BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia.
Sekitar 17,3 juta penduduk dunia pada tahun 2008 meninggal akibat penyakit
kardiovaskular. Jumlah ini merepresentasikan 30% dari seluruh kematian global.
Sebanyak 7,3 juta orang yang meninggal akibat penyakit kardiovaskular disebabkan
oleh penyakit jantung koroner (WHO, 2013).
Penatalaksanaan penyakit jantung koroner (PJK) sampai saat ini telah
mengalami kemajuan yang pesat. Manajemen penatalaksanaan penderita PJK tidak
hanya meliputi terapi obat obatan. Tindakan intervensi yang meliputi intervensi
koroner perkutan (IKP) maupun operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) bertujuan
untuk meningkatkan angka harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup penderita.
Meskipun intervensi IKP telah banyak mengalami kemajuan yang pesat, peran
BPAK dalam penatalaksaan PJK tetap penting. Beberapa kondisi lesi stenosis
bermakna di arteri koroner seperti : lesi di proksimal left anterior descending (LAD),
baik lesi di LAD sendiri maupun dengan keterlibatan satu arteri koroner utama
lainnya, stenosis bermakna pada ketiga arteri koroner utama (baik yang simpel
maupun yang kompleks), stenosis bermakna pada left main coronary artery, adalah
indikasi kelas IA untuk dilaksanakan revaskularisasi dengan operasi BPAK.
Kemajuan pada teknik operasi dan teknologi yang semakin baik telah
memberi kontribusi penting terhadap tingginya pencapaian kesuksesan hasil operasi,
termasuk pada penderita PJK dengan komorbid berat. Kemajuan dibidang anestesi
bedah jantung berjalan seiring dengan perbaikan teknik operasi. Tindakan operasi
yang dilakukan pada penderita dengan komorbid yang kompleks saat ini secara rutin
telah ditunjang oleh keberadaan teknik pemantauan perioperatif yang memadai seperti
pemasangan kateter Swans Ganz serta ekokardiografi esofageal (Eagle dkk, 2004).
Pada awalnya operasi BPAK menggunakan mesin cardiopulmonary bypass
(mesin CPB) untuk mengambil alih peran jantung dan paru selama proses operasi.
John Gibbon adalah orang yang pertama kali memperkenalkan mesin ini untuk
digunakan pada seorang penderita PJK yang menjalani operasi BPAK pada tahun
1953 (Gibbon dkk, 1978). Operasi konvensional dengan metode ini telah lama dikenal
dengan operasi BPAK on-pump.
Operasi BPAK dengan metode off pump sendiri sebenarnya telah lama
diperkenalkan oleh Kolessov (Kolessov dkk, 1967 ) dan Favaloro pada akhir tahun
1960. Namun, teknik ini kemudian ditinggalkan seiring dengan tingginya rutinitas
pemakaian mesin CPB. Penggunaan mesin CPB ini pada awalnya lebih disukai karena
memudahkan teknik operasi akibat kondisi plegic jantung secara temporer yang
ditimbulkannya. Seiring berjalannya waktu, telah banyak hasil studi yang
menunjukkan bahwa operasi dengan metode ini menghasilkan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Metode operasi ini diketahui menyebabkan tingginya angka
kejadian systemic inflammation response syndrome (SIRS), “post pump syndrome”,
“post perfusion syndrome” serta kejadian “adult respiratory distress syndrome”(Kaya dkk, 2010). Studi sebelumnya telah menunjukan bahwa operasi BPAK off pump relatif
rendah biaya, lebih sedikit mengalami perdarahan mayor, angka morbiditas yang lebih
rendah, serta durasi perawatan di rumah sakit yang lebih pendek dibandingkan dengan
operasi on pump (Sellke dkk, 2005).
Namun, satu studi metanalisis yang melibatkan 66 studi yang terandomisasi
menunjukkan bahwa metode operasi BPAK dengan off pump berbeda secara bermakna
hanya dalam hal kejadian fibrilasi atrium paska operasi. Metode ini menyebabkan
kejadian fibrilasi atrium yang lebih rendah dibandingkan dengan metode on pump.
Sementara angka mortalitas, kejadian infark dan strok periprosedural justru tidak
berbeda diantara kedua metode tersebut (Mueller dkk, 1997)
Rumah sakit Haji Adam Malik sendiri (RS HAM) telah melakukan operasi
BPAK sejak tahun 1996. Pada awalnya tim bedah jantung masih didatangkan
dari Rumah sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK). Kemudian pada
tahun 2001 tindakan BPAK di RS HAM sudah dapat dilakukan secara mandiri.
Terhitung sejak tahun 2009 sampai sekarang, tim bedah jantung RS HAM telah rutin
melakukan operasi BPAK baik dengan metode on pump maupun dengan metode off
pump.
Belum pernah diteliti apakah juga terdapat perbedaan hasil dalam hal angka
kematian, kejadian kardiovaskular mayor serta efek perdarahan mayor terhadap
penderita PJK yang menjalani operasi BPAK dengan kedua metode tersebut di RS
HAM.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Apakah angka kejadian kardiovaskular mayor ( kematian, strok, perdarahan,
gagal ginjal akut ) penderita PJK yang menjalani operasi BPAK dengan metode off
pump lebih rendah dibandingkan dengan metode on pump.
1.3 Hipotesis Penelitian
Angka kejadian kardiovaskular mayor ( kematian, strok, perdarahan, gagal
ginjal akut ) pada penderita PJK yang menjalani operasi BPAK dengan metode
off-pump lebih rendah dibandingkan dengan metode on off-pump.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan angka kejadian kardiovaskular mayor
(kematian, strok, perdarahan, gagal ginjal akut, aritmia maligna ) pada penderita PJK
baik yang menjalani BPAK on pump maupun off pump.
1.4.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui faktor faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan angka
kejadian kardiovaskular mayor pada kedua metode operasi BPAK tersebut.
1.5. Manfaat Penelitian.
1.5.1. Kepentingan Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data angka kejadian
kardiovaskular mayor pada penderita PJK yang menjalani tindakan BPAK baik
dengan metode on pump maupun off pump di RS H.Adam Malik Medan.
1.5.2. Kepentingan Klinisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai
pertimbangan pilihan metode operasi BPAK serta faktor faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi hasil operasi pada kedua metode tersebut.