• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Tasawwuf Ibn Taimiyah dalam Ki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pandangan Tasawwuf Ibn Taimiyah dalam Ki"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN TASAWUF IBNU TAIMIYAH DALAM KITAB AL-TUHFAH AL-IRĀQIYYAH FI AL-A’MĀL AL-QALBIYYAH

Duriana

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon Jln Dr.H.Tarmizi Taher Kebun Cengkih,

Batu Merah Atas, Ambon 97852 Email: hj_duriana@yahoo.co.id

Abstract;

This research is about the Sufism of Ibn Taymiyyah's views in the book ofal-Tuhfah Irāqiyyah fi al- A'māl al-Qalbiyyah. This study aims to determine the method of Ibn Taymiyyah thought in religious matters and especially in matters of Sufism to know the view of Ibn Taymiyyah on Sufism in the book ofTuhfah Irāqiyyah fi A'māl

al-Qalbiyyah. Based on the survey results revealed that the methods used by Ibn Taymiyyah is Salaf al-Salih method is a method that always returns all references religious matters both principal (creed) and the problem furu '(branches) to the al-Quran and al -sunnah of the Prophet. View on Sufism of Ibn Taymiyyah in his book al-Tuhfah Irāqiyyah fi al-al-al-Qalbiyyah A'māl. In this book of Ibn Taymiyyah started with a brief discussion about the power (role) in the hearts of human life which he called ahwal and maqamat. Ahwal and maqamat is partly from a foundation of trust and a sense of love for Allah and His Messenger. Including the resignation, sincere, gratitude, patience (accept God's will), fear (of God), the king. Ahwal and maqamat is a Sufi term that has long been known and so popular at the time because that Ibn Taymiyyah was so familiar with that term often repeated in this treatise. According to al-maqamat Ibn Taymiyyah and al-ahwal, include: al-mahabbah, resignation, sincere, khauf, king, and gratitude.

Keywords:

Sufism, al-maqamat, al-ahwal, prophet, resgination

Abstrak;

(2)

untuk mengetahui pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf dalam kitab al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah.

Berdasarkan hasil artikel diketahui bahwa metode yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah metode Salaf al-Shālihyaitu metode yang senantiasa mengembalikan segala rujukan masalah-masalah keagamaan baik yang bersifat pokok (akidah) maupun masalah furu’ (cabang) kepada al-Qur’an dan al-sunnah Rasulullah saw. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf dalam kitabnyaal-Tuhfah al-Irāqiyyah fī al-A’māl al-Qalbiyyah. Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah mengawali dengan pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan manusia yang ia sebut dengan ahwal dan

maqamat. Ahwāl dan maqāmāt adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk di dalamnya adalah tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja (berharap kepada Allah).

Ahwāl dan maqāmāt adalah istilah sufi yang telah lama dikenal dan begitu populer pada saat itu karena itulah Ibnu Taimiyah begitu akrab dengan istilah itu dengan sering mengulang-ulang dalam risalah ini. Menurut Ibnu Taimiyah al- maqāmāt dan al- ahwāl, meliputi:al-mahabbah, tawakkal, ikhlas,khauf, raja’, dan syukur.

Kata-kata Kunci: Tasawuf,al-maqāmāt, al-ahwāl

Kata kunci:

Sufisme, al-maqamat, al-ahwal, kenabian, kebangkitan

I. PENDAHULUAN

bnu Taimiyah adalah tokoh pemikir Islam klasik yang reputasi keilmuannya mampu menembus hingga zaman kontemporer ini. Pemikirannya dalam berbagai bidang baik filsafat, kalam, hadis, fiqh maupun tasawuf masih menjadi rujukan. Khususnya yang mengatas namakan dirinya sebagai aliran salaf. Termasuk Aliran Wahabiyah di Arab Saudi, Muhammadiyah di Indonesia, bahkan akhir-akhir ini di Ambon khususnya pasca konflik sosial di Maluku, muncul satu aliran yang menamakan dirinya aliran salaf (salafiah). Kelompok ini selalu menyerang orang-orang yang menggandrungi tasawuf dan filsafat. Mereka berasumsi bahwa tasawuf adalah ajaran bid’ah yang tidak pernah diamalkan oleh para ulama salaf termasuk Ibnu Taimiyah. Timbulnya pandangan seperti ini disebabkan karya-karya otentik Ibnu Taimiyah sangat sedikit dibaca dan dipelajari secara teliti.1

Khususnya karya-karya beliau dalam bidang tasawuf.

Ibnu Taimiyah dan Tasawuf oleh sebagian kalangan dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf.

