• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Dialek Bahasa Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variasi Dialek Bahasa Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

2.1 Pengantar

Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta dipelihara sebaik mungkin. Bidang ilmu yang mengkaji dialek suatu bahasa disebut dialektologi (Chambers dan Trudgil, 1980:1). Dialek dalam konteks ini adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekumpulan orang atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan geografis tertentu.

Bab II menjelaskan kajian pustaka yang mencakup kerangka konseptual dan kerangka teoretis yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun konsep dasar yang digunakan dalam menganalisis kajian dialektologi ini adalah konsep dialek, konsep geografi dialek, konsep variasi bahasa, konsep isoglos dan berkas isoglos, serta konsep peta bahasa. Selanjutnya, kerangka teori yang digunakan adalah teori dialektologi karena penelitian ini mengkaji variasi dialek dengan memperlakukan perbedaan dalam BM. Dalam penelitian ini diungkapkan kondisi geografis yang berbeda dan berjauhan sehingga secara variasi telah memunculkan isolek yang berbeda atau yang disebut dengan variasi dialek.

2.2 Kajian Pustaka

Penelitian di bidang dialektologi telah banyak dilakukan oleh peneliti asing, di antaranya oleh Dennis Girard dan Donald Larmouth (1987) dari University of Wisconisin Green Bay yang melakukan penelitian dialektologi dengan fokus “Log-linear Statistical Model: Explaining the

Dynamics of Dialect Diffusion”, yaitu dengan cara menentukan bahwa dinamika difusi dialek

(2)

Di tanah air, penelitian dalam bidang dialektologi pernah dilakukan oleh Ayatrohaedi (1985) dengan bukunya Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Beliau menemukan dan menggambarkan peta bahasa dan digambarkan pula garis batas dialek tersebut. Penelitian juga dilanjutkan oleh peneliti lainnya seperti Lauder (1993) dengan judul kajian yaitu Pemetaan dan

Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang, dengan komputerisasi pemetaan bahasa. Pembuatan

program pemetaan bahasa dengan komputer dapat membantu mempercepat proses pemetaan bahasa di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan di Tangerang dengan penghitungan dialektometri pada semua peta leksikal (580 buah peta). Hasil penelitian menunjukkan wilayah Tangerang terdiri dari satu bahasa dengan tiga dialek, yaitu bahasa Tangerang dialek Barat laut, bahasa Tangerang dialek Timur, dan bahasa Tangerang dialek Selatan. Di samping itu, ditemukan pula tiga daerah-pakai kosakata, yakni daerah-pakai kosakata Sunda, daerah-pakai kosakata Jawa, dan daerah-pakai kosakata Melayu dan dua daerah pengaruh, yakni daerah pengaruh Jawa dan daerah pengaruh Melayu.

(3)

Penelitan Danie (1991) dengan judul ”Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut”, menetapkan 61 buah pemukiman sebagai titik pengamatan. Temuannya berupa perbedaan persentase kekognatan antara ketiga dialek, yakni dialek Tonsea, Tolour, dan dialek Tombulu. Dialek-dialek yang wilayah pakainya bersentuhan memperlihatkan adanya saling pengaruh unsur kebahasaan antar sesamanya.

Penelitian Mahsun (1994) dengan judul ”Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumbawa”, menemukan bahwa bahasa Sumbawa dibagi atas empat kelompok dialek, yaitu dialek Jereweh meliputi daerah pengamatan 3, 4, 6; dialek Taliwang meliputi daerah pengamatan 7, 8, 9, 10, 11, dan 12; dialek Tongo terdapat pada daerah pengamatan 1, 2, 5, 23, dan 25; serta dialek Sumbawa Besar meliputi daerah pengamatan 13─22, 24, 26 —30. Keempat dialek tersebut mengalami dua fase historis, yaitu fase pertama dimulai dengan pecahnya prabahasa Sumbawa ke dalam dua dialek, yaitu dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo pada satu pihak serta dialek Sumba Besar pada pihak lainnya. Kemudian, fase kedua adalah terpisahnya satu kelompok dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo menjadi tiga dialek, yaitu dialek Jereweh, dialek Taliwang, dan dialek Tongo. Hal itu menunjukkan bahwa dialek Sumbawa Besar memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap ketiga dialek bahasa Sumbawa lainnya.

