tanpa memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan maka bisa saja tujuan pemidanaan di atas tidak dapat tercapai, reformasi (reformation) atau perbaikan pelaku tindak pidana tidak akan bisa dicapai apabila pemidanaan tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan baik bagi pelaku, korban atau masyarakat secara umum, begitu pula dengan tujuan pencegahan (detterence) yang dapat diartikan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan menunjukkan wibawa kepada pihak lain yang mungkin akan melakukan tindak pidana yang sama bisa saja tidak tercapai bila dalam pemidanaan tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat umum. Sementara dua tujuan lainnya (restraintdan retribution) cenderung berkaitan dengan asas kepastian dalam pemidanaan.

(3)

lapangan para pengguna narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) sebenarnya lebih membutuhkan rehabilitasi dibandingkan sanksi pidana penjara. Contoh seperti ini yang kemudian dapat digolongkan pada overkriminalisasi, dimana terlalu banyak perbuatan yang dirumuskan ke dalam perbuatan pidana dan harus dijatuhi sanksi pidana. Overkriminalisasi dapat menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan masyarakat akan hukum dan aparaturnya karena bukan lagi keadilan yang didapat, namun nestapa dan derita semata.

Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat tujuan negara Republik Indonesia salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Makna yang bisa dipetik di sini adalah negara wajib melindungi setiap warga negaranya baik sebagai korban kejahatan, pelaku kejahatan, dan masyarakat luas dengan seadil-adilnya.

Dengan berjalannya waktu dunia hukum terus mengalami perkembangan paradigma menyangkut peradilan pidana terutama di Indonesia. Banyak negara mulai meninggalkan cara kusut dan kuno dalam rangka penegakan hukum pidana yang tidak manusiawi menuju pada pendekatan yang humanis serta ujung pangkalnya yaitu memulihkan keadaan kembali kondisi semula sebelum terjadi kejahatan, tentu tanpa mengabaikan hak-hak asasi setiap warga negara. Pelaku maupun korban dalam kasus hukum pidana membutuhkan proyeksi yang sebanding dalam konteks keadilan yang proporsional. Pendekatan kekinian dalam sistem peradilan pidana tersebut adalah keadilan restoratif (restorative justice).

Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sebelumnya, perlu dipahami mengenai keadilan restoratif. Beragam definisi dan konsep tentang keadilan restoratif yang dikemukakan oleh para ahli. Daniel W. Van Ness mengemukakan sebagai berikut :

(4)

Van Ness lebih lanjut mengemukakan bahwa bahwa dari kedua kategori definisi di atas dapat dikombinasikan sehingga ditemukan satu definisi yaitu, Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished through inclusive and cooperative processes(Van Ness, 2005:3).

Johnstone dalam Atalim (2013:143) menyatakan bahwa, “restorative justice is not a single coherent theory or perspetive on crime and justice, but a loose unifying term which encompasses a range of distict ideas, practice, and proposals”.

Sementara itu Howard Zehr berpendapat bahwa, ”viewed through a restorative justice lens, “crime is a violation of people and relationship. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender and the community in a search for solution which promote repair, reconciliation and reassurance” (Howard Zehr, 1990:181).

Mark S. Umbreit, Betty Vos, Robert B. Coates dan Elizabeth Lightfoot mengatakan bahwa, “Restorative justice offers a very different way of understanding and responding to crime. Instead of viewing the state as the primary victim in criminal acts and placing victims, offenders, and the community in passive roles, restorative justice recognizes crime as being directed against individual people” (Mark S.Umbreit, et.al, 2005:255).

Ada beberapa istilah lain yang dipakai dengan makna yang mirip dengan keadilan restoratif. Misalnya keadilan prosedural, keadilan partisipatif, keadilan real, keadilan relasional, keadilan positif, dan keadilan transformatif. Istilah yang paling mirip atau memiliki makna yang sama adalah keadilan transformatif. M. Kay Harris dalam Atalim (2013:144) mengatakan, “restorative justice and transformative justice are two names for the same thing and prperly understood, the terms should be considered interchangeable”. Beberapa praktisi bependapat pula bahwa istilah paling cocok bagi konsepsi ini bukan keadilan restoratif, melainkan pendekatan restoratif (Atalim, 2013:144).