(3)

Dalam wacana pemikiran Islam, Ibnu Taimiyah ditempatkan sebagai tokoh yang menentang tasawuf. Bahkan ia dituduh sebagai inspirator bagi aliran Wahabi dalam memeberantas dan memberangus ajaran-ajaran tasawuf dengan dalih ajaran-ajaran bid’ah, khurafat dan tahyul,2karena itu sangat wajar

kalau kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah menjadi barang tabuh untuk diteliti selama ini. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi khususnya di bidang telekomunikasi dan infomasi yang memberikan kemudahan bagi manusia, maka tidak sulit untuk mengakses kitab-kitab klasik yang penuh dengan pelajaran berharga. Lewat bantuan internet, penulis dapat memperoleh data tentang kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah yang boleh jadi justru berisi ajaran-ajaran sebaliknya yang difahami selama ini, bahwa Ibnu Taimiyah memusuhi tasawuf, bahwa belajar tasawuf adalah bid’ah dan khurafat. Inilah problema yang ingin diungkapkan lewat artikel ini.

Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui artikel ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia. Khususnya karyanya yang berjudul : Al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah dan setelah ditahqiq oleh Ainil Husni Malhuzah dengan judul “ Al-A’māl al-Qulūb auw al-Ahwāl wa al-Maqāmāt

II. PEMBAHASAN

A. Riwayat Singkat Ibnu Taimiyah

Beriringan dengan kejatuhan kota Bagdad, pada tahun 656 H/1257M. Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran. Sebuah kota yang masuk dalam wilayah Hurasan (Persia). Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Dan para ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Dīn Abūl-‘Abbas Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halīm

Ibnu ‘Abd al-Salām Ibnu Abi al-Qasīm Ibnu Muhammad Ibnu Taimiyah al-Harrānī al-Dimasyqī.3

Ayah Ibnu Taimiyah bernamaSyihabuddīn Abūal-Mahasīn Abdu al-Halīm

bin Taimiyah. Dia belajar dari ayahnya (Taimiyah) mazhab faham Hambali hingga ia benar-benar memahaminya.4

Ibnu Taimiyah mendapat pendidikan di samping dari ayahnya, juga dari pamannya Fakhruddīn, seorang pemikir dan penulis termasyhur. Ia mendapat pendidikan pula dari para cendikiawan terkemuka di kota Damaskus. Pengetahuannya tidak hanya terbatas pada studi-studi al-Qur’an, hadis dan fiqh saja, tetapi juga mempelajari dan ahli di bidang mate-matika, sejarah, kesustraan dan secara khusus mendalami fiqh Hambali karena ayahnya sendiri adalah tokoh dari mazhab ini.5

(4)

berkenaan dengan pembasmian khurafat dan bid’ah. Ketika ia berusia 21 tahun ayahnya meninggal dan ia menggantikan ayahnya sebagai guru hadis. Profesi guru hadis ini membuat ia sangat termasyhur melebihi ulama-ulama sezamannya.

Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq.

Ibnu al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.6

B. Setting Sosial dan Politik Masa Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah dilahirkan sekitar lima tahun setelah tentara Mongol menjatuhkan kota Bagdad, ibukota dinasti Abbasiyah. Dengan jatuhnya Bagdad, maka runtuhlah kerajaan Islam yang telah berkuasa selama lima abad (750-1258 M) dan telah berhasil mencapai kejayaannya baik dalam kemajuan fisik ataupun kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kota Bagdad kemudian diduduki oleh DinastiĪkhan sedangkan khilafah Islam setelah jatuhnya Bagdad dikuasai oleh kerajaan Mamluk (1250-1517 M) dengan Mesir sebagai pusat kekuasaannya.

Setelah Bagdad jatuh, dunia Islam tenggelam dalam kemunduran dan menghadapi berbagai tantangan. Dari arah Barat, umat Islam menghadapi ancaman orang-orang Spanyol yang sejak abad II telah melancarkan perang Salib. Selama dua abad lamanya (1097-1292 M) terjadi tidak kurang tujuh kali pertempuran. Arah Timur umat Islam menghadapi ancaman tentara Mongol. Pada tahun 1258 M mereka menghancurkan Bagdad dan berhasil membunuh ratusan ribu penduduknya. Setelah menghancurkan Bagdad, tentara Hulagu Khan melancarkan aksinya ke Syria dan berhasil menduduki kota Aleppo, Hamah dan Harim. Selanjutnya mereka menuju ke Mesir, akan tetapi di Ayn Jalut mereka dikalahkan oleh tentara Barbar. Di samping itu, kondisi di dalam negeri tidak stabil akibat permusuhan antara para penguasa dan sekte-sekte di kalangan Islam sendiri.7

Sementara itu, situasi politik di Syria semakin lama semakin berbahaya dan tidak menentu. Serdadu Mongol dengan senjata yang relatif lebih modern berhasil merebut sebagian besar wilayah Syria pada tahun 699 H/1300 M. dengan kondisi semacam ini, mendorongnya untuk menghentikan polemiknya dalam hal pemahaman keagamaan untuk sementara waktu dan mulai mencurahkan perhatiannya menghadapi dan mengusir tentara yang menjajah negerinya.

(5)

militer kepada Sultan Mamluk, yaknial-Malik al-Nasir Muhammad bin al-Mansur al-Qalawun.