(4)

Penelitian ”Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologis” dilakukan oleh Kisyani-Laksono (2001), lewat penelitian ini dikelompokkan bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan menjadi dua kelompok dialek, yaitu dialek Osing dan dialek Jawa Timur (bukan Osing). Pada kedua dialek itu ditemukan banyaknya leksikon bahasa Jawa Kuno yang masih dipelihara dan dipertahankan penggunaannya sampai saat ini. Selain itu, bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan ternyata bersentuhan dan dipengaruhi oleh bahasa lain, yaitu bahasa Madura, bahasa Bali, dan bahasa Melayu. Hal itu terbukti dengan beberapa bentuk serapan atau pola serapan dari bahasa-bahasa tersebut yang digunakan di daerah pengamatan. Disamping itu, dikatakan pula bahwa daerah Tengger merupakan daerah relik dan cenderung terisolasi dan daerah inovatif meliputi subdialek Sidoarjo, Rowo Gempol, dan dialek Osing.

(5)

Penelitian ”Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi” dilakukan oleh Anak Agung Putu Putra (2007). Penelitian ini menemukan bahwa lek-lek Bahasa Sumba di Pulau Sumba dapat dikelompokkan ke dalam lima dialek, yakni dialek Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dialek Waijewa-Louli, dialek Kodi, dan dialek Lamboya. Temuan dialek dan subdialek Bahasa Sumba di Pulau Sumba ini menerapkan metode pengelompokan bahasa, yaitu penggunaan berkas isoglos, penghitungan dialektometri (leksikal dan fonologis), penghitungan gabungan dialektometri leksikal dan fonologis, serta penghitungan permutasi.

Sembiring (2009) melakukan penelitian dengan judul penelitian “Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat” menggunakan teori dialektologi yang dikembangkan oleh Ayatrohaedi di Indonesia sejak 1979. Data untuk bahan analisis diambil dari lima puluh empat orang informan, yaitu tiga orang dari setiap titik tempat pengamatan (18 titik tempat pengamatan). Dari pentabulasian dapat diperoleh peta sebaran variasi sebanyak 43 buah (19 perbedaan fonologis dan 24 perbedaan leksikal). Selanjutnya, diaplikasikan metode dialektometri untuk menghitung jarak peta yang diperbandingkan untuk menemukan jumlah dialek dan subdialek bahasa Karo di ketiga kabupaten tersebut. Sebagai hasilnya dapat ditemukan bahwa di ketiga kabupaten tersebut sudah ada tiga dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Singalor Lau yang daerah pakainya di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng, dialek Karo Julu yang daerah pakainya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pakainya di Kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang.

(6)

berbeda mengingat geografis dan kebudayaan telah dipisahkan oleh batas-batas wilayah. Sejauh ini, penelitian BM yang pernah dilakukan Sibarani dan Ridwan Hanafiah (2000) hanya memfokuskan pada satu variasi yaitu variasi leksikal saja, dengan titik pengamatan sebanyak 8 kecamatan. Sementara itu, penulis memfokuskan penelitian BM ini pada 3 variasi yaitu variasi fonologis, morfologis, dan leksikal, dengan titik pengamatan sebanyak 21 desa yang tersebar pada 19 kecamatan, serta peta persebaran ketiga unsur variasi tersebut. Penulis juga mengkaji berkas isoglos leksikal permedan makna, isoglos fonologis, maupun isoglos morfologis pada BM dan memetakan hasil penghitungan dialektometri leksikal serta fonologisnya untuk mengetahui jarak kosakata antar titik pengamatan, dan selanjutnya menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dialek BM, khususnya pada Kabupaten Mandailing Natal.

2.3 Kerangka Teoretis 2.3.1 Konsep Dialek

Dalam linguistik umum, istilah dialek sering digunakan untuk menyebut variasi bahasa dari kelompok-kelompok penutur tertentu. Umumnya penutur dari satu dialek masih dapat memahami tuturan dari kelompok dialek lainnya karena masih berada dalam suatu lingkup bahasa yang sama.

Ayatrohaedi (1985:30) menyatakan bahwa istilah dialek berasal dari kata Yunani

dialektos. Pada mulanya dialektos ini dinyatakan terhadap bahasa Yunani yang mempunyai

(7)

Dialektologi “ilmu tentang dialek” adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan bahasa yang secara sistematis menangani berbagai kajian yang berkenaan dengan dialek atau variasi bahasa, baik variasi bahasa berdasarkan perbedaan wilayah; variasi bahasa berdasarkan perbedaan strata sosial; maupun variasi bahasa berdasarkan perbedaan waktu.

Menurut pandangan Fernandez (dalam Nadra, 2006:29), semua dialek dari suatu bahasa mempunyai kedudukan yang sederajat, statusnya sama, tidak ada dialek yang lebih baik daripada dialek yang lain, tidak ada dialek yang berprestise dan yang tidak berprestise. Dialek juga sering dianggap sebagai beberapa jenis penyimpangan dari suatu norma – sebagai penyimpangan dari suatu bahasa yang benar atau baku.

Menurut Nadra dan Reniwati (2009:4), dialektologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Yang dimaksud dengan variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan tersebut mencakup semua unsur kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik.

Kedudukan dialektologi sebagai cabang linguistik perlu ditekankan di sini mengingat terdapat sementara ahli yang menekankan dominasi aspek geografis dalam kajian dialektologi (periksa Trudgill, 2001) sehingga peta dijadikan sebagai alat utama dalam dialektologi (dialek geografis). Penekanan kajian dialektologi pada tujuan geografis telah memunculkan pandangan bahwa bahasan terhadap unsur-unsur kebahasaan yang berbeda, yang telah dipetakan itu merupakan cabang lain dari kajian dialektologi/dialek geografis (Ayatrohaedi, 1983:55) karena tujuan utamanya adalah membuat peta bahasa.

(8)

atau register. Dialek adalah variasi bahasa yang terjadi karena perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya.

Variasi regional adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaaan tempat atau daerah. Variasi sosial adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaan sosial penutur, seperti etnis, usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Jadi, variasi bahasa adalah keragaman yang terjadi karena kegiatan interaksi sosial yang dilakukan peserta tutur.

Meillet (1967:69) mengungkapkan bahwa istilah dialek yang berasal dari kata Yunani

dialektos pada mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani

terdapat perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh para penuturnya, namun tidak sampai menyebabkan anggapan bahwa mereka mempunyai bahasa yang berbeda.

Ayatrohaedi (1983) dalam bukunya Dialektologi Sebuah Pengantar telah menguraikan dengan panjang lebar tentang penelitian dialektologi. Beliau memberi batasan bahwa geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam-ragam-ragam tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya geografi dialek masih mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu bahasa bandingan, yang juga mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa.

(9)

1)

Setiap ragam bahasa dipergunakan di suatu daerah tertentu, dan lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti, dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus (Guiraud dalam Ayatrohaedi,1983:3). Pada tingkat dialek, perbedaan tersebut pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima macam. Kelima macam perbedaan itu adalah :

2)

Perbedaan fonetik, polimorfisme, atau alofonik. Perbedaan ini berada di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.

a)

Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya juga terjadi geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertalian dengan corak, yaitu:

b)

Pemberian nama yang berbeda untuk yang diberi lambang yang sama di beberapa tempat yang berbeda, seperti turi dan turuy ’turi’.

3)

Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya calingcing untuk ’calingcing’.

4)

Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.

5)

Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda.

(10)

Dalam bukunya Ayatrohaedi yang mengutip dari Guiraud, baik faktor kebahasaan maupun faktor luar bahasa sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan dialek. Keadaan alam, misalnya, mempengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya kemungkinan itu. Sejalan dengan adanya batasan alam itu, dapat dilihat pula adanya batas-batas politik yang menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran bahasa. Demikian pula halnya dengan ekonomi, cara hidup dan sebagainya, tercermin pula di dalam dialek yang bersangkutan. Di samping itu, terjadinya ragam-ragam dialek itu terutama disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa-bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan, atau penjajahan.

2.3.2 Konsep Geografi Dialek

Dari sejarah kelahirannya, geografi dialek merupakan perkembangan lebih lanjut dari salah satu cabang ilmu bahasa bandingan, yang membedakannya ialah jika ilmu bahasa bandingan di dalam kesimpulannya hampir selalu menunjuk pada bahasa purba yang sering tidak pernah ada (Meillet, 1967:59). Geografi dialek juga menyajikan hal-hal yang bertalian dengan pemakaian unsur bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat dibuktikan.

(11)

Nothofer (1993:169) mengungkapkan untuk penelitian geografi dialek diperlukan daerah titik pengamatan. Di antara titik pengamatan atau dari satu titik pengamatan ke titik pengamatan yang berdekatan diperlukan garis diagonal. Garis diagonal ditarik tidak boleh saling berpotongan. Dengan demikian, garis diagonal yang menghubungkan satu titik pengamatan dengan titik pengamatan yang lebih dekat dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam hal penentuan perbedaan yang menjurus ke dialek suatu bahasa, subdialek suatu bahasa, perbedaan suatu bahasa ataupun masih merupakan beda wicara.

Nadra dan Reniwati (2009:20) menyatakan bahwa geografi dialek adalah nama lain dari dialektologi atau disebut juga dengan dialek regional. Geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaaan lokal (tempat) dalam suatu wilayah bahasa. Awalnya, dialektologi mencakup dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Selanjutnya, dialektologi pecah menjadi dua cabang yaitu dialektologi dan sosiolinguistik. Kedua disiplin ilmu ini sama-sama merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa. Hanya saja bedanya, dialektologi mempelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa yang disebabkan faktor geografis, sedangkan sosiolinguistik mempelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang disebabkan faktor sosial.

Kajian geografi dialek dapat bersifat sinkronis dan dapat pula bersifat diakronis. Secara sinkronis, kajian geografi dialek dilakukan dengan cara membandingkan variasi antara satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lain dalam masa yang sama. Secara diakronis, kajian geografi dialek dilakukan untuk melihat perkembangan dialek itu dari masa yang berbeda.

(12)

kajian hanya berkenaan dengan dialek-dialek dari satu bahasa, maka bidang kajiannya disebut dialektologi atau dialektologi diakronik. Selanjutnya, Chambers dan Trudgill (dalam Nadra dan Reniwati, 2009:2) mengemukakan bahwa istilah dialek menunjuk pada variasi atau perbedaan suatu bahasa, baik secara gramatikal, leksikal, maupun secara fonologis.

Konsep yang digunakan dalam dialektologi bertumpu pada konsep-konsep yang dikembangkan dalam linguistik, seperti konsep fonem dan alofon dalam bidang fonologi atau konsep fitur distingtif untuk fonologi generatif; konsep morf, morfem, alomorf untuk bidang morfologi. Konsep-konsep tersebut dimanfaatkan dalam kerangka deskripsi perbedaaan unsur-unsur kebahasaan di antara daerah pengamatan dalam penelitian.

Tujuan penelitian geografi dialek adalah untuk mencari hubungan antara batas-batas dialek atau bahasa dengan batas-batas alam maupun sejarah. Ada dua jenis geografi dialek yaitu sinkronis dan diakronis. Nothofer (dalam Nadra dan Reniwati, 2009:22) mengemukakan tujuan sinkronis penelitian geografi dialek adalah:

1) Memerikan varian berbagai tataran kebahasaan, seperti, varian fonologi, morfologi, leksikon,

sintaksis, dan semantik. 2) Pemetaan varian-varian itu.

3) Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada varian-varian unsur kebahasaan yang telah dideskripsikan dan dipetakan itu.

4) Pemerian yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek: berian fonologi,

morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik yang membedakan dialek yang satu dengan dialek yang lainnya dalam bahasa yang diteliti.

(13)

Tujuan diakronis atau historis penelitian geografi dialek adalah:

1) Merekonstruksi bahasa purba dari bahasa yang diteliti dengan memanfaatkan evidensi yang terdapat dalam dialek atau subdialek yang mendukungnya.

2) Menentukan unsur-unsur yang merupakan inovasi, baik inovasi yang muncul dari dalam

(inovasi internal) maupun inovasi dari luar dialek itu sendiri (inovasi eksternal). 3) Menganalisis dialek ke dalam dialek lama dan dialek pembaharuan.