(5)

prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, masyarakat membantu memberikan pendapat serta solusi, dan dalam proses tersebut tetap melibatkan penegak hukum yang merupakan kepanjangan tangan dari negara.

Harus diakui bahwa terdapat beranekaragam pemahaman dan definisi tentang keadilan restoratif. Keragaman ini tentu tidak hanya memperkaya khazanah teoritis tentang keadilan restoratif, melainkan sekaligus merefleksikan keragaman kepentingan dan ideologi yang terlibat dalam proses penegakkan keadilan restoratif ketika ide tentang keadilan tersebut didiskusikan. Keragaman pemahaman konseptual dan praktik keadilan restoratif itu bukanlah sesuatu yang fatal sehingga ide tersebut layak untuk diterima. Keadilan restoratif harus dapat dilihat sebagai perangkat ide yang ingin melampaui penegakkan keadilan konvensional yang sudah mapan. Keadilan restoratif menantang kita untuk memikirkan “kejahatan”, “korban”, dan “reaksi terhadap pelaku” secara baru.

Liebmann dalam Atalim (2013:145) merumuskan tujuan utama keadilan restoratif yakni: “Restorative justice aims to restore the well-being of victims, offenders and communities damaged by crime, and to prevent further offending”. Pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mengupayakan proses mediasi antara korban dan pelaku, pertemuan dan dialog antara korban dan pelaku yang melibatkan keluarga dan masyarakat luas, dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab pelaku dan korban. Semangat utama keadilan resoratif adalah tidak terutama untuk mengadili dan menghukum pelaku, melainkan guna mereparasi dan merestorasi korban dan pelaku. Maka nilai keadilan terletak pada dialog (dialogue), kesepahaman (mutuality), penyembuhan (healing), perbaikan (repair), penyesalan dan tobat (repentance), tanggung jawab (responsibility), kejujuran (honesty), dan ketulusan (sincerity).

(6)

Perbedaan Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif

Paradigma lama: Keadilan Retributif Paradigma baru: Keadilan Restoratif 1. Crime defined as violation of the state 1. Crime defined as violation of one person

by another 2. Focus on estabilishing blame, on guilt, on

past (did he/she do it ?)

2. Focus on problem-solving, on liabilities and obligations, on future (what should be done ?)

3. Adversarial relationshops and process normative

3. Dialogue and negotiations normative

4. Imposition of pain to punish and deter/prevent

4. Restitutions as a means of restaring both parties; reconciliation/restorations as goal 5. Justice defined by intent and by prpcess:

right rules

5. Justice defined as right reationships: judge by the outcome

6. Interpersonal, conflictual nature o crime obscured, repressed: confict seen as individual vs state

6. Crime recognised as interpersonal conflict: value of conflict recognised

7. One social injury replaced by another 7. Focus on repair of social injury 8. Community on side line, represented

abstractly by state

8. Community as facilitator in restorative process

9. Encouragement of competitive, individualistic values

9. Encourage of mutuality

10. Action directed from state to offender: a. Victim ignored

b. Offender passive

10. Victim’s and offender’s role recognised in both problem and solution:

a. Victim rights/need recognised

b. Offender encouraged to take responsibility

11. Offender accounteability defined as taking punishment

11. Offender accountability defined as understanding impact of action and helping decided how to make things right 12. Offence defined in purely legal terms,

devoid of moral, social, economic, political dimensions

12. Offence understood in whole context-moral, social, economic, political

13. ‘Debt’ owed to state and society in the abstract

13. Debt/liability to victim recognised

14. Response focused on offender’s past behavior

14. Response focused on harmful consequences of offender’s behavior 15. Stigma of crime unremovable 15. Stigma of crime removable through

restorative action 16. No encouragement for repentance

and forgiveness

16. Possibilities for repentance and forgiveness

17. Dependence upon proxy proffesional 17. Direct involvement by participants Sumber: Atalim (2013:145-146)

(7)

Dari sisi hasil dan tujuan yang ingin dicapai, kedua pendekatan ini menunjukkan tendensi yang berbeda. Hasil yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif adalah kesatuan dalam pertemuan, perkembangan, reintegrasi, dan kebenaran secara menyeluruh. Ini berbeda dari tendensi yang ingin dicapai dalam keadilan retributif yakni separasi (pemisahan), kesalahan dan kejahatan (harm), pengasingan (ostracism), kebenaran legal (legal truth). Keadilan restoratif bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara berbagai kutub yang berbeda yakni antara model terapeutik dan retributif, antara hak-hak korban dan hak pelaku dan kewajiban untuk melindungi publik. Tetapi hasil ini hanya dapat dicapai apabila fasilitator atau mediator berperan secara tidak memihak, cakap, terampil, kedua belah pihak menerima tanggun jawab, putusan ang dicapai merupakan pilihan yang realistik dan rasional, tidak ada tekanan dan pemaksaan, pengakuan bahwa semua pihak yang telibat sama pentingnya, semua pihak terlibat secara aktif, proses komunikasi dan dialog yang konstruktif, saling percaya, dan solusi yang diambil merupakan kesepakatan bersama dan bukan atas dasar pemaksaan pihak-pihak tertentu.

Prinsip dasar Keadilan Restoratif

Marian Liebmann dalam Atalim (2013:147) menguraikan prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagai berikut:

1. Dukungan dan pemulihan korban menjadi prioritas. Prioritas ini yang membedakan keadilan restoratif dengan sistem pengadilan kriminal konvensional. Meskipun tujuan sistem pengadilan kriminal kkonvensional bertujuan untuk mendukung dan memulihkan korban, fokus sistem pengadilan kriminal konvensional justru hanya terletak pada pelaku kejahatan (offender), pelanggar, atau orang yang bersalah. Pelaku kejahatan atau orang yang dianggap bersalah diincar, ditangkap, diborgol, dilumpuhkan, didakwa, dihukum, dipenjara, bahkan juga dihukum mati. Agen atau institusi yang terlibat dalam proses ini hanyalah polisi, jaksa, hakim, staf penjara, atau para eksekutor. Meskipun kepentingan korban dengan demikian dibela, alokasi perhatian dan penetapan orientasi dan tujuan hukum ke depan belumlah seimbang. Hukum bukanlah terutama untuk menghakimi melainkan untuk menyelaraskan tindakan dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kepentingan korban dan masyarakat secara keseluruhan tidak dengan sendirinya ditegakkan dengan menghukum pelaku. Korban juga menghendaki agar harta bendanya kembali, mereka juga menghendaki agar pertanyaan-pertanyaan dijawab, mereka menginginkan agar semua informasi tentang kejadian sesungguhnya diperoleh dengan cukup.

(8)

termasuk mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya. Unsur ini merupakan titik tolak keadilan restoratif.

3. Dialog untuk mencapai kesepahaman. Ada banyak pertanyaan dari para korban yang tidak terjawab dalam proses pengadilan konvensional. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa saya ? mengapa mobil atau rumah saya ? apa sesungguhnya terjadi ? apakah kejadian ini bisa terjadi lagi ? Hanya satu orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini yakni pelaku. Tetapi banyak pelaku pun tidak memahami bagaimana mereka bisa melakukan kejahatan. Apa yang terjadi pada korban dan pelaku sehingga kejahatan itu bisa terjadi ? Di sini dialog diperlukan. Dialog ini umumnya tidak terjadi untuk tidak mengatakan tidak mungkin – dalam pengadilan formal, tetapi merupakan proses inti dalam keadilan restoratif.

4. Adanya upaya untuk menempatkan kejahatan yang sudah dilakukan pada posisi sebenarnya. Di sini apologi bisa terjadi. Tetapi yang dibutuhkan justru lebih dari itu, kejujuran. Situasi korban dan komunitas perlu dikembalikan dan diperbaiki. Langkah logis berikut sebagai bukti tanggung jawab pelaku dan masyarakat terhadap korban adalah mengupayakan agar semua hak, kondisi, dan situasi korban bisa kembali seperti semula. Tetapi banyak pelaku justru tidak memiliki kemampuan, keterampilan, miskin dan tidak mampu untukk memulihkannya secara material. Di sini peran masyarakat luas dan negara dibutuhkan. Dalam kasus pencuarian misalnya, seringkali kejahatan itu dilakukan pelaku untuk menyambung hidup. Kemiskinan yang dialami pelaku secara implisit menampakkan ketidakmampuan negara menyediakan lapangan kerja, merumuskan kebijakan upah yang berpihak pada buruh, atau tidak adanya jaminan sosia dari negara bagi warga negara miskin. Sementara, korban pun tidak jaran justru menghendaki agar pelaku ‘membayar’ kejahatan yang ia lakukan dengan membantu orang lain yang lebih tidak beruntung. 5. Pelaku berusaha untuk menghindari kejahatan serupa di masa depan. Sekali

(9)

6. Komunitas/masyarakat membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku dalam masyarakat. Jelasa bahwa pelaku perlu diintegrasikan ke dalam masyarakat, terutama setelah hukuman penjara. Yang dibutuhkan oleh pelaku adalah akomodasi, pekerjaan, dan relasi yang positif sebagai anggota komunitas dan masyarakat. Di sisi lain, korban pun perlu diintegrasikan ke dalam komunitas dan masyarakat, ia tidak perlu dialianasi atau disingkirkan, karena kejahatan yang dialaminya ini merupakan salah satu tujuan pokok dari dukungan terhadap korban. Di tanah air, yang dibutuhkan mungkin tidak hanya lembaga perlindungan saksi dan korban, tetapi juga perlindungan bagi pelaku. Organisasi-organisasi karitatif yang menyediakan pelayanan konsultasi, dialogis, dan psikologis tidak hanya terbatas pada korban, melainkan juga bisa diperluas sampai pada pelaku.

Dalam konteks sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang dibangun untuk menanggulangi dan mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima (Mardjono Reksodiputro, 2007:140). Sistem peradilan pidana ini sendiri terdiri dari para penegak hukum sebagai bagian dari negara yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, dimana dalam rangka mencapai tujuan sistem peradilan pidana ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

1. Efisiensi kepolisian (angka pengungkapan kejahatan yang tinggi yang disertai penyidikan yang adil) merupakan prasyarat untuk administrasi pemasyarakatan yang baik, karena bila ini tidak terlaksana, maka : terpidana akan melihat dirinya sebagai “kambing hitam” yang tidak beruntung dan tidak akan mau mengikuti secara sukarela program pembinaan yang ada dalam lembaga. 2. Penggunaan yang berlebihan dalam penahanan sementara akan

mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menampung penghuni di atas batas kapasitasnya, dan hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengurangi masukan (input), menambah keluaran (output) dan mempersingkat penyidangan perkara.

3. Mengurangi beban (penghuni) lembaga pemasyarakatan dapat pula dilakukan melalui seleksi yang ketat terhadap perkara yang memang akan diajukan ke pengadilan dan juga dengan mempergunakan kemungkinan lain daripada pidana penjara (alternatives to imprisonment).

4. Mencegah disparitas (perbedaan yang besar) dalam pidana yang dijatuhkan untuk perkara yang serupa, agar terpidana tidak merasakan dirinya diperlakukan secara tidak adil dan menimbulkan rasa permusuhan terhadap komponen-komponen sistem peradilan pidana, termasuk terhadap lembaga pemasyarakatan, yang akan menyukarkan pembinaannya.

(10)

dalam penyelesaian perkara pidana. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Eva Achjani Zulfa perkembangan konsep tentang keadilan restoratif apabila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana menjadi kontraproduktif (2009:29), hal ini menunjukkan posisi dari keadilan restoratif yang memang berada di luar sistem peradilan pidana. Meskipun begitu, dalam rangka perkembangan pemikiran terkait pemidanaan dan sistem peradilan pidana, keadilan restoratif patut dipertimbangkan sebagai alternatif untuk pidana yang sudah ada. Bahkan menurut A.Z. Abidin dan Andi Hamzah pencarian alternaif hukuman untuk pidana penjara sudah jauh dilakukan sejak usai Perang Dunia II ketika manfaat pidana penjara untuk perbaikan dan rehabilitasi penjahat ternyata tidak ada sama sekali (2010:21).

Keadilan restoratif sendiri dalam korelasinya dengan sistem peradilan pidana dapat dilihat dari tiga model hubungan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana yang dikemukakan dalan The Vienna Declaration On Crime and Justice 10-17 April 2000 yaitu (Eva Achjani Zulfa 2009:33) :

1. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana

2. Di luar sistem peradilan pidana melalui lembaga / institusi lain di luar sistem 3. Di luar sistem peradilan pidana dengan tetap melibatkan pihak penegak hukum Peluang Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia

Ada beberapa bentuk keadilan restoratif pada prakteknya, yang pertama adalah mediasi antara pelaku dengan korban, dimana antara korban kejahatan dan pelaku kejahatan dipertemukan dengan mediator terlatih untuk mengembangkan rencana perbaikan kondisi yang rusak akibat kejahatan atau dikenal dengan Victim Offender Mediation (Leena Kurki, 2005:294-295). Kemudian bentuk yang kedua adalah Family Group Conferencing yang melibatkan kelompok masyarakat lebih besar, anggota keluarga dan pihak lain untuk memastikan pelaku memenuhi kesepakatan yang dibuat (Leena Kurki, 2005 :297).

Namun setidaknya menurut Jennifer L. Llewellyn dan Robert Howse ada lima model atau pergerakan terkait keadilan restoratif :

1. The informal justice movement emphasized informal procedures with a view to increasing access to and participation in the legal process. They focused on delegalization in an effort to minimize the stigmatization and coercion resulting from existing practices.

2. Restitution as a response to crime was rediscovered in the 1960’s. The movement focused on the needs of victims, maintaining that meeting the needs of victims would serve the interests of society more generally.

(11)

4. Reconciliation/conferencing movement – Van Ness and Strong cite two major strands in this movement:

a. victim/offender mediation – Originating from efforts of the Mennonite Central Committee, this process brings victim and offender together with a mediator to discuss crime in order to form a plan to address the situation. b. Family group conferencing movement in New Zealand – arising out of the

Maori traditions in New Zealand.

5. The social justice movement – Van Ness and Strong use this label to refer generally to a number of different groups working for a vision of justice as concerned inherently with social well being (Jennifer L. Llewellyn and Robert Howse,1998:14-15).

Pada dasarnya metode mediasi dalam keadilan restoratif, mirip dengan metode mediasi yang digunakan dalam mediasi pada konflik-konflik umum di luar masalah hukum. Mediasi ini fokus kepada kemungkinan ekskalasi konflik tersebut, bukan pada jenis tindakan kriminalnya (Georg Zwinger, 2002:83). Dalam hal ini, artinya sekecil apapun konflik yang timbul akibat adanya tindak pidana atau tindak kriminal, metode mediasi urgen untuk dilakukan agar mengembalikan “kerusakan” yang terjadi antara pelaku dan korban, atau lebih luas tatanan sosial dan keadilan dalam lingkup masyarakat. Zwinger menguraikan tahapan pencegahan eksakalasi konflik melalui mediasi sebagaimana dituliskan dalam Restorative Justice Practice and its Relation to The Criminal Justice System(2002:83) :

1. Moderation presumes that the parties will be able to come to terms with conflicts themselves after a few interventions. The mediator’s role is generally limited to creating the setting for the encounter between the parties and by placing significant issues on the foreground of their dialogue.

2. Process mediation deals with deeply rooted mutual perceptions and modes of behaviour. Rigid roles and relationships must be eased.

3. In socio-therapeutic process mediation, interventions are therapeutically enhanced. This should contribute to breaking existing neurotic ties to specific roles and other psychotherapeutically indicated problem situation. This method is particularly appropriate if the participants’ loss of face has already fundamentally affected their personal identity.

4. In the negotiation process the mediator attempts to find an agreement acceptable to all of the parties concerned which will make it possible to coexist. This strategy is appropriate if the parties are unable to co-operate in solving the problems directly.

(12)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam proses mediasi, khususnya dalam rangka pelaku kejahatan memberikan ganti kerugian yang dialami korban (Daniel W.Van Ness, 2005 :5) yaitu :

The first is by offering an apology, a sincere admission and expression of regret for their conduct.

A second is restitution, where in the offender pays back the victim through financial payments, return or replacement of property, performing direct services for the victim, or in any way that the parties agree.

The third is through performing community service by providing free services to a charitable or governmental agency. These and other measures to repair harm (if an expansive definition of restorative justice is used) are considered restorative outcomes.

Cara yang pertama dan yang kedua dapat dilakukan melalui musyawarah, sebagaimana di negara Indonesia lembaga musyawarah sering sekali digunakan sebagai sarana untuk mencapai kemufakatan. Sementara cara yang ketiga serupa dengan kerja sosial.

Bagaimana kemudian praktek-praktek keadilan restoratif ini diterapkan di Indonesia? Hal ini kemudian dapat dilihat dari nilai dasar keadilan restoratif yang berasal dari nilai-nilai tradisional, pada ruang lingkup di Indonesia hal ini ditunjukkan dengan keberadaan lembaga musyawarah sebagai nilai dasar dari penerapan keadilan restoratif, dimana musyawarah dalam mufakat dipandang sebagai filosofi dasar dari Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila.

Sila ke-4 Pancasila mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil putusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah “musyawarah” mengandung 5 (lima) prinsip sebagai berikut: pertama, conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan keinginan); kedua, search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masing-masing); keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); dan kelima,circles(saling menunjang).

Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa juga memiliki banyak masyarakat adat dengan norma-norma yang berlaku di daerah masing-masing, menarik kemudian melihat bagaimana masing-masing masyarakat adat menerapkan sanksi adat kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan I Gede A.B. Wiranata sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulfa (2010:189-190) :

(13)

2. Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani;

3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib; 4. Penutup malu, permintaan maaf;

5. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;

6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum (dalam hal ini orang yang dikenai sanksi diberikat pembatasan haknya sebagai anggota masyarakat adat).

Menjadi pertanyaan pula bagaimana kemudian menerapkan praktek keadilan restoratif diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, untuk itu kita bisa belajar dari praktek-praktek di beberapa negara. Praktek keadilan restoratif oleh pihak kepolisian misalnya, di sejumlah negara polisi sudah mulai menggunakan proses pendekatan restoratif, khususnya dalam kasus-kasus terkait pidana anak. Sebagai contoh di New Zealand keberadaan The Children, Young Persons and Their Families Act of 1989 menciptakan alternatif restoratif bagi polisi yang kemudian dikenal sebagai bentuk praktek keadilan restoratif selain mediasi pelaku korban yaitu family group conferences (Daniel W.Van Ness, 2005:7). Salah satu tujuan dari dirumuskannya undang-undang ini adalah untuk mengesampingkan tindak pidana anak dari pengadilan, bahkan apabila sudah masuk dalam pengadilan, Undang-Undang ini menawarkan pada korban, pelaku dan keluarganya hukuman apa yang paling tepat untuk dijatuhkan.

Di Indonesia sendiri praktek keadilan restoratif pada kasus pidana anak dimungkinkan untuk dilakukan dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tetang Perlindungan Anak, sebagaimana bahwa secara filosofis kedua undang-undang tersebut:

1. agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin kepentingan terbaik terhadap abh sebagai penerus bangsa.

2. substansi yang paling mendasar dalam uu ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi.

3. dengan maksud untuk: mengindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi ABH, dan anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial yang wajar.

4. peran serta semua pihak bertujuan untuk tercapainya keadilan restoratif, baik bagi ABH maupun bagi korban.

(14)

di negara-negara common law jaksa punya otoritas untuk mengesampingkan perkara. Tapi di negara-negara civil law pada beberapa peraturan perundang-undangan tertentu jaksa diperbolehkan memberikan pendekatan restoratif pada kasus-kasus tertentu (Daniel W.Van Ness, 2005 :8). Demikian pula dengan praktek keadilan restoratif yang dapat digunakan oleh hakim di pengadilan, hakim dapat menggunakan pendekatan restoratif pada tahapan sebelum persidangan (pengesampingan perkara) dan bisa juga digunakan sebagai bagian dari persiapan hukuman (Daniel W.Van Ness, 2005 :8).

Kesimpulan

Pada dasarnya penerapan praktek keadilan restoratif di Indonesia memang cukup melekat dengan nilai-nilai dasar yang dimiliki warga negara Indonesia, khususnya terkait musyawarah dan bagaimana masyarakat adat di Indonesia sudah memiliki pendekatan restoratif dalam penjatuhan sanksi adatnya. Namun ini kemudian menghadapi hambatan dimana peradilan adat masih berbenturan dengan hukum positif. Sehingga dibutuhkan harmonisasi antara hukum adat dengan hukum positif yang sudah berlaku di Indonesia, sebaiknya juga harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur dengan jelas tentang lembaga peradilan adat, mulai dari kewenangan, fungsi serta hubungannya dengan sistem peradilan pidana formal yang ada.

Keadilan restoratif menjadi pilihan yang tepat sebagai sarana rekayasa sosial dalam pengendalian kejahatan. Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif menempatkan kejahatan/pelanggaran semata-mata bukan hanya berkaitan dengan hukum saja, melainkan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga penyelesaiannya bukan hanya dengan mengedepankan sistem hukum saja, melainkan dengan pendekatan aspek kehidupan lain secara komprehensif. Dengan pendekatan keadilan restoratif, selain pelibatan korban dan pelaku, masyarakat diwajibkan untuk secara aktif (bertanggung jawab) dalam penyelesaian suatu perkara.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z. dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, Yarsif Watampone.

Atalim, S, 2013. Keadilan Restoratif Sebagai Kritik Inheren Terhadap Pengadilan Legal-Konvensional, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, FH Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.

Faal, M., 1991, Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian (Diskresi Kepolisian). Jakarta: P.T. Paradnya Paramitha.

Kurki, Leena, 2005, “Evaluating Restorative Justice Practices” dalam Goerge Pavlich (ed.) Governing Paradoxes of Restorative Justice, Oregon, Glass House Press. Llewellyn, Jennifer L., and Robert Howse, 1998, Restorative Justice A Conceptual

Framework, Tanpa Kota, Law Commision Of Canada.

Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty.

Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. Umbreit, Mark S., et.al., 2005, Restorative Justice in The Twentyfirst Century : A

Social Movement Full of Opportunities and Pitfalls, Marquette Law Review, Tanpa Kota, Marquette University Law School.

Van Ness, Daniel W., 2005, An Overview Of Restorative Justice Around The World, Workshop 2: Enhancing Criminal Justice Reform, Including Restorative Justice, Bangkok, The International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy.

Zehr, Howard, 1990, Changing Lenses :A New Focus for Crime and Justice, Ontario, Herald Press.

Zulfa, Eva Achjani, 2009, Ringkasan Disertasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

______________, 2010, Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia, Jurnal Kriminologi Vol. 6 No.II, Jakarta, Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berisi tentang tinjauan umum yang berkaitan dengan topik dari penelitian ini, yaitu pidana bersyarat dalam mewujudkan keadilan restoratif dalam sistem pemidanaan di

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 22/KPTS/1996 tentang Pengesahan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1995

• Kontrak paket fisik dan supervisi dilaksanakan bersamaan dengan masa pelaksanaan pekerjaan yang sama.. ISU STRATEGIS NEW SITE DEVELOPMENT. LANGKAH AWAL

dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA, berarti bahwa mekanisme pencapaian tujuan dalam sistem peradilan pidana anak yang mengutamakan keadilan restoratif tidak hanya

Layanan konsultasi antara Orang tua Peserta Didik dan/atau Peserta Didik yang bersangkutan dengan guru mata pelajaran, wali kelas, dan konselor hanya boleh

Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan pemidanaan yang diharapkan yaitu memenuhi hak- hak para pihak, penting untuk mengubah paradigma pemidanaan yang saat

Penerapan Keadilan Restoratif dalan wujud Diversi pada umumnya dilakukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, yaitu meliputi tahap penyidikan di kepolisian,

Secara matematis daya rata-rata atau daya nyata merupakan perkalian antara tegangan efektif, arus efektif, dan koefisien faktor dayanya.. θ cos eff eff I V P = Daya Reaktif (