Usaha Ibnu Taimiyah ternyata tidak sia-sia dan memberi harapan bagi banyak pihak. Sultan al-Malik mengabulkan permohonannya dan mengirimkan angkatan bersenjatanya ke Syria. Ibnu Taimiyah sendiri yang ternyata berjiwa pejuang dan berdarah militer, oleh pemerintah diberi tugas untuk memimpin langsung pasukan Islam melawan pasukan penjajah. Ibnu Taimiyah dengan pasukan tempur yang dikomandaninya akhirnya membawa kemenangan pada peristiwa Shaqhab (702 H/1303 M). Dengan keberhasilannya itu, membuat namanya semakin terkenal.

Ketika Ibnu Taimiyah menulis Risalah al-Hamidiyah yang isinya membela pendapat Ahmad Ibnu Hanbal, ia kembali dituduh tajsim dan tasbih

oleh musuh-musuhnya. Untuk membantah itu, ia menulis Risalah al-Wasitiyah yang ternyata oleh lawan-lawannya justeru dianggap memperkuat tuduhan mereka.

Untuk memprtanggungjawabkan tulisannya yang dianggap meresahkan masyarakat, pada 705 H/1305 M. Ibnu Taimiyah dihadapkan kepada Sultan Mesir. Ia diadili oleh al-Qadi Zayn al-Din bin Makhluf (salah seorang rival yang selalu memusuhi Ibnu Taimiyah, sehingga kejujuran dan keadilannya sangat diragukan. Betapapun pintar dan lantangnya Ibnu Taimiyah dalam pembelaan diri, ia tidak berdaya untuk lolos dari jeratan penjara).

Selama diasingkan di benteng Qairo selama kurang lebih 1,5 tahun, Ibnu Taimiyah menelorkan beberapa karya yang di antaranya berisi kritikan dan tantangan terhadap ajaran wahdat al-wujud Ibnu Arabi, tawassul dan

istighathah serta ajaran-ajaran tasawuf lainnya yang dinilainya menyimpang dari ajaran Islam.8

Berkat bantuan Hisham al-Din Mahna bin Isa, seorang amir Arab, Ibnu Taimiyah dibebaskan dari penjara Qairo. Namun baru beberapa bulan dibebaskan, dalam tahun yang sama dia harus berurusan lagi dengan pihak yang berwajib atas pengaduan kaum sufi yang konon disponsori oleh Ibnu Ata’.

Dari sisi keagamaan, kehidupan umat Islam ditandai dengan kebekuan berpikir dan fanatisme mazhab. Sejak abad IV H/10 M, mazhab empat mempunyai kedudukan mapan dalam kehidupan umat Islam, dan umat Islam hidup dalam zaman taqlid di mana penetapan hukum didasarkan kepada pendapat-pendapat ulama mazhab yang tersusun dalam kitab-kitab fiqh. Adapun ijtihad dalam persoalan fiqh bisa dikatakan tidak berkembang sama sekali.

C. Karya-Karya Ibnu Taimiyah

(6)

adalah: Al-Tuhfah ‘Iraqiyyah fi A’mal Qalbiyyah.(A’mal Qulub au al-Maqamat wa al-Ahwal)

Buku ini, seperti yang dikatakannya,“(berisi) kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqāmāt’ dan ‘ahwāl’, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama; seperti ‘mahabbah’ pada Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal, mengikhlaskan agama pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya,khauf’ dan ‘raaj’ pada-Nya, serta hal-hal lain yang mengikutinya.”28

Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilh yang umum digunakan di kalangan sufi; maqāmtā dan

ahwāl Dan dalam buku ini secara khusus, ia menguraikan secara panjang lebar dan terperinci tentang berbagaimaqāmdanhāl.

Pandangan tasawuf Ibnu Taimiyah dalam buku ini dapat dikatakan sudah tergambar dengan jelas. Hal ini dapat dilihat ketika ia menguraikan tentang beberapa obyek kajian tasawuf oleh para sufi sebelumnya sepertiahwal

danmaqamat,khaufdanraja’,mahabbah, wali, taubat, zuhud, ridhadan lain-lain.

D. Metode Pemikiran

Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf tidak terlepas dari metode pemikiran yang telah diyakini sebagai metode yang paling benar. Metode pemikirannya ini menjadi dasar dalam setiap gerakan keagamaan yang diperjuangkan sepanjang hidupnya. Ia sendiri tidak gentar sedikitpun dalam memperjuangkan ide-idenya sekalipun harus mengorbankan jiwanya. Terbukti dengan ia berkali-kali masuk penjara bahkan ia meninggal dalam penjara demi untuk tegaknya kebenaran yang telah diyakininya. Termasuk dalam hal ini ia tidak gentar mengeritik para sufi yang dianggap telah mengajarkan ajaran asing yang tidak berlandaskan al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi Muhammad saw.

