• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membela Islam Dakwah Konstruksi Moralita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membela Islam Dakwah Konstruksi Moralita"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9

Membela Islam? Dakwah, Konstruksi Moralitas dan Ruang Publik Muslim dalam Sejarah Media Islam di Indonesia

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas Alamat surel: tia_pamungkas@ugm.ac.id

Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Abstraksi

Moralitas publik merupakan konstruksi standar etis dan moral yang berlaku di masyarakat. Moralitas itu melingkupi tekanan sosial untuk mengutamakan bentuk-bentuk standar moral-etis, regulasi (disiplin), dan acapkali dibentuk oleh kepanikan moral. Sementara itu ‘dakwah’ merupakan suatu upaya menyebarluaskan nilai dan praktik keislaman secara umum, dan secara khusus dakwah dimaknai sebagai suatu konstruksi persebarluasan gagasan mempraktikkan ‘Islam yang benar’ dan karenanya berkenaan dengan upaya mengkonstruksi moralitas publik. Ada tiga tesis yang diajukan melalui kajian ini. Pertama, bagaimana praktik dakwah untuk mempopulerkan keshalehan Islam dimediasikan melalui media massa telah berakar sejak masa kolonial. Kedua bagaimana muatan dakwah dalam bentuk media itu mempengaruhi gelombang gerakan sosial politik sejak masa kolonial hingga masa pascakolonial sehingga membangun konstituensi politik. Ketiga bagaimana keberadaan muatan dakwah yang termediasikan berlangsung di dalam moda produksi kapitalis melalui industri media sehingga membentuk perluasan ‘ruang publik muslim’ untuk konsumsi keshalehan personal. Transformasi gerakan dakwah secara global melalui budaya populer di Indonesia berkembang pesat melalui media baru dimana internet menjadi ranah reproduksi budaya yang secara ideologis menyemai persebaran wacana moralitas publik melalui konstruksi ‘kepanikan moral’ yang bersifat politis. Salah satu manifestasinya adalah pada wacana yang kita saksikan pada aksi bela Islam. Transformasi media Islam dalam sejarah pascakolonial di Indonesia menunjukkan adanya komplesitas dalam sejarah nasionalisme, persebaran ideologi Islamisme global, sekaligus juga pembentukan pasar yang secara spesifik menandai konstruksi ‘ruang publik Muslim’ baik sebagai pembentukan konstituensi politik, maupun sebagai penciptaan konsumer bagi ‘religious self-help’ (keshalehan personal).

Kata kunci: dakwah, moralitas publik, ruang publik muslim, sejarah media Islam, Indonesia

A. Pembuka: Klaim Sejarah dalam Aksi Bela Islam 2016-2017

(2)

10

(3)

11

Gambar 01. Poster Iklan Aksi Bela Islam-II (411) sebelum Aksi Bela Islam-III (212) dengan menggunakan ‘kutipan kalimat Buya Hamka’ yang disebarluaskan melalui media sosial twitter, instagram, dan Facebook melalui akun @belaquran yang dikelola oleh tim media GNPF MUI (Diakses melalui akun IG @belaquran, 28 Oktober 2016)

Dalam strategi politik yang pertama maupun yang kedua, mobilisasi pewacanaan dilakukan dengan memanfaatkan medium teknologi digital termasuk kampanye-kampanye di media sosial, dan membangun jaringan komunitas di akar rumput dengan memperkuat basis massa secara konkrit. Salah satunya digagas melalui ‘Gerakan Subuh Berjama’ah’ secara nasional. Pemanfaatan medium ‘ibadah’ merupakan suatu cara untuk mengaburkan kesan bahwa gerakan tersebut diorkestrasi secara koersif (dengan cara-cara memaksa dan anarkis). Melalui Gerakan Subuh Berjama’ah di beberapa mesjid di seluruh Indonesia yang kemudian diikuti oleh ‘Safari itu ditujukan untuk terus ‘menggaungkan’ wacana ‘membela Islam’. Suatu wacana yang mengkondisikan umat Muslim untuk menyepakati wacana-wacana mengenai ancaman terhadap ‘penistaan agama Islam’, yakni agama mayoritas populasi masyarakat di Indonesia. Upaya mengkonstruksi wacana ‘membela Islam’ juga melibatkan tafsir atas pengetahuan sejarah kaum Muslim di Indonesia dan menjadi sangat penting untuk dimanfaatkan di dalam upaya untuk membingkai (framing) kepanikan moral dan pengkondisian atas ancaman penistaan terhadap Islam, misalnya melalui wacana ‘Indonesia darurat komunisme atau Indonesia darurat PKI’.1 Suatu rekayasa wacana yang terus dipelihara di dalam forum-forum pengajian, dan juga khotbah termasuk di dalam ceramah di mesjid-mesjid. Duplikasi stigma yang telah berlangsung sejak masa kekuasaan Orde Baru ini terus dipelihara khususnya ditujukan pada beragam ekspresi kritis yang berkembang di masyarakat luas. Selain wacana tentang “Indonesia darurat komunisme (PKI)” – wacana membela Islam juga dibingkai dengan tema “persatuan umat Islam” dengan memposisikan mereka yang menolak dukungan terhadap mobilisasi Aksi Bela Islam melalui ‘labelling’ sebagai kelompok -kelompok yang ‘Islamophobia’. Pemanfaatan media sosial dengan menggunakan narasi-narasi bergerak (shifting narratives) bukan hanya dilakukan dengan membingkai wacana melalui kutipan-kutipan ayat-ayat suci Al Qur’an, bahkan juga dilakukan secara visual, dengan mengambil kutipan tokoh-tokoh Muslim yang berperan dalam sejarah nasional sebagaimana ditunjukkan contohnya dalam gambar 01. Dalam poster Aksi Bela Islam II (411) itu, nampak visualisasi dan kutipan kalimat ‘Buya Hamka’ yang pernah disampaikannya dalam forum pengajian subuh di mesjid al Azhar Kebayoran Baru Jakarta, pada sekitar periode tahun 1959 yang kemudian melahirkan kajian (kitab) yang disebut sebagai ‘Tafsir al Azhar’ – kajian yang secara esensial membahas tentang ‘Ghirah’ (semangat keimanan Islam) dan sebenarnya memiliki konteks sosial historis pada masa itu, dimana masa awal kemerdekaan dimulai.

(4)

12

Pada masa itu, pemahaman Buya Hamka tentang ‘ghirah’ sebenarnya menjelaskan posisi politiknya dalam mendukung konstruksi nasionalisme khususnya pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Adapun kutipan lengkap kalimat Buya Hamka yang sangat terkenal itu adalah:

“Rasa cemburu dalam beragama adalah konsekuensi dari iman itu sendiri. Orang yang

beriman akan merasa tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan

didahulukan daripada keselamatannya sendiri. Ini pertanda masih ada “ghirah” di dalam

dirinya, bangsa penjajah pun telah mengerti umat Islam yang semacam ini. Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina, jelaslah ghirah telah hilang darimu. Jika ghirah ini tidak lagi dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka niscaya bangsa ini akan dijajah dari segala sisi. Jika ghirah telah hilang dari hatimu, gantilah saja dengan kain kaffan, sebab kehilangan ghirah sa ma dengan

mati.” 2

Ungkapan ini menjadi salah satu contoh bagaimana ‘Aksi Bela Islam’ memanfaatkan klaim-klaim baru atas suatu materi sejarah yang sebenarnya secara kontekstual memiliki sejarah sosial dan politiknya tersendiri, lalu direkayasa dan tercerabut dari konteks asalnya sebagai alat propaganda politik. Inilah yang disebut sebagai ‘shifting narratives’– dimana narasi-narasi sejarah tentang Islam, dan peranan tokoh-tokoh Muslim nasional dikonstruksikan ulang demi tujuan-tujuan pragmatis politik dan disebarluaskan melalui pemanfaatan teknologi media baru. Ironisnya, khalayak Muslim di Indonesia yang memiliki pengetahuan minim tentang sejarah peradaban Islam dan bahkan peranan tokoh-tokoh Muslim dalam pergerakan nasional di Indonesia, mudah sekali mempercayai klaim-klaim sejarah semacam ini.

Dalam persebarluasan wacana ‘membela Islam’ melalui mobilisasi Gerakan Subuh Berjamaah Nasional (GSBN) di dalam mesjid-mesjid komunitas-komunitas pendukung Aksi Bela Islam, wacana mengenai moralitas publik untuk ‘membela Islam’ dibingkai untuk mendisiplinkan ‘publik Muslim’ tentang pentingnya kepemimpinan umat Muslim dan identitas keshalehan Islam dalam bentuk jihad melawan penistaan terhadap Islam termasuk ancaman kebangkitan komunisme, persuasi tentang pentingnya syariah Islam, pentingnya membangun ‘solidaritas antar umat Muslim’, fabrikasi peranan tokoh-tokoh Muslim dalam sejarah nasional khususnya wacana tentang ‘Piagam Jakarta’ yang menghendaki diberlakukannya syariah Islam di Indonesia pada masa awal kemerdekaan, wacana ketertindasan umat Muslim di Indonesia dan di seluruh dunia, bahkan wacana ancaman asing dan sentimen anti etnis Tionghoa. Hal lain yang perlu diperhatikan dan memerlukan riset lebih mendalam tentang bagaimana wacana ‘membela Islam’ ini berusaha mempromosikan pentingnya penerapan syariah Islam dalam sistem hukum legal formal di Indonesia, adalah kenyataan bahwa tidak semua komunitas muslim (ormas-ormas Islam) yang bergabung di dalam aksi tersebut memiliki kesepakatan yang sama mengenai bentuk dan praktik syariah yang seperti apa atau yang bagaimana di dalam sistem

(5)

13

hukum legal formal di Indonesia. Hal ini dikarenakan mereka sesungguhnya memiliki keragaman spektrum ideologi Salafisme Islam yang berbeda-beda (tabel 01).

Inisiator Aksi Bela Islam I, II,

III dan

seterusnya

Ormas yang Menggunakan Simbol dan Wacana Islam untuk Mobilisasi Aksi Bela Islam II (411), III (212)

Ormas yang Menggunakan

Simbol dan Wacana ‘NKRI’ dalam Aksi Bela Islam III (212)

FPI (Front Pembela Islam) dan GNPF MUI

1. GNPF-MUI (FPI, HTI, FUI, MMI Tarbiyah/PKS)

2. Majelis Pelayan Jakarta (Gerakan Masyarakat Jakarta-GMJ)

3. Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah untuk Gubernur Muslim Jakarta 4. Badan Kerjasama Pesantren

Indonesia 5. Al Irsyad

6. FS-LDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) 7. Wahdah Islamiyah

8. Majelis Intelektual dan Ulama Muda

1. GNPF-MUI (FPI, HTI, FUI, MMI, Tarbiyah/PKS) 2. Aksi Bersama Rakyat

(AKBAR)

3. Jaringan Merah Putih (JMP)/Gerindra

4. Forum Betawi Rempug (FBR)

5. Gerakan Bela Negara 6. Gerakan Indonesia

Beradab

Tabel.01. Inisiator dan ormas-ormas yang menggerakkan aksi bela Islam (Sumber: Pamungkas dan Oktaviani, 2017: 68).

(6)

14

dukungan yang diberikan memperoleh ‘perluasan simpati’ bahkan dari beberapa daerah di luar Jakarta. Pamungkas dan Oktaviani (2017) menunjukkan bahwa perluasan simpati ini ditengarai muncul khususnya ketika media massa banyak memberitakan reaksi yang dimunculkan oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi) pasca Aksi Bela Islam II di bulan November 2016 melalui serangkaian tuduhan makar terhadap beberapa tokoh politik oposisi yang ditengarai ikut terlibat memfasilitasi dan memberi dukungan dalam aksi tersebut. Para inisiator Aksi Bela Islam khususnya FPI dan GNPF-MUI menganggap bahwa reaksi pemerintah Jokowi itu sebagai suatu bentuk kedzaliman oleh penguasa terhadap umat Islam. Dalam aksi bela Islam 212 yang paling besar dukungan mobilisasi publiknya, muncul wacana dan slogan-slogan “NKRI harga Mati” yang disuarakan ormas-ormas lslam dan juga ormas lain non keagamaan seperti contohnya JMP (Jaringan Merah-Putih). Meskipun sejak Aksi Bela Islam III (212), aksi-aksi yang lain berikutnya tidak lagi memperoleh dukungan massa sebesar itu, wacana ‘membela Islam’ sebagai bagian dari strategi dakwah melalui politik keshalehan (politics of piety) terus berlanjut di dalam komunitas-komunitas majelis taklim, pengajian (khususnya melalui Gerakan Subuh Berjamaah Nasional yang difasilitasi pula oleh FS-LDK atau Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus), serta beberapa kegiatan safari dakwah keliling yang didukung oleh beberapa alumni Aksi Bela Islam III. Melalui mobilisasi Aksi Bela Islam, suatu potensi ancaman bagi tradisi demokrasi di Indonesia muncul yakni nasionalisme ‘kesukuan’ (tribal nationalism), dimana nasionalisme diterjemahkan secara ‘sempit’ menjadi nasionalisme yang didasari oleh pemusatan identitas etnis dan keagamaan khususnya oleh kelompok mayoritas yang mengabaikan aspek-aspek keragaman dan multikulturalisme di dalam entitas sosial masyarakat di Indonesia sendiri (Fealy, 2017; Lim 2017; Pamungkas dan Oktaviani, 2017). Fakta bahwa pemahaman atas nasionalisme yang sempit dan klaim atas sejarah masa lalu yang dipolitisasi bagi kepentingan segelintir elit politik (khususnya melalui ormas-ormas Islam yang mewacanakan bentuk dan praktik intoleran) menjadi tantangan bagi khususnya kalangan intelektual, akademisi, aktivis, dan tokoh-tokoh masyarakat pro demokrasi untuk menggiatkan kembali literasi sejarah nasional yang lebih obyektif dan adil, serta memberi peluang praktik diskursif bagi pemaknaan-pemaknaan baru sesuai tuntutan masa kini.

