• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Persiapan Kebijakan “Paten” (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) Di Kota Padangsidimpuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Persiapan Kebijakan “Paten” (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) Di Kota Padangsidimpuan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Dilihat dari perjalanan sejarah otonomi di Indonesia, pemberian hak otonom terhadap daerah bukan merupakan hal yang baru. Otonomi daerah sebenarnya telah di terapkan di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Setidaknya ada beberapa UU yang mengatur terkait dengan pemberian hak otonom terhadap pemerintahan daerah. Penjelasan UU No 1 Tahun 1945 tanggal 23 Nopember 1945 butir 4e tertulis “mengatur rumah tangga”, ini agak sulit, sebab dalam Undang-Undang ini tidak diterangkan “werkkring” (lingkungan bekerja) dari badan-badan tersebut, sebagaimana lazimnya perkataan “mengurus rumah tangga”, diterjemahkan dengan perkataan “otonomi”(Syafrudin,2006:1). Selanjutnya terdapat juga UU dan peraturan lainnya yang terkait dengan otonomi daerah, mulai dari UU No 22 Tahun 1948 tanggal 10 Juli 1948, UU No 1 Tahun 1957 tanggal 15 januari 1957, Penetapan Presiden No 6 Tahun 1959 tanggal 7 November 1959 dan Penetapan Presiden No 5 tahun 1960 tanggal 10 Februari 1961, Ketetapan MPR No IV/MPR/1973, sampai dengan UU No 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 (Syafrudin,2006:2-11).

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah, sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di

(2)

bidang pelayanan masyarakat (Parjoko,2002:1). Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat (Sarundajang,1999:32). Berbeda halnya dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.

Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam sistem pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat (Soetijo,1990:15). Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan (Bambang,2000;6).

(3)

bawah rezim Demokrasi Terpimpin dan rezim Orde Baru pada masa yang lalu, demikian pula pada masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya “faham negara integralistik” yang mempengaruhi penyelenggaraan sistem pemerintahan negara, dimana negara memiliki kemauan dan kepentingan yang sering berbeda dengan kepentingan warganya, yang dapat melakukan intervensi kedalam kehidupan masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemajuan masyarakat itu sendiri (Stepan,1978;26-27). Kondisi seperti ini dimungkinkan terjadi, karena setiap kebijakan yang ditetapkan sebagai kebijakan publik, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sikap, perilaku, dan value judgement dari para penyelenggara negara (human behaviour and value judgement), yang pada gilirannya dipandang sebagai “pembenaran hukum” dan sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat.

Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi dalam wilayah tertentu suatu negara (Sunarno,2006;43). Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi (Sunarno,2006;43).

(4)

meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah (Hidayat,2004:22).

Sedangkan D. Juliantara, dkk (2006;12) memberikan pengertian desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat. Lebih jauh ia menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerah-lah yang meminta dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat (Juliantara, dkk,2006;13).

(5)

wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakan bahwa desentralisasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah (oentara Sm,dkk,2004:27-28).

(6)

sustainable development, good sustainable development govermance

danparticipatory development.

Menurut peneliti, prinsip Subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana mestinya.

2.2. Analisis Kebijakan Publik

(7)

Para ahli kebijakan banyak mengungkapkan definisi kebijakan berdasarkan sudut pandang dan pendapatnya yang berbeda, seperti menurut Thomas R. Dye(2012:1) menyatakan “what ever government choose to do or not to do”, artinya apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pemerintah memegang peranan penting bukannya melakukan tindakan tertentu juga untuk berbuat sesuatu atau menetapkan kebijakan untuk melaksanakan program sesuatu dalam mengatasi permasalahan, akan tetapi pemerintah hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan kegiatan apa-apa, itupun dapat dikatakan kebijakan pemerintah yang demikian bentuknya.

Menurut Frederock kebijakan diartikan sebagai suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu, seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan (Frederock dalam Wahab,2011;13). Definisi ini berarti pemerintah harus mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan apapun bentuknya untuk merespon dan menanggulangi permasalahan yang dihadapi, dengan memperhatikan sumber daya yang dimiliki serta menerima masukan atau usulan dari seseorang/ kelompok, sehingga ada jalan keluar yang terbaik, dihasilkan melalui proses yang fair.