Menurut Syekh Said Abd Azhim, 9bahwa metode salafiah yang dianut

Ibnu Taimiyah berpegang pada empat unsur: 1. Tidak percaya pada akal 100%

Dalam masalah-maslah agama baik masalah-masalah pokok-pokok akidah maupun masalah-masalah furu’iyyah (cabang), Ibnu Taimiyah selalu berpegang pada al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi Muhammad saw. Ia sangat meragukan kemampuan akal semata dalam masalah-masalah akidah dengan mengatakan bahwa “mencari akidah dengan akal semata sama dengan pencari kayu yang mencari kayu dimalam hari”10

Dengan metode yang diperpegangi ini, Ibnu Taimiyah tidak setuju dengan metode yang digunakan oleh para filosof yang dianggapnya semata-mata menggunakan akal dalam mempertahankan argumentasinya. Demikian pula ia tidak setuju dengan metode para mutakallimin, muhaddisin, fuqaha, sufi yang menggunkan akal dalam masalah-masalah akidah.

(7)

dari pada naql dengan mengatakan bahwa artikel itu wajib karena ia pasti mendatangkan pengetahuan yang benar.11

Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak menolak peggunaan akal dalam maslah akidah, hanya saja posisi akal harus mengikuti nash atau posisi akal dibawah

nash. Karena itu mudah dipahami kalau ia tidak sependapat dengan penggunaan takwil dalam masalah-masalah akidah.

2. Tidak mengikuti seseorang karena nama, ketenaran dan kedudukannya. Ibnu Taimiyah sangat menyayangkan, jika melihat orang yang mengikuti seseorang hanya karena ketenaran dan kedudukannya, tanpa mengetahui dalil dan landasan kebenaran di dalamnya. Para Imam empat yang menjadi ikutan dan imam mayoritas kaum muslimin sebenarnya tidak pernah menyuruh untuk mereka diikuti dengan membabi buta tanpa seleksi dengan kata lain ikut dengan taklid buta, tetapi mereka menyuruh untuk menyeleksi pendapatnya dengan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Seandainya pendapat mereka bertentangan dengan nash Qur’an dan al-sunnah, maka wajib untuk menolaknya.

Dengan demikian Ibnu taimiyah sebagai pengikut salaf, mengembalikan semua perkataan kepada al-Qur’an dan al-sunnah.

3. Dasar syari’at adalah al-Qur’an dan telah dijelaskan oleh Muhammad saw. dengan al-sunnah.

Ibnu Taimiyah selalu merujuk kepada al-Qur’an dan al-sunnah, mengajak bertahkim (menjadikan sebagai hakim) kepada ulama salaf.12 Para

ulama salaf inilah manusia yang paling tahu dengan maksud syari’at, sebab mereka hidup saat wahyu turun, menghapalnya, memahaminya dan menyampaikannya seperti yang mereka dengar kepada para pengikut selanjutnya sampai hari kiamat.13

4. Tidak panatik dalam pemikiran dan menghilangkan sikap berlebihan dan jumud

Ibnu Taimiyah melepaskan dirinya dari semua yang membelenggunya kecuali al-Qur’an, al-sunnah dan perkataan salafus salih, dia mempunyai intuisi yang begitu tajam dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah. ia memiliki alat-alat dan sarana yang membuatnya mampu menjadi seorang mujtahid mutlak. Dia juga telah mempelajari dan mendalami semua mazhab, aliran, pendapat serta mengenal sumber setiap pendapat tersebut.14

Landasan pokok Ibnu Taimiyah dalam melakukan reformasi adalah al-Qur’an dan hadis. Ia mengatakan agama adalah apa yang disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya. Ibnu Taimiyah mempunyai keyakinan yang mendalam bahwa al-Qur’an dan hadis telah mencukupi semua urusan keagamaan (umūr

al-Dīn) baik yang berhubungan dengan masalah aqidah, ibadah atau muamalah. Dasar hukumnya adalah :

ﻲِﻓ ْﻢُﺘْﻋَزﺎَﻨَﺗ ْنِﺈَﻓ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ِﺮْﻣَ ْﻷا ﻲِﻟوُأَو َلﻮُﺳﱠﺮﻟا اﻮُﻌﯿِطَأَو َ ﱠﷲ اﻮُﻌﯿِطَأ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأﺎَﯾ ِ ﱠﷲ ﻰَﻟِإ ُهوﱡدُﺮَﻓ ٍءْﻲَﺷ

˴δ˸Σ˴΃˴ϭ˲ή˸ϴ˴Χ˴Ϛ˶ϟ˴Ϋ˶ή˶Χ ˸ϵ΍˶ϡ˸Ϯ˴ϴ˸ϟ΍˴ϭ˶ ͉ͿΎ˶Α˴ϥϮ˵Ϩ˶ϣ˸Ά˵Η˸Ϣ˵Θ˸Ϩ˵ϛ ˸ϥ˶·˶ϝϮ˵γ͉ήϟ΍˴ϭ ًﻼﯾِوْﺄَﺗ ُﻦ

). ءﺎﺴﻨﻟا :

(8)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.15

Ibnu Taimiyah dalam membangun sistem hukum berpikir mengenai segala aturan keagamaan, baik yang berhubungan dengan masalah aqidah, atau amaliah berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Pijakan tersebut kemudian dikembangkan dalam berbagai pemikiran yang tertuang dalam berbagai karyanya sebagai refleksi dari kondisi kehidupan keagamaan pada saat itu yang berupa berkembangnya taqlid, bid’ah, khurafat dan fitnah. .