B. Dakwah Islam, Moralitas Publik, dan Ruang Publik Muslim dalam Sejarah Media Islam di Indonesia

(7)

15

keberadaan muatan dakwah yang termediasikan berlangsung melalui moda produksi kapitalis dalam industri media sehingga membentuk perluasan ‘ruang publik muslim’ yang ditujukan pada konsumsi massa bagi keshalehan personal. Upaya ini dilakukan secara metodologis dengan mengobservasi penerbitan-penerbitan media Islam sejak masa kolonial dan menginterpretasikannya dalam kerangka analisis perspektif sejarah kritis dan penelitian terbaru yang dilakukan secara etnografis khususnya pada media-media Islam di masa reformasi dimana pemanfaatan medium teknologi digital khususnya melalui internet menjadi ranah budaya baru dalam menyemai ‘ruang publik muslim’ melalui konstruksi moralitas publik.

(8)

16

mengkonsumsi media, melainkan ikut menggerakkan sebagai bagian dari produksi wacana. Sehingga ketika gerakan dakwah global melalui bentuk-bentuk yang termediasikan secara massif itu telah memiliki publiknya yakni ‘para pemirsa Muslim’, media yang ditampilkan akan selalui memunculkan tema tentang moralitas publik meskipun hal tersebut ditujukan untuk kepentingan politik tertentu (sebagaimana yang kita saksikan pada aksi bela Islam), dan sekaligus membentuk pasar media ‘Muslim’, dan bahkan pengikut ideologis.

Sejarah perkembangan media Islam di Indonesia berkenaan dengan persebaran dakwah atau ajakan untuk mengenal, mempelajari dan mempraktikkan ajaran Islam yang ditujukan secara khusus bagi kaum Muslim dan secara umum kepada khalayak luas atau publik. Meskipun pemahaman mengenai media Islam secara umum dipahami sebagai media yang mengutamakan identitas Islam di dalam menampilkan muatannya, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, berlangsung diskursus atau pewacanaan mengenai apakah media Islam secara otomatis merupakan media dakwah dan mengapa beberapa media Islam tertentu menyebut atau mendefinisikan diri sebagai ‘media dakwah dan bukan semata-mata sebagai media Islam’ (baik cetak, maupun elektronis, bahkan digital). Dalam konteks itulah, pemahaman mengenai ‘media Islam’ menjadi lebih terbuka (cair dan umum), sedangkan pemahaman mengenai ‘media dakwah’ menjadi lebih spesifik dikarenakan pengertian tentang dakwah sebagai suatu ‘ajakan untuk mengenali Islam’ merupakan suatu konstruksi atas pemaknaan dan praktik keislaman tertentu. Dengan kata lain, semua media dakwah dapat disebut sebagai ‘media Islam’ meskipun tidak semua media yang memunculkan identitas keislaman dapat disebut sebagai media dakwah.

Dakwah Islam sebagai suatu praktik sosial memiliki sejarah kontekstualnya dalam persebaran agama Islam di seluruh penjuru dunia. Semenjak munculnya teknologi dalam melipatgandakan pengetahuan secara material yang diawali dengan kemunculan mesin cetak, sebagaimana agama-agama samawi (Abrahamian) lainnya di dunia sejak abad ke 17, persebaran pengetahuan mengenai agama (termasuk Islam) mengalami periode modernisasi yang amat pesat. Persebaran dakwah Islam di Asia Tenggara pun difasilitasi melalui medium ini dimana al Qur’an mulai dicetak dalam jumlah yang cukup besar pada awalnya di Singapura pada tahun 1840an yang distribusinya juga menjangkau wilayah koloni Hindia Belanda (Indonesia sekarang), meskipun pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memiliki alat percetakan bagi kepentingan administrasi kolonial sejak lebih dari seabad sebelumnya.3 Dengan kata lain, kemunculan percetakan kitab-kitab suci (termasuk al Qur’an) berbarengan dengan munculnya pertumbuhan industri percetakan untuk kepentingan munculnya pers cetak media massa untuk pertama kalinya di wilayah Asia Tenggara. Kemunculan media cetak termasuk pers cetak inilah yang mentransformasi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya di hampir seluruh wilayah jajahan

(9)

17

di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di wilayah Hindia Belanda. Dalam konteks munculnya media massa sebagai medium baru di wilayah kolonial, maka keberadaan industri percetakan kemudian bukan hanya sekedar mencetak kitab-kitab suci saja, pada sekitar tahun 1890an misalnya, terbit beberapa buku-buku (kitab) yang mengenalkan identitas keislaman melalui genre syair (puisi) dan hikayat (prosa) dalam bahasa Melayu untuk pertama kalinya. Munculnya Jurnal al Moenir pada tahun 1910-1915 di Padang, Sumatera Barat oleh ulama Abdullah Ahmad menandai kemunculan dakwah Islam yang bersifat populer yang diakrabi oleh masyarakat setempat.4 Dalam konteks inilah, pemahaman mengenai dakwah mulai berkembang, bukan hanya melalui metode pengajaran agama secara klasik yang bersifat tatap muka, melainkan melalui suatu transmisi nilai-nilai dan konstruksi atas identitas keislaman. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul penerbitan-penerbitan pers Islam yang mengutamakan muatan bukan hanya mengenai nilai dan praktik ibadah di dalam Islam, melainkan pula tafsir Islam atas kondisi sosial, ekonomi dan politik suatu masyarakat. Penerbitan semacam ini menjadi tafsir awal konstruksi ‘kebangkitan nilai-nilai Islam’ sebagai semangat untuk melawan kolonialisme. Medan Moeslimin adalah surat kabar Muslim pertama yang terbit pada tahun 1915, dan kemudian munculnya Islam Bergerak pada tahun 1917 dan menandai munculnya kepentingan dakwah sebagai suatu alat perjuangan politik nasionalisme yang dipelopori oleh salah satu pendiri syarekat Islam ,Haji Misbach, yang menggabungkan nilai-nilai sosialisme dan ajaran-ajaran Islam untuk melawan penindasan sebagai basis identitas kebangsaan (nasionalisme) sekaligus sebagai wujud keshalehan seorang Muslim. Meski demikian, gagasan ‘revivalisme (kebangkitan) Islam’ yang bersifat transnasional juga muncul di masa pergerakan nasional, dimana gagasan sentralnya lebih didasari pada bagaimana membangun solidaritas sesama Muslim di seluruh dunia untuk membagun peradaban kaum Muslim sendiri tanpa berkompromi pada ‘ideologi modernisme Barat’ – meskipun secara esensial justru memperkenalkan gagasan mengenai ‘modernisme Islam’ (Islam yang moderen). Pada tahun 1930, muncul majalah dakwah pertama yang dipengaruhi oleh nilai-nilai perjuangan politik Islam yang bersifat transnasional, yaitu ‘Madjalah Pembela Islam’ yang didirikan oleh ulama PERSIS (Persatuan Islam) di Bandung, Ahmad Hasan dan muridnya, Muhammad Natsir (yang kemudian dikenal sebagai tokoh Masyumi).5 Dalam pembahasannya majalah tersebut bahkan telah memunculkan gagasan-gagasan pentingnya persatuan kaum Muslimin yang dijajah di seluruh wilayah kolonial Barat melalui pendidikan dan pengorganisasian politik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir.6 Kemunculan dakwah Islam di Indonesia yang direpresentasikan sebagai budaya populer dan sebagai bagian dari perjuangan ideologi politik (nasional dan transnasional) sudah memiliki akarnya di masa kolonial. Semenjak periode pergerakan nasional juga muncul berbagai penerbitan