(8)

kegagalan. Sementara menurut William Dunn (dalam buku Darwin,2005;139) Kebijakan Publik (Public Policy) : pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor Pemerintah. Dari berbagai definisi-definisi yang disampaikan para ahli, dapat ditarik kesimpulan sebagaimana pendapat Sofian Effendi (2009) bahwa ciri kebijakan publik adalah:

1. Memecahkan masalah yang dihadapi publik yang tidak dapat diatasi oleh publik sendiri. Bila dapat dipecahkan publik sendiri, kebutuhan dasar oleh pasar, maka tak usah ada kebijakan publik.

2. Tindakan otoirtasi dari pemerintah (hanya dapat dilakukan pemerintah yang dapat memaksa agar kebijakan dilakukan).

3. Melaksanakan tugas dan fungsi dari pemerintah.

Dalam mengambil sebuah kebijakan maka diperlukan tahap-tahap pengambilan kebijakan tersebut. Tahap-tahap pengambilan kebijakan ini merupakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Prinsip-prinsip dasar dari permasalahan kebijakan ini merupakan sebuah proses analisa kebijakan yang akan diterapkan. Analisa kebijakan ini pada dasarnya merupakan proses kognitif, sementara pembuatan kebijaksanaan bersifat politis (Dunn,1999;72).

2.2.1. Prinsip-prinsip Kebijakan

(9)

1. Adanya tujuan, yakni adanya sebuah tujuan yang ingin di capai, melalui usaha-usaha yang telah di sepakati dengan bantuan faktor pendukung yang ada atau yang diperlukan.

2. Adanya rencana yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya.

3. Adanya program, yaitu cara yang telah disepakati dan mendapat persetujuan serta pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

4. Adanya keputusan, yaitu tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program yang sudah ada.

5. Dampak, yakni pengaruh yang terjadi atau timbul dari suatu program dalam masyarakat (Subarsono,2003).

2.2.2. Langkah – langkah Pengambilan Kebijakan 1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah mencari masalah yang dihadapi, kemudian digolongkan menurut jenisnya.Proses pengidentifikasian masalah ini merupakan langkah awal yang sangat penting, yang akan menentukan langkah-langkah berikutnya. Kemudian masalah diklasifikasikan menurut sebab, sumber, jenis, dan bidang. Dalam identifikasi masalah harus dilengkapi dengan data dan fakta yang ada dilapangan.

2. Penentuan Alternatif

(10)

pengidentifikasian masalah dimana dibuat beberapa pilihan dalam pemecahan masalah sesuai dengan jenis, sumber, bidang alternatif yang ditetapkan, harus berdasarkan data dan fakta yang ada hingga penyelesaian yang dihasilkan valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

3. Pemilihan Alternatif

Pemilihan alternatif adalah menetapkan pilihan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan, setelah dianalisa berdasarkan fakta dan data maka harus ditetapkan pilihan yang terbaik yang akan dilaksanakan dan menjadi pedoman dalam melakukan tindakan berikutnya. Oleh karena itu dalam menetapkan alternatif harus berdasarkan pertimbangan yang matang dengan memperhitungkan akibat dan dampak dari alternatif yang dipilih. Dan yang terpenting alternatif yang dipilih harus sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai dalam penyelesaian masalah.

4. Penerapan Alternatif

Langkah selanjutnya dalam pengambilan keputusan adalah penerapan alternatif. Penerapan alternatif adalah melaksanakan alternative terbaik yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan masalah. Penerapan alternative harus sesuai dengan pilihan yang dianggap paling baik hingga masalah yang ada dapat diselesaikan secara efektif dan efisien serta tepat pada sasaran.

5. Evaluasi Kebijakan

(11)

menyelesaiakan masalah serta akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut (Subarsono,2003;13).