E. Pandangan Ibn Taimiyah Tentang Ajaran Tasawuf dalam Kitab

al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-qalbiyyah

Kitab al-Tuhfah al-irāqiyyah fi al-A’māl al-qalbiyyah, yang menjadi sumber utama artikel ini dan telahditahqīq oleh Abu Hazifah Ibrahim bin Muhammad. Dalam kitab ini ia membagi amalan-amalan manusia kepada:

1. Al-a’māl al-abdān(amalan-amalan badan) 2. Al-a’māl al-bātinah(amalan-amalan batin) Ad. 1. Amalan-amalan badan terbagi tiga:

a. Al-ẓālim li nafsih (menganiaya diri sendiri). Orang yang menganiaya diri sendiri adalah orang yang melakukan perbuatan keji dan mungkar yaitu mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. dan mengabaikan perintah-perintah-Nya. Perbuatan ini termasuk dosa.

b. Al-muqtaṣid, (oriented), maksudnya adalah orang yang punya tujuan hidup. Yaitu yang tercapai amalan-amalan badannya dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban Allah swt. dan meninggalkan yang diharamkan.

c. Al-sābiq bi al-khairāt (berlomba-lomba dalam kebaikan), adalah orang yang senantiasa mengerjakan yang wajib dan yangmustahab(dianjurkan) dan meninggalkan yang haram dan yang makruh (samar-samar).16

Dua kelompok terakhir yaitu al-muqtasid dan al-sābiq bi al-khairāt juga tidak pernah luput dari dosa dan hal ini adalah suatu hal yang wajar sebagai manusia. Itulah sebabnya Allah swt. memberikan peluang kepada manusia untuk bertaubat. Dua kelompok ini masuk dalam golonganawliyā’ Allah (wali-wali Allah). Firman Allah swt dalam Q.S. Yunus/10: 62















   .

(9)

Ibnu Taimiyah secara spesifik memasukkan orang mu’min dan orang yang bertakwa kedalam golongan al-muqtasid. Sementara al-sbiq bi al-khairat

menurut Ibnu Taimiyah adalah golongan yang lebih tinggi derajatnya yaitu para nabi dan orang-orang al-shiddiqīn. Orang-orang al-siddiqīn ini banyak dijumpai pada para wali Allah.18

Menurut Ibnu Taimiyah bahwa sebelum masuk dalam amalan-amalan batin maka amalan-amalan badan ini harus dibersihkan, temasuk di dalamnya menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.

Ad. 2 Amalan-amalan batin

Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah mengawali dengan pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan manusia yang ia sebut dengan ahwal dan maqamat. Ahwal dan maqamat adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk di dalamnya adalah tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja (berharap kepada Allah).

Ahwal dan maqamat adalah istilah sufi yang telah lama dikenal dan begitu populer pada saat itu karena itulah Ibnu Taimiyah begitu akrab dengan istilah itu dengan sering mengulang-ulang dalam risalah ini.

Menurut Ibnu Taimiyah al-maqamat wal-ahwal, meliputi: al-mahabbah

tawakkal, ikhlas, raja, khauf dan syukur. Kemudian ia menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi:

1. Al-Maqāmāt

Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwaahwaldanmaqāmāthanyalah milik kalangankhas,dan tidak bisa menjadi milik kalangan yang mereka sebut awam. Baginya, semua ahwal dan māqamāt karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekatawamdankhas.

Terkait dengan itu, ia menyatakan:

“Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas, ridha, semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.”19

Beberapa maqam yang dijelaskan Ibnu Taimiayah dalam karya al-Tuhfah al-Iraqiyah atau al-A’mal al-Qulubantara lain:

a. al-Taubah

(10)

Taimiyah mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah/2: 222.

…



 

 

(Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri).21

Taubat menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba setiap waktu.

Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah, maka ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar. Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan imam kaum bertakwa (Muhammad) saw. selalu beristighfar di setiap waktu dan kondisi.”22

Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah swt. smenyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar.

Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta.

Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya.:

Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf,

sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam Qur’an dan al-sunnah.23

Allah berfirman dalam Q.S. Al-Nur/31: 31

...

 

 





  .

(…Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung).

Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.24

Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 tingkatan:

Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan melakukan jenis taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib.

Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua jenis taubat di atas; taubat yang wajib danmustahabbah.

