• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiko menjadi Lembaga Pencetak Guru di (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Resiko menjadi Lembaga Pencetak Guru di (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Resiko (menjadi) Lembaga Pencetak Guru di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (Menyorot LPTK di Lembaga Pendidikan Islam dalam Kancah Transformasi Global)

Oleh: Serli Mahrus

Membicarakan pendidikan di Indonesia seakan menyelami samudera luas, ia berlangsung

kompleks dengan berbagai dinamikanya, begitupun mendiskusikan lembaga pendidikan, sejak

sekolah anak usia dini hingga perguruan tinggi tidak bisa terlepas dari komponen yang ada dalam

sistem pendidikan itu sendiri, dasar dan tujuan, administrasi, pengorganisasian, kurikulum,

sarana prasarana, biaya, masyarakat, siswa, serta guru.

Satu di antara isu utama dunia pendidikan saat ini adalah citra pendidikan Islam,

mengharapkan keunggulan atau kualitas masih sangat jauh ketinggalan, terlebih ketika

dihadapkan pada realitas pendidikan di daerah saat ini, kita sangat sulit menemukan sekolah

Islam yang bonafid dan memiliki kualitas yang bagus. Para orang tua muslim harus

menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Kristen/Katolik untuk mendapatkan pendidikan

yang berkualitas, pernyataan yang mengemuka adalah“Sulit mencari sekolah islami yang baik, sama sulitnya dengan mencari sekolah Katolik yang buruk”. Terdapat stigma, seperti yang dijelaskan Baharuddin et.al (2012) bahwa pendidikan Islam berada pada second class sebab

pendidikan Islam tidak mampu memenuhi kebutuhan pelanggan apalagi untuk memenuhi

tuntutan zaman yang terus menerus berubah (transformating).

Memasuki tahun 1990-an dan seterusnya, Pendidikan Islam kini, seiring berhembusnya

keran kebebasan di zaman reformasi, lembaga pendidikan Islami bonafid mulai berjamuran dan

menjadi pilihan utama keluarga muslim Indonesia. Sekolah-sekolah ini bisa menyaingi

hegemoni sekolah Kristen/Katolik dalam torehan prestasi baik level regional maupun

internasional. Sekedar mengambil contoh kita memiliki Jaringan Sekolah Al-Azhar dan MAN

Insan Cendikia, Sekolah Islam Terpadu dan beberapa sekolah bonafid yang telah bermain dalam

level nasional. Belum lagi sekolah-sekolah Islam bonafid di daerah yang menjadi pilihan utama

para orang tua di daerah dan mampu menjadi terdepan dalam torehan prestasi. Meski

perimbangan sekolah bermutu dan sekolah tertinggal masih belum menunjukkan hasil seperti

yang diharapkan, masih banyak PR yang mesti diselesaikan, namun perbincangan upaya

meningkatkan kualitas pendidikan Islam dari waktu ke waktu tetap harus dilakukan, terutama

pada masalah komponen pendidikan yang menjadi indikator mutu lembaga pendidikan.

Komponen pendidikan di atas jika mengalami persoalan, akan berdampak pada

rendahnya mutu pendidikan, satu di antara variabel yang esensial dan patut diperhatikan adalah

(2)

antaranya Muhaimin (2006) menyimpulkan bahwa profesionalitas guru di Indonesia masih

tergolong rendah baik dari aspek input, distribusi, mutu akademik, aktivitas ilmiah maupun

kelayakan atau penguasaan di bidangnya. Berdasarkan kenyataan di atas, asumsi awal yang bisa

dijadikan hipotesa adalah jika mutu guru rendah, maka indikator awal kegagalannya adalah pada

saat prosesnya menjadi guru, yaitu di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang

menelorkannya. Faktor mana yang paling dominan menjadi penyebab di antara input, proses dan

mutu akademik guru, menurut penulis harus dikaji lebih lanjut.

Pada konteks Pendidikan Islam, lembaga pencetak guru (LPTK) dipercayakan pada

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK), terdapat keunikan-keunikan tersendiri bila ditelisik

lebih jauh, terutama pada fase reformasi kebijakan politik pendidikan Pemerintahan Indonesia,

yang ditandai dengan diluncurkannya UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Isu fenomenal yang mengemuka adalah perihal sertifikasi yang menuntut kualifikasi dan

kompetensi guru dan dosen, yang berimbas pada tunjangan yang menjadi hak bagi peningkatan

kesejahteraan dan diharapkan berimplikasi positif pada peningkatan mutu Pendidikan Islam.