Menurut Finsterbuch dan Motz dalam Subarsono (2005 : 128) menyatakan bahwa “ada empat jenis evaluasi” yaitu :

1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti setiap variabel yang dijadikan kriteria program. Sehingga analis tidak mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran terhadap program. 2. Single program before-after, merupakan penyempurnaan dari jenis

pertama yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum dan setelah program berlangsung.

3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi keadaan sasaran bukan sasarannya.

4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain sehingga informasi yang diperoleh adalah efek program terhadap kelompok sasaran.

(12)

kebijakan atau program tertentu. Tipe evaluasi single program before-after ini akan diturunkan peneliti dengan menggunakan beberapa indikator yang akan dibahas pada penelitian ini.

Pentahapan proses pembuatan kebijakan merupakan kegiatan yang tersususun, sebagaimana menurut William Dunn sebagai berikut :

1. Tahapan penyusunan agenda digunakan untuk merumuskan masalah, mendefinisakan masalah dan memulai proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda.

2. Tahapan formulasi kebijakan, merupakan tahapan yang dilakukan oleh para pejabat instansi Pemerintah untuk merumuskan alternatif kebijakan dalam mengatasi masalah. Dalam tahap ini tekhnik peramalan dapapt dipergunakan untuk menyajikan pengetahuan mengenai timbulnya kemungkinan masalah ataupun kendalan yang akan terjadi dalam pencapaian di masa mendatang akibat diambilnya suatu alternatif kebijakan.

3. Tahapan adopsi kebijakan, merupakan tahapan dalam menginplementasikan suatu kebijakan. Dalam tahap ini suatu rekomendasi diperlukan sebagai upaya untuk memahami biaya manfaat dari berbagai alternatif kebijakan dan segala kemungkinan akibatnya dimasa mendatang. 4. Tahapan implementasi kebijakan, merupakan tahapan dalam

merealisasikan alternatif kebijakan yang telah dipilih.

(13)

2.2.3. Macam-macam Kebijakan

Menurut Wayne (2005) Kebijakan atau keputusan dapat dilihat menurut bidang tertentu dimana kebijakan itu di keluarkan, antara lain adalah:

1. Kebijakan Publik : Suatu ruang dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum, dan dibutuhkannya sebuah aturan atau intervensi oleh pemerintahaatau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama dalam mengatur dan menata kehidupan masyarakatnya. Atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bagi masyarakat yang memiliki kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya.

2. Kebijakan Ekonomi : Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

3. Kebijakan Pertahanan dan Keamanan : Kebijakan dari pemerintah untuk menjaga dan melindungi bangsa dan negara dari ganguan baik itu dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

4. Kebijakan Politik : Keputusan yang dikeluarkan untuk mengatur dan menjalankan tiap-tiap bentuk dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat.

(14)

dianalisa secara cermat agar diketahui sampai berapa jauh memberikan mudharat bagi publik.

Proses analisis kebijakan menurut William Dunn (1999;12) yang berfokus pada masalah terdiri dari 2 komponen:

1. Komponen informasi yang paling relevan (Policy Relevan Information), terdapat 5 informasi :

a) Masalah yang harus diatasi b) Masa depan kebijakan c) Tindakan kebijakan terbaik d) Hasil kebijakan

e) Kinerja kebijakan

2. Komponen analisis kebijakan, teknik-teknik untuk menghasilkan informasi Perumusan masalah, prakiraan masa depan yang hendak diciptakan, rekomedasi kebijakan, monitoring dan Evaluasi kebijakan.

Untuk memperjelas terlihat pada gambar tersebut :

(15)

Gambar 2.1. (Analisis) kebijakan yang berorientasi pada masalah

Kebijakan yang diperoleh selanjutnya diimplementasikan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program.. Menurut Grindle proses implementasi kebijaksanaan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tugas-tugas dan sasaran tersebut(Yeremias,1994).

