• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 teknik pengolahan hasil pengkuran.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "5 teknik pengolahan hasil pengkuran.pdf"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

110 A. Teknik Pemberian Skor

Pemberian Skor (Skoring) adalah proses pengubahan atau jawaban – jawaban soal

tes menjadi angka-angka yang pasti atau dengan kata lain pemberian skor merupakan

tindakan kuantifikasi terhadap jawaban-jawaban yang diberikan tester ke dalam suatu tes.

Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diubah menjadi nilai-nilai melalui proses-proses

tertentu. Cara pemberian skor pada hasil tes hasil belajar pada umumnya disesuaikan

dengan bentuk soal-soal yang dikeluarkan tester. Macam-macamnya adalah sebagai

berikut :

1. Pemberian skor pada tes uraian

Pemberian skor pada tes uraian mendasarkan diri kepada bobot (weight) yang diberikan

pada setiap soal, atas dasar tingkat kesukarannya, atau atas dasar banyak sedikitnya unsur

yang harus terdapat dalam jawaban. Misalnya pada sejumlah soal yang tingkat

kesukarannya dibuat sama dan unsur-unsur yang terdapat dalam soal jugadi buat sama

maka jawaban paling sempurna diberi skor 10, hampir sempurna 9, dan seterusnya.

2. Pemberian skor pada tes Obyektif

Pemberian skor pada tes obyektif ada yang memakai rumus correction for guessing/

sistem denda namun ada juga yang tidak menetapkan denda.

Tes obyektif terdiri dari beberapa jenis. Pemberian skor pada setiap jenis tes obyektif

berbeda-beda. Berikut penjelasan lebih rincinya.

a. Tes obyektif bentuk true-false.

Pemberian skor pada tes bentuk ini dapat menggunakan rumus yang

memperhitungkan denda dan rumus yang mengabaikan denda.

Rumus yang memperhitungkan denda adalah :

(2)

Contoh :

R = 15, W = 5, O =2

Sedangkan rumus yang mengabaikan denda adalah

S = R, dengan data di atas maka hasilnya adalah S = 15

Artinya skor yang diberikan kepada testee adalah sama dengan jumlah jawaban betulnya.

b. Tes obyektif bentuk matching, fill in, dan completion

Pada bentuk soal-soal di atas biasanya menggunakan rumus yang tidak

memperhitungkan denda. Sehingga rumusnya

S = R

c. Tes obyektif bentuk multiple choice

Pada tes bentuk ini bisa menggunakan rumus yang memperhitungkan denda yaitu

Dan rumus tanpa denda yaitu S = R, dimana

S : Skor yang dicari (hasil) R : Jawaban betul (right) W : Jawaban salah (wrong) O : Alternatif jawaban 1 : Bilangan konstan

Contoh :

R = 32, W = 8, O = 5 Maka hasilnya adalah :

(3)

Tes bentuk multiple choice terdiri dari berbagai model yang masing-masing memiliki

derajat kesukaran yang berbeda. Sehubungan dengan itu maka kedua rumus di atas

perlu di modifikasi menjadi sebagai berikut :

Rumus dengan denda :

S

Rumus tanpa denda :

S = R x Wt

Wt = bobot yang diberikan tester pada setiap soal.

Contoh :

Jika dihitung dengan sistem denda maka skornya adalah

(4)

Jika tanpa denda maka hasilnya akan menjadi

No Option(O) R W Wt Rumus(S=RxWt) hasil

1-10 5 8 2 1 8x1 8

11-20 5 6 4 1.5 6x1.5 9

21-30 5 4 6 1.5 4x1.5 6

31-40 5 7 3 2 7x2 14

41-50 5 3 7 4 3x4 12

Total 49

B. Konversi Skor

1. Perbedaan antara Skor dan Nilai

Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dengan

jalan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee telah dijaawab

betul dengan memperhatikan bobot jawaban betulnya.

Sedangkan nilai adalah angka (bisa juga huruf ) yang merupakan hasil ubahan skor

yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainya, serta disesuaikan pengaturannya

dengan standar tertentu. Pada dasarnya nilai melambangkan kemampuan yang telah

ditunjukan testee terhadap materi atau bahan yang diujikan.

2. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar.

Ada dua hal penting yang harus dipahami terlebih dahulu mengenai pengolahan dan

pengubahan skor hasil tes hasil belajar menjadi nilai, yaitu :

a. Dalam pengolahan dan pengubahan skor hasil tes hasil belajar ada dua cara yang dapat

(5)

1) Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar

dilakukan dengan mengacu atau mendasarkan pada kriterium atau patokan.

Cara ini sering dikenal dengan istilah criterion referenced evaluation (penilaian

ber-Acuan patokan). Penilaian ini juga sering disebut dengan penentuan nilai secara mutlak

(absolut) , karena pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan

membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu

testee, dengan skor maksimum ideal yang mungkin dapat diperoleh testee apabila dapat

menjawab semua soal tes dengan betul. Dengan demikian tinggi atau rendahnya nilai

yang diberikan kepada testee mutlak ditentukan oleh skor yang dapat dicapai oleh setiap

testee. Dalam penentuan nilai yang mengacu pada kriterium ini sebelum tes hasil belajar

dilaksanakan, penguji harus sudah mempunyai patokan (tanpa menunggu pelaksanaan tes

selesai). Rumus yang digunakan dalam penentuan nilai yang mengacu pada kriterium

adalah sebagai berikut :

Contoh :

No

urut

Model MCI Jumlah

item

bobot skor

1-10 melengkapi 5 pilihan 10 1 10

11-20 Asosiasi dengan 5 pilihan 10 1 10

21-30 Melengkapi berganda 10 2 20

31-40 Anlisis hubungan sebab

akibat

10 2 20

41-50 Analisis kasus 10 4 40

Skor maksimal ideal 100

Setelah di konversi hasilnya adalah :

siswa Skor mentah

(6)

1 60 60/100X100= 60

2 40 40/100X100= 40

3 80 80/100X100= 80

4 30 30/100X100= 30

5 75 75/100X100= 75

6 52 52/100X100= 52

7 59 59/100X100= 59

8 71 71/100X100= 71

9 41 41/100X100= 41

10 58 58/100X100= 58

Dari tabel di atas tampak sekali bahwa nilai seorang siswa mutlak ditentukan oleh

dirinya sendiri secara individual tanpa mempertimbangkan skor-skor yang dicapai oleh

siswa lainnya. Jelas sekali bahwa siswa yang mendapatkan nilai bagus hanya beberapa

orang. Jika nilai tersebut diterapkan dalam ujian nasional maka akan banyak siswa yang

tidak lulus.

Penentuan hasil tes seperti ini sangat cocok untuk digunakan atau diterapkan pada

tes-tes formatif, di mana tes-tester ingin mengetahui sampai sejauh mana peserta didik “telah terbentuk” setelah mengikuti progam pengajaran dalam jangka waktu tertentu. Maka guru atau dosen dapat melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu agar tujuan pengjaran

dapat berjalan lebih optimal.

Namun penilaian yang berdasarkan acuan kriterium ini sekiranya kurang cocok untuk

digunakan dalam penentuan nilai hasil tes sumatif seperti ulangan umum dalam rangka

mengisi rapot, atau ujian akhir. Sebab criterion referenced evaluasion ini dalam

penerapanya tidak mempertimbangkan kemampuan kelompok (rata-rata kelas). Sehingga

dikatakan “tidak manusiawi”. Apabila soal-soal yang diberikan kepada testee terlalu sukar maka sepintar-pintarnya testee nilai yang didapatkanya pasti rendah. Dan

sebaliknya apabila soal-soal yang diberikan terlalu mudah. Karena ini gambaran tentang

tingkat kemampuan testee terhadap materi tidak dapat diperoleh sesuai dengan kenyataan.

Oleh karena ini bila ingin menggunakan penilaian beracuan kriterium, hendaknya tes

hasil belajar tersebut sudah bersifat standar, dalam arti sudah tes hasil belajar tersebut

(7)

2) Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar

dengan mengacu pada norma atau kelompok.