Ketiga, al-zhalimun.Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis taubat tersebut.

b. Tawakkal

(11)

Danmaqamini merupakanmaqamyang menjadi kewajiban kalangan awam dan

khassecara umum.25

Ketika menjelaskan maqam tawakkal, setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang umum dipahami oleh para sufi, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal menjadi dua: (1) tawakkal dalam urusandien,dan (2) tawakkal dalam urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam

tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang

mutawakkil(bertawakkal) menurutnya- adalah:

ﮫﺑر ﻲﺟﺎﻨﯾ اذﺎﮭﻟو ﮫﯿﻟا رﻮﻣﻷا ﻢھااﺬھ ﮫﺗدارإو ﮫﻧﺎﺴﻟ ﻆﻔﺣو ﮫﻨﯾدو ﮫﺒﻠﻗ حﻼﺻ ﻲﻓ ﷲ ﻰﻠﻋ ﻞﻛﻮﺘﯾ ﻞﻛﻮﺘﻤﻟا نﺈﻓ ﮫﻟﻮﻘﺑ ةﻼﺻ ﻞﻛ ﻲﻓ :

฀



 

. 26 ﻰﻟﺎﻌﺗ ﮫﻟﻮﻗ ﻲﻓ ﺎﻤﻛ :



 

. 27

Terjemahnya:

(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan kesalehan hati dan agamanya, serta penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh sebab itu ia selalu bermunajat kepada Rabb-nya di setiap salat: Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong. (QS. Al-Fatihah:5), dan firman Allah Ta’ala: Maka sembahlah Ia dan bertawakkallah pada-Nya (QS.Hud:123)28

Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam

ini adalah bahwa ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak menjadi penghalang atau tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja keras. Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini menurut Ibnu Taimiyah disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan manusia di sana. Menurut Ibnu Taimiyah bahwa masalah ibadah dan tawakkal tidak boleh dipisahkan dalam beberapa hal-hal tertentu karena keduanya menjadi satu padu dalam ajaran agama berkaitan dengan hubungan antara Tuhan dan hambanya.29

(12)

seperti inilah yang masuk dalam kategori maqām. Sebab tawakkal dalam makna ini mengandung tawakkal dalam segala urusan-urusan agama (al-umūr al—

dīniyyah). Adapun tawakkal dalam hal urusan dunia bagi Ibnu Taimiyah tidak dimasukkan sebagai kategori maqam sebagaimana yang dianut oleh al-muqarrabīnlillah(orang yang mendekatkan diri kepada Allah).30

Dengan demikian dapat dipahami bahwa tawakkal menurut Ibnu Taimiyah adalah penyerahan diri dengan sepenuhnya kepada Allah karena kecintaan dan keridhaan kepada-Nya.

c. Zuhud

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun yang dapat menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negri akhirat, maka meninggalkannya adalah kezuhudan.31

Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peranserta sang hamba dalam kehidupan.32 Kezuhudan juga tidak identik dengan

kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut

zahidjika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya. d. Ikhlas.

Ihklas adalah inti dari Islam. Yang mana Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah bukan kepada yang lainnya. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2:131



 











  .

(Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam").

Orang yang tidak menyerahkan diri kepada Allah maka dia termasuk orang yang sombong, dan orang yang menyerahkan dirinya kepada selain Allah maka ia pun dikategorikan musyrik. Ikhlas adalah bagian dari masalah-masalah batin, baik yang berhubungan dengan bidang keilmuan maupun yang berhubungan dengan amalan. Misalnya yang berkaitan dengan amalan-amalan yang tidak didasari dengan keikhlasan maka amalan-amalan tersebut tidaklah bermanfaat, hadis yang diriwayatkan oleh ahmad di dalam musnadnya:

ﺐﻠﻘﻟا ﻲﻓ نﺎﻤﯾﻹاو ﺔﯿﻧ ﻼﻋ مﻼﺳﻹا 33

(ajaran agama Islam itu realistis, dan Nampak sedangkan ajaran-ajaran keimanan itu non-realistis, dan itu hanya ada di dalam hati).

Dalam hadis yang lain hadis muttafakun alaih dari Nu’man bin basyir disebutka:

ﻚﻟاذ ﻦﯿﺑ و ﻦﯿﺑ ماﺮﺤﻟا و ﻦﯿﺑ لﻼﺤﻟا سﺎﻨﻟا ﻦﻣ اﺮﯿﺜﻛ ﻦﮭﻤﻠﻌﯾ ﻵ تﺎﺤﺒﺘﺸﻣ رﻮﻣا

(13)

(Halal itu sudah jelas dan haram itupun juga sudah jelas, adapun diantara keduanya terdapat masalah-masalah yang syubhat (Samar-samar) yang sangat sedikit diketahui oleh sebagian manusia)…

e. Sabar

Sepantasnya setiap manusia apabila ditimpa musibah maka dia harus bersabar. Dan harus konsisten terhadap perintah-perintah Tuhan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dperintahkan. Karena itu sabr adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk melaksanakan perintah-perintah tuhan dan meninggalkan larangan-larangannya.

f. Ridha

Rasulullah saw bersabda dan berkata kepad Ibnu Abbas’ Jika kamu mampu untuk beramal kepada Allah dengan penuh keridhaan dan keyakinan maka lakukanlah, dan jika kamu tidak mampu untuk melakukannya maka ketahuilah bahw kesabaran itulah yang akan menolongmu untuk melakukannya dengan sebaik mungkin.