Untuk lebih jelasnya implementasi kebijaksanaan terungkap pada gambar dibawah ini :

Sumber Grindle (dalam Abdul Wahab 1990; 126)

Gambar 2.2. Implementasi Kebijakan Tujuan-tujuan

a. Konten kebijasanaan

1. pihak yang

kepentingannya dipengaruhi

2. jenis manfaat yang bisa

diperoleh para aktor yang terlibat. 2. Ciri-ciri kelembagaan

3. Konsistensi dan daya

(16)

Pada dasarnya kebijakan yang akan diambil dari beberapa alternatif kebijakan dalam berbagai segi diperhitungkan, kebijakan yang lebih banyak manfaatnya dibanding kerugiannya itulah biasanya menjadi pilihan kebijakan yang diambil. Pertimbangan Pemerintahan dalam kebijakan menurut Patton dan Sakuicki terhadap suatu kebijakan meliputi sebagai berikut(1994):

1. Technical Feasibility, mengukur apakah keluaran (outcome) dari kebijakan atau program dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan kata lain, apakah alternative yang dipilih akan jalan dalam konteks? Misalnya, apakah program pembangunan jembatan disuatu tempat kian dapat memecahkan kesulitan trafik ditempat itu? Dalam kaitan dengan kriteria teknis ini, ada dua sub kriteria pokok yang perlu dibahas yaitu efectiveness dan adequacy.

a) Effectiveness menyangkut sampai seberapa jauh suatu kebijakan atau program akan mencapai apayang diinginkan. Kriterium ini dapat diukur dalam jangka panjang atau pendek, langsung atau tidak langsung, secara kuantiatif atau tidak, dan pantas atau tidak (adequate or inadequate).

b) Kriterium adequacy mempersoalkan sampai seberapa jauh kebijakan atau program yang disarankan akan mampu memecahkan persoalan, apakah memecahkan persoalan secara keseluruhan atau hanya sebagian.

(17)

a) Kriterium “change in net worrth” (perubahan dalam nilai) mempersoalkan apakah satu program dapat merubah kemampuan ekonomis khususnya dalam assets dan liabilities seperti perubahan dalam GDP (gros regional product), human capital (tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan), dan non human resources (hasil hutan, tambang, dsb).

b) Kriterium “economic efficiency” mempersoalkan apakah dengan menggunakan sumberdaya yang ada telah diperoleh manfaat yang lebih tinggi.

c) Profatibility, mempertanyakan apakah perbandingan antara pengeluaran proyek dan pemasukan dari proyek tersebut menguntungkan atau tudak, khususnya dalam konteks keuangan (misalnya, cost-revenue analysis).

d) Cost-effectiveness adalah kriterium yang menyangkut apakah tujuan yang dicapai dengan cost yang minim.

3. Political Viability. Kriteria politik menyangkut lima sub kriteria yang perlu dipertimbangkanb, yaitu acceptability, appropriateness, responsiaveness, legal dan equity.

a) Acceptability menyangkut pertumbuhan apakah suatu alternatif kebijakan dapat diterima oleh aktor-aktor politik dan para klien dan aktor-aktor lainnya dalam masyarakat.

(18)

c) Responsiveness berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijaksanaan, akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada. (mungkin suatu policy yang dipilih bersifat efficient dan effective, tetapi dilihat persepsi masyarakat, tidak memenuhi kebutuhan mereka)

d) Legal artinya apakah suatu alternatif kebijaksanaan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

e) Equity yaitu apakah suatu alternatif kebijaksanaan akan mempromosi pemerataan dan keadilan dalam masyarakat (mungkin suatu policy dapat meredistribusikan income, memberikan hak untuk memperoleh pelayanan minimum, atau membayarsuatupelayanan sesuai dengan kemampuan). Kriterium ini dapat diterapkan antar lokasi pemukiman, kelas income, suku dan etnik, umur, seks, status keluarga, status pemilikan rumah, dan antar generasi.

4. Administrative Operability. Kriteria spesifik dalam administrative operability adalah autority, institutional comitment, capability dan organitazional suppart.