Penilaian beracuan pada kelompok ini mendasarkan pada asumsi berikut :

a) Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen (berbeda jenis

kelamin, berbeda latarbelakang, berbeda I.Q, berbeda lingkungannya,dsb.) akan

selalu didapati kelompok “baik” , kelompok “sedang”, dan kelompok “kurang”.

b) Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari para

peserta tes dalam hal yang sedang dievaluisi itu, yaitu apakah seorang peserta tes

posisi relatifnya berada di “atas”, di “tengah” ataukah di ”bawah”.

Dalam penentuan hasil tes, skor mentah yang diperoleh testee dibandingkan dengan

skor mentah yang dicapai oleh peserta tes yang lain, atau skor siswa dibandingkan dengan

rata-rata kelas. Sehingga kualitas yang dimiliki oleh seorang peserta akan sangat

tergantung pada kualitas kelompoknya. Dengan ini akan dapat terjadi testee yang pada

kelompok 1 tergolong “hebat” kualitasnya, jika dimasukan ke kelompok 2 ternyata kualitasnya hanya termasuk dalam kelompok “sedang”. Jadi kedudukan testee dimaksud di atas adalah bersifat relatif.

Penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif ini cocok untuk diterapkan pada

tes-tes sumatif seperti ulangan harian, ujian akhir semester, EBTANAS atau yang

sederajat dengan itu. Karena dipandang lebih adil, wajar dan manusiawi.

Bila menggunakan penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif maka

prestasi kelompok itu di hitung dengan menggunakan metode statistik, dimana prestasi

kelompok identik dengan rata-rata hitung, rumusnya adalah :

: atau

∑ : atau

{∑ }

Dalam penilaian beracuan kolompok ini juga dipertimbangkan variasi atau

(8)

itu perlu diperhitungkan dengan tujuan untuk mengetahui tingkan homogenitas dan

tingkat heterogenitas dari nilai-nilai hasil tes tersebut. Untuk mengetahui tingkat

homogenitas dan tingkat heterogenitas data itu dapat ditunjukan oleh salah satu ukuran

varibilitas data yang dipandang memiliki kadar ketelitian yang tinggi, yaitu deviasi

standar. Yang dapat diperoleh dengan rumus ;

√∑ atau √∑ atau

√∑ {∑ } atau √∑ {∑ }

Setelah diperoleh besarnya rata-rata hitung dan besarnya deviasi standar, dari

skor-skor hasil tes bersangkutan, selanjutnya skor-skor-skor-skor mentah hasil tes tersebut dikonversi

atau diubah menjadi nilai standar.

b. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai

macam skala,diantaranya :

1) Skala lima (stanfive)

Nilai standar berslaka lima atau yang sering dikenal dengan istilah huruf A, B, C, D dan

E. Pengubahan skor mentah menjadi nilai berskala 5 atau huruf, menggunakan patokan

sebagai berikut :

E

(9)

C

D B

E  A

M-1,55D M-0,55D M M+0,55D M+1,55D

Langkah-langkah yang ditempuh untuk mengubah skor mentah menjadi nilai berskala

lima.

a) menyajikan skor-skor mentah hasil ujian kedalam bentuk tabel distribusi

frekuensi.

b) mencari nilai rata-rata hitung yang melambangkan prestasi kelompok, dan

mencari deviasi standar yang menyajikan variasi dari skor-skor mentah hasil

ujian.

c) mengubah skor mentah menjadi nilai berskala lima, dengan menggaunakan

patokan diatas.

d) mengkonversi skor-skor mentah yang dimiliki masing-masing individu testee

menjadi nilai berstandar lima.

Contoh : hasil tes ujian tengah semester 80 siswa.

skor f X x’ fx’ fx’2

70-74 1 72 +6 6 36

65-69 1 67 +5 5 25

60-64 3 62 +4 12 48

55-59 5 57 +3 15 45

50-54 9 52 +2 18 36

45-49 15 47 +1 15 15

40-44 18 42(M’) 0 0 0

35-39 13 37 -1 -13 13

30-34 8 32 -2 -16 32

25-29 4 27 -3 -12 36

20-24 2 22 -4 -8 32

15-19 1 17 -5 -5 25

(10)

Dari data di atas selanjutnya di hitung dengan langkah-langkah yang telah disebutkan sebelumnya :

Mx= M’ + i {∑ } = 42 + 5 { }= 42 + 1.0625 = 43. 0625

SDx= i √∑ {∑ } = 5 √ { }

= 5 √

= 5 √

= 5 X 2. 0596950625 = 10. 29847531= 10.298

Selanjutnya mengubah skor mentah menjadi standar skala lima

( ( ( ( ( ( ( (

Selanjutnya adalah membuat tabel konversi.

Skor Mentah Nilai Huruf 59 ke atas A

49 - 58 B

38 - 48 C

28 - 37 D

27 ke bawah E

Dari tabel di atas diketahui bahwa siswa yang mendapatkan nilai 59 ke atas berhak

mendapatkan nilai A, jadi dengan cara seperti itu siswa yang mendapat nilai jelek

sekalipun nilainya bisa terangkat jika rata-rata kelasnya memang tergolong rendah.

(11)

Nilai standar berskala sembilan dimana rentang nilainya mulai dari 1 sampai

dengan 9 (tidak ada nilai 0 dan nilai 10). Pengubahan skor mentah menjadi nilai

berstandar sembilan menggunakan patokan sebagai berikut :

Dalam bentuk kurva simetrik adalah :

3) Skala Sebelas (standard eleven / stanel/ eleven points standard)

Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai 10.

Jadi akan ada 11 butir nilai standar, yaitu nilai 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,dan 10. Nilai standar

berskala 11 ini biasanya digunakan pada lembaga pendidikan tingkat dasar dan

menengah. Patokan yang dipakai pada pengubahan skor menjadi stanel adalah

(12)

Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengubahan skor menjadi stanel adalah

sebagai berikut :

a. Mencari (menghitung) nilai rata-rata hitung yang mencerminkan prestasi kelompok

dan mencari deviasi standar yang mencerminkan variasi dari skor-skor mentah yang

dicapai siswa.

b. Mengkonversi skor mentah menjadi nilai standar berskala sebelas.

c. Membuat tabel konversi

d. Melakukan konversi skor mentah menjadi nilai standar berskala sebelas.

Contoh praktisnya sama dengan pengkonversian dengan skala lima. Perbedaannya

hanya terletak pada saat mengkonversi skor mentah patokannya menggunakan

patokan di atas sehingga nilai akhir yang di dapatkan berupa angka.

4) Nilai standar z (z score)

Nilai standar z umumnya dipergunakan untuk mengubah skor-skor mentah yang

diperoleh dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda-beda. Misalkan pada tes

penerimaan mahasiswa baru testee dihadapkan pada lima jenis tes, yaitu tes bahasa

Inggris (X1), tes IQ (X2), tes kepribadian (X3), tes sikap (X4),dan tes kesehatan jasmani

(X5).

Skor mentah yang diperoleh dari 5 jenis tes cara pengukuran dan penilaian yang

berbeda itu adalah sangat bervariasi.untuk menentukan 10 orang testee yang dipandang

lebih unggul diperlukan adanya skor atau nilai yang bersifat baku di mana dengan nilai

(13)

dimana z = z score

x = deviasi skor x yaitu selisih antara skor X dengan

Mx

SDx = deviasi standar dariskor-skor X

Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengkonversi skor mentah menjadi nilai

standar z diantaranya :

a. Menjumlahkan skor-skor variabel X1,X2,X3,X4, dan X5

b. Mencari skor rata-rata hitung (mean) dari variabel X1 sampai X5 dengan rumus :

∑ ; ∑ ; dst.

c. Mencari deviasi X1, X2, X3, X4, X5 dengan rumus :

x1 = X1– Mx1 ; dst.

d. Mengudratkan deviasi x1, x2, x3, x4, x5 kemudian dijumlahkan.

e. Mencari deviasi standar untuk kelima variabel tersebut dengan rumus: √∑

dst.

f. Mencari z score, dengan rumus

dst.

kemudian dijumlahkan dari atas ke bawah sehingga diperoleh

∑ ∑ ∑ ∑ ∑

g. Z score yang dimiliki oleh masing-masing testee dijumlahkan dari kiri ke kanan, dan

dari sini akan terlihat testee yang mendapatkan total z score positif dan z score

negatif.

