BAB III
SAMALANGA DI BAWAH KEKUASAAN BELANDA 3.1.Penaklukan Samalanga
Pada 24 Januari 1874, Belanda berhasil merebut dalam (istana) sultan Aceh111. Sultan pun terpaksa mundur ke arah Leung Bata. Tidak lama kemudian
pusat Kerajaan Aceh dipindahkan ke Keumala (Pidie)112
Ternyata apa yang diinginkan oleh Belanda sangat berlawanan dengan
tekad rakyat Aceh. Rakyat bertekad kuat untuk melawan Belanda yang mereka
anggap sebagai kaum kafir yang harus dilawan dengan cara apapun, mengingat
rakyat Aceh kala itu memegang teguh ajaran Islam dengan sangat fanatik.
Mereka menanamkan idiologi perang sabil (perang di jalan Allah), yaitu perang
untuk membela agama Allah yaitu Islam. Orang yang bergabung memerangi
kaum kafir akan mendapatkan syurga Allah dan segala keistimewaannya.
. Meskipun Belanda baru
menguasai dalam saja, mereka sudah ingin memproklamirkan bahwa Kerajaan Aceh telah ditaklukkan. Belanda juga berharap bahwa dengan direbutnya dalam
bisa membuat rakyat Aceh di luar Aceh Besar juga mengakui kedaulatan Belanda.
Jika keinginannya ini tidak tercapai maka Belanda akan menggunakan cara
kekerasan juga.
Melihat tekad rakyat Aceh yang sangat kuat untuk tetap melawan
Belanda dan sangat bersikeras untuk tidak mau mengakui kedaulatan Belanda
terhadap Aceh. Maka Belanda pun mengambil tindakan kekerasan yaitu dengan
111
Ibid., hlm. 68.
112
peperangan. Peperangan dilakukuan ke daerah luar Aceh Besar seperti Pantai
Barat, Timur dan Utara Aceh. Salah satu daerah atau nanggro yang yang berada di Pantai utara Aceh yang sangat menonjol melawan Belanda adalah Samalanga.
Belanda mulai menyerang Samalanga pada tahun 1877113. Melalui pantai
Kuala Tamboa114. Blokade arah jalan darat melalui gampong Pengelik115.
Uleebalang yang menguasai Samalanga ketika itu adalah Teuku Chik Raja Bugis116. Untuk melawan pasukan Belanda, Teuku Chik Raja Bugis mengerahkan
pasukan sejumlah 30.000 orang117
Belanda mengerahkan pasukan sejumlah 3 batalion, setiap batalion terdiri
dari 3 kompi yang masing-masing berjumlah 150 orang. Kapal perang yang
dibawa menuju Samalanga adalah Metalen kuis, Citadel van antwerpen, Sambas,
Banda, Amboina, Palembang, Semarang, Borneo dan Sumatera .
118
. Dan juga kapal
Watergeus pada 15 Oktober 1877119
Kemungkinan pihak Samalanga telah mendengar bahwa akan ada
serangan dari Belanda. Maka rakyat Samalanga juga sudah bersiap-siap untuk dipimpin oleh kolonel Van der Heijden.
113
Sebelum melakukan penyerangan ke Samalanga, terlebih dahulu Belanda mencari tau keadaan Samalanga melalui seorang penghianat bernama Soetan Maharadja.
114
Jules Garnier, De Verovering Van Kota Blang Temoelit, Samalangan Op 27 Agustus 1877, Rotterdam: Nijgh & van Ditmar (Drukker), 1887, hlm. 2.
115
Atjeh: Verzameling Van Bulletins Loopende Van 13 April 1873 Tot 27 Februari 1880. Landsdrukkerij. 1880
116
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,
melawan Belanda dengan cara membuat parit-parit yang dipasangi bambu-bambu
yang sangat tajam120. Di berapa gampong juga telah terdapat benteng pertahanan121. Pertahanan yang paling kuat bagi Samalanga adalah di benteng
Bateilek, dengan pertahanan puluhan ribu prajurit lengkap dengan senjata, pagar
bambu yang berduri, menyerupai hutan yang tidak akan mudah dilewati oleh
Belanda122
Rakyat Samalanga dipimpin oleh Teuku Chik Raja Bugis dan adik
perempuannya yang bernama Pocut Meuligo. Ia adalah sosok wanita yang sangat
benci terhadap Belanda, hal ini terlihat dari kegigihannya yang selalu
mengirimkan baik dana maupun pasukan ketika terjadi peperangan di Aceh Besar
pada 1873, dan memerintahkan seluruh rakyat Samalanga bagi yang sudah bisa
berperang maka ikutlah berperang .
123
Teuku Chik Raja Bugis juga menyerahkan sebagian besar urusannya
kepada kerabat perempuannya itu. Karena sebelum terjadi peperangan di
Samalanga, Teuku Chik Raja bugis aktif dalam perang di Aceh Besar .
124
120
Jules Garnier, op.cit., hlm. 9.
. Jumlah
pejuang yang dikerahkan Teuku Chik Raja Bugis juga cukup banyak, namun tak
dapat mengimbangi pasukan Belanda.
121
De Expeditie Naar Samalanga in 1877. hlm. 4.
122
Atjeh Zaken 01242
123
J.P Schoemaker, op.cit., hlm. 53.
124
Pada satu peristiwa penyerangan pejuang tersebut berjumlah sekitar 40
orang dengan memakai senjata klewang125
Selain ke 2 uleebalang tersebut, peperangan juga dipimpin oleh kelompok lain, yang peranan sangat besar dalam perstiwa perang sabil di Aceh, bahkan lebih
besar peranannya dibandingkan dengan uleebalang. Mereka adalah kelompok ulama. Ulama-ulama yang memimpin perang di Samalanga yaitu: Tgk Hadji
Aron, Tgk Moekib, Tgk Jit, Tgk Djeulanga, Tgk Di Loeeng Keubeue, Tgk Di
Pulobaroh, Tgk Di Pakoe, Habib ahmad dan Habib Alooe
. Dalam peristiwa penyerangan pos
Belanda yang pertama, menurut catatan Belanda, setelah terjadi pertempuran
sengit itu, terdapat 3 korban tewas dan 9 luka-luka pada pihak serdadu Belanda.
Termasuk seorang Letnan B.M. Leussen. Dalam peperangan yang pertama ini,
pihak Samalanga sering mengadakan pertempuran secara tiba-tiba dan
menyebabkan banyak korban berjatuhan di pihak Belanda.
126
Meskipun banyak kerugian yang dialami Belanda selama perang
Samalanga. Baik kerugian secara materi maupun korban jiwa, Belanda mampu
menembus satu persatu benteng pertahanan rakyat Samalanga. Satu-satunya
benteng pertahanan yang belum bisa dikuasai Belanda adalah benteng Bateilek
dan akan ditaklukkan pada agresi berikutnya.
. Peranan uleebalang
ditambah bantuan ulama yang menyerukan perang fisabilillah dan mampu
mengikutsertakan banyak masyarakat Samalanga.
125
Senjata Tradisional Aceh
126
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden. op.cit.,
Belanda telah memberikan pilihan kepada T. Chik Raja Bugis dan Pocut
Meuligo agar mengakui kedaulatan Belanda. Namun tawaran itu ditolak
mentah-mentah olehnya, akhirnya Belanda mengambil tindakan lain, yaitu memblokade
pantai-pantai yang biasa berfungsi sebagai sarana ekspor-impor komoditi di
Samalanga, dan dialihkan ke pelabuhan Ulelhe sebagai pelabuhan pusat. Sehingga
membuat perekonomian Samalanga mengalami kelumpuhan.
Namun di sisi lain, uleebalang Samalanga melihat kejayaan daerah Idi, yang perekonomian dan perdagangannya sangat lancar. Tanpa gangguan dari
Belanda. Pelabuhan di wilayah Idi tidak diblokade oleh Belanda, karena sejak
awal Belanda memerangi daerah luar Aceh Besar, uleebalang Idi sudah terlebih dahulu menyetujui dan mengakui kedaulatan Belanda. Dengan pertimbangan yang
berat setelah sebulan terjadi peperangan maka T. Chik Raja Bugis menyerah dan
menandatangani perjanjian secara serentak dengan 7 uleebalang nanggroe
tetangganya127
Setelah perjanjian panjang ditanda-tangani, maka Belanda memenuhi
janjinya. Yaitu, membuka kembali pelabuhan di Samalanga yang sebelumnya
telah ditutup oleh Belanda, hingga kegiatan perekonomian dapat berjalan kembali
seperti semula. Sejak perjanjian panjang yang pertama ini, bisa dikatakan tidak
adalagi peperangan secara fisik antara Samalanga dan Belanda, namun Belanda
mulai mengintervensi segala keputusan maupun tindakan uleebalang mengenai segala hal yang menyangkut Samalanga.
.
127
Perjanjian damai tersebut bertahan hanya kurang dari 3 tahun saja. Pada
1880 pihak Belanda yang memulai dan memancing pertikaian, dengan menyerang
secara tiba-tiba suatu daerah yang memang belum pernah diserang oleh Belanda
sebelumnya. Yaitu, gampong Cok Merak. Sebelumnya panglima militer Aceh, Van Der Hijden mengatakan belum waktunya mengirimkan pasukan ke
Samalanga hanya karena masalah kecil seperti itu.
Karena peperangan di Aceh Besar juga masih sangat memerlukan prajurit.
Namun dengan desakan dari pemerintah sipil Belanda, maka keputusan Van Der
Heijden pun berubah dengan kembali mengirim pasukan yang jumlahnya 4
kompi. Total keseluruhannya berjumlah 32 orang perwira dan 1200 serdadu.
Peperangan kembali terjadi pada tahun 1880 di bawah komando Mayor W. A.
Schamilau128
Belanda melancarkan peperangan juga sambil mengadakan perjanjian lagi
dengan uleebalang. Tawaran tersebut ditolak oleh uleebalang Samalanga. Karena
uleebalang yakin bahwa pejuang dari Samalanga pasti bisa bertahan dari serangan Belanda. Dan masih memiliki benteng pertahanan yang kuat di Bateilek. Benteng
Bateilek memang merupakan benteng yang sangat berperan bagi rakyat Aceh.
benteng Bateilek bertahan hampir 30 tahun dari serangan Belanda dan akhirnya
pada 1900 Belanda berhasil menjatuhkannya. .
Penguasaan benteng oleh Belanda menyebabkan uleebalang Samalanga kembali untuk kedua kalinya menandatangani perjanjian dengan Belanda.
128
Perjanjian ditandatangani oleh Teuku Ali Basya. Isi perjanjian panjang yang ia
tanda tangani sama dengan apa yang ditandatangani oleh pendahulunya. Dalam
sumber lain mengatakan bahwa antara tahun 1899-1900 uleebalang di Pantai Utara Aceh (termasuk Samalanga) menyerah untuk selama-lamanya129
3.2.Sistem Pemerintahan Kolonial di Samalanga
.
Kehadiran sistem pemerintahan kolonial di Aceh tidak menghilangkan
pemimpin tradisional. Bahkan Belanda menggunakan cara kerjasama dengan
uleebalang untuk memuluskan tujuan penjajahannya. Belanda menyadari bahwa keberadaan uleebalang sangat perlu untuk keberlangsungan Belanda menguasai Aceh secara keseluruhan.
Heather Sutherland berpendapat, dalam bukunya mengenai priyai Jawa
(juga di Aceh) sebagai berikut; Keyakinan umum di kalangan penguasa-penguasa
kolonial, bahwa penghormatan rakyat kepada pejabat pribumi yang menjamin
keselamatan kehadiran Belanda di Jawa, paling baik dapat dipertahankan dengan
menjaga agar korps itu tetap tradisional130
Uleebalang tetaplah menjadi uleebalang, namun setelah menandatangani perjanjian memerintah sebagai wakil Belanda di nanggronya masing-masing. Bidang legislatif, diatur berdasarkan adat-istiadat yang berdasarkan pengertiannya
sendiri. Di bidang yudikatif, dibentuk lembaga peradilan, disebut
landschaapsrecht. Uleebalang memiliki wewenang menjatuhkan hukuman apa pun kepada pihak-pihak yang tidak disukainya, sehingga cukup membawa
.
129
Jongejans, op.cit., hlm. 20.
130
penderitaan dan malapetaka bagi rakyat. Kekuasaan lembaga peradilan ini cukup
luas, tidak hanya di bidang sipil dan pidana, tetapi juga meliputi masalah
keagamaan serta masalah nikah, pasah, talak, dan rujuk131
Untuk memudahkan urusan pemerintahan, pada tahun 1878 pemerintah
Hindia-Belanda memutuskan untuk menyerahkan pemerintahan Aceh kepada
Gubernur sipil dan militer132. Dan dibantu oleh asisten residen juga kontrolir.
Pada tahun 1936 Aceh dijadikan keresidenan. Residen Aceh yang pertama adalah
J. Jongejans (1936-1940)133
Kelima afdeeling itu adalah (1) Afdeeling Grote Atjeh, terdiri dari 4
onderafdeeling (dipimpin oleh seorang kontrolir dari kalangan Belanda), yaitu; Kutaraja, Seulimum, Lhoknga dan Sabang. (2) Afdeeling Noord Kust van Atjeh,
terdiri dari 6 onderafdeeling yaitu: Pidie, Meurdue, Bireuen, Lhokseumawe dan Lhoksukon dan Takengon (3) Afdeeling Ostkust van Atjeh terdiri dari 4
onderafdeeling, yaitu; Idi, Langsa, Tamiang dan Serbojadji. (4) Afdeeling West Kust van Atjeh terdiri dari 5 onderafdeeling yaitu: Pulo Raja. Meulaboh,
. Sebelum Aceh dijadikan keresidenan, Belanda sudah
membentuk dan mengelompokkan pemerintahan Aceh kedalam 5 afdeeling
(dipimpin oleh seorang yang dinamakan asisten residen dari kalangan Belanda).
131
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, Bertarung Untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Dearah, Jakarta: Grafiti. 1992, hlm. 16.
132
J. Jongejans, op.cit., hlm. 304.
133
Tapaktuan, Simeulue dan Singkil. (6) Afdeeling Alaslanden yang membawahi
onderafdeeling Kutacane134
Langkah selanjutnya adalah membagi Aceh secara keseluruhan menjadi 2
sistem pemerintahan. Yaitu sistem pemerintahan langsung dan sistem
pemerintahan tidak langsung. Pemerintahan langsung artinya, daerah yang
langsung diperintah oleh Belanda, meliputi Aceh Besar, Singkil dan juga ibukota
afdeeling dan onderafdeeling (Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Langsa, Kuala Simpang, Calang, Meulaboh dan Tapaktuan) .
.
Pemerintahan tidak langsung yaitu pemerintahan yang diperintah oleh
uleebalang atau juga disebut swantara/zelfbestuur yang telah menandatangani perjanjian dan kedudukannya telah dikukuhkan oleh pemerintah (Hindia
Belanda)135. Salah satu daerah pemerintahan tidak langsung adalah Samalanga.
Yang berada di bawah kekuasaan afedeling Noordkust van Atjeh dan
onderafdeeling Bireuen. Selain Samalanga, Peusangan dan Gelumpang Dua136
Perjanjian dengan Belanda telah membuat uleebalang harus mengikuti sistem yang dijalankan oleh kolonial. Loyalitas dan kesetian uleebalang selalu dipantau oleh Belanda melalui kontrolir yang terdapat pada setiap daerah, jika ada
uleebalang yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh Belanda, maka tidak juga berada di bawah onderafdeeling Bireuen.
134
A. Kruisheer, op.cit., hlm. 282-295.
135
J. Jongejans, op.cit., hlm. 312.
136
jarang dari mereka yang langsung dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh
keturunan uleebalang itu sendiri137
Proses memecat atau melantik uleebalang juga sudah dikuasai oleh Belanda dan tidak harus menerima sarakata lagi dari sultan. Namun bukan hanya kekerabatan saja yang dijadikan sebagai syarat menjadi uleebalang pengganti, kemampuan, loyalitas, integritas juga dipertimbangkan oleh Belanda. Hal ini jauh
berbeda dengan sistem turun temurun yang dijalankan oleh uleebalang sebelum Belanda masuk.
.
Sistem terdahulu, mewajibkan uleebalang memimpin hingga akhir hayatnya. Walaupun ada diantara mereka yang berbuat tidak sesuai dengan norma
dan keinginan masyarakat, misalnya monopoli dagang dan lain sebagainya.
Apapun tindakan uleebalang yang menyalahi aturan, adat tetap tidak boleh mengganti uleebalang tersebut. Jika uleebalang melakukan sesuatu yang dianggap melanggar perjanjian dengan Belanda, maka tak jarang Belanda
langsung mengganti uleebalang yang berbuat curang itu, misalnya, Teuku Muhammad Thayeb (uleebalang Peurlak), Teuku Umar (uleebalang Keumangan) yang dipecat Belanda karena melakukan penyelewengan dan zalim selama masa
pemerintahannya138
Uleebalang Samalanga, Teuku Chik Raja Bugis digantikan karena meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yaitu Teuku Chik Muhammad Ali
137
Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 21.
138
Basyah139
Teuku Sjeh Kobat hanya dijadikan imeum mukim di mukim II Teunong . Jabatan diturunkan kepada Teuku Chik Muhammad Ali Basyah, bukan
serta-merta berdasarkan hubungan darah seperti konsep pada pemerintahan
tradisional. Belanda juga memperhatikan syarat-syarat secara tekhnis lainnya yang
lebih rasional, karena pada saat yang bersamaan, Teuku Sjeh Kobat yang juga
merupakan keturunan Teuku Chik Raja Bugis merasa dirinya layak untuk menjadi
uleebalang Samalanga, dan Belanda mempercayakannya pada Teuku Ali Basja.
140
,
karena Teuku Sjeh Kobat gemar menggunakan candu141
Guna memperlancar tugas uleebalang, maka pada tahun 1881 . Namun untuk
menjalankan tugasnya uleebalang masih menggunakan pola lama yaitu dibantu oleh orang-orang bawahannya yang sama persis seperti sebelum Belanda masuk.
seperti imeum mukim, kadli, keutjik banta dan lain sebagainya.
142
139
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,
hlm. 90.
pemerintah kolonial mengesahkan kekuasaan peradilan kepada uleebalang.
kekuasaan seperti ini semula hanya berlaku di Aceh Besar, hingga akhirnya
berlaku di seluruh daerah Aceh. Peradilan tersebut mempunyai dua tingkatan,
yaitu landschap gerecht dan musapat. Landschap gerecht adalah pengadilan tingkat pertama. Uleebalang bertindak sebagai hakim tunggal. Sedangkan
musapat adalah pengadilan wilayah yang diketuai oleh kontrolir setempat, dengan 2 orang hakim yang berasal dari uleebalang kenamaan dari daerah tersebut.
140
Doup, op.cit., hlm. 17.
141
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,
hlm. 103.
142
Pengadilan pertama mempunyai hak dan wewenang untuk mengadili
perkara yang tidak mampu didamaikan oleh keutjik dan imeum mukim, dengan nilai perkara perdata kurang dari f100. Dalam memproses suatu perkara imeum mukim, keutjik dan tersangka hanya hadir sebagai saksi. Bila perkara yang diselesaikan berkaitan dengan agama, uleebalang mengundang kadhi sebagai penasihatnya. Namun kekuasaan pengadilan sepenuhnya berada di tangan
uleebalang. Jika nilai perkara melebihi dari nilai perdata di atas maka perkara ini akan dibawa ke lembaga peradilan musapat yang akan disidangkan secara teratur.
Sebelum menyidangkan perkaranya, maka pihak berperkara harus
membayarkan uang pengurusan terlebih dahulu, yang jumlahnya 10% dari jumlah
nilai yang diperkarakan. Bagi uleebalang ini juga merupakan pendapatan tambahan di samping pendapatan tetap lainnya. Disebut sebagai pendapatan tetap
lainnya adalah, karena uleebalang telah dibebankan tugas oleh pemerintah kolonial maka uleebalang mendapatkan gaji bulanan, yang nilainya variatif tergantung pada senioritas dan potensi wilayah yang dipimpinnya.
Gajinya berkisar antara f 80 s/d f 239143
143
Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 24.
. Gaji yang diterima uleebalang
Samalanga juga berkisar antara jumlah di atas, karena hasil bumi Samalanga
hanya lada, pinang, padi dan lain sebagainya. Terdapat perbedaan yang sangat
Sejak tahun 1912 pemerintah Kolonial-Belanda menetapkan peraturan
baru, dengan cara memperbaiki sistem keuangan di Aceh. Pemerintah
Hindia-Belanda mendirikan lembaga pemerintahan yang dinamakan landschapkassen, yaitu kas-kas nanggroe144
Landschapkassen mengelola uang yang diperoleh dari tiap-riap nanggroe
yang terintegrasi kedalamnya. Hasil bumi seperti Lada, Pinang, dan lain-lain akan
dikelola oleh landschapkassen. Selain itu kegiatan ekspor impor juga telah diatur oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Padahal sebelum Belanda masuk, ekspor
impor merupakan kekuasaan uleebalang sepenuhnya
. Pada 1 Januari 1912 dengan ketetapan Gubernur
tanggal 14 Oktober 1911 No. 257/P.Z didirikan kas daerah pada seluruh
kenegerian di Aceh, kecuali Peurlak, Trumon dan Goyo lues. Kas-kas tersebut
didirikan di Meurdu, Calang, Simeulu, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Takengon,
Langsa, Tamiang, Serbojadi, Meulaboh, dan Tapaktuan.
145
Kas-kas tersebutlah yang mengatur keuangan tiap nanggro. Kemudian digunakan bagi pembangunan nanggroe dan menggaji uleebalang. Gaji
uleebalang pada setiap nanggroe tergantung kepada penghasilan di nanggronya dan keperluan lainnya. Uleebalang telah masuk kedalam sistem pemerintahan yang dibuat oleh Belanda, namun uleebalang tetap masih menerima hak mereka sebagai penguasa adat, seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
.
144
Kreemer, op.cit., hlm. 155.
145
Salah satu contohnya seperti impor opium, pada tahun 1919
3.3. Pembangunan Sarana dan Prasarana
Daerah Aceh telah dikuasai Belanda. Sistem pemerintahan juga sudah
dibenahi Belanda. Kini saatnya Belanda meniti tujuan awalnya menjajah, yaitu
ingin mengeruk hasil bumi dari negeri jajahannya dan memperkaya negeri
asalnya. Untuk memperlancar semua usaha Belanda di Aceh, maka sejak awal
meletus perang Aceh dan Belanda, pemerintahan Hindia-Belanda pun sudah
membangun infrastruktur modern di Aceh. Seperti jalan raya, jalan kereta api,
pasar, pelabuhan dan juga berbagai sarana komunikasi.
Infrastruktur semakin meningkat setelah perang berakhir, guna
kepentingan ganda yaitu, ekonomi dan keamanan146. Selain kedua fungsi tersebut
Gubernur H. N. A. Swart147
Pada awalnya pembangunan infrastruktur hanya di bangun di Aceh besar
saja. Seperti kereta api dari pelabuhan Ulelhe ke Kutaraja sepanjang 5 KM berpendapat, percepatan pembangunan Aceh, guna
menyadarkan rakyat Aceh akan kekuatan kita (Belanda). Dan juga menimbulkan
rasa percaya mereka kepada kita dan juga membuat mereka lupa akan pahitnya
peperangan yang telah kita buat.
148
146
Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 11.
,
untuk mengangkut minyak maupun logistik lainnya yang diperlukan oleh
147
Abubakar (alih bahasa/penerjemah) Memori Umum Daerah Aceh oleh Gubernur H.N.A Swart dan Memori Serah Terima Jabatan Gubernur A.H. Philips. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1978, hlm. 1.
148
kolonial. Kepala pembangunan dan pengoperasian kereta api Aceh (Atjeh-Tram)
adalah Mayor Caspersz G.P.J149
Jalur kereta api tersebut sepanjang 5 KM, yang selesai pada tahun 1875.
Jalur kerata api ini mulai beroperasi rutin pada 1876 .
150
. Tahun 1899
pembangunan kereta api baru mulai dilaksanakan di luar Aceh Besar151
Peusahaan kereta api Aceh memiliki tujuh depot lokomotif yang berada di
Kutaraja, Padang Tiji, Sigli, Samalanga, Lhokseumawe, Idi dan Langsa. Untuk
stasiun kereta api, rute Kuta raja menuju Langsa memiliki stasiun di beberapa
daerah yaitu, Kutaraja, Sigli, Samalanga, Bireuen. Lhoksumawe, lhoksukon, Idi
dan Langsa
, yaitu
jalan menuju pantai Utara dan Timur Aceh. Pada tahun 1901-1904 pembangunan
rel kereta api telah selesai mulai dari Sigli, Samalanga hingga Lhokseumawe.
152
Pembangunan rel kereta api semakin diperpanjang hingga Pangkalan
Brandan, yang selesai pada 1917 .
153
149
Caspersz, G. P. J, Eene Verdediging van het Beleid den Exploitatie van den Atjeh-Tramweg, Koeta-Radja: SN. 1907, hlm. 52.
. Setelah rel kereta api menuju Medan telah
rampung, memudahkan ekspor beras dan juga pinang dari Aceh Utara (juga
150
J. Kreemer, Atjeh; Algemeen Samenfattend Overzicht van Land en Volk van Atjeh en Onderhoorigheden. Jilid II, Leiden: E. J. BRILL. 1922, hlm. 72.
Samalanga) ke daerah Sumatera Timur154. Khusus untuk Samalanga
menghasilkan beras kering 60 pikol beras/HA155
Pasokan beras dari Samalanga semakin meningkat setelah dibangun dua
irigasi di Samalanga. Yaitu irigasi di Paya La’ot dan di sebelah Krueng
Samalanga (Sungai Samalanga) pada tahun 1929-1932 .
156
Selain itu pemerintah Hindia-Belanda juga memperbaiki sistem
komunikasi, dengan mendirikan kantor pos. Melalui statblaad tahun 1882 nomor
14 kantor pos didirikan di Kutaraja, Ulelhe, Idi dan Lhokseumawe
. Pada tahun yang sama
juga dilakukan pembangunan irigasi di daerah Aceh Utara lainnya, yaitu di
Krueng Jeulanga, Krueng Kiran, Alue Buya, Lhoksukon, Krueng Leubu dan
masih banyak lagi daerah lain yang dibangun irigasi.
157
. Selain
Lhokseumawe, di Aceh Utara (Bireuen) juga didirikan kantor pos. Untuk
berkomunikasi dengan luar Pulau Sumatera, pemerintah kolonial membangun
kantor telegraf di Penang, untuk kepentingan komunikasi dengan Jawa dan juga
Singapura158
Lima tahun kemudian, tahun 1887 di Aceh juga didirikan kantor telegraf
yaitu di Kutaraja. Kemudian pada tahun 1892 telegraf mulai berkembang dan
semakin berkembang dan juga telah didirikan di Sabang, Sigli, Lhokseumawe,
Bireuen, Langsa, Kuala Simpang, Singkel, Sinabang dan Tapaktuan. .
154
A.J. Piekaar, op.cit., hlm. 52.
155
De Rijkdom van Atjeh: Uit Gegeven Door Het Atjeh-Instituut Amsterdam 1923, hlm. 23.
Perkembangan komunikasi berkembang pesat disepanjang Pantai Utara dan Timur
Aceh. Pada tahun 1899 kawat telepon dari Samalanga telah tersambung ke
Kutaraja159. Samalanga juga dibangun lapangan udara atas tanah pemberian
uleebalang pada 1928160
Oleh karena pendapatan nanggroe tidak stabil, maka sebagian dari dana pembangunan tersebut dibebankan kepada negara. Hingga akhirnya pada 1925
keluar kebijakan untuk menggabungkan beberapa nanggro menjadi satu, guna mengurangi anggran nanggro. Pada kasus ini juga terjadi di Samalanga
.
161
, yaitu
meminta Teuku Sabi dari Ulegle dan mukim II menjadi bagian dari Samalanga.
Ternyata kedua belah pihak menolak untuk dijadijkan menjadi satu dengan
berbagai pertimbangan.
159
Ibid., hlm. 89.
160
Jongejans, op.cit., hlm. 274.
161
BAB IV
KEHIDUPAN ULEEBALANG
Setelah Belanda masuk ada abad ke-19, Aceh mengalami perubahan dan
hkususnya Samalanga. Sarana dan prasarana yang dibangun demi memajukan
perekonomian, ternyata juga menyebabkan banyak perubahan pada masyarakat.
Lembaga-lembaga birokrasi juga mulai dibangun oleh Belanda, dan tentunya akan
sangat membutuhkan banyak pekerja. Jika para pekerja tersebut semua diangkut
dari negeri Belanda maka akan membutuhkan modal yang besar pula. Oleh sebab
itu muncullah inisiatif untuk memberikan pendidikan modern kepada pribumi,
terutama kalangan bangsawan/uleebalang.
Cara-cara seperti inilah yang menyebabkan pergeseran budaya pada
masyarakat pribumi. Kedudukan uleebalang merupakan kedudukan yang paling rentan atas perubahan tersebut. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh
kebijakan Belanda, berdampak terhadap masyarakat, hubungan sosial uleebalang¸
gaya hidup uleebalang dan lain sebagainya yang akan menjadi fokus pengkajian dalam bab berikut ini.
4.1. Pendidikan
Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam. Adat dan kebudayaan juga
berasazkan Islam, Islam telah membawa model baru dalam pendidikan di Aceh
rakyat Aceh, terutama anak-anak adalah dengan membiasakan/mengajarkan
pokok-pokok ibadah dalam agama Islam, oleh orang tua masing-masing162
Kemudian seiring dengan bertambahnya penduduk di sebuah gampong,
maka sistem pendidikannya pun semakin dibenahi, pada setiap gampong terdapat sebuah bangunan yang dinamakan meunasah. Gunanya sebagai tempat menuntut ilmu-ilmu agama terutama bagi anak laki-laki, melakukan ibadah, tempat
musyawarah dan lain sebagainya
.
163
Di meunasah, yang bertugas memberikan materi adalah seorang imeum meunasah, jika sedang menjalankan proses belajar mengajar maka para murid duduk secara melingkar mengelilingi (tidak menggunakan meja, bangku dan juga
papan tulis) imeum meunasah atau sering disebut dengan tengku, ilmu yang diajarkan juga hanya sebatas amalan-amalan yang wajib dilakukan dalam agama
Islam, ditambah dengan mengaji Al-qur’an. Tidak ada kurikulum yang mengikat
sistem belajar di meunasah, juga tidak ada jenjang pendidikan. Murid dianggap tamat jika telah mahir membaca Al-qur’an.
.
Selanjutnya ada juga yang dinamakan rangkang. Yaitu bangunan yang
didirikan di sekitar Masjid dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang setara
dengan lembaga pendidikan tingkat menengah164
162
Zakaria Ahmad, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984, hlm. 12.
. Kemudian lembaga pendidikan
yang paling dikenal di Aceh adalah yang disebut dengan dayah.
163
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1979, hlm. 130
164
Dayah biasanya didirikan oleh seorang yang mendalami Islam dan mempunyai pengetahuan tentang Islam setingkat lebih tinggi daripada
masyarakat165
Tradisionalisme dayah sangat kuat dipertahankan oleh ulama sebagai pendiri sekaligus pemimpinnya, tak jarang pula dayah mengisolasi diri dan membangun dayah jauh dari perkotaan. Mereka mengharamkan semua perubahan dan memustahilkan semua penemuan yang sifatnya baru. Mereka mengatakan
bahwa penemuan-penemuan baru itu hanyalah untuk orang kafir, sedangkan umat
Islam harus senantiasa berpegang kepada apa yang terdapat dalam kitab-kitab
karangan ulama-ulama terdahulu yang, menurut mereka, telah mencapai derjat
keramat dan mulia di sisi Allah
. Rangkang dan dayah sudah memberikan pengetahuan yang lebih luas lagi seperti misalnya ilmu fiqh, nahwu, sharaf, tafsir. Pada tingkat Rangkang
dan dayah, banyak terdapat murid-murid dari luar daerah dayah dan rangkang tersebut.
166
Sistem seperti tersebut diatas terus berjalan hingga Belanda menguasai
Aceh. Bahkan setelah banyak pembaharuan, pendidikan tradisional juga terbuka
untuk hal-hal yang baru, meskipun proses tersebut memakan waktu panjang. .
Pembangunan sarana dan prasarana yang dilakukan oleh pemerintahan
Hindia-Belanda, seperti yang telah dijelaskan di atas juga dilakukan dalam bidang
pendidikan Tujuan utama Belanda mendirikan lembaga pendidikan di Aceh terdiri
165
Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 32.
166
dari 2 alasan167 yaitu; (1) sejalan dengan politis etis, yang salah satu tujuannya
adalah untuk mendapatkan pegawai administratif yang terampil, Pegawai-pegawai
yang berasal dari kalangan pribumi dijadikan sebagai aparat yang efektif dalam
melancarkan sistem ekonomi dan struktur birokrasi kolonial. (2) diharapkan
munculnya satu kelompok elit baru yang menganut sistem nilai Belanda. Target
utama dalam program pendidikan adalah kalangan uleebalang168. Bahkan putera-puteri uleebalang difasilitasi pakaian, uang sekolah dan juga kendaraan antar jemput dari rumah ke sekolah169
Tahun 1900 mulailah diperkenalkan sistem pendidikan pemerintah
kolonial Belanda di Aceh. Pada akhirnya juga didirikan bagi masyarakat biasa.
Sekolah Belanda yang terdapat di Aceh adalah volkschool (dengan masa belajar 3 tahun), Vervolgschool (lama belajar dua atau tiga tahun). Meisjesschool (dengan masa belajar dua atau tiga tahun). De 2de klassescholen (sekolah-sekolah kelas dua), (Inlandsche School, Europeesche Lagere School (dengan masa belajar tujuh tahun), Holandsch Inlandsche School atau H.I.S. (dengan masa belajar tujuh tahun).
.
Hollandsch Chienesche School atau H.C.S. (lamanya belajar tujuh tahun) dan sekolah ini khusus untuk anak-anak orang Cina, Hollandsch Ambosche School (lamanya belajar juga tujuh tahun dan sekolah ini khusus untuk anak-anak
167
Munawiyah, op.cit., hlm. 137.
168
Abu Bakar, op.cit., hlm. 45.
169
orang Ambon yang berdinas pada militer Belanda), dan Voorbereidend Onderwijs
atau yang disebut Frobelschool (sejenis sekolah taman kanak-kanak)170
Pada awal berdirinya, sekolah Belanda mengalami berbagai kesulitan di
antaranya, bahasa pengantar, karena guru yang dijadikan sebagai pengajar
kebanyakan berasal dari luar Aceh dan tidak mahir dalam menggunakan bahasa
Aceh. Sehingga pemerintah menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar. .
kesulitan selanjutnya datang dari anggapan orang tua, terutama pada kaum
perempuan. Mereka lebih memilih menyerahkan pendidikan putera-puterinya
kepada lembaga pendidikan tradisional, yang proses belajar mengajarnya hanya
sore hari saja, dan waktu selebihnya bisa digunakan untuk membantu orang tua di
rumah dan juga membantu di sawah.
Kesulitan yang paling berat adalah penanaman pemahaman yang telah
dilakukan oleh ulama-ulama yang sangat mereka hargai. Bahwa sekolah yang
dibuat Belanda adalah sekolah kafir171
Sekolah yang didirikan oleh Belanda tersebar keseluruh daerah Aceh. di
nanggro Samalanga terdapat 3 jenis sekolah Belanda yaitu; Volkschool, Inlandsche Vervolg, Vervorlgschool met Landbouwklas
. Agar sekolah yang didirikan dapat
diterima di masyarakat, Belanda meminta bantuan kepada uleebalang untuk menjelaskan kepada masyarakatnya, bahwa sekolah Belanda tidak bertentangan
dengan agama. Usaha uleebalang berhasil sedikit demi sedikit.
172
170
Zakaria Ahmad, op.cit., hlm. 40.
. Oleh karena HIS, ELS (sekolah yang mengutamakan putera-puteri uleebalang) tidak terdapat di
171
Ibid., hlm. 4.
172
Samalanga, maka untuk lanjut ke sekolah tersebut harus merantau dari
Samalanga.
Teuku Hamid Azwar dan juga saudara-saudaranya yang lain melewati
pendidikan ELS dan HIS nya di Ulelhe. Sekolah lanjutan (MULO) juga tidak ada
di Samalanga. Satu-satunya (MULO) yang ada di Aceh beradi di Kutaraja,
didirikan pada 1922. Sebagian besar dari keturunan Teuku Bahrumsah juga
mendapatkan pendidikan tertinggi pada sekolah MULO. Untuk mendapat
pendidikan di MULO banyak dari mereka yang berhijrah ke Kutaraja (Banda
Aceh).
Sistem pembelajaran yang diberikan oleh Belanda sudah lebih modern,
denan menggunakan bangku dan meja belajar. Di sekolah Belanda sudah
mempelajari huruf-huruf latin, karena bagi Belanda untuk masuk kedalam
administrasi pemerintahan Belanda tidak cukup sekedar memahami ajaran agama
saja. Bahkan jabatan yang paling rendah sekalipun harus pandai baca tulis.
Menuntut ilmu di sekolah Belanda membuat keturunan uleebalang
Samalanga mampu memahami baca tulis huruf latin, bahkan terdapat diantara
mereka yaitu Teuku Daud dan Teuku Hamzah yang pandai berbahasa Belanda173.
Di sisi lain rakyat Aceh meyakini jika mempelajari huruf-huruf latin, maka kelak
di alam baka akan dihukum dengan memotong tangan174
173
Wawancara, dengan Pocut Naimah, Gampoeng Baroe, kec Samalanga 3 Desember 2016.
. Bahkan, pada kalangan
masyarakat yang sudah terbuka dan memasukkan putera-puteri mereka ke sekolah
174
Belanda akan mendapatkan tekanan sosial dari masyarakat sekitar, dengan cara
diejek dan dijauhi175
Untuk meningkatkan minat uleebalang memasukkan putera-puteri mereka masuk sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda, maka pemerintah
memfasilitasi putera-puteri uleebalang dengan kendaraan antar jemput menuju sekolah. Ilmu yang diberikan pada sekolah-sekolah Belanda jauh berbeda dengan
ilmu yang dipelajari pada sekolah tradisional. .
Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah ini diantaranya adalah bahasa
Belanda (dalam hal ini sangat ditekankan pada berbicara dan dapat menulis
dengan baik), berhitung, ilmu bumi, sejarah, biologi, melukis dan olah raga.
Pelajaran-pelajaran ini sebagian diberikan dalam bahasa Belanda dan sebagian
dalam bahasa Melayu. Para pendidik/guru pada umumnya terdiri dari orang-orang
pribumi, akan tetapi semua guru kepala pada sekolah ini dipegang oleh
orang-orang Eropa atau Belanda176
Uleebalang Samalanga juga tidak meninggalkan pendidikan tradisional bagi anak-anaknya. Cara yang digunakan Teuku Muhammad Ali Basyah agar
putera-puterinya mendapat pengetahuan agama berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Jika masyarakat mempercayakan meunasah, dayah dan rangkang, maka Teuku Muhammad Ali Basyah memiliki cara yang khusus dengan meminta
bantuan ulama untuk mengajarkan putera-puterinya ilmu agama.
Ulama-ulama tersebut adalah, Teungku Harun untuk mengajarkan mengaji
Al-qur’an dan tajwidnya, Teungku Abdul Salam Meuraxa, untuk mengajarkan
175
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 143.
176
ilmu tauhid, Teungku Zainun dan Teungku Muhammad, untuk mengajarkan ilmu
fiqh177
Teuku Bahrumsyah juga menerapkan hal yang demikian kepada
putera-puterinya
. Diluar ilmu agama, untuk mendapatkan pendidikan modern Teuku
Muhammad Ali Basyah mempercayakan kepada sekolah-sekolah Belanda dari
volkschool hingga MULO. Teuku Hamid Azwar adalah salah satu dari putra Teuku Muhammad Ali Basyah yang mendapatkan pendidikan di MULO.
178
. Yaitu memberikan pendidikan Belanda kepada putera-puterinya
mulai dari voolkschool hingga MULO. Bahkan 2 diantara putra Teuku Bahrumsyah, yaitu Teuku Iskandar dan Teuku M. Daud mendapat pendidikan di
OSVIA Bandung179. Namun terdapat perbedaan antara Teuku Bahrumsyah dan
Teuku Muhammad Ali Basyah, Teuku Bahrumsyah lebih memilih pendidikan
meunasah untuk para putera-puterinnya180
Pendidikan Belanda yang diterima uleebalang, lingkungan yang dikelilingi orang-orang Belanda dan komunikasi secara sering dengan Belanda membuat
mereka terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Belanda.
Sehingga sebagian dari mereka meniru pola-pola hidup atau gaya hidup Belanda. .
Namun disisi lain, sekolah Belanda juga mendatangkan keuntungan,
dengan menjadikan MULO sebagai sekolah bagi putera-puteri uleebalang. Putera-puteri uleebalang yang berjiwa nasionalis, menjadikan MULO sebagai wadah yang bisa menyatukan mereka dan melawan segala penjajahan. Misalnya dengan
membentuk satu oraganisasi yang bertujuan untuk memerdekakan Indonesia.
177
A.K. Jakobi, op.cit., hlm.46.
178
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
179
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
180
Salah satu organisasi yang didirikan adalah PARINDRA (Partai Indonesia Raya)
yang salah satu pendirinya adalah Teuku Hamid Azwar.
Teuku Chik Muhammad Ali Basyah juga uleebalang lainnya juga aktif dalam Sarikat Islam181
Selain sekolah Belanda, lembaga pendidikan tradisional (dayah) di Aceh pun mengalami pembaruan, dan awal pembaruan dipelopori oleh Tuanku Raja
Keumala
. Golongan uleebalang yang telah mendapatkan pendidikan pada sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda mulai berfikir secara terbuka
dan mulai menerima teori-teori yang lebih modern dan yang mereka anggap
mampu membangun Aceh kelak.
182
Tahun 1906 Gubernur Militer dan Sipil Swart mengizinkan permintaan
Tuanku Raja Keumala mendirikan juga Madrasah Khairiyah. Dengan mengambil
tempat halaman belakang mesjid Baitur Rahman Kutaraja. Fasilitas untuk
menunjang proeses belajar mengajar juga sudah lebih baik lagi, dengan
menggunakan bangku, meja dan papan tulis, sama halnya dengan sekolah yang
didirikan oleh Belanda
, dengan suratnya tanggal 22 Oktober 1915, Tuanku Raja Keumala,
meminta izin kepada Gubernur Militer dan Sipil Swart, untuk mendirikan sebuah
madrasah di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), dengan nama Madrasah Khairiyah.
183
Pada akhirnya, dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional juga mengalami perubahan ke arah yang lebih modern lagi, dan berkembang hingga
keluar Aceh Besar. Pada tahun 1928 didirikan di Idi Madrasah Ahlussunah
Wal-181
A. K. Jakobi, op.cit., hlm. 51.
182
Ismuha, op.cit., hlm. 22.
183
jamaah oleh Syed Husin, Al-Islam Peusangan oleh Teungku Abdulrahman (1930) di bawah perlindungan penguasa Peusangan, Jamiatuddiniyah Al-mustaslah didirikan pada 1931 oleh Teungku Syeh Ibrahim di Montasik184. Di Samalanga juga berdiri sekolah Islam modern yaitu Madrasah Nasakinah di
bawah pimpinan Teungku Syeh Abdul Hamid185
Pemikiran-pemikiran Islam modern masuk ke Aceh, melalui ulama-ulama
reformis yang menuntut ilmu keluar Aceh, seperti ke Sumatera barat dan bahkan
banyak juga yang langsung belajar ke Mekkah. Guna mendalami paham-paham
ulama besar seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan
reformis-reformis lainnya
.
186
Teuku Zainal Abidin dan Teuku Zainun juga pernah menuntut ilmu ke
Mekkah
.
187
4.2.Kendaraan Pribadi Uleebalang
. Salah satu Ulama Samalanga yang sangat berperan dalam membawa
pembaharuan pendidikan Islam adalah Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga
(ayah Hamid) dan Teungku Raja Bujang Lhokseumawe.
Sebelum Belanda masuk ke Aceh, transportasi masyarakat Aceh
sehari-hari adalah gerobak yang ditarik oleh tenaga hewan ataupun manusia. Alat
transportasi baik untuk barang ataupun untuk transportasi bagi manusia, alat
transportasi ini hanya mampu mengangkut 300-400 KG barang/manusia188
184
Anthony Reid, 2012. op.cit., hlm. 34.
. Selain
itu, masyarakat menggunakan gajah untuk transportasi militer, baik mengangkut
185
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 144.
186
Ismuha, op.cit., hlm. 165.
187
Wawancara, dengan Pocut Naimah, Gampoeng Baroe, kec Samalanga. 3 Desember 2016.
188
pasukan perang dan juga logistik kebutuhan perang. Untuk mengangkut
kebutuhan sehari-hari sebagian dari mereka hanya menggunakan kekuatan sendiri
yaitu dengan menaruh barang bawaan di atas kepala mereka, cara lain dengan
membuat keranjang dari rotan dijadikan sebagai tempat barang dan membawanya
dengan cara meletakkan keranjang tersebut pada badan badian belakang.
Alat transportasi seperti gerobak yang ditarik oleh tenaga hewan umumnya
hanya dimiliki pedagang besar dan uleebalang saja. Jika masyarakat ingin menggunakan jasa transportasi maka mereka akan menyewanya kepada pemilik
gerobak, biasanya digunakan untuk mengangkut hasil-hasil panen mereka. Biaya
yang dikenakan untuk transportasi tergantung kepada jarak yang ditempuh,
biayanya berkisar antara f 1 s/d f 5189
Transportasi mulai berkembang setelah Belanda menyelesaikan proyek
Atjeh-Tram (kereta api aceh), tepatnya pada tahun 1922, jumlah kendaraan
khususnya sepeda (rijwielen) telah masuk ke Aceh dalam jumlah yang besar. Sepeda berjumlah 982 dan mobil (automobielen) berjumlah 403 (hanya untuk Pantai Utara dan Timur Aceh) dan 24 buah sepeda motor (motorfietsen) pada umumnya yang mampu memiliki kendaraan tersebut hanya Belanda dan
uleebalang.
.
Uleebalang mampu memiliki mobil, sepeda dan sepeda motor melalui program pinjaman dari landscapekassen pada tiap-tiap daerahnya190
189
Kremeer, loc. cit.,
. Pengadaan
kendaraan juga disediakan/disewakan untuk umum, yang mampu mengangkut
sekitar 20 orang sewa, dan tarif ongkosnya juga tergantung jarak yang ditempuh.
190
Kemajuan-kemajuan dalam bidang transportasi ini memang sangat
dinikmati oleh kalangan uleebalang. Uleebalang Samalanga pada masa pemerintahan Teuku Bahrumsyah sudah memiliki dua (2) mobil. Salah satunya
milik Teuku Bahrumsyah sendiri dan yang lainnya adalah milik adik laki-lakinya
yaitu T. Sulaiman, dan mobil tersebut kemudian diberikan kepada
keturunannya191
Uleebalang Samalanga sering malakukan kunjungan ke Aceh Besar (Nanggro Meuraxa). Tujuan ke Aceh Besar selain berekreasi juga sekaligus mengunjungi keluarga/kerabat yang ada di Meuraxa, karena memang uleebalang
Samalanga menjalankan kawin politik dengan uleebalang Meuraxa (putri Teuku Muhammad Ali Basyah dengan putra uleebalang Meuraxa). Anak dan cucu
uleebalang Samalanga juga sudah menggunakan sepeda yang biasa digunakan untuk pergi mengaji dan sekolah, sedangkan kebanyakan anak-anak pada
umumnya hanya berjalan kaki
. Selain untuk keperluan pekerjaan, mobil juga digunakan untuk
berekreasi.
192
Keberadaan transportasi yang disediakan oleh Belanda pada dasarnya
menguntungkan masyarakat, karena dengan adanya alat transportasi yang
selangkah lebih modern untuk mengangkut hasil ladang dan sawah bisa dilakukan
dalam waktu yang lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan kendaraan
tradisional yang memakai kekuatan baik kuda maupun gajah. .
191
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
192
4.3. Kediaman dan Keseharian Uleebalang
Kediaman, rumah ataupun tempat tinggal merupakan suatu unsur yang
sangat kuat untuk menggambarkan kehidupan seseorang. Rumah adat di Aceh
pada umumnya atapnya hanya memakai daun rumbia dan daun nipah yang dijalin
secara rapat193 dibangun tanpa menggunakan paku, namun hanya menggunakan
sistem ikat dan pasak tiang saja. Rumah Aceh dibangun agak tinggi dan di bawah
rumah biasanya digunakan sebagai lumbung padi dan lain-lain194. Rumah tersebut
berbeda dengan di Samalanga. Di Samalanga terdapat bangunan rumah yang
dinamakan “rumoh mirah” yang dibangun atas bantuan Belanda 195
Rumoh mirah merupakan bangunan yang berbentuk seperti bangunan rumah Belanda, dan juga memakai bahan bangunan berupa batu, semen, pasir dan
juga bahan lainnya. Berbeda dengan masyarakat kebanyakan ketika itu, dan sudah
menjadi rumah adat rakyat Aceh yang hanya berbahan kayu dan hanya
menggunakan hasil alam saja, seperti daun rumbia, bambu, kayu dan lain
sebagainya.
.
Di dalam rumoh mirah dibangun beberapa ruangan, seperti ruang tidur, ruang tamu, balai, teras, dapur dan juga ada ruangan kerja khusus uleebalang. Rumoh mirah ditempati oleh keluarga inti uleebalang yang jumlahnya mencapapai puluhan orang196
193
Moehammad Hosein, Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh 1970, hlm. 199.
. Disekeliling rumoh mirah juga banyak terdapat
194
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 72.
195
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
196
seperti pondok-pondok kecil sebagai tempat tinggal para pembantu di rumoh mirah.
Di pondok-pondok tersebut juga tak jarang diisi oleh orang-orang yang
sudah tidak memiliki keluarga, janda ataupun orang yang lanjut usia. Sudah
menjadi tanggung jawab uleebalang untuk menapkahinya197. Bentuk bangunan
rumoh mirah mirip seperti Pendopo Bupati Bireuen sekarang198. Putera-puteri
uleebalang yang berumur dibawah 7 tahun masing-masing memiliki pengasuh, yang berasal dari masyarakat yang tinggal di sekitar rumoh mirah. Pengasuh mengerjakan segala tugas layaknya seorang ibu yang memandikan, menyuapkan
makan dan mengurusi anak tersebut199
Pada sore hari putera-puteri uleebalang mengikuti semacam kegiatan belajar mengajar di sebuah meunasah (mushola), untuk belajar ilmu agama yang diajarkan oleh imeum meunasah. Dari rumoh mirah menuju meunasah mereka menggunakan sepeda
.
200
Perabotan di dalam rumoh mirah, terlihat seperti perabotan yang digunakan orang-orang Belanda, seperti sofa dan meja yang dijadikan sebagai
tempat berkumpul keluarga yang menempati rumoh mirah. Lampu yang digunakan berupa lampu hias yang selain Belanda hanya uleebalang memilikinya. Selain keluarga inti pembantu yang dipekerjakan untuk mengurusi urusan di
. Selain pengasuh putera-puteri uleebalang, juga terdapat pembatu rumah tangga (rakan). Dan orang yang bekerja untuk membersihkan pekarangan rumah/tanah (ureung keurje lampoh).
197
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
198
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
199
Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.
200
dalam rumah seperti menyapu, memasak dan lain-lain juga disediakan tempat
tinggal di salah satu sisi rumah. Tidak semua pembatu mau tinggal di dalam
rumoh mirah.
Sebagian dari mereka lebih memilih tinggal disekitar rumoh mirah dengan berbagai alasan, semua pembantu, pekerja yang tinggal disekitar ataupun di dalam
rumoh mirah¸ biaya makannya ditanggung oleh uleebalang selama mereka masih mengabdi kepada uleebalang. Mereka yang tidak lagi bekerja dengan uleebalang
maka harus meninggalkan rumah yang telah disediakan uleebalang untuknya. Selain itu tepat disamping rumoh mirah terdapat semacam kantor atau tempat uleebalang melakukan tugasnya. Balai tersebut sering digunakan untuk tempat bermusyawarah untuk menyelesaikan suatu permasalahan seperti
perselisihan tanah, pembunuhan dan lain sebagainya201
Uleebalang sebagai hakim tunggal namun dibantu oleh penasihat-penasihat lainnya yang terdiri dari imeum mukim, keutcik dan juga ulama setempat. Dalam bekerja sehari-hari uleebalang menggunakan pakaian yang dominan berwarna hitam, seperti menggunakan celana panjang berwarna hitam,
sepatu hitam dan terkadang memakai jas dengan baju kemeja di dalam. .
Teuku Muhammad Ali Basyah gemar menggunakan pakaian yang hampir
sama juga dengan Teuku Bahrumsyah, yaitu sepatu hitam, celana hitam, baju
hitam dan memakai topi (topi Aceh)202
201
Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.
. Pada saat penabalan Teuku Bahrumsyah
sebagai uleebalang, beliau juga mengenakan pakaian yang sudah modern untuk masa itu, dengan memakai celana hitam panjang, baju hitam, peci hitan dan
202
sepatu juga berwarna hitam, hanya saja antara baju dan celana dipakaikan lagi
kain sarung secara melingkar, yang panjangnya tidak mencapai lutut203. Teuku
Bahrumsyah tidak menggunakan topi aceh (Kupiah Meukeutop), namun ia hanya
menggunakan peci hitam, seperti yang kebanyakan kita lihat saat ini204
Di dalam rumoh mirah juga disediakan meja makan dan bangku untuk tempat makan uleebalang. Namun uleebalang lebih senang makan bersama keluarga besar yang disediakan di salah satu sisi rumoh mirah yang berbentuk balai yang luas. Didalam balai juga disediakan sebuah meja yang menyatu dengan
laintai dan digunakan sebagai tempat menyantap makanan dan duduk secara
bersila mengelilingi meja.
Makanan yang dihidangkan berupa masakan yang khas Aceh. Namun jika
orang-orang dari pemerintahan Belanda datang berkunjung ke rumoh mirah, maka akan dilayani dan dihidangkan makanan yang bukan masakan khas Aceh, tetapi
makanan yang biasa dimakan oleh Belanda205
Selain rumoh mirah terdapat juga rumoh putih yang letaknya tidak jauh dari rumoh mirah. Rmah itu ditempati oleh adik Teuku Bahrumsyah yaitu Teuku Hoesein
. Ketika Belanda datang barulah
uleebalang makan di atas meja dan bangku yang telah disediakan. Namun sangat disayangkan rumoh mirah tidak dirawat dan tidak ditempati dan kini hanya pondasi rumah saja yang tersisa.
206
203
Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.
. Dikatakan rumoh putih karena bangunannya dominan berwarna putih, tetapi bentuk dan model bangunan rumoh putih sama juga seperti rumoh mirah
204
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
205
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
206
yang bergaya modern seperti bangunan Eropa. Rumoh putih masih berdiri kokoh hingga sekarang ini dan masih mempertahankan bentuk aslinya meskipun sudah
ada perbaikan pada beberapa sisi rumah207
Peninggalan uleebalang Samalanga (selain rumoh putih) juga terdapat rumah keluarga uleebalang yang terdapat di desa Gampoeng Baroe kecamatan Samalanga. Berbeda dengan rumoh putih, rumah ini bergaya seperti rumah adat Aceh yang dibangun sebelum Belanda masuk ke Samalanga. Sekilas terlihat
rumah ini sangat mewah jika dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk pada
masa itu, rumah dibangun dengan menggunakan bahan kayu yang terbilang bagus,
dan diberi ukiran-ukiran pada bagian jendela dan pintunya. Rumah tersebut kini
ditempeti oleh puteri dari Teuku Zainal Abidin yaitu Pocut Naimah.
. Rumoh putih sekarang ditempati oleh keturunan uleebalang, yaitu cucu dari uleebalang Samalanga yang terakhir (Teuku Zainal Abidin).
Peninggalan-peninggalan uleebalang Samalanga lainnya seperti kuburan dan bangunan sebagai balai pertemuan kini masih bisa ditemukan di Gampoeng
Meunasah Lhong, kec Samalanga. Sebuah gampoeng yang terletatak di dekat salah satu aliran sungai terbesar di Samalanga yaitu sungai Samalanga. Kuburan
Tun Sri Lanang, Teuku Chik Raja Bugis dan juga kerabat lainnya kini telah
dijadikan sebagai wisata sejarah dan pengelolaannya sudah diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten Bireu
207
BAB V
MASA SENJA ULEEBALANG 5.1. Uleebalang dan Ulama Samalanga
Uleebalang dan ulama merupakan dua golongan yang berkuasa di Aceh. dalam menjalankan tugasnya mereka saling bahu-membahu. Uleebalang menjadi seorang penguasa karena keturunan maka lain halnya dengan ulama. Golongan ini
berasal dari rakyat biasa. Tetapi karena ketekunannya belajar, mereka
memperoleh berbagai ilmu pengetahuan agamanya. Tentu ada perbedaan antara
satu dengan lainnya tentang dalam dangkalnya pengetahuan yang mereka miliki
masing-masing208
Samalanga adalah salah satu daerah yang bisa menggambarkan kerukunan
antara ulama dan uleebalang. Banyak terdapat dayah-dayah tradisional yang dipelopori oleh ulama, seperti Tengku Chik Samalanga, dayah didirikan tidak terlepas dari bantuan uleebalang. Tak jarang uleebalang menghibahkan sebidang tanah miliknya untuk membangun dayah
.
209
Uleebalang dan ulama merupakan dua golongan yang terpenting dalam masa peperangan Samalanga dengan Belanda. Ulama sebagai golongan yang
menyuarakan kepada masyarakat Samalanga mengenai hakikat perang dengan . Dalam pemerintahan juga mereka
saling berhubungan satu sama lain, karena ulama juga memiliki kedudukan dalam
pemerintahan, seperti imeum mukim dan imuem meunasah namun kedudukan tertinggi berada ditangan uleebalang.
208
Ismuha, op.cit., hlm. 10.
209
Belanda, melalui idologi perang sabil. Di antaranya adalah Tgk Hadji Aron, Tgk
Moekib, Tgk Jit, Tgk Djeulanga, Tgk Di Loeeng Keubeue, Tgk Di Pulobaroh,
Tgk Di Pakoe, Habib ahmad dan Habib Alooe210
Uleebalang memiliki peran yang besar dalam mengatur jalannya perang.
Segala kebutuhan perang diatur oleh uleebalang, melalui orang-orang
bawahannya. Uleebalang juga banyak memberikan hartanya berupa uang,
makanan dan juga pakaian untuk kebutuhan pasukan perang. Teuku Chik Raja
Bugis dan adik perempuannya Pocut Meuligo bertindak sebagai panglima perang
di Samalanga.
. Idiologi perang sabil yang
diserukan oleh ulama-ulama tersebut mampu mempengaruhi masyarakat
Samalanga, sehingga Samalanga memiliki pasukan perang hingga ribuan.
Kerjasama antar Uleebalang dan ulama Samalanga membuahkan hasil,
pasukan Belanda berhasil diusir dari Samalanga. Meskipun pada akhirnya Teuku
Chik Raja Bugis menandatangani perjanjian dan mengakui kedaulatan Belanda
atas kerajaan Aceh. Setelah uleebalang menandatangani perjanjian panjang
dengan Belanda, maka hubungan antara ulama dan uleebalang mulai terganggu.
Pemerintah Hindia Belanda menghapus kesultanan Aceh (1903),
kekuasaan uleebalang semakin besar uleebalang sudah mulai menyalah gunakan kekuasaan demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Mengelola zakat yang dulu
ditangan ulama, kini dipegang oleh uleebalang211
210
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,
hlm. 107.
. Uleebalang semakin
211
menguasai segala bidang perekonomian, hubungan uleebalang dengan Belanda semakin erat, sedangkan rakyat semakin melarat.
Perselisihan uleebalang dan ulama semakin hari semakin saling menduga-duga. Hingga akhirnya berpuncak pada peristiwa Perang Cumbok yang
dimenangkan oleh golongan ulama (PUSA) dan laskar rakyat. Perang Cumbok
diikuti oleh revolusi sosial, yaitu “membersihkan” sistem pemerintahan yang
turun temurun diperintah oleh uleebalang selama berabad-abad. Revolusi sosial berlaku di seluruh daerah Aceh, PUSA pun mendapat dukungan yang sangat besar
dari rakyat karena mereka menebar pemahaman bahwa uleebalang adalah kaki tangan Belanda, pengkianat agama dan bangsa212
Revolusi sosial dilakukan dengan cara yang sangat kejam. Keluarga
uleebalang diculik dan dibunuh, harta mereka juga dijarah oleh laskar rakyat. Revolusi sosial dilakukan terhadap uleebalang di seluruh Aceh. Terutama mulai dari pantai timur dan utara Aceh hingga ke Kutaraja. Meskipun demikian,
uleebalang Samalanga tidak mengalami hal yang sedemikian. Oleh karena, sejak dulu uleebalang Samalanga memiliki hubungan yang baik dengan ulama dan juga masyarakatnya.
.
Teuku Zainal Abidin adalah uleebalang yang memimpin Samalanga ketika terjadi revolusi sosial. Melihat situasi politik di Aceh sangat kacau, Teuku Zainal
Abidin berinisiatif untuk memberikan kedudukannya kepada seorang ulama yang
bernama Tengku Muhammmad213
212
Insider, Aceh Sepintas Lalu, Jakarta: Fa Archapada, tanpa tahun. hlm. 15.
. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya
213
kemudian Teuku Zainal Abidin memfokuskan diri untuk bekerja di lembaga
peradilan selama 3 tahun kemudian menjadi pengusaha dan berhijrah ke Medan
kemudian meninggal di Medan214
5.2. Pasca Revolusi Sosial
. Uleebalang Samalanga secara pribadi memang memiliki hubungan yang baik dengan para ulama, namun karena idiologi
pemerintahan sudah berubah maka demokrasi pun harus dijalankan sesuai
peraturan yang berlaku. Hingga akhirnya pemerintahan uleebalang di seluruh Aceh telah dihapuskan.
Uleebalang telah diturunkan dari jabatannya, namun bukan berarti masalah telah berakhir. Masyarakat seluruh Aceh menuntut pengembalian harta
yang mereka anggap direbut oleh uleebalang, di pihak lain kerabat-kerabat
uleebalang yang masih tersisa menuntut kejelasan hak milik harta orang tua mereka. Maka pemerintahlah yang harus turun tangan menyelesaikan
permasalahan ini.
Pemerintah daerah bersama dengan Badan Pekerja Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Aceh mengeluarkan peraturan, tentang Menguasai Atau Memiliki
Harta Benda Peninggalan Uleebalang-Uleebalang Daerah Aceh215. Peraturan mengenai tawanan dan harta peninggalan uleebalang ini menjadi Peraturan Daerah No. 1216. Perda tersebut berisikan 10 fasal dan juga pembentukan Majelis
Penimbang217
214
Wawancara, dengan Hj Muhammad Gani, Gampong Meunasah leung, kec Samalanga. 3 Desember 2016.
pada tingkat Kabupaten.
215
Ibrahim Alfian, 1892. op.cit., hlm. 81.
216
M. Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 192.
217
Kekuasaan Majelis Penimbang antara lain: mengadili, mengumpulkan,
mengelola dan malah menjual harta sitaan dari uleebalang bagi keperluan perkara. Ponis Majelis Penimbang tidak bisa diganggu gugat, sementara personalia
hakimnya dari “rakyat”.
Orang-orang yang dipilih untuk menjadi anggota atau penanggung jawab
Majelis Penimbang ini kebanyakan yang berasal dari kalangan Teungku (PUSA).
Yang pada peristiwa revolusi sosial sebagai kelompok yang juga ikut menumpas
uleebalang, antara lain: Teungku Wahab Seulimum, Teungku Peurleuak, Teungku Syekh A. Hamid dan lain-lain. Dari sederetan nama tersebut terdapat juga seorang
yang bergelar Teuku yaitu Teuku Syamaun Latif.
Secara keseluruhan, Majelis Penimbang di Aceh hanya terdapat di empat
kabupaten saja. Kabupaten Pidie yang paling besar karena mengingat kabupaten
Pidie merupakan awal terjadinya revolusi sosial dan juga sebagai kabupaten yang
memiliki uleebalang paling kaya. Sehingga untuk kabupaten Pidie didirikan juga cabang Majelis Penimbang pada tingkat nanggroe yang dinamakan Wakil Markas Negeri yang dipimpin oleh milisi setempat yang telah berjasa dalam penumpasan
kekuasaan uleebalang218
Setelah melalui proses hukum di pengadilan, harta peninggalan uleebalang
akan dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak. Namun tak semua harta itu
jatuh ketangan ahli waris atau kerabat uleebalang, melainkan gaji dan kebutuhan anggota Majelis Penimbang juga berasal dari harta tersebut. Harta-harta yang
dulunya berasal dari rakyat (sawah dan tanah) dan merupakan milik sah rakyat .
218
yang diambil atau dirampas uleebalang juga diadili dan dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya.
Upaya Majelis Penimbang untuk menyelesaikan perkara mengenai harta
tersebut tentu tidak semudah yang dibayangkan. Masih banyaknya ahli waris
uleebalang yang masih hidup maka banyak pula yang merasa bahwa cara yang digunakan Majelis Penimbang tidak adil dan hanya merugikan pihak ahli waris.
Misalnya ahli waris Teuku Umar (Pocut Hamidah) Keumangan mengambil
tindakan guna menuntut keadilan terhadap Majelis Penimbang.
Pocut Hamidah mendatangi kantor cabang Majelis Penimbang pada 17
Mei 1951219
Senada dengan tindakan Pocut Hamidah, ahli waris Teuku Daud Cumbok
dari daerah Lameulo Teuku. R. Mat Ali juga mengadakan protes terhadap Majelis
Penimbang. Teuku. R. Mat Ali menginterogasi Nyak Ahmad juru tulis dikantor
cabang Majelis Penimbang guna memperjelas sawah mereka yang berada
ditangan Keuchik Basyah.
. Ia menggeledah dan merusak kantor cabang untuk memperoleh
surat-surat yang berkenaan dengan harta orang tuanya. Dalam tindakan ini Pocut
Hamidah menggandeng 4 orang tentara yang kebetulan bersal dari luar Aceh
sebagai orang yang membackingnya.
Pocut Khatijah merupakan adik dari Teuku Daud Cumbok juga melakukan
hal demikian dengan mendatangi kebun kelapa yang dianggap adalah hak milik
mereka dan masih berada ditangan Majelis Penimbang. Dan berhasil membawa
paksa 38 goni kopra yang dijaga oleh personel Majelis Penimbang. Protes juga
219
muncul dari uleebalang Samalanga. Yaitu Teuku H. Ubid da Teuku H. Husin yang merasa bahwa tebat ikan (kolam ikan) yang dikuasai oleh milisi setempat
adalah hak dan milik mereka secara sah. Dan pada tahun 1952 tebat tersebut
kembali ketangan mereka dan menggarapnya220
Dengan banyaknya ahli waris yang mengadakan protes terhadap Majelis
Penimbang, maka pemerintah memutuskan untuk membentuk kembali team yang
menyelesaikan masalah harta peninggalan uleebalang yang bersifat integral yaitu panitia pemeriksa harta eks Zelfbestuurder yang dibentuk pada setiap kabupaten
di Aceh pada 2 September 1952, dengan demikian Majelis Penimbang ditiadakan
secara resmi
.
221
Dampak revolusi sosial mendatangkan untung bagi rakyat Aceh umumnya
dan juga rakyat Samalanga, setelah revolusi sosial mereka mendapatkan haknya
lagi terutama dalam bidang perekonomian. Sawah milik mereka yang dulu
dikuasai oleh uleebalang kini telah menjadi milik sah mereka lagi, melaui proses dari Majelis Penimbang, rakyat sudah bebas berusaha sendiri mencari nafkah
tanpa harus meresa tertekan oleh aturan adat yang mengharuskan mereka bekerja
pada uleebalang tanpa upah. .
Hak-hak demokrasi juga sudah bisa didapatkan masyarakat, mereka akan
memilih pemimpin yang mereka percayai. Revolusi sosial juga akan
mendatangkan kesetaraan, tanpa adalagi kelas-kelas penguasa secara
turun-temurun.
220
Ibid., hlm. 267.
221
BAB VI KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan yang akan
diuraikan dalam bab ini. Pada bagian sebelumnya telah dijabarkan kehidupan
sosial uleebalang dan hubungan sosial uleebalang dengan masyarakat dan juga ulama. Ketiga golongan di atas saling membutuhkan satu sama lainnya. Ketika
seorang uleebalang bertindak sebagai pemimpin, maka ia membutuhkan ulama sebagai bawahannya untuk memimpin mukim. Seorang ulama juga tidak dapat melaksanakan tugasnya jika tanpa persetujuan uleebalang.
Masyarakat sebagai golongan yang dipimpin, memiliki hubungan sosial
yang kuat dengan uleebalang dalam berbagai sisi kehidupan. Sebagian dari masyarakat menggantungkan hidupnya pada uleebalang. Mereka akan tinggal di rumah milik uleebalang, karena mereka tidak memiliki sanak saudara.
Uleebalang juga akan menyewakan tanah miliknya agar digarap oleh rakyatnya kemudian ditanami padi atau tanaman-tanaman lainnya, kemudian rakyat
memberikan pajak kepada uleebalang.
Menurut adat, uleebalang mendapatkan hak penuh terhadap nanggronya. Kekuasaan yang penuh terhadap nanggroe membuat mereka menguasai segala bidang terutama perekonomian. Selain menjadi penguasa uleebalang juga menjadi pengusaha. Ketika seseorang telah memiliki kekuasaan dan kekayaan membuat
mereka berbangga hati, dan semakin menginginkan adanya perbedaan antara
mereka dan masyarakat biasa. Hal ini lah yang membuat mereka memilih
makanan juga dibedakan dengan masyarakat biasa. Kehidupan mewah uleebalang
juga mulai terpengaruh oleh kedatangan Belanda.
Kedatangan Belanda bukan hanya menguasai secara pemerintahan dan
ekonomi saja, namun kedatangan Belanda mampu mempengaruhi
kebudayaan-kebudayaan yang telah lama melekat pada rakyat Aceh. Sasaran utama
budaya-budaya asing yang dibawa oleh Belanda adalah uleebalang. Adat yang telah berurat-berakarpun kini mulai tergeser oleh arus pembaruan yang dibawa oleh
Belanda.
Rakyat Aceh memiliki rumah adat sendiri, namun setelah Belanda datang,
uleebalang (atas bantuan Belanda) telah meninggalkan bentuk asli Rumah Aceh.
Rumoh Mirah dan Rumoh Putih di Samalanga adalah salah satu perubahan adat pada uleebalang Samalanga. Pada tiap rumah uleebalang juga telah terdapat meja makan, padahal sebelumnya makan hanya duduk diatas tikar, makan juga
menggunakan tangan tapi setelah Belanda masuk uleebalang sudah menggunakan sendok dan garpu.
Selain itu, untuk tujuan mempermudah pemerintahan Belanda
mendapatkan pegawai-pegawai pada pemerintahannya, maka pemerintahan
Hindia-Belanda mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah tersebut
mengutamakan putera-puteri uleebalang. Uleebalang memasukkan putera-puteri mereka ke sekolah milik Belanda, sekolah Belanda yang modern. Sekolah
Belanda juga sudah mulai mengajarkan huruf-huruf latin, bahasa melayu dan juga
Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional Aceh, kini telah tergeserkan oleh sekolah-sekolah modern milik Belanda. Sesungguhnya
pembaruan atau pembaratan dalam bidang pendidikan memberikan keuntungan
terhadap pendidikan di Aceh. pada awalnya ulama-ulama konservatif menolak
sekolah yang didirikan pemerintahan Hindia-Belanda. Ulama melarang
putera-puteri Aceh masuk sekolah milik pemerintah Hindia-Belanda, namun pada
akhirnya, dayah-dayah tradisional mulai bersaing dengan sekolah modern milik
pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian didirikan madrasah sebagai wujud
pembaruan dayah.
Terbukti dengan banyaknya berdiri sekolah-sekolah Islam (madrasah)
yang lebih modern. Madrasah telah memiliki jenjang pendidikan, kurikulum,
disiplin ilmu hingga fasilitas belajar mengajar juga sudah semakin maju dengan
menggunakan bangku, meja dan juga papan tulis. Perubahan-perubahan juga
terjadi pada sistem transportasi.
Transportasi sebelum masuk Belanda hanya menggunakan tenaga hewan
saja. Sehingga membutuhkan waktu lama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Namun, setelah pemerintah Hindia-Belanda membangun jalan dan juga rel kereta
api, terjadi perubahan pada masyarakat dan juga uleebalang. Kendaraan seperti mobil, sepeda dan sepeda motor juga mulai masuk ke Aceh. Mobil dan sepeda
motor hanya mampu dimiliki oleh orang-orang Belanda dan uleebalang.
Penulis menyimpulkan bahwa, kedatangan Belanda ke Aceh bukan hanya
sebagai penjajah. Namun juga mendatangkan keuntungan bagi rakyat Aceh.