Ridha adalah bagian dari amalan-amalan hati (batin) dan pengaplikasian nya terdapat pada pujian-pujian terhadap Allah swt. dalam berbagai hal (keadaan), sebab ridha itu adalah kerelaan hamba atas ketentuan-ketentuan Allah swt. yang sudah ditakdirkan kepadanya.35

Demikianlah sipat ridha sebagai ciri yang harus ditempuh bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa “ Alllah telah memutuskan segala sesuatu dengan ketentuan-Nya, barang siapa yang ridha terhadap keputusan-keputusan-Nya, maka ia pantas mendpatkan ridha-Nya. Dan barang siapa yang enggan atas keputusan-Nya, maka ia pantas mendpatkan murka dari-Nya.36

Demikianlah beberapa di antara al-maqāmāt yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah dalam beberapa karyanya, disamping tentu saja beberapamaqam lain yang belum sempat kami bahas pada kesempatan ini.37

2. Ahwāl

Salah satu ahwāl yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah

(cinta). Di sini terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak sama dengan pandangan sebagian sufi yang menempatkan al-mahabbah sebagai maqām. Ini tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para sufi dapat dikatakan sepakat atas perbedaan maqām dan hāl bahwa maqam adalah sesuatu yang diusahakan oleh seorang hamba, sedangkan hāl adalah anugrah dari Allah dan bersifat sementara atau tidak tetap38, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu

termasuk al-maqāmāt atau al-ahwāl sangat bergantung pada hasil ijtihad masing-masing sufi.

(14)

Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.40

Jika penghambaan kepada Allah menyatukan dua unsur yaitu cinta yang sempurna dan ketundukan yang sempurna pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah. Sehingga semakin bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin bertambah pula penghambaan pada-Nya. Dan semakin bertambah penghambaan manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selain-Nya.41 Jika hal tersebut bisa dicapai oleh manusia, inilah kebahagiaan manusia

mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq. Ibnu Taimiyah mengatakan:

Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan, bergembiraan, merasakan kebaikan dan keteguhan, serta meraih ketenangan kecuali dengan menghamba pada Rab, mencintai dan kembali pada-Nya.42

III. PENUTUP

1. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf tidak terlepas dari metode pemikiran yang telah diyakininya sebagai metode yang paling benar metode itu adalah menempatkan al-Qur’an dan al-sunna sebagai dasar dalam masalah pokok-pokok akidah maupun masalah-masalah furu’iyyah (cabang).

2. Ibnu Taimiyah menawarkan satu konsep sufi yang berdasarkan kepada Al-Quran dan sunnah. Baginya, gerakan sufisme yang saat itu berkembang sudah harus dikembalikan kepada yang standar dan

mainstream (berdasar al-Quran & sunnah), karena memang obsesi keislamannya sebagai pengikut aliran salaf adalah kembali kepada al-Qur’an dan sunnah. Hal ini tergambar pada konsep tasawufnya yang senantiasa dibarengi dengan dalil-dalil al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. sebagaimana yang terdapat dalam karyanya kitab al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah

Endnotes

1Thomas Michel S.J, dalam Mulyanto Sumardi, Artikel Agama Masalah dan Pemikiran, (Cet. I; Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 98.

(15)

3

Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid 13,(Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’arif, 1966), h. 308. Lihat juga Al-Dzahaby, Tadzkirah al-Huffazh, Jilid IV ( Haidar Abad: t.t.), h. 288.

4Said Abdul ‘Azim, Ibn Taymiyah, al-Tajdīd al-Salafīwa Da’wati al-Ilāhiyyah. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap dengan judul: Ibn Taymiyah, Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi,(Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15.

5Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 52-53.

7http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013)

8http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013).

9 Syekh Said Abdul ‘Azhīm adalah seorang Penulis buku yang berjudul: Ibn Taimiyah: al-Tajdīd al-Salafi wa Da’wah al-Islāhiyyah, karya ini secara detail mengungkap liku-liku perjuangan Ibn Taimiyah sepanjang hayatnya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi salah satu sumber sekunder dalam artikel ini.

10 Syekh Said Abdul ‘Azhim, Ibn Taimiyah: al-Tajdīd al-Salafi wa Da’wah al-Islāhiyyah, diterjemahkan kedalam bahsa Indonesia oleh Faisal saleh dengan judul “Ibn Taimiyah: Pembaruan Salafi dan Da’wah Reformasi” (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 37.