Ayatrohaedi (1983), Allen dan Linn (1986), Lauder (1993), dan Mahsun (2005) menyatakan bahwa untuk menunjukkan perbedaan yang dianggap merupakan variasi dialek suatu bahasa, perlu dibuat suatu atlas sesuai penyebaran pada lokasi penelitian.

2.3.3 Konsep Variasi Bahasa

Istilah variasi dalam konsep penelitian ini merupakan padanan dari kata variety dan bukan variation. Variation dipadankan dengan kevariasian atau keragaman. Oleh karena itu, istilah variasi dapat disamakan dengan ragam.

(14)

kegiatan, jenis kelamin, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa yang berupa dialek geografi dan dialek sosial menjadi objek penelitian dialektologi, sedangkan variasi bahasa yang berupa ragam atau register merupakan objek penelitian sosiolinguistik.

Pada kajian dialek, variasi bahasa tidak hanya dapat direkam dalam wilayah geografi dan variasi bahasa tidak semata-mata bergantung pada transkripsi fonetis saja tanpa memperhatikan sistem dan struktur bahasa atau dialek yang diamati. Kajian dialek harus memahami bahwa variasi bahasa dapat muncul karena bahasa mempunyai sistem fonemik tersendiri dalam struktur fonologi bahasa. Sistem fonemik, misalnya dapat dikaji berdasarkan prinsip (1) penyebaran bunyi yang saling melengkapi, (2) kesamaan bunyi, (3) adanya pasangan minimal (Petyt, 1980:119─120; Chambers dan Trudgill, 2004:43─35).

2.3.4 Konsep Isoglos dan Berkas Isoglos

Untuk memudahkan pembacaan peta data (berian) digunakan sebuah garis yang akan memagari daerah pakai berian. Garis itu dinamakan isoglos, yaitu garis imajiner yang menghubungkan tiap titik pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yang serupa (Keraf, 1984:54─164). Garis ini mulai ditarik di salah satu titik pengamatan dan dilanjutkan ke titik pengamatan yang lain yang mempunyai bentuk berian yang sama, garis ini akhirnya menyatukan titik pengamatan-titik pengamatan yang memiliki berian yang sama tersebut. Isoglos itu ditumpuk menjadi berkas isoglos yang akan memperlihatkan batas bahasa atau dialek.

(15)

Selanjutnya, Bloomfield (1995:464) menyatakan bahwa isoglos hanya menunjukkan bahwa ada perubahan bunyi, perubahan analogi-semantis, atau peminjaman bahasa yang telah terjadi di suatu tempat dan pada suatu waktu, tetapi isoglos tidak menunjukkan letak perubahan dan kapan terjadinya.

Nothofer (1993:169) menjelaskan bahwa ukuran yang digunakan untuk membagi satu daerah ke dalam dialek adalah isoglos leksikal, semua titik pengamatan dihubungkan oleh satu garis lurus dan hasilnya merupakan jaringan hubungan di daerah yang diteliti. Jika jumlah isoglos yang memisahkan dua titik pengamatan itu kecil, mungkin merupakan daerah dialek yang sama; jika jumlahnya besar, maka mungkin sekali dua titik pengamatan itu merupakan dua daerah dialek yang berbeda.

2.3.5 Konsep Peta Bahasa

Pemetaan sebagaimana disinggung sebelumnya sangat penting dalam menampilkan gejala kebahasaan. Artinya, pemetaan dan kajian geografi dialek merupakan suatu kesatuan, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal ini diakui pula oleh Saussure (1988: 332—333) bahwa penelitian ciri-ciri dialek adalah tolak usaha memetakan bahasa.

Penelitian dialektologis memunculkan deskripsi data penelitian. Data tersebut diletakkan di peta dan letaknya disesuaikan dengan letak titik pengamatan. Sebuah peta dialektologis berisikan tidak hanya letak daerah penelitian, tetapi juga berian yang diletakkan sesuai dengan daerah pakai (titik pengamatan) berian yang bersangkutan. Peta merupakan representasi sifat-sifat yang ada di daerah penelitian

(16)

terkumpul selama penelitian itu dipetakan. Oleh karena itu, kedudukan dan peran peta bahasa di dalam kajian geografi dialek merupakan hal yang mutlak diperlukan. Dengan peta-peta bahasa tersebut, perbedaan maupun persamaan yang terdapat pada antardialek yang diteliti itu dapat dijadikan sebagai alat bantu yang penting di dalam usaha menjelaskan perbedaan tersebut.

Peta bahasa bisa berupa peta peragaan (display maps) dan peta tafsiran (interpretive

maps). Pada peta peragaan ini sungguh-sungguh mentransfer jawaban tertabulasi untuk masalah

tertentu ke atas peta, yang meletakkan tabulasi ke perspektif geografis. Sementara peta tafsiran mencoba membuat pernyataan yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi utama dari satu daerah ke daerah lain (Chambers dan Trudgill, 1980: 29).

Peran peta adalah sebagai alat visualisasi yang dapat diamati secara kasat mata mengenai distribusi geografis tentang hal-hal yang menjadi isi peta. Ada tiga jenis peta dalam laporan hasil penelitian dialektologi. Ketiganya adalah 1) peta dasar, 2) peta titik pengamatan, dan 3) peta data.

Nadra dan Reniwati (2009:72) menyatakan bahwa peta dasar berisikan sifat-sifat (geografis) yang berhubungan dengan daerah seperti sungai, gunung, dan danau. Penelitian dialektologis juga melibatkan lebih dari satu titik pengamatan karena akan memetakan varian yang muncul bersama dengan daerah pakainya. Nama titik pengamatan tidak dituliskan di dalam peta, nama tersebut diganti dengan angka. Angkanya mulai dari 1 (satu) sampai seterusnya, sebanyak titik pengamatan yang dilibatkan. Selanjutnya, peta data berisikan data penelitian. Data atau berian tersebut dipindahkan ke peta dan diteruskan sesuai dengan daerah pakainya.

(17)

1983:31─32). Hal ini senada dengan pendapat Wardhaugh (2009) yang menyatakan bahwa peta bahasa digambarkan untuk menunjukkan batas tertentu di sekitar ciri-ciri bahasa.

2.3.6 Kerangka Teori

Teori yang dipakai dalam penelitian ini ialah teori yang dikemukakan oleh para ahli ilmu bahasa bandingan dan dialektologi, terutama teori yang dikemukakan oleh Pop dan Jaberg (lihat Ayatrohaedi, 1978). Adapun teori yang dikemukakan oleh para ahli itu melukiskan cara pemerian unsur-unsur bahasa, penyebaran unsur-unsur bahasa, ciri-ciri unsur-unsur bahasa, serta melukiskan cara memetakan unsur-unsur bahasa itu.

Dialektologi adalah ilmu yang mempelajari variasi bahasa, baik sosial maupun regional. Variasi sosial bahasa dipelajari dalam sosiolinguistik, sedangkan variasi regional bahasa dipelajari dalam geografi dialek. Tentang hal ini Keraf (1984: 143) menyebutkan bahwa sosiolinguistik mempelajari variasi bahasa berdasarkan pola-pola kemasyarakatan. Sebaliknya, geografi dialek mempelajari variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Dubois (dalam Ayatrohaedi, 1985) menyatakan bahwa geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam tersebut.

(18)

Trudgill (1998; lihat juga Poedjosoedarmo), bahasa adalah kumpulan dialek yang saling dimengerti (mutual intelligibility).

Gambaran umum mengenai sejumlah dialek akan tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang terkumpul selama penelitian dipetakan (Ayatrohaedi, 1979: 30). Dalam penelitian ini digunakan atlas sebagai peta dasar dengan pertimbangan bahwa peta jenis ini mudah dikerjakan dan cukup memadai untuk memetakan gejala kebahasaan. Suatu peta dikatakan lengkap apabila memuat judul, skala peta, orientasi peta, lintang bujur, sumber, dan pembuat peta. Pemetaan bahasa dilakukan untuk mengetahui persebaran pemakaian bahasa dan perwujudan variasi kebahasaan.

Untuk mempermudah pemahaman pada peta-peta yang dibuat ditentukan isoglosnya, yaitu garis yang menunjukkan kontras dalam distribusi suatu unsur atau kelompok unsur linguistik terhadap unsur lain. Isoglos atau garis batas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem peta (Ayatrohaedi, 1985:5). Isoglos digunakan untuk memisahkan bentuk unsur bahasa yang berbeda sehingga isoglos dapat berupa isofonis, isotonis, isomorfis, isosintagmis, atau isoleksis.

Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Wardaugh (2009) yang menyatakan bahwa variasi bahasa merupakan variasi ujaran antarpenuturnya dalam berkomunikasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan geografis. Namun, bila dialami oleh penutur suatu bahasa bisa disebut sebagai geografi dialek, yang akan mendeskripsikan setiap unsur untuk memperlihatkan perbedaan pada bahasa itu sendiri serta dapat menggambarkan perbedaan tersebut di dalam peta.

(19)

ini merupakan subjek yang berikutnya dalam perubahan linguistik, tetapi juga berhubungan dengan penutur setempat atau sumber sosial yang bergantung pada situasi saat tuturan terjadi.

Dalam karangan Seguy (dalam Mahsun, 2005:167) yang berjudul La Dialectometrie dans

l’atlas Linguistique de la Gascogne diperkenalkan suatu istilah yang disebut dialektometri.

Istilah ini dibentuk dengan beranalogi pada istilah ekonometri dalam ilmu ekonomi. Menurut Ravier (dalam Ayatrohaedi, 1983:32), dialektometri adalah ukuran statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah unsur yang terkumpul dari tempat penelitian.

Rumus dialektometri tersebut adalah sebagai berikut:

S X 100

--- = d %

n

S = jumlah beda dengan titik pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan

d = persentase jarak unsur-unsur kebahasaan antartitik pengamatan

Hasil yang diperoleh persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu; selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan tersebut dengan kriteria sebagai berikut.

Perbedaan bidang leksikon;

(20)

21 – 30 % : dianggap perbedaan wicara

20 % ke bawah : dianggap tidak ada perbedaan (Guiter, 1973:96) Perbedaan bidang fonologi;

17 % ke atas : dianggap perbedaan bahasa 12 – 16 % : dianggap perbedaan dialek 8 – 11 % : dianggap perbedaan subdialek 4 – 7 % : dianggap perbedaan wicara

0 – 3 % : dianggap tidak ada perbedaan (Guiter, 1973:96)

Dari pengkategorian kriteria di atas terlihat bahwa level yang tertinggi adalah bahasa yang berbeda dan yang terendah adalah level tanpa perbedaan. Meskipun dalam kajian dialektologi dibicarakan level perbedaan bahasa, akan tetapi relasi antarbahasa-bahasa yang berbeda itu tidaklah menjadi perbincangan dalam dialektologi.

2.3.7 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian maka disusunlah kerangka pikir penelitian yang berfungsi memberikan arahan pokok masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian berdasarkan teori dan metode yang digunakan. Rumusan ini menjadi dasar dalam menganalisis data kebahasaan BM di Mandailing Natal agar tergambar dengan jelas.

(21)

berkas isoglosnya sesuai dengan data informan BM. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dialek dan subdialek BM meliputi faktor ekstralinguistik yaitu historis, geografis, sosial budaya, dan migrasi.

(22)

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Pengelompokan Dialek dan Subdialek BM

Dialek BM A Dialek BM B Dialek BM C

Dialektometri Isoglos Berkas

Faktor Intralinguistik − Proses Asimilasi − Proses Struktur

Silabel

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Rektor setelah mendapat

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pengendalian dan pengawasan internal Poltesa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan mekanisme penerapannya diatur dalam

KELOMPOK KERJA GURU (KKG) MADRASAH IBTIDAIYAH KECAMATAN GENUK KOTA

316.447.120,- (tiga ratus enam belas juta empat ratus empat puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah), adalah sebagai berikut:.. Nama Perusahaan :

Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Obat yang diberikan secara parenteral akan

Bagaimana pengaruh profitabilitas yang diproksikan dengan return on assets dan return on equity secara silmutan terhadap effective tax rate pada

Hasil analisis yang kami lakukan dengan menggunakan metodologi FAST, dimana dibutuhkan suatu database untuk penyimpanan data pada bagian pelanggan yang ada pada Dewita Salon

Organisasi-organisasi ini juga harus menginformasikan kepada Pihak Pengumpul (Depositary Government) mengenai segala perubahan yang relevan pada tingkat kewenangan