4 Rahzen, Taufik et.all, 2007: 66-69; Feener, 2007: 10-14; Kaptein, 2009 dalam Tagliacozzo, 2009:183-189. 5 Feener. Opcit: 10-14.

(10)

18

berbasis dakwah Islam lainnya, seperti Soeara Muhammadiyah, Al Muslimun, dan Kiblat. Ketika pendudukan Jepang datang, keberadaan media massa yang berbasis pada gerakan nasional mengalami represi yang lebih berat ketimbang di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, hal yang serupa juga dialami dengan eksistensi beberapa penerbitan Islam. Soeara Muhammadiyah adalah salah satu majalah Islam yang masih terbit relatif secara reguler pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) meskipun muatannya terbatas hanya pada seputar pelaksanaan ibadah dalam Islam dan penerbitannya dibawah pengawasan sensor ketat penguasa militer Jepang. Majalah Suara Muhammadiyah ini adalah majalah Islam di Indonesia yang terus bertahan sejak masa kolonial Hindia Belanda hingga hari ini.7 Pada masa awal kemerdekaan hingga masa dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno, keberadaan media massa dakwah Islam mulai kembali bermunculan. Meskipun hingga kini, masih sedikit sumber literatur sejarah yang mencoba melacak keberadaan media massa tersebut. Salah satu majalah Islam yang populer tetapi jarang dibahas oleh para sarjana termasuk dalam kajian Islam, Sejarah, dan ilmu Politik pada masa awal kemerdekaan khususnya menjelang dan setelah Pemilu tahun 1955 adalah majalah yang dikelola oleh Partai Masyumi, yaitu Suara Partai Masyumi yang ditujukan bagi kader partai Masyumi dan majalah Hikmah yaitu majalah Islam populer yang ditujukan bagi khalayak umum dan dapat diperoleh di toko-toko buku. Selain kedua majalah tersebut, Masyumi juga memiliki afiliasi dengan koran Abadi yang pada penerbitan sejak 1955 banyak mengkritik PKI dan ideologi Marxisme-Leninisme. Remmy Madinier (2015) adalah salah seorang sejarawan yang menelusuri pertikaian Masyumi dan PKI serta friksi internal di dalam tubuh Masyumi dengan merujuk pada dokumen-dokumen sejarah termasuk koran Abadi dan majalah Hikmah. Madinier mencatat polemik yang panjang antara Masyumi dan PKI dimulai menjelang dan setelah Pemilu 1955, khususnya ketika PKI mengklaim sebagai partai yang tidak anti agama, dan Masyumi mulai menelisik tentang polemik politik yang melibatkan PKI seperti peristiwa Madiun pada tahun 1948, dan kritik atas otoritarianisme yang berlangsung di dalam rezim Uni Sovyet yang berada dibawah pengaruh ideologi Marxisme-Leninisme. 8 Beberapa tokoh Masyumi pada tahun 1958 dituduh telah ikut merencanakan makar kudeta terhadap pemerintahan Sukarno, karena terlibat di dalam peristiwa PRRI/Permesta, maka pada akhirnya Partai Masyumi dibubarkan oleh Pemerintah Sukarno pada tahun 1960, maka berakhirlah penerbitan-penerbitan yang berafiliasi secara langsung pada partai itu termasuk majalah Hikmah, Suara Partai Masyumi, dan koran Abadi. Sebagian aktivis Masyumi yang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah seperti Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), KH. Faqih Usman, Josoef Abdullah Poear, dan HM Joesof Ahmad mendirikan penerbitan majalah Panji Masyarakat pada tahun

7 Majalah Suara Muhammadiyah pertama kali terbit tahun 1915 oleh KH. Ahmad Dahlan dan muridnya Haji Fachrodin – pada awalnya bernama Soeara Muhammadiyah. Sumber: ‘Sejarah Singkat Majalah Suara Muhammadiyah http://www.fastabiqu.com/2016/01/majalah-suara-muhammadiyah-meneguhkan.html. Diakses 8 September 2016.

(11)

19

1959. Meski demikian, majalah ini hanya terbit selama 1 tahun dan kemudian dibredel (dilarang terbit) oleh pemerintah setelah terbitnya tulisan Mohammad Hatta ‘Demokrasi Kita’ pada majalah itu di edisi bulan Mei 1960. Majalah Panji Masyarakat baru muncul diterbitkan kembali pada tanggal 5 Oktober 1966 ketika terjadi pergantian kekuasaan ke tangan rezim Orde Baru (Suharto).9

Gambar 02. Majalah Hikmah No 26 Tahun ke IX, 14 Juli 1956 dimana salah satu artikelnya mewacanakan anti komunisme dengan caption judul: Anti Stalin, Membukakan Kebobrokan Komunis (Sumber: Dokumentasi Pamungkas 2017).

Pergantian kekuasaan pasca tragedi 1965 secara umum dapat dikatakan telah berdampak pada kontrol kekuasaan yang ketat terhadap penerbitan media massa, termasuk pada pers Islam. Meskipun, Panji Masyarakat dan koran Abadi diterbitkan kembali pada masa awal Orde Baru oleh para eksponen aktivis Masyumi, tetapi semenjak terjadinya peristiwa Malari (Limabelas Januari) pada tahun 1974,

(12)