Contoh :

testee Skor Mentah (X) Deviasi (x)

X1 X2 X3 X4 X5 x1 x2 x3 x4 x5

A 72 114 48 172 221 2 3 -2 1 -4

B 65 105 51 163 205 -5 -6 1 -8 -10

C 75 115 44 169 224 6 4 -6 -2 9

(14)

E 71 101 55 181 207 1 -10 5 10 -8

Dari tabel di atas yang urutan nilainya dimulai dari yang bernilai positif tertinggi kemudian

dibawahnya dst. Jika dalam tes tersebut hanya ingin meluluskan satu orang saja maka yang

di ambil adalah yang memiliki nilai positif tertinggi.

(15)

T score adalah angka skala yang menggunakan mean sebesar 50 dan deviasi standar

sebesar 10. T score diperoleh dengan rumus :

T score dicari dengan maksud untuk meniadakan tanda minus yang terdapat di depan

nilai standar z, sehingga akan lebih mudah dipahami

C. Pengukuran Acuan Terpadu (PAT)

Dalam kurikulum, pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang berorientasi

pada kompetensi sudah menjadi kewajaran jika sistem penilaian dan evaluasinya

menggunakan Pengukuran Acuan Terpadu (PAT). Namun demikian, pada ilmu-ilmu

terapan akan kurang mengenai sasaran jika sistem penilaian tersebut hanya mengukur

pada ranah kognitif atau psikomotor saja tanpa memperhatikan tanggung jawab, disiplin

dan sikap terhadap pekerjaan yang merupakan ranah afektif. Contoh, ketika seseorang

yang bekerja sebagai teknisi di suatu proyek teknik sipil yang memerlukan tanggung

jawab dan disiplin dalam menempatkan alat-alat serta sistematis dalam bekerja yang

cermat, orang tersebut akan mengalami kendala ketika tidak dibelajarkan tentang

tanggung jawab tentang alat-alat yang seharusnya disusun kembali setelah bekerja.

Begitu pula ketika seeorang yang bekerja sebagai perawat kesehatan, walaupun skill dan

kognitifnya baik, tanpa dibarengi dengan pola komunikasi yang jelas, tegas serta santun,

maka perawat tersebut akan mengalami kendala komunikasi seperti yang banyak terjadi

dewasa ini di Indonesia.

Menurut Klotz dan Winther (2012) Untuk memenuhi harapan dalam

meningkatkan kompetensi diperlukan setidaknya, dua kondisi utama yang harus

dipenuhi. Pertama, kita membutuhkan model (struktur) kompetensi secara empiris

dikonfirmasi kebenarannya yang mencakup operasionalisasi konseptual kompetensi

tetapi juga mengungkapkan struktur teoritis baik mendalilkan bahwa menangkap struktur

empiris mereka . Dalam konteks ini , pendidikan wajib mungkin mengacu pada

kurikulum umum dari kompetensi dasar. Kedua , yang lain kondisi yang diperlukan

berkaitan dengan keandalan hasil tes , yaitu, kepastian yang kita dapat

(16)

kondisi ini menimbulkan risiko serius , karena orang dapat dengan mudah kesalahan

klasifikasi berdasarkan hasil tes mereka , dan kesalahan klasifikasi tersebut dapat

memiliki konsekuensi berat bagi kemajuan profesional masa depan mereka.

Keterpaduan pengukuran acuan dalam ruang lingkup evaluasi pembelajaran yang

mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor ini sudah semakin mendesak untuk

dilakukan. Oleh karena itu, penting kiranya menformulasikan hal tersebut menjadi sebuah

sistem yang terpadu melalui pembobotan yang adil dari masing-masing ranah. Dasar

empiris lapangan hendaknya menjadi pertimbangan yang semestinya dapat dijadikan

patokan serta acuan dalam merumuskan formulasi yang tepat. Keadaan lapangan tidak

selalu sama dengan kondisi laboratorium atau tempat praktikum di kelas, oleh karena itu,

diperlukan konfirmasi yang jelas antara keterampilan (skill) dengan pengetahuan serta

sikap yang semestinya dilakukan dalam keadaan umum.

Selain menformulasikan berdasarkan kebutuhan empirik di lapangan, kompetensi

dasar juga memiliki peranan dalam penyusunan formulasi ini. Oleh sebab itu, kurikulum

selayaknya menjadi patokan atau acuan berikutnya di dalam mempertimbangkan

pengukurannya. Tes yang dibuat pengajar selayaknya memperhatikan aspek kognitif

afektif dan psikomotor secara berkesinambungan dengan memperhatikan keterpaduan

masing – masing aspek.

1. Formulasi

a. Teknologi dan Rekayasa (K: 30% A: 30% Ps: 40%)

Kompetensi pada bidang teknologi dan rekayasa secara empiris dikonfirmasi

kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur

teoritis kepada struktur empiris lapangan. Dalam konteks ini, pendidikan wajib

mengacu pada keterampilan (psikomotorik) lapangan berdasarkan daya

kreatifitas (C6) dari kompetensi dasar dibandingkan dengan teoritik yang bersifat

kognitif (C1 – C5). Selain itu, kedisplinan dalam waktu, langkah – langkah

pengerjaan serta kesantunan penggunaan alat menjadi penting dikarenakan ada

hal yang terkait erat dengan pekerjaan selanjutnya. Namun demikian, ranah yang

(17)

siswa itu sendiri. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar kiranya jika kongitif

mempunyai porsi 30%, afektif 30% dan psikomotorik 40% dalam pengukuran

keseluruhan dalam bidang kejuruan teknologi dan rekayasa yang meliputi

keteknikan (mesin, sipil, elekro dan teknologi komunikasi) serta kejuruan (tata

rias, boga serta busana).

b. Ilmu – ilmu Kesehatan (K: 30% A: 30% Ps: 40%)

Kompetensi pada bidang kesehatan secara empiris dikonfirmasi kebenarannya

yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur teoritis kepada

struktur empiris lapangan. Dalam konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada

keterampilan (psikomotorik) lapangan berdasarkan daya analisis, evaluasi dan

kreatifitas (C4 - C6) dari kompetensi dasar dibandingkan dengan teoritik yang

bersifat kognitif (C1 – C3). Selain itu, kedisplinan dalam waktu, langkah –

langkah pengerjaan serta kesantunan penggunaan alat menjadi penting

dikarenakan ada hal yang terkait erat dengan pekerjaan selanjutnya. Namun

demikian, ranah yang bersifat afektif tersebut sangat bertalian dengan kebiasaan

dan keterampilan dari siswa itu sendiri. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar

kiranya jika kongitif mempunyai porsi 30%, afektif 30% dan psikomotorik 40%

dalam pengukuran keseluruhan dalam bidang kejuruan dalam ilmu – ilmu

kesehatan ini yang mencakup keperawatan, analis kimia serta kefarmasian.

c. Bisnis dan Manajemen (K: 30% A: 40% Ps: 30%)

Kompetensi pada bidang bisnis dan manajemen secara empiris dikonfirmasi

kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur

teoritis kepada struktur empiris lapangan yang bersifat perilaku serta pelayanan

prima. Dalam konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada sikap dan perilaku

sebagai penyedia jasa di dalam ruang lingkup kegiatan bisnis dan ekonomi

(afektif) di lapangan berdasarkan daya analisis, evaluasi dan kreatifitas (C4 - C6)

dalam memahami kebutuhan pelanggan. Berdasarkan kompetensi dasar

dibandingkan dengan teoritik yang bersifat kognitif (C1 – C3). Selain itu,

keterampilan dari siswa itu sendiri memiliki porsi yang kurang lebih sama

(18)

kondisi lapangan pekerjaan yang lebih menuntut kepada sikap dan perilaku

ketimbang keterampilan dalam melaksanakan tugas. Berdasarkan hal – tersebut

di atas wajar kiranya jika kongitif mempunyai porsi 30%, afektif 40% dan

psikomotorik 30% dalam pengukuran keseluruhan dalam bidang kejuruan bisnis

dan manajemen yang meliputi administrasi perkantoran, bisnis serta pemasaran.

