Bab I
PENDAHULUAN
Latar belakang
NTT memiliki keragaman budaya yang menonjol dibandingkan sebagian besar provinsi
lainnya. Masyarakat yang tinggal di provinsi ini tergolong dalam empat puluh (40) kelompok
etnolinguistik.Tradisi budaya di Sumba berbeda dengan tradisi di Flores, Alor, Timor, atau
Rote.1 Hal ini yang menjadikan NTT memiliki keragaman budaya dan tradisi yang banyak, salah satunya adalah kekayaan budaya yang dimiliki oleh rumah adat masing-masing suku di Timor.
Rumah adat dalam konteks Indonesia bagian timur merupakan tempat suci, hal ini di karenakan
rumah adat menjadi pusat dunia dari sebuah masyarakat dengan kesakralan yang tinggi karena
dihuni oleh roh-roh leluhur dan terdapat benda-benda peninggalan dari leluhur, serta nilai-nilai
mitos lainnya dari rumah adat. Selain rumah adat yang dijadikan tempat suci oleh suku-suku
yang ada di Timor, terdapat juga ritual-ritual yang merupakan tindakan simbolis yang menjadi
bagian dari proses penyucian rumah adat. Ritual dalam suku-suku primitif merupakan bentuk
dari praktik-praktik kultus. Dalam hal ini ritual selain ditujukan untuk menyenangkan hati dari
yang transenden, ritual ini juga memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan,
yang mewakili perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja.2 Maksudnya terdapat relasi sosial spiritual yang menjadi bagian dari hidup mereka yang
diritualkan dalam siklus hidup mereka.
1
EKSPEDISI JEJAK PERADABAN NTT, Laporan Jurnalistik KOMPAS (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, mei 2011), xiii.
2
Rumah menempati posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial orang Timor. Clark E.
Cunningham menulis, “rumah adalah pusat pelaksanaan ritus doa, korban, dan pesta.” Dalam hal
ini ritus berhubungan dengan siklus kehidupan biasanya dilaksanakan di rumah mereka yang
terlibat langsung, dan berhala keluarga disimpan di situ. Rumah dengan benda-benda keramatnya
harus dibela mati-matian; para pewaris harus menjaga benda-benda pusaka dan mendiami rumah
itu. Doa-doa dapat dinaikkan kepada Usi Neno (Allah), roh-roh, dan leluhur dari rumah. Rumah
bukan hanya sekedar bangunan semata yang dijadikan sebagai tempat tinggal, tetapi bagi orang
Timor rumah merupakan simbol tata dunia dan tata sosial, menarik untuk dipahami bahwa
penataan rumah bagi orang timor tidak ditentukan oleh pertimbangan seni atau fungsi tetapi oleh
satu makna yang hendak diungkapkan. Dalam hal ini ketentuan bentuk, letak, arah, jumlah dan
lain-lain semuanya mengungkap makna tertentu.3
Axis mundi menurut Mercy Eliade memaknai ide tentang pusat merupakan bentuk dari
upaya menyejajarkan pada arketipe seletial bagi kota dan kuil, dan bahkan secara lebih penuh
dibuktikan lewat dokumen, di sana kita temukan rangkaian kepercayaan yang lain, yang
mengacu pada adanya yang dipenuhi dengan prestise pusat.
Simbolisme arkitektonik atas pusat dapat dirumuskan dalam tiga hal :
1. Gunung suci sebagai tempat bertemunya dan bumi dianggap sebagai pusat dunia.
2. Setiap kuil ataupun istana dan kemudian diperluan menjadi setiap kota suci atau tempat
kediaman raja merupakan gunung suci dengan demikian menjadi pusat.
3
3. Adanya Axis mundi, kota atau kuil suci yang dipandang sebagai titik pertemuan antara ,
bumi, dan neraka.4
Konsep Axis Mundi berakar dari pemahaman kuno yang digambarkan oleh Eliade bahwa
kuil ataupun istana secara situasi berada di pusat kosmos, sehingga kuil maupun kota suci atau
istana senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah kosmik: surga, bumi, dan
neraka.5
Dengan demikian, pusat yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas berdasarkan
aspek-aspek tersebut dijadikan sebagai zona suci atau zona realitas mutlak. Demikian juga halnya
dengan semua simbol yang lainnya tentang realitas mutlak (pohon kehidupan dan keabadian,
sumber remaja dan sebagainya) ditempatkan sebagai pusat. Jalan yang mengarah pada pusat
merupakan “jalan sulit” (durohana), dan hal yang diverifikasikan pada setiap tingkat realitas6
Pada konteks masyarakat di Belu.
Masyarakat Belu memiliki suatu konsep mengenai “Uma” biasanya ada suatu identitas
yang diberikan kepada orang belu mereka diberi sebutan Ema Tetun. Mereka ini tergabung
dalam suatu kelompok etnik yang mendiami salah satu pulau di wilayah Indonesia timur, yakni
Pulau Timor. Ema Tetun mendiami kabupaten Belu, di pedalaman Pulau Timor-NTT, kawasan
Indonesia bagian timur. Pada umumnya di pulau timor terdiri dari berbagai macam etnik yang
hidup di sana, antara lain: orang atonih pah meto atau orang meto (orang Dawan, menurut orang
belu), helong, tetun, kemak (Ema),Bunaq (marae), kari, Takode (lakade), galole, cra crai, Midete,
mambai, makasai (firaku), dagada, atauru dan masih banyak lagi. Dalam kehidupan selanjutnya
4
Mircea Eliade. Mitos gerakan kembali yang abadi Kosmos dan sejarah.Terjemahan.Cuk Ananta (Yogyakarta: Ikon Terakitera,2002), 12.
5
Ibid., 15. 6
banyak etnik yang saling melebur menjadi satu. Selain Ema tetun ada juga En Bunaq, EMA
(orang kemak), dan Ema Dawan Manlea (orang malea), keempat kelompok ini dikenal dengan
sebutan Ema Belu atau orang belu oleh orang luar. Kata Belu berarti kawan atau teman, istilah
ini digunakan sebagai persahabatan untuk menyapa orang asing yang belum di kenal.Sehingga
secara sosiologis istilah belu menekankan sikap persahabatan dan keakraban yang tercermin
dalam sikap hidup dan perilaku sosial para pendukungnya.
Jika ditelusuri dan diperhatikan orang Belu atau Ema Tetun tidak akan pernah lepas dari
pendapat yang di pahami bahwa Ema tetun sebagai masyarakat yang berlandaskan pada tradisi,
kebudayaan, kesakralan, dan mitos-mitos tersembunyi dalam kehidupannya. Hal ini dilandasi
oleh pandangan hidup orang Belu yang sangat cenderung mempertahankan suatu sikap hidup
yang menjaga suatu hubungan saling ketergantungan yang seimbang, selaras, rukun dan
partisipatif yang bersifat dyadic atau triadic (dua atau tiga sisi atau kutub yang saling
mendukung dan menghidupkan). Wujud kesalarasan ini antara manusia di dunia mikrokosmos
atau railklaran yakni suatu dunia kecil yang konkret sebagai lingkungan hunian manusia dengan
pilar-pilar kehidupan di dunia makrokosmos, yaitu hubungan antara manusia dengan wujud
tertinggi, perlunya hubungan kebertautan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya di
satu pihak dan hubungan dengan arwah-arwah atau parah anggota uma manaran yang telah
meninggal dunia, dan yang terakhir yaitu hubungan manusia dengan alam sekitar.
Relasi manusia dengan dunia makrokosmos seperti yang diuraikan ditemukan satu kata
kunci yang menjadi fokus dari penelitian ini yang sangat berperan sentral yaitu istilah Uma
Manaran. Kata Uma Manaran ini berarti rumah yang bernama. Uma Manaran merupakan
rumah sebuah persekutuan komunitas baris dari sebuah kekerabatan seketurunan. Uma Manaran
tersebut. Hal ini dikarenakan semua aktivitas dan wujud kehidupan manusia atau orang-orang
Belu terpusat kepada kesakralan dan mitos dari sebuah Uma Manaran. Hal ini dilihat dari
keberadaan simbol-simbol kebendaan yang terdapat di dalam sebuah Uma Manaran, bahkan
disimpan dengan baik benda-benda peninggalan dari para leluhur tersebut seperti tombak,
parang, dan alat-alat perang lainnya yang dianggap suci karena telah dipakai dalam sebuah
peperangan melawan musuh. Uma Manaran bukan hanya berfungsi sebagai bangunan semata
namun juga “sebagai sebuah pusat jaringan hubungan timbal balik antara struktur-struktur,
manusia, dan ide-ide atau pandangan hidup manusia.” Levi Staruss seorang antropolog Prancis
memberi istilah untuk gambaran Uma seperti ini sebagai rumah sebuah komunitas. Selain Uma
Manaran sebagai rumah keturunan yang memiliki daya magis, di Belu juga terdapat dua jenis
rumah atau Uma lainnya yaitu Uma Pemali dan Uma Kakaluk, Uma pemali atau rumah adat
besar dipakai untuk menaruh benda-benda keramat dari seluruh anggota keluarga sedangkan
Uma kakaluk digunakan sebagai rumah “pengobatan” bahkan terdapat periode waktu
perkunjungan untuk Uma Manaran dan Uma Pemali sedangkan untuk Uma Kakaluk di kunjungi
jika diadakan pengobatan untuk anggota klan atau pun orang di luar klan7.
Berdasarkan kajian diatas dapat dikemukakan bahwa terdapat mitos-mitos yang dianggap
sakral dalam tradisi ketika anggota klan atau keluarga akan melaksanakan perkunjungan ke
rumah adat. Tradisi ini didahului oleh ritual adat yang bertujuan agar anggota klan atau orang
yang akan masuk dan keluar dari Uma Manaran, Uma Pemali, dan Uma kakaluk diterima oleh
arwah atau nenek moyang yang menjadi “penjaga” Uma tersebut. Oleh sebab itu yang menjadi
masalah penelitiannya adalah mitos-mitos yang menjadi sakral dari ritual keluar masuk rumah
7
adat ini, serta simbol-simbol yang terdapat didalamnya dalam hal ini simbol yang dimaksudkan
yaitu tatakrama di dalam rumah adat dan simbol kesembuhan “adat” serta benda-benda yang di
maknai “suci” yang terdapat di dalam rumah adat serta melihat secara hirarki peranan tokoh adat
maupun pemimpin adat sebagai penjaga Uma.
Aspek-aspek yang akan dikaitkan dalam penelitian ini antara lain aspek kepercayaan dan
kesakralan terhadap rumah adat, aspek emosional yang di fokuskan kepada masyarakat adat dan
masyarakat umum, serta persoalan hirarki yang terdapat dalam penjagaan dan pemeliharaan
“Uma” serta aktor-aktor yang berperan di dalamnya dan aspek teologis dari sakralitas Uma dan
pemaknaan orang Belu dan masyarakat sekitar terhadap “Uma” sebagai Axis Mundinya Orang
Belu.
Sama halnya dengan konsep rumah adat yang terdapat dalam kehidupan orang di Belu,
mereka menjadikan rumah adat tersebut sebagai pusat dunia mereka, dimana hal-hal seperti
ritual atau pertemuan adat dilakukan di dalam rumah adat tersebut, benda-benda peninggalan
dari leluhur juga disimpan di dalam Rumah adat tersebut sebagai simbol-simbol suci sekaligus
peninggalan yang mempunyai makna dan mitos tersendiri yang diwariskan kepada penerus
mereka. Sejauh yang diketahui melalui data yang diperoleh, tulisan tentang rumah adat di Belu
masih sangat sedikit, hanya ada beberapa yang tercatat dalam bentuk buku yaitu tentang Ema
Tetun dari Herman Joseph seran, ia membahas secara spesifik tentang orang Belu, ajaran
keselamatan dari kepercayaan adat orang Belu, kosmologi orang belu, dan secara singkat
menyinggung tentang uma manaran dari orang Belu. Tulisan berikut yang menjadi perbandingan
dengan tulisan ini adalah tulisan dari Linda W. Fanggidae yang membahas tentang bentuk dan
struktur rumah tradisinional etnis tetun di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Dalam tulisan
tradisional atau rumah adat ini, serta perubahan-perubahan yang telah terjadi pada bentuk rumah
adat tersebut.
Berdasarkan kajian tersebut yang menjadi kelebihan dari penelitian yang akan dilakukan
ini dan yang menjadi urgensi dari penelitian ini adalah bahwa tulisan ini membahas tentang
Hakikat dari Rumah adat serta Rumah adat berdasarkan Konsep Axis mundi. Makna rumah adat
tersebut dikaji dari sakralitas, simbol dan mitos yang terdapat di dalamnya, serta secara spesifik
difokuskan pada struktur hirarki dari rumat adat tersebut dan maknanya pentingnya rumah adat
di Belu bagi masyarakat sekitar khususnya yang beragama Kristen.
Dengan demikian judul yang dirumuskan adalah:
Uma Tetun Sebagai Axis Mundi ( Memahami Sakralitas, Simbol dan Mitos Rumah
Adat Ema Tetun di Belu),
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Apa makna Rumah adat belu bagi masyarakat di Belu? Yang menjadi tujuan
penelitiannya adalah mendeskripsikan hakekat rumah adat di Belu serta menganalisa rumah adat
Belu berdasarkan konsep Axis Mundi.
Signifikansi dari penelitian ini adalah tulisan ini akan menghasilkan manfaat dalam
perkembangan studi ritual dan simbol dalam ilmu-ilmu teologi dan fenomenologi agama bukan
hanya terbatas pada bagi civitas akademi Teologi UKSW saja, namun manfaat penelitian ini juga
ingin memperkenalkan secara mendalam tentang rumah adat Belu dan maknanya kepada banyak
orang dan terutama sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian pengetahuan lokal khusus bagi
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan metode yang dianggap tepat untuk
penelitian ini yakni metode deskriptif analisis. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan
upaya-upaya seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data
yang spesifik dari partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang
khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data8. Oleh pertimbangan itu maka yang di deskripsikan melalui penelitian ini adalah makna dari rumah adat Belu bagi masyarakat Belu dan
masyarakat sekitar serta manganalisa Rumah adat berdasarkan konsep Rumah adat dari Axis
Mundi. Teknik pengumpulan data menggunakan cara observasi dan wawancara, baik yang
terstruktur maupun tidak, dokumentasi, materi-materi visual, serta usaha merancang protokol
untuk merekam atau mencatat informasi.9 Pengumpulan data secara fleksibel dapat digunakan melalui keterlibatan langsung terhadap proses ritual, ataupun melalui wawancara dan
dokumen-dokumen. Informan kunci dari penelitian ini adalah kepala rumah adat dan masyarakat adat,
selain itu ditambahkan dengan informan kunci dari salah satu anggota klan atau keturunan yang
diteliti. Oleh sebab itu metode snowball digunakan agar bisa mendapatkan informasi dari
informan-informan kunci tadi karena ada kemungkinan akses kedalam masyarakat adat sulit.
Teori yang digunakan sebagai alat analisa, digunakan konsep Rumah sebagai status
sosial, dan teori tentang sakralitas, mitos dan simbol bisa menjadi opsi tambahan dalam menjadi
kajian literatur untuk menganalisa, karena tulisan tentang rumah adat ini masih sangat minim dan
hanya dua tulisan yang saya temukan dan telah dijelaskan dalam urgensi penelitian sebagai
perbandingannya. Maka belum bisa dipastikan teori seperti apa yang akan dipakai. Namun
8
John W. Creswell.Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 20-21.
9
konsep rumah sebagai status sosial dan sakaralitas, mitos, serta simbol menjadi pilihan yang
digunakan dalam bagian teori.
Garis Besar Penulisan
Bab I
Latar Belakang permasalahan
Bab II
Teori : Konsep Rumah sebagai status sosial, Konsep Axis Mundi, serta Mitos, Sakralitas, dan
simbol sebagai opsi tambahan
Bab III
Data Penelitian : Konsep Uma bagi orang belu yang ditinjau berdasarkan konsep Axis Mundi
dan Hakikat dari Uma Tetun
Bab IV
Analisa : Menggunakan teori yang dijabarkan pada bab II
Bab V