20

dimana kedua media tersebut banyak mengkritik pemerintahan Orde Baru yang membuka peluang ke pasar bebas melalui investasi Jepang pada industri otomotif di Indonesia, keduanya sempat dibredel kembali. Koran Abadi malahan sama sekali tidak pernah terbit dan banyak aktivis Masyumi terutama dipelopori oleh Mohammad Natsir kemudian memilih untuk bersikap menghindari konfrontasi langsung pada pemerintahan Suharto dan merintis jalan ‘dakwah’ dengan keterlibatannya melalui DDII – Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, suatu ormas – dan bukan partai politik. Sejak tahun 1970an, DDII menjalin hubungan dengan organisasi non pemerintah di Arab Saudi Rabithah Alam Islami (The World Muslim League) – yang mendukung gagasan Pan Islamisme. Organisasi tersebut bahkan ikut membiayai kegiatan DDII hingga akhir tahun 1980an melalui penerbitan buku, majalah, dan terutama penerjemahan beberapa literatur dari Timur-Tengah yang dipengaruhi oleh paham (ideologi) salafisme, termasuk banyak literatur yang ditulis oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin ke dalam bahasa Indonesia.10 DDII bahkan memiliki majalah reguler ‘Media Da’wah’ – yang diterbitkan secara berkala dan menjadi perpanjangan corong politik Masyumi di era Orde Baru.11 Meskipun DDII ikut mempromiskan penerbitan banyak literatur dan media cetak yang bernuansa ‘Islam politik’ (political Islam – Islamism), semuanya itu tidak dapat dengan mudah diakses melalui publik – melainkan beredar secara underground (bawah tanah) melalui jaringan para aktivis dakwah yang terafiliasi dengan DDII dan juga melalui rekrutmen dan kaderisasi aktivis dakwah kampus di beberapa Perguruan Tinggi terkemuka semenjak akhir 1970-an hingga tahun 1990an.12

10 Van Bruinessen 2002; Pamungkas, 2015. 11 Hefner, 1997.

12

(13)

21

Gambar 03. Majalah Amanah No 173, 22 Februari – 7 Maret 1993 - Cover dan Kolom Konsultasi Keluarga Berencana- (Sumber: Pamungkas, 2012).

Pada era Orde Baru pulalah gagasan-gagasan mengenai ‘revivalisme Islam’ yang cenderung menjadi alat kepentingan politik secara formal tidak memperoleh representasinya di ruang publik. Sementara itu, Orde Baru mulai membuka ruang yang luas bagi praktik dan wacana keshalehan Islam khususnya sejak tahun 1990an ketika rezim Suharto mulai merangkul beberapa intelektual Muslim liberal khususnya melalui pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Sejak era Orde Baru pula-lah, dakwah Islam melalui media massa direpresentasikan lebih sebagai promosi atas keshalehan personal dan juga sebagai medium pendukung program-program yang dilakukan oleh pemerintah. Meski demikian, jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada 1998, juga berdampak pada semakin lunturnya pewacanaan nasionalisme yang direpresentasikan oleh media-media Islam. Sebaliknya, banyak media-media Islam yang berideologi Islam transnasional justru mulai memiliki publik luas khususnya di kalangan Muslim di Indonesia yang terbit secara cetak (dikarenakan kemudahan atas ijin penerbitan dan sensor yang ketat di masa pemerintah BJ Habibie pada tahun 1999) dan kemudian muncul secara daring (online) melalui media-media digital di awal abad millenium.

(14)

22

secara simbolik mengatasnamakan Islam.13 Berkenaan dengan hal itulah, artikel ini bertujuan untuk membahas; (1) bagaimana ruang publik Muslim ini terbentuk melalui media baru; serta (2) bagaimana otoritas normatif yang berakar pada ideologi Islam transnasional (revivalisme Islam – Islamisme dijalankan di dalam penyebarluasan gagasan keshalehan personal; dan (3) bagaimana otoritas atas retorika keshalehan personal menjadi suatu bentuk kontrol atas publik melalui moralitas yang dikonstruksikan melalui media. Ketiga pembahasan itulah yang akan dijabarkan berdasarkan hasil studi yang dilakukan melalui metode analisis wacana atas representasi media dakwah dan studi etnografi melalui studi kasus produksi media dakwah melalui medium baru khususnya di masa setelah berakhirnya kekuasaan otoriter Orde Baru di Indonesia.

C. Konstruksi Moralitas Publik dan Politik Keshalehan dalam Media Islam Pasca Orde Baru

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, media dakwah di Indonesia pada umumnya bertujuan tidak hanya untuk menggunakan identitas label 'Islam' tetapi juga pada upaya mengkonstruksi dakwah sebagai sebuah ‘panggilan' atau 'undangan' untuk mempraktikkan ‘Islam yang benar’ (proper Islam). Kaitan antara media sebagai alat dakwah memiliki akar sejarah yang bersifat spesifik sejak masa kolonial (Hindia Belanda) maupun di masa awal nasionalisme Indonesia dan periode rezim politik otoritarian dan setelahnya kini. Dari kajian mengenai transformasi media Islam di Indonesia, saya menemukan adanya persamaan dan perbedaan dalam mengkaitkan identitas Islam sebagai dakwah melalui media yang berlangsung di setiap masa di Indonesia. Persamaan yang secara umum didapati dalam setiap konteks sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua media Islam tersebut tampaknya membahas tema dan praktik Islam tentang; (1) keadilan sosial; (2) promosi identitas Islam secara formal; (3) pertanyaan dan pembahasan tentang multikulturalisme dan atau pluralisme (dalam Islam). Sementara itu, perbedaan atas keragaman media Islam dan konteksnya yang berbeda-beda di setiap masa atau periode itu didasari oleh penegasan atau wacana mengenai; (1) referensi terhadap praktik Islam yang benar atau otentik (syariah); (2) konstruksi identitas mengenai bagaimana ‘menjadi’ orang Indonesia, atau menjadi ‘Muslim Indonesia’, atau hanya menjadi ‘Muslim’ yang benar saja; (3) keragaman respon terhadap wacana dan praktik multikulturalisme dan pluralisme yang membentuk ruang polarisasi politik dalam ruang publik Muslim di Indonesia.

13

(15)

23

Fenomena munculnya ‘ruang publik Muslim’ merupakan suatu hasil dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Anderson (2003) sebagai ‘reintelektualisasi wacana-wacana Islam’ dimana pengirim pesan (sender) mengidentifikasikan diri mempresentasikan doktrin dan wacana Islam yang otentik (murni) dan menyerahkan interpretasi atasnya pada publik (receiver).14 Walter Ambrust (2000) menjelaskan bagaimana pewacanaan Islam otentik yang dianggap sebagai representasi atas ‘public

culture’ (budaya publik) dalam masyarakat mayoritas Muslim harus ditilik dari sejarah masyarakatnya yang mengalami kolonialisme Barat dan karenanya lebih merupakan suatu bentuk hegemoni tanding (counter hegemony) dimana identitas moderen justru dilekatkan dengan simbol dan formalisme agama (Islam) melalui produksi kapitalisme.15 Bentuk-bentuk gagasan mengenai identitas Islam yang termediasikan merupakan suatu proses ‘Islamisasi’ di Indonesia yang berlangsung melalui media baru, dalam pengertian bahwa ‘Islamisasi’ tersebut ditujukan justru pada kebanyakan ‘Muslim’ yang didisplinkan melalui pewacanaan dan kontruksi moral tentang ‘bagaimana mempraktikkan Islam yang benar.’Obyektifikasi atas praktik Islam yang otentik inilah yang kemudian menjadi ranah produksi media dakwah khususnya di masa Reformasi dimana ide-ide ‘revivalisme Islam’ muncul justru melalui konstruksi atas ‘moralitas publik’ – yang meregulasi kebiasaan hidup, tingkah laku, dan tertib sosial bukan hanya ditujukan pada kaum Muslim semata melainkan juga bagaimana interpretasi atas ‘moralitas publik’ itu lebih didominasi oleh praktik dan wacana Islam yang otentik. Obyektifikasi atas ‘Islam yang otentik’ karenanya menjadi perdebatan bahkan perseteruan yang tiada hentinya dalam sejarah nasionalisme di Indonesia sejak masa kolonial hingga hari ini.