d. Kepariwisataan (K: 40% A: 40% Ps: 20%)

Kompetensi pada bidang kepariwisataan secara empiris dikonfirmasi

kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur

teoritis kepada struktur empiris lapangan yang bersifat sikap perilaku dalam

memberikan pelayanan prima bagi setiap pengguna jasa pariwisata. Dalam

konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada pengetahuan (kognitif) yang kuat

sehingga dapat memberikan informasi yang akurat di lapangan yang kemudian

disampaikan dengan kesantunan dari pola sikap dan tingkah laku dari kompetensi

dasar yang dikuasainya. Selain itu, dalam hal keterampilan tidaklah mempunyai

porsi yang banyak. Hal tersebut didasarkan pada orientasi pariwisata yang

cenderung kepada pelayanan serta kepuasan pengguna jasa bukan pada produk

material kongkrit. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar kiranya jika kongitif

mempunyai porsi 40%, afektif 40% dan psikomotorik 20% dalam pengukuran

keseluruhan dalam bidang kepariwisataan yang meliputi perhotelan, jasa travel

dan pemandu wisata

2. Penerapan dalam pembelajaran

Dalam implementasi di lapangan, perlu dipahami bahwasanya keseluruhan instrumen

hendaknya dibuat sebaik mungkin dan menyeluruh guna mengakomodir kebutuhan

kompetensi yang selayaknya dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu masing – masing

instrumen yang mengukur kognitif, afektif maupun psikomotor hendaknya dipisah

sesuai kebutuhan dan dibuat sefektif mungkin sehingga tidak memerlukan waktu

yang panjang dalam penerapannya. Misalnya dalam mengukur ranah kognitif dapat

dibuat tes, untuk mengukur afektif dibuat lembar observasi atau skala, untuk

mengukur psikomotor dibuat tes yang dapat mengukur kinerja seperti Lembar Kerja

(19)

Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan di atas, formulasi tersebut pada dasarnya

tidaklah mutlak demikian. Lebih dari itu, hendaknya pendidikan dalam menentukan

formulasi memperhatikan aspek – aspek lapangan yang lebih dinamis. Namun

demikian secara garis besar keterpaduan antara ketiga ranah tersebut, pada

kenyataanya mutlak diperlukan oleh seorang lulusan yang memiliki keahlian dalam

Referensi

Dokumen terkait

Secara kualitatif juga dapat dijelaskan, mengapa suami yang di teliti dalam penelitan ini, karena hal ini sesuai dengan teori Proverawati (2010) yang menyatakan bahwa

digunakan dengan sangat efisien dalam sebagian kecil penulisan Keterampilan penulisan: Tulisan hasil pengamatan dibuat dengan benar, sistematis dan jelas, yang

Menyatakan bahwa Penelitian yang berjudul: “Motivasi Pasien Diabetes Mellitus dalam Melakukan Perawatan Kaki di Ruang Mawar RSUD Dr. Hardjono Ponorogo” adalah

ya disini saya akan berbagi cara membuat atau membagi partisi kosong atau baru untuk menyimpan file-file anda dengan format NTFS atau FAT32 ,membuat partisi kosong ataupun

Analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi pengaruh dari variabel bebas yaitu strategi pengembangan produk kecap Bango rasa manis pedas gurih yang berupa

Beberapa terusan penelitian yang dapat dilaksanakan yaitu menguji eksperimen pengaruh handout materi yang dikembangkan terhadap variabel tertentu misalnya hasil

Salah satu aspek penting adalah munculnya berbagai macam praktik baik (good practice) dan inovasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berperan

Pemberian limbah dari pembuatan tepung ubi jalar ungu dari taraf 2,5% sampai 10% dapat meningkatkan konsumsi ransum dan tidak berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan ransum