Kualifikasi bagi guru yang layak sebagai prasyarat memperoleh tunjangan sertifikasi

adalah harus berpredikat Sarjana dan lulus sertifikasi (apakah melalui kelengkapan Portofolio

atau mengikut Pendidikan dan Latihan/PLPG, sekarang muncul alternatif PPGJ dan PPG), para

guru yang sebelumnya berkualifikasi PGA atau Diploma pun diberikan kesempatan mulai tahun

2007 untuk meningkatkan kualifikasi. Fenomena umum yang muncul adalah Fakultas Tarbiyah

menjadi fakultas primadona, di banyak perguruan tinggi, pihak universitas hampir kewalahan

melihat perimbangan input mahasiswa yang masuk ke Fakultas Tarbiyah dan Keguruan ini

dibandingkan dengan fakultas-fakultas lainnya.

Kompetensi yang dituntut meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan

profesional. Berdasarkan landasan yuridis dan pendapat di atas, istilah profesional mengandung

makna yang lebih luas dari sekedar menunjuk orang yang memiliki kemampuan teknis. Seorang

pendidik yang memiliki kualitas mengajar yang tinggi misalnya, belum serta merta

menjadikannya sebagai pendidik profesional. Secara sederhana dapat dipahami bahwa guru

profesional itu adalah guru yang memenuhi kriteria memiliki kualifikasi akademik, memiliki

kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani dan memiliki kemampuan

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada pembahasan ini, seringkali masih ditemukan

(3)

Menurut pengamatan penulis di sejumlah tempat, seperti juga yang disimpulkan Pusat

Penelitian Kebijakan Badan Diklat Kemendikbud menghasilkan bahwa sertifikasi guru terkesan

belum cukup mampu menjadi pintu masuk peningkatan mutu pendidikan, kecuali baru berfungsi

sebagai kertas berharga pemberian pengakuan untuk memperoleh tunjangan dan meningkatkan

taraf hidup guru, fenomena belum mengarah pada kemampuan untuk meningkatkan kinerja,

kompetensi dan profesionalisme guru. Bahkan terdapat kecenderungan kembali bergelut dengan

pola kerja lama yang cenderung pasif, searah, monoton, kurang kreatif, dan lain sejenisnya.

Sertifikasi sebagai pengakuan telah menguasai kompetensi dan kemampuan mengajar yang

diharapkan, tidak berbanding lurus dengan kinerja pembelajaran yang diwujudkan.

Berdasarkan gejala-gejala yang muncul dalam persoalan pendidikan di atas, maka

diperlukan kajian lebih lanjut, sejauh mana keterlibatan LPTK termasuk di dalamnya FTK

(Fakultas Tarbiyah dan Keguruan) di bawah PTAI dalam meluluskan calon guru professional

dan apa yang menjadi masalah dan resiko yang dihadapi terutama dalam kancah global.

Menyorot Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK-PTAI)

Tujuan utama Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah menyediaan tenaga

pendidik dan tenaga kependidikan yang handal, seperti diuraikan oleh Aceng Muhtaram (1998)

Institusi yang menyelenggarakan PTK harus terus dibangun agar mampu menghadapi dan

menyelesaikan setiap permasalahan dengan baik. Bersamaan dengan itu mobilitas yang tinggi

harus dimiliki oleh LPTK. Dengan demikian LPTK pun dapat memberi tekanan balik terhadap

tantangan dan ancaman dari berbagai pihak. Artinya organisasi PTK harus dibangun agar

memiliki ketahanan yang tangguh.

Pada konteks Pendidikan Islam, pada prinsipnya PTAI sebagai lembaga pendidikan

tinggi, secara legal-formal eksistensinya tidak berbeda dengan PTU lainnya, karena itu, sebagai

bagian dari sub-Sistem Pendidikan Nasional, PTAI juga terikat dengan komitmen mengemban

misi utama perguruan tinggi, yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam rangka memegang

kuat komitmen itulah, PTAI mewarnainya dengan citra diri yang menonjolkan kehidupan jiwa

agama (keislaman).

Terkait dengan jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas

mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari

segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Di lingkungan Kementerian Agama ada 52 buah

perguruan tinggi berstatus negeri, sedangkan yