• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Dalam Ekonomi Islam docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsumsi Dalam Ekonomi Islam docx"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Konsumsi Dalam Ekonomi Islam

A. pengertian konsumsi

Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.

Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen.Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku

konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.

B. Urgensi Konsumsi

Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi.Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia.Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.

C. Tujuan Konsumsi

Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba

kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)

Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat

menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya.

(2)

dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi maupun bukan.Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen adalah raja”. Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan.

D. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen

Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:

1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.

Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah.Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan

memanfaatkannya adalah diwajibkan.

2. Tidak melakukan kemubadziran.

Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh

memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:

a. Menjauhi berhutang

Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.

b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.

Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.

3. Tidak hidup mewah dan boros.

Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan

menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.

4. Kesederhanaan.

Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi.Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan

(3)

5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.

6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.

7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.

E. Konsep Penting dalam Konsumsi

Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.

a) Kebutuhan (Hajat)

"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".

Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh.Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri.Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia.Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.

Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada.Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar.Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong

(4)

b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)

Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang.Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.

Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.

Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu.Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan

tercegahnya bahaya.Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di

kemudian har

F. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami

Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.

Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang

mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:

(5)

Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

a. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:

b. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua

c. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas.Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam.Dalam membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.

G. Prinsip-Prinsip Konsumsi

Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: 1. Prinsip Keadilan

Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum.Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan.Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang

halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang

dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh).Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan

makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

2. Prinsip Kebersihan

Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah.Tentu saja benda yang

(6)

“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam

gelas” (HR Bukhari).

3. Prinsip Kesederhanaan

Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi.Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri.Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.

“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini

adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.

4. Prinsip Kemurahan hati

Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk

manusia (Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi

dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.

Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya.Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.

5. Prinsip Moralitas

Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim

diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.

H. Kaidah-Kaidah Konsumsi

(7)

Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak

madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya. Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:

1. Kaidah Syariah

Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:

a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta

pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.

b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.

2. Kaidah Kuantitas

Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini

memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:

a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial.Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.

(8)

c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan

pengembangan kekayaan itu sendiri. 3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi

Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:

a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan. b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi. c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.

4 Kaidah Sosial

Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:

a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.

b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya. c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.

5 Kaidah Lingkungan

(9)

6. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru

Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.

I. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami

Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi,

maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang

mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat.Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau

kebutuhan.Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi.Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:

1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.

2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.

Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:

1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.

2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.

(10)

membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas.Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep

‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:

1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi

penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.

2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.

3. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah.Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.

J. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku

Konsumen Konvensional

Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).

Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional.Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi

(11)

K. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi

Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:

1. Selera

2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga. 3. Kekayaan

4. Keuntungan atau kerugian kapital 5. Tingkat bunga

(12)

Tafsir QS. Al Baqarah 168 : Tidak Cukup Hanya Halal

اابيييططلالطحطضيررلطايفياميطمياروللكلسلانيطلااهطييلأطايط

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”

(QS.Al Baqarah.168)

Tafsir Ayat

Dalam menafsirkan ayat diatas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna ayat Al Baqarah ayat 168 maksudnya adalah Allah swt telah membolehkan (menghalalkan) seluruh manusia agar memakan apa saja yang ada dimuka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya sendiri yang tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikiranya.

Segala apa saja yang akan dikonsumsi sudahlah mendapatkan standar kelayakan dari Allah swt. Standar itu adalah Halal dan Baik, apa saja yang hendak orang beriman konsumsi entah itu makanan, minuman, pakaian, kendaraan haruslah berstatus halal dn baik. Sebagaimana firman Allah swt ; (اابيييطط لالطحط ضيررلطا يفي اميطمي اروللكل سلانيطلا اهطييلأط ايط ) “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (سلانيطلا اهطييلأط ايط ) “Hai sekalian manusia” dalam kaidah ulumul Qur’an jika ada ayatnida’ (orang yang dipanggil) menunjukan keumuman seperti (سلانيطلا ) manusia, maka ayat ini ditunjukan oleh Allah kepada seluruh manusia tidak hanya orang islam saja. Meski sedemikian setiap nida’ yang berlafaz umum lebih berlaku khusus untuk orang beriman (orang islam), jadi ayat ini secara lafaz menunjukan keumuman dan secara makna lebih ditekankan kepada kaum muslimin.

Dan maksud dari (اروللكل ) disini secara bahasa artinya memakan, atau lebih spesifiknya segala sesuatu yang dimasukan keperut melalui mulut dinamakan makan. Jika ada seorang yang ludahnya tertelan berarti orang itu telah memakan air ludah meski ia tidak sengaja memakanya. Dan juga jika ada seseorang memasukan roti kemulutnya dan kemudian ditelan dan masuk keperut maka ia telah makan,namun jika ia hanya mengunyah dan tidak memasukanya kedalam perut maka orang itu tidak makan. Inilah makna dari (اروللكل ) dalam arti sempit .

(13)

hanya bisa dimakan semata namun banyak barang yang bisa dinikmati , dan kesemuanya bersifat kearah makna konsumsi. Seperti menaiki kendaraan, memakai pakaian dan perhiasan maka juga harus bersifat halal dan baik oleh sebab semua itu adalah barang yang sifatnya barang konsumsi manusia.Maka yang disifatkan Allah atas manusia yang halal dan baik tidak hanya makanan semata melainkan semua barang yang dikonsusmi haruslah halal dan baik sifatnya, entah itu kendaraan, makanan, pakaian, perhiasan dan sawah ladang semuanya harus berstatus halal dan baik.kemudian (اروللكل ) ini dari segi bahasa juga termasuk fiil Amr atau kalimat perintah, maka ini artinya Allah memerintahkan atas suatu hal, yaitu perintah untuk mengkonsumsi apa-apa yang halal dan baik.

Kemudian makna (لالط حط ) yaitu segala sesuatu yang cara memperolehnya dibenarkan oleh syariat dan juga wujud barangnya juga yang dibenarkan oleh syariat. Gula, dari segi barang adalah barang yang dihalalkan syariat namun bisa jadi haram jika cara memperolehnya dengan cara mencuri. Dan khamer (miras) adalah barang yang sifatnya haram meski khamer itu dibeli dengan uang yang halal maka khamer itu akan tetap haram. Inilah makna dari (لالط حط ).

Dan kemudian makna (اابيييطط ) Tayyiban adalah lawan dari khabitsan atau jelek/menjijikan, perkara yang baik adalah perkara yang secara akal dan fitrah dianggap baik. secara akal

(ilmu/pengetahuan) tembakau itu jelek oleh sebab membahayakan kesehatan, maka ini bukanlah perkara yang bukan tayyib namun jelek dan juga kecoa secara fitrah adalah hewan menjijikan meski ada sebagian orang yang tidak jijik, maka kecoa ini adalah hewan yang jelek/khabits dan bukan perkara tayyib. Maka dari itu mengkonsumsi kecoa dn tembakau berarti mengkonsumsi barang yang jelek/Khabits atau bukan yang tayyib sebagaimana Allah perintahkan.

Dan selanjutnya dimana tadi Allah memanggil manusia secara umum untuk

mengkonsumsi apa-apa yang ada dimuka bumi ini atas perkara yang halal dan baik, kemudian Allah tegaskan dalam ayat lain atas orang-orang beriman akan perkara ini. yaitu dalam firman-Nya (مركلانطقرزطرط امط تيابطيييطط نمي اروللكل ارونلمطآ نطيذيليطا اهطييلأط ايط ) “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di

antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”(QS.Al Baqarah.172). Ibnu Katsir

menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk memakan makanan yang baik atas rizki yang Allah berikan agar mereka senantiasa-dianggap-bersyukur atas rizqi Allah yang diberikan tersebut, jika benar mereka itu hamba-hamba Allah yang beriman.

(14)

Hadits

T

entang

K

onsumsi

ععمع َانعججرعخع َامملع : لعَاق ههنجعع ههلللا ِىض

ض رع ْقيجددص

د ا ررك

ج بع ي

ج بضأ

ع ثهيجدضحع

م

ع لمس

ع وع هضيجلعع

ع ههلملا ِىلمص

ع ي

د بضنما

هضلللا ل

ه وجس

ه رع ش

ع

ض ع

ط

ع دجقعوع عضارعبض َانعرجرعمع ةضنعيجدضمعلجا ِىلعإض ةعكممع نجمض

ههتهيجتعأعفع نربعلع نجمض ةةبعثجكه ههلع ت

ه بجلعح

ع فع ل

ع َاقع معلمس

ع وع هضيجلعع

ع ههلملا ِىلمص

ع

(هيلع ْقفتم هاور)ُ.ت

ه يض

ض رع ِىتمحع ب

ع رضش

ع فع َاهعبض

Artinya : Diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu, dia telah berkata: “ketika kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju ke Madinah, kami berjalan melintasi seorang pengembala kambing. KetikaituRasulullahShallallahu

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), 2006.

Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.

Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas University Press, 2006.

Joesron, Tati Suhartati. Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba Empat, 2003.

Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), 1995. Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005.

Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Siddiqi, Muhammad Najetullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonosia, 2003. Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro ,Yogyakarta: BPFE, 1998.

Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.

Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dilihat berdasarkan kedua narasi iklan yang terdiri dari 19 baris kalimat yang diucapkan oleh anak-anak pada iklan Trie Indie+ mengungkap- kan tentang kiasan-kiasan

Lemahnya ukuran yang dimiliki oleh perusahaan mengindikasi adanya keagagalan laporan keuangan yang tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya, dalam

Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik dasar individu

Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah

Kinerja investasi bangunan yang membaik meskipun tidak tercermin dari pertumbuhan ekonomi pada lapangan usaha konstruksi yang justru melambat, namun berdasarkan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian informasi obat oleh farmasis terhadap kepatuhan minum obat, mengetahui pengaruh pemberian informasi obat

Setelah amandemen ke-3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonseia Tahun 1945, pada tahun 2002 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

Belum dilaksanakan sepenuhnya rencana aksi nasional untuk Tuna Cakalang Tongkol.tersedia (Permen 107/ 2015) yang diterbitkna pada agustus 2015 3.1.2 Pelatihan mengenai stock