11Ibid.

12Ulama salaf adalah ulama yang hidup pada abad ketiga pertama. Yaitu para sahabat, pengikut sahabat (tabi’in), dan pengikut tabi’in secara baik.

13Syekh Said Abd Azhim, h. 40.

14

Ibid,h. 41.

15Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya

16Lihat A’māl al-Qulūb, h. 7-8.

17Departemen Agama Ri, al-Qur’an dan Terjemahnya

18A’māl al-Qulūb, h. 8.

19Lihat al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 16. Ibnu Taimiyah juga mengkritik dampak pembagian ahwal dan maqamat menjadi “untuk awam dan khas” yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan ketinggian maqamsang sufi.

20

Abu al-Qasim al-Qusyairy, Al-Risalah al-Qusyairiyah: Tahqiq: DR. ‘Abdul Halim Mahmud, ( Cet. I; Dar al-Ta’lif, ma, 1385 H/ 1966 M.), h. 77.

21Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya.

22

Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah,h. 64. 23

Lihat Ibnu Taimiyah, Jami’ Rasa’il: Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, (Mathba’ah al-Madan, 1389 H/1969 M), h.227.

24Lih. Jami’ al-Rasa’il, h. 227.

25

Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah,h. 221. Lihat juga A’mal Qulub, h. 22.

26

Q.S. 1 (al-Fatihah): 5

27

(16)

28

‘A’mal al-Qulub, h. 22.

29

Ibnu Taimiyah, Majmū’ al-FatāwāKitāb ‘Ilmu al-Sulūk, jilid X. (t.tp.: Mahfūzāt, 1997),h. 21-22.

30

Al-A’māl al-Qulūb, h. 22-23.

31Ibnu Taimiyah, Majmū' al-Fatāwā,Kitab al-Tasawwuf,Jilid XI. (t.tp.: Mahfuzat, 1997), h. .28-29.

32Lihat Majmū’ al-Fatāwā Kitāb ‘Ilmu al-Sulūk, h. 617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu Taimiyah juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat sah keislaman seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan.

33Lihat CD Hadis Musnad Ahmad (Akhrajahu Ahmad) 3/135

34Lihat sahih Bukhari jilid I hadis 126.

35Lihat Ibid, h. 48.

36Ibid, h. 51.

37Diantaranya misalnya maqām, khaufdan rajā’.Lihat al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 58.

38Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995)h. 50.

39Lih. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 73.

40

Ibid.,h.45.

41Majmu’ al-Fatawa,Jilid 10, h. 193.

42Ibid.,h. 194.

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni,Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam,Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Departemen Agama RI,al-Qur’an dan Terjemahnya.

http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013).

Ibnu Katsir. 1966. Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid 13. Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’arif.

Ibnu Taimiyah. 1389 H/1969 M.Jamī’ al-Rasā’il: Tahqīq: Dr. Muhammad Rasyad Salim, Mathba’ah al-Madan.

______. 1997.Majmū' al-Fatāwā,Kitab al-Tasawwuf,Jilid XI. t.tp.: Mahfuzat.

______. 1997.Majmū’ al-FatāwāKitāb ‘Ilmu al-Sulūk, jilid X. t.tp.: Mahfuzat.

(17)

Nasution, Harun. 1995.Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang.

al-Qusyairy, Abu al-Qasim. 1385 H/ 1966 M. Al-Risalah al-Qusyairiyah: Tahqiq: Dr. ‘Abdul Halim Mahmud, Cet. I; Dār al-Ta’lif.

Said Abdul “azhim. 2005. Ibn Taymiyah, al-Tajdīd al-Salafī wa Da’wati al-Iṣlāhiyyah. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap dengan judul Ibn Taymiyah, Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi, Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Referensi

Dokumen terkait

Apakah ada kontribusi persepsi siswa tentang keterampilan mengajar guru dan lingkungan kelas terhadap konsentrasi belajar siswa kelas X Akuntansi mata pelajaran Akuntansi

Sehingga banyak remaja berpikir bahwa apa yang mereka pikirkan lebih baik dari pada apa yang dipikirkan orang dewasa, hal tersebut yang menjadi penyebab banyak remaja sering

Jika dibandingkan dengan nilai pH air limbah lain yang telah digunakan sebagai medium pertumbuhan mikroalga, nilai pH tersebut lebih rendah dibandingkan pH air limbah

Hasil pengukuran menunjukan salinitas, pH, temperatur, DO dan substrat perairan Pulau Pasaran baik untuk budidaya, sedangkan parameter kekeruhan, kecepatan

keluarga, laporan data kelahiran, laporan data kematian, laporan data pindah-keluar, laporan data pindah-datang, laporan data rekapitulasi penduduk dan laporan surat

[r]

CONTOH FORMAT PEMETAAN ASPEK PENILAIAN SK KD INDIKATOR KRITERIA KETUNTASAN BELAJAR TEKNIK PENILAIAN. PROY PROD TES UN