Moralitas publik sendiri setidaknya memiliki dua pengertian utama; (1) suatu standar moral dan etis yang ditujukan pada suatu masyarakat; (2) suatu bentuk tekanan sosial yang dilakukan untuk mendominasi standar moral dan etis tersebut melalui tertib sosial dan bentuk-bentuk kedisiplinan serta kepatuhan publik (baik melalui regulasi formal maupun informal – tak tertulis) yang acapkali justru muncul sebagai suatu respon atas ‘kepanikan moral’. Retorika mengenai kepanikan moral melalui praktik dakwah yang juga muncul melalui media acapkali menggunakan doktrin Islam tentang ‘amr

ma’ruf nahi munkar’ – ‘menyuruh pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat’ – yang dalam penerjemahannya juga bisa menjadi sangat politis dan menjadi riskan atas klaim terhadap ‘kepatutan dan kelayakan’ dalam masyarakat yang majemuk (plural) dan beragam (multikultur), bukan hanya antara Muslim dan non-Muslim, tetapi juga diantara masyarakat Muslim sendiri yang juga beragam. Bentuk-bentuk keshalehan yang dalam tafsir Islam dianggap sebagai sesuatu yang terlarang, pada umumnya disepakati bersama oleh hampir semua media Islam sebagai suatu bentuk kontrol sosial atas moralitas publik, seperti perjudian, prostitusi, konsumsi atas alkohol, dan pornografi atau materi-materi seksual yang secara eksplisit dikonsumsi masyarakat luas. Meski demikian, bukan berarti tafsir atas

14 Ibid, 19-25.

(16)

24

(17)

25

Gambar 04. Reportase Majalah Ummi No 3/XVII/2005 tentang ‘Gerakan Nasional Bersih Pornografi dan Pornoaksi’ yang dibuka oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Daud pada tahun 2005 (Sumber: Pamungkas, 2015).

Tekanan sosial sebagai suatu kepentingan atas moralitas publik sudah lama berlangsung di Indonesia, dalam sejarahnya misalnya tentang perdebatan atas basis-basis fundamental ketatanegaraan – dalam perdebatan tentang konstruksi nasionalisme khususnya tentang perlu tidaknya menyantumkan ketentuan pemberlakuan syariat Islam bagi para penganutnya di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada masa Orde Baru, kontruksi moralitas publik sebagai suatu tekanan politik nampak kuat pada pemberlakuan atas UU Perkawinan tahun 1974 yang terutama berdampak pada kontrol negara pada pernikahan yang bersifat multikultural. Konstruksi atas moralitas publik yang bersumber pada tekanan politik khususnya yang dikonstruksikan melalui bentuk-bentuk kepatuhan dan disiplin pada nilai-nilai Islam otentik kemudian berlangsung pada ruang sosial yang langsung berdampak dalam kehidupan privat. Sementara di sisi lain, keberadaan media dakwah khususnya di masa Reformasi mendapati bukan hanya ruang ‘kontestasi politik’ tetapi sekaligus ‘ruang pamer’ (display) tentang kebudayaan yang secara material dianggap sebagai merepresentasikan ‘Islam otentik’ melalui kebaharuan gaya hidup yang moderen. Dalam konteks seperti itulah, cara-cara mengkonstruksi identitas Muslim juga berkenaan dengan strategi meliyankan – othering – dimana media mainstream ikut memfasilitasi suatu ‘gaya hidup alternatif’ yang menampilkan bentuk-bentuk keshalehan personal Muslim yang bersifat formal – dan dilegitimasikan di dalam ruang publik dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Kontestasi atas strategi meliyankan inilah yang acapkali selalu ‘dimunculkan’ sebagai suatu bentuk kepanikan moral – khususnya pada momentum tertentu dimana berdampak langsung dalam struktur dan kekuasaan hierarki politik di Indonesia, misalnya pada saat berlangsungnya Pemilu, Pilpres, atau bahkan Pilkada. Tidak mengherankan jika isu tentang keshalehan personal menjadi ‘isu politik yang

selalu digoreng’ dalam setiap momen Pemilu tersebut.

(18)

26

melalui media sosial. Percepatan menjadi penanda tersendiri bagi berlangsungnya ‘narasi bergerak’ (shifting narratives) tentang identitas keshalehan dan otentisitas praktik keislaman – dimana rujukan melalui tafsir suci baik melalui ayat-ayat al Qur’an dan hadits digunakan untuk membingkai suatu argumen atau retorika meliyankan argumen atau identitas lain baik yang berasal dari kemajemukan (pluralitas) publik luas maupun yang berasal dari keragaman (multikulturalitas) dalam masyarakat muslim sendiri – melalui narasi yang dimunculkan dengan menggunakan konteks kekinian.16 Dengan pengertian semacam inilah, penguasaan atas media yang secara populer memiliki pemirsa luas menjadi medium strategis bagi pewacanaan dominan tentang tafsir atas otentisitas Islam oleh suatu kelompok tertentu khususnya di dalam masyarakat mayoritas Muslim – melalui narasi-narasi kebaharuan kontekstual tentang ‘moralitas publik’. Salah satu momentum puncak konstruksi politik tentang ‘kepanikan moral’ yang dipropagandakan melalui media sosial adalah ‘Aksi Bela Islam’ yang berlangsung menjelang dan sesudah Pilkada DKI Jakarta, sejak Oktober 2016 dan mendapatkan momentum puncak dukungan massa yang sangat besar pada 2 Desember 2016 (Aksi Bela Islam III).

(19)

27

Gambar 05. Instagram ‘IndonesiaBertauhid’ – yang merupakan pengganti dari Instagram resmi kelompok HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) semenjak kelompok tersebut dibubarkan dan dinyatakan sebagai ormas terlarang sejak tanggal 19 Juli 2017 - melalui Perppu No 2 Tahun 2017 (Sumber: dokumentasi Tia Pamungkas, diakses pada tanggal 20 Agustus 2017 pk.19.42 WIB).

Dalam Aksi Bela Islam khususnya Aksi Bela Islam III (212), kita menyaksikan begitu kuatnya dampak dari mobilisasi massa melalui perantaraan media sosial, dalam menyikapi polemik penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berakhir secara dramatis. Konstruksi moralitas publik yang dipropagandakan oleh media dakwah melalui media sosial khususnya oleh inisiator dan penggerak aksi tersebut (GNPF – Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-MUI) dengan menggunakan strategi meliyankan berlangsung secara efektif, meskipun pewacanaannya juga tidak selalu stabil dalam memperoleh dukungan massa yang lebih luas lagi pasca Aksi 212. Meski demikian, strategi meliyankan adalah suatu mekanisme yang secara konsisten selalu dimunculkan dalam retorika media-media dakwah termasuk melalui media sosial.17 Dalam gambar 05 misalnya dicontohkan melalui instagram Indonesia Bertauhid – yang melalui ‘infografik’ terus mewacanakan ‘manhaj dakwah’ (tahapan-tahapan dakwah – dari identitas personal menuju identitas suatu komunitas politis ummah Islamic polity yang disebut sebagai ‘khilafah’). Medium-medium baru lainnya seperti Facebook dan juga Youtube – menjadi perluasan dari media yang dikelola oleh komunitas – dan mendapatkan celah untuk memperoleh dukungan publik Muslim secara luas melalui pemanfaatan teknologi digital yang mampu mempolarisasi jaringan-jaringan sosial secara algoritmis – dan hadir dalam kehidupan privat banyak Muslim di Indonesia melalui beberapa aplikasi pesan personal seperti Whatsapp dan Telegram. Meskipun media sosial menjadi perluasan dan perpanjangan konstruksi moralitas publik media dakwah di Indonesia, upaya untuk tetap mengelola dan memperbesar basis-basis ‘komunitas-komunitas’ yang mengakar secara sosial juga dilakukan secara luring (offline) – dalam konteks inilah media sosial dan media baru secara umum hanya berfungsi sebagai ‘pengiklan’ (advertisement) – pengkondisian suatu masyarakat dalam tertib moralitas yang mengatasnamakan otentisitas keislaman tertentu. Menguatnya wacana tentang ‘kebangkitan Komunisme (PKI)’ yang dimunculkan kembali sejak tahun 2017 – menjadi celah lain bagi pengkondisian ‘kepanikan moral’ sebagai suatu konstruksi politis – yang rentan berisiko pada terjadinya konflik sosial dikarenakan pewacanaan media dakwah melalui media sosial yang dominan diakses oleh banyak Muslim di Indonesia telah mereduksi wacana pengetahuan sebelumnya di masa Reformasi tentang peristiwa 1965 di Indonesia.

(20)

28 D. Penutup

Transformasi media Islam di Indonesia berlangsung baik secara material maupun secara esensial dengan memiliki konteks sejarah sosial, politik dan budaya – dimana wacana tentang ‘kebangkitan Islam’ ditransformasikan dari suatu bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, solidaritas atas sesama Muslim, konstruksi identitas keshalehan personal dan pewacanaan terhadap moralitas publik. Dalam sejarahnya, relasi antara media dan dakwah Islam berfungsi sebagai bagian dari proses Islamisasi di Indonesia. Proses Islamisasi yang berlangsung melalui dakwah yang difasilitasi oleh media mengalami perubahan yang signifikan khususnya sejak pasca 1965 dimana identitas keshalehan personal menjadi bagian yang sangat penting terutama bagi kaum Muslim di Indonesia. Politik keshalehan dikonfirmasi baik melalui media dakwah yang mewacanakan ‘Islam politik’ (Islamisme) secara underground di masa Orde Baru – dan berlanjut di masa Reformasi, maupun media dakwah yang mempromosikan simbol-simbol Islam secara formal sebagai gaya hidup moderen khususnya pada kelas menengah urban di Indonesia. Simbiosis antara wacana Islam politik dan Islam sebagai gaya hidup memberikan peluang pewacanaan moralitas publik yang disebarluaskan baik melalui media-media komunitas, dan terutama dipromosikan melalui media sosial (digital).

Transformasi media Islam khususnya di masa Reformasi melalui konstruksi moralitas publik berlangsung melalui setidaknya empat mekanisme; (1) promosi atas identitas keislaman secara formal di ruang publik khususnya melalui budaya populer; (2) perluasan pemirsa bagi ruang publik Muslim melalui dakwah populer baik melalui media mainstream maupun media sosial secara khusus mentargetkan kaum perempuan dan generasi muda sebagai konsumer bagi media-media Islam tertentu yang mempromosikan bentuk-bentuk keshalehan personal secara formal; (3) pewacanaan mengenai moralitas publik merupakan kelanjutan dari strategi meliyankan dalam merespon kemajemukan (pluralitas) di Indonesia yang telah berlangsung sejak bahkan di masa awal kebangkitan nasional (masa kolonial) dengan upaya untuk melegitimasi kondisi kontekstual di hari ini secara ambigu, misalnya dengan mewacanakan pentingnya syariah Islam, kepemimpinan kaum Muslim, tetapi secara ambigu tetap membingkai wacana tentang NKRI – misalnya sebagai wacana tanding akibat berlangsungnya polarisasi Islam liberal dan Islam radikal dalam pencitraan mengenai Islam di media-media mainstream yang sekuler; (4) media sosial difungsikan untuk memobilisasi dukungan massa yang luas dan mengkampanyekan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam basis-basis komunitas sebagai strategi untuk merespon keragaman (multikulturalitas) dalam masyarakat Muslim di Indonesia – sebagaimana yang ditunjukkan dalam Aksi Bela Islam yang didukung oleh berbagai macam ormas-ormas Islam, kelompok-kelompok majelis taklim, dan beberapa pesantren yang sesungguhnya memiliki ‘varian’ latar belakang keragaman ideologi Islam politiknya.18 Keempat mekanisme inilah yang membentuk

(21)

29

konstruksi mengenai moralitas publik tentang ‘Islam yang otentik yang wacananya secara hegemonik’ mencerminkan simbiosis antara Islam politik dan Islam sebagai gaya hidup di Indonesia hari ini.

Hal lain yang secara sosiologis memungkinkan bagaimana keempat mekanisme dalam transformasi media Islam itu berlangsung secara efektif di masa Reformasi adalah bekerjanya mekanisme ‘cultural intermediaries’ atau para perantara budaya yang khususnya dimungkinkan melalui perkembangan industri media (termasuk media dakwah) melalui moda produksi kapitalisme. Para perantara budaya ini acapkali hanya menjalankan fungsi pragmatis dalam produksi industri media dan karenanya mengabaikan kontestasi pewacanaan politik yang berdampak pada konflik sosial antar kelas dan antar golongan di dalam masyarakat. Dalam upaya untuk mengatasi kekuatiran atas munculnya tafsir nasionalisme sempit, dan beragam praktik intoleransi akhir-akhir ini di dalam masyarakat, fungsi literasi sejarah menjadi sangat esensial. Fungsi literasi yang perlu digiatkan oleh karenanya memerlukan lebih banyak energi untuk mensosialisasikan kembali sejarah nasional yang lebih obyektif dan berkeadilan – dalam merepresentasikan keragaman (baik secara identitas budaya maupun secara ideologi politik) sehingga generasi berikutnya memiliki pemahaman yang lebih baik dan dapat melihat bagaimana ‘kontestasi politik’ berlangsung dalam setiap konteks sosial dan politik dalam momentum sejarah tertentu di Indonesia.

Daftar Pustaka

Ambrust, Walter. 2000. “Introduction”, in Ambrust (ed), Mass Mediations: New Approaches to Popular Culture in the Middle East and Beyond. Berkeley: University California Press.

Azra, Azyumardi. 2006. Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in the Global Context. Jakarta: Solstice.

Eickelman and Piscatori. 1996. Muslim Politics. Princeton: Princeton University Press.

Eickelman, Dale and Anderson, Jon. 2003. New Media in The Muslim World: The Emerging Public Sphere. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Fealy, Greg. 2017. ‘Bigger than Ahok: Explaining the 2 December Mass Rally”. Artikel online di laman Indonesia at Melbourne. Diakses di laman http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/bigger-than-ahok-explaining-jakartas-2-december-mass-rally/ Diakses pada 1 Januari 2017.

Feener, Michael. 2007. Muslim Legal Thought in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press

Hakim, Lukman. 2008. M Natsir di Panggung Sejarah Republik. Jakarta: Republika Hamka. 1984. Ghirah dan Tantangan terhadap Islam. Pustaka Panjimas: Jakarta.

(22)

30

Hirschkind, Charles. 2006. Ethical Soundscape: Cassette Sermons and Islamic Counterpublics. New York: Columbia University Press.

Kaptein, Nico. 2009. “Southeast Asian Debates and the Middle Eastern Inspiration”, in Tagliacozzo, Eric (ed), Southeast Asia and the Middle East: Islam, Movement, and the Longue Duree. Singapore: NUS-Press.

Laffan, Michael. 2011. The Making of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of A Sufi Past. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Lim, Merlyna. 2017. “Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal

Nationalism in Indonesia”. Critical Asian Studies, 2017.

http://dx.doi.org/10.1080/14672715.2017.1341188. Diakses pada 28 Juni 2017.

Madinier, Remmy. 2015. Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism. Singapore: NUS Press.

Masud, Salvatore and van Bruinessen, 2009. Islam and Modernity: Debate and Key Concept. Edinburgh: Edinburg University Press.

Rahzen, Taufik (eds). 2007. Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa. Yogyakarta:rBoekoe.

Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2012.“Islam as a Lifestyle: A Study of Ummi, a Female Dakwah Magazine in Post-Suharto Indonesia”, in Dhont, Frank et.al (eds), Between the Mountain and The Sea: Positioning Indonesia. Yogyakarta: UGM Press and Yale Indonesia Forum.

Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2015. The Dakwah Media in Post Suharto Indonesia: From Politics of Identity to Popular Culture (the case of Ummi). PhD Thesis. Humbolt University of Berlin. DOI: 10.18452/17136

Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2016. “Membela Islam (?): Memahami Muslim Public Sphere di Indonesia”. Artikel Online di Jurnal Remotivi dimuat pada laman http://www.remotivi.or.id/amatan/340/Membela-Islam. Diakses pada 8 Desember 2016. Pamungkas, Arie Setyaningrum dan Octaviani, Gita. 2017. “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim:

Dari Representasi Daring ke Komunitas Luring”. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol.4 No 2: 65-87.DOI: https://doi.org/10.22146/jps.v4i2.28581

Salvatore, Armando and Eickelman, Dale. 2004. Public Islam and the Common Good. Leiden: Brill. Salvatore, Armando dan Levine, Mark. 2005. Religion, Social Practice and Contested Hegemonies:

Reconstructing Public Sphere in Muslim Majority Societies. NY: Palgrave McMillan

Van Bruinessen, Martin. 2002. “Genealogies of Islamic Radicalism in Post Suharto Indonesia”, Southeast Asian Research 10 (2)

(23)

31

‘Sejarah Singkat Majalah Suara Muhammadiyah http://www.fastabiqu.com/2016/01/majalah-suara-muhammadiyah-meneguhkan.html. Diakses 8 September 2016.

Rimanews di laman http://rimanews.com/nasional/hukum/read/20161109/307850/MUI-Perkuat-Fatwa-Penistaan-Agama-Ahok/ Diakses pada 1 Desember 2016.

Detiknews online di laman https://news.detik.com/berita/3496185/ahok-divonis-2-tahun-penjara Diakses pada 9 Mei 2017.

Kompas Online di laman

http://nasional.kompas.com/read/2016/11/02/14485661/sby.kalau.pendemo.diabaikan.sampai.lebaran. kuda.masih.ada.unjuk.rasa Diakses pada 14 November 2016.

Tribunnews http://www.tribunnews.com/metropolitan/2016/11/16/sindir-ucapan-sby-soal-lebaran-kuda-ahok-apa-itu-tidak-menghinaDiakses pada 20 November 2016.

Obsessionnews di laman http://obsessionnews.com/sikap-presidium-alumni-212-atas-pertemuan-gnpf-mui-dan-jokowi/ Diakses pada 30 Juni 2017.

Tempo online di laman https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/17/078892053/tujuh-alumni-aksi-212-mendeklarasikan-partai-syariah-visinya Diakses pada 18 Juli 2017.

Belajar Islam di laman https://belajarislam.com/ Diakses 5 Mei 2017.

Gambar

Gambar 02. Majalah Hikmah No 26 Tahun ke IX, 14 Juli 1956 dimana salah satu artikelnya mewacanakan anti komunisme dengan caption judul: Anti Stalin, Membukakan Kebobrokan Komunis (Sumber: Dokumentasi Pamungkas 2017)
Gambar 03. Majalah Amanah No 173, 22 Februari – 7 Maret 1993 - Cover dan Kolom Konsultasi Keluarga Berencana- (Sumber: Pamungkas, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Pada stadium awal regurgitasi aorta, kemampuan intrinstik ventrikel kiri untuk beradaptasi terhadap peningkatan beban dapat menghindari gangguan yang berarti

Namun CMV- satRNA juga tidak menunjukkan adanya reksi antagonis dengan TMV maupun PVY karena infeksi masing-masing virus tidak menghambat perkembangan virus lain yang diamati

Hal yang akan penulis kaji menyangkut potret diskriminasi di dalam realitas kehidupan sosial, peran agama dalam membangun budaya yang adil dan dinamis, serta

Teknik ini nantinya akan memberikan gambaran kondisi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan keuangan dan penghasilan keluarga, serta partisipasi

Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum peraturan perundang-undangan tertinggi di daerah, oleh karena itu dalam proses pembentukan peraturan daerah

A kaland mindig is az ifjúsági irodalom immanens alkotóeleme volt, aho- gyan Komáromi Gabriella mondja: „Az ifjúsági próza egyenesen kalandtár.” 4 A kortárs

Scott sebagai bentuk perlawanan yang dapat dilakukan secara ‘halus”, dengan verbal ataupun non verbal, tidak begitu dramatis dan tidak terlihat seperti

Pemberian biochar yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk NPK dapat meningkatkan kesuburan tanah terutama hara fosfat dan kalium melalui perbaikan sifat fisika