(19)

b) Institutional commitment menyangkut komitment dari administratorlevel atas dan bawah, kantor dan pekerja lapangan. Kriterium ini penting untuk menilai apakah suatu alternatif kebijakan bersifat realistis atau tidak.

c) Capability berkenaan dengan apakah organisasi yang akan mengimplementasikannya dinilai mampu dalam konteks skills dari staf dan konteks financial.

d) Organizational support berkaitan dengan tersedia tidaknya dukungan-dukungan peralatan, fasilitas pisik dan pelayanan-pelayanan lainnya. Apakah dapat dukungan-dukungan tersebut tersedia apabila dibutuhkan?

Berhasil tidaknya suatu kebijakan dapat diketahui melalui evaluasi kebijakan dengan yang memiliki fungsi menurut sebagai berikut(Dunn,1999):

1. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.

2. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemikiran tujuan dan target.

3. Memberi sumbangan pada aplikasi dan metode analisis kebijakan lainnya, temasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

2.3. Pendelegasian Wewenang

(20)

Organisasi dasar maupun kecil, swata maupun pemerintah, tidak mungkin dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan tanpa adanya sistem wewenang. Mengenai pengertian wewenang itu sendiri banyak sekali pendapat para ahli manajemen yang saling berbeda namun pengertiannya secara garis besar tetap sama.

Menurut Hasibuan (2007:64) wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kekuasaan merupakan dasar hukum yag sah dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Sutarto (2001:141) berpendapat wewenang adalah hak seseorang untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik.Berdasarkan defenisi di atas dapat dinyatakan bahwa wewenang merupakan kemampuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas-tugas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan dapat dilaksanakan dengan baik.

(21)

T. Hani Handoko (1999:20) membagi dua pandangan yang saling berlawanan mengenai sumber wewenang, yaitu :

a. Teori Formal (Pandangan klasik)

Menurut teori ini, wewenang ada karena seseorang diberikan atau di limpahkan hal tersebut.Pandangan mengangap bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat ketingkat.

b. Teori Penerimaan (acceptance theory of authority)

Teori ini berpendapat bahwa wewenang seseorang timbul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima ( reciver).

(22)

atasan mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada bawahan untuk dikerjakan.Bawahan harus benar-benar mempertanggungjawabkan wewenang yang diterimanya kepada atasan.Jika tidak sewaktu-waktu wewenang itu dapat ditarik kembali oleh atasan dari bawahannya.

Setelah adanya tugas, wewenang dan tanggung jawab pada tiap-tiap individu maka selayaknya individu-individu tersebut setuju untuk memberikan pertanggungjawabannya atas tugas-tugas yang disreahkan kepadanya. Hal ini berkenaan dengan kenyataan bahwa akan selalu diminta pertanggungjawabannya atas pemenuhan tugas dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Semua hal ini yaitu tugas, wewenang, tanggungjawab dan pertanggungjawaban merupakan unsur-unsur dari pendelegasian wewenang.

Menurut Stoner (2000:434) pendelegasian wewenang adalah pelimpahan wewenang formal dan tanggung jawab kepada seorang bawahan untuk menyelesaikan aktivitas tertentu.Pendelegasian wewenang oleh atasan kepada bawahan adalah perlu demi tercapainya efesiensi dari fungsi-fungsi dalam organisasi, karena tidak ada seorang atasan manapun yang dapat secara pribadi merampungkan atau secara penuh melaksanakan dan mengawasi semua tugas organisasi.

2.3.2. Prinsip Pendelegasian Wewenang

Menurut Koontz et al. (1998:379) ada beberapa prinsip dalam pendelegasian wewenang, yaitu :

(23)

Wewenang dimaksudkan untuk memberikan kepada manajer sarana mengelola begitu rupa, sehingga mendekatkan kontribusi kepada tujuan-tujuan perusahaan, maka wewenang yang didelegasiakn kepada seorang manajer harus sepadan untuk menjamin kemampuan mencapai hasil-hasil yang diharapkan.

b. Prinsip defenisi fungsional

Pengembangan departemen mengharuskan aktifitas dikelompokkan untuk memudahkan pencapaian tujuan dan manajer dari setiap sub divisi harus mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan aktivitasnya dengan organisasi sebagai keseluruhan. Semakin jelas defenisihasil-hasil yang diharapkan suatu posisi atau departemen, aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan, wewenang organisasi yang didelegasikan dan hubungan-hubungan wewenang serta informasi dengan posisi lain yang dipahami, maka semakin sepadanlah tanggung jawab individual dapat memberi sumbangannya kepada pencapaian tujuan organisasi.

(24)

Prinsip skalar mengacu pada rantai hubungan wewenang langsung dari atasan kepada bawahan di seluruh organisasi.Wewenang organisasi yang pokok harus terletak di suatu tempat.Semakin jelas garis wewenang dari manajer atas dalam sebuah perusahaan kepada setiap kedudukan bawahan, semakin efektiflah tanggung jawab pembuat keputusan dan komunikasi dalam organisasi.

d. Prinsip tingkat wewenang

Defenisi fungsional ditambah dengan prinsip skalar akan menimbulkan prinsip tingkat wewenang. Prinsip tingkat wewenang akan menjadi pemeliharaan terhadap pendelegasian yang disengaja menuntut bahwa keputusan-keputusan di dalam kompetensi wewenang perorangan harus mereka ambil dan tidak boleh diteruskan ke atas dalam struktur organisasi. Dengan kata lain, para manajer pada setiap tingkatan harus mengambil keputusan manapun yang dapat mereka lakukan dipandang dari sudut wewenang yang didelegasikan kepada mereka dan hanya masalah-masalah yang tidak mereka putuskan karena batas-batas wewenang yang harus diteruskan kepada atasan.

e. Prinsip kesatuan komando

(25)

masalah konflik dalam instruksi-instruksi dan semakin besar rasa tanggung jawab pribadi terhadap hasil-hasil.

f. Prinsip kemutlakan tanggung jawab

Prinsip kemutlakan tanggung jawab menyatakan bahwa tanggung jawab atasan terhadap pelaksanaan aktivitas bawahannya dan tanggung jawab bawahan kepada atasannya mengenai pelaksanaan tugas yang dilimpahkan kepadanya adalah mutlak.Hal ini dikarenakan tanggung jawab yang merupakan kewajiban terhadap seseorang tidak dapat didelegasikan.

g. Prinsip keseimbangan wewenang dan tanggung jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa karena wewenang adalah hak yang boleh dipergunakan menurut kebijakan sendiri untuk menjalankan tugas-tugas dan karena tanggung jawab adalah kewajiban untuk menyelesaikan maka secara logis wewenang harus seimbang dengan tanggung jawab.

2.3.3. Peranan Pendelegasian Wewenang

(26)

Menurut Stoner (2000:446) beberapa peranan pendelegasian wewenang dalam organisasi adalah :

a. Dengan adanya pendelegasian wewenang karyawan dapat melakukan tugas-tugas yang pokok dan strategis bagi kelangsungan organisasi. Semakin banyak tugas karyawan yang dapat didelegasikan maka semakin besar peluangnya untuk mencari dan menerima tanggung jawab dari manajer. Jadi manajer berusaha mendelegasikan wewenang bukan hanya pada hal-hal yang rutin saja melainkan juga tugas-tugas yang membutuhkan pikiran dan prakarsa sehingga karyawan dapat berfungsi maksimal bagi organisasi.

b. Dengan adanya pendelegasian wewenang manajer akan mendapat hasil keputusan yang lebih akurat dan lebih baik karena para karyawanlah yang paling dekat dengan pokok permasalahannya. Meski cenderung memiliki suatu pandangan yang jelas tentang fakta-fakta yang diperlukan dalam mengambil keputusan.

c. Melalui pendelegasian wewenang keputusan dapat lebih cepat diambil karena tidak harus meminta persetujuan dari atasan. Apabila para bawahan tidak memiliki wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan dalam suatu persoalan maka ia akan selalu bertanya kepada atasannya. Hal ini tentu saja akan memakan waktu yang tidak sedikit, oleh karena itu bawahan perlu diberi wewenang untuk mengambil keputusan.

(27)

batas wewenangnya akan berupaya menemukan jalan keluar terhadap penyelesaian masalah tersebut.

e. Adanya pendelegasian wewenang merupakan latihan bagi para anggota organisasi apabila kelak ia menduduki jabatan yang lebih tinggi. Anggota organisasi yang tidak pernah diberi wewenang yang lebih besar maka apabila ia menduduki jabatan yang lebih tinggi akan menjadi canggung dan perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri.

f. Pendelegasian wewenang mengakibatkan komunitas pekerjaan akan dapat lebih terjamin. Hal ini dapat terlihat jika ada salah satu anggota organisasi yang berhalangan untuk melaksanakan pekerjaannya, maka dengan adanya pendelegasian wewenang tugas terrsebut dapat diambil alih sehingga kontinuitas organisasi tidak akan terganggu.

2.3.4. Pendelegasian Wewenang yang Efektif

Pendelegasian wewenang merupakan penugasan wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan.Dengan adanya pendelegasian wewenang berarti semua keputusan tidak tersentralisasi pada pimpinan puncak. Komponen yang mendasar dalam proses pendelegasian wewenang adalah penetapan hasil-hasil yang diharapkan, penentuan tugas dan tanggung jawab secara jelas untuk mencapai hasil yang telah diharapkan dan pertanggungjawaban hasil-hasil yang telah dicapai.

(28)

pandelegasian wewenang itu efektif. Fungsi atasan dalam hal ini adalah menyediakan bimbingan dan informasi sehingga loyalitas bawahan akan semakin besar dalam pencapaian tujuan.

Suatu pendelegasian wewenang tidak berarti lepas dari pengawasan, hasil-hasil yang telah dicapai dapat dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan sebagai umpan balik dan penentuan prestasi kerja. Beberapa cara untuk membantu manajer melakukan delegasi yang efektif, yaitu :

1. Menerangkan dengan jelas rencan-rencana dan kebijakan-kebijakan artinya seorang bawahan akan menyusun rencana-rencana petunjuk atasannya. Atasan memberikan penuntun ke arah pemikiran dan rencana-rencana yang tersedia yang dapat mempengaruhi bidang pengambilan keputusan.

2. Rincian tugas-tugas pekerjaan dan wewenang secara jelas. 3. Memilih orang yang tepat untuk pekerjaa yang ditugaskan. 4. Peliharalah garis-garis komunikasi yang terbuka.

5. Tetapkanlah alat-alat pengendalian yang baik.

6. Berikanlah insentif bagi delegate yang efekti dan sukses.

7. Adakanlah human relations yang baik, agar jurang sosial budaya diperkecil.

BAB III

Gambar

Gambar 2.2.  Implementasi Kebijakan

Referensi

Dokumen terkait

dapat dibedakan atas penggunaan lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahansemusim diarahkan untuk tanaman semusim. Pola tanaman yang diterapkan dapat berupa

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa faktor determinan yang berhubungan dengan status gizi lansia adalah status perkawinan, penyakit

Seperti yang telah disebutkan di awal bahwa isu ini akan tetap menjadi hangat selama belum adanya kepastian dari pihak rektorat selaku pemegang kekuasaan kampus dengan

Eva Yulianti, 2015, Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Mobil Dengan Metoda Simple Multy Attribute Rating (SMART) , Institut Teknologi Padang, Vol.17 No.1.. Jogiyanto, 2005,

Diperoleh hasil penelitian bahwa pelaksanaan pembelajaran SFAE dengan strategi problem solving dapat meningkatkan motivasi belajar dan kemampuan pemecahan masalah

identifikazioa erabili dezakegu Arkeologiaren barneko joera hauek identifikatzeko, izan ere, generoarekin zer ikusia duten lanak biltzen dira ekimen horretan: emakumearen egoera eta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi dalam mempengaruhi keragaman jenis burung dan untuk menentukan nilai konservasi kawasan berdasarkan

Kumea batu memiliki kayu teras berwarna coklat kemerahan; lingkar tumbuh samar-samar dan terkadang jelas serta menampakkan corak yang indah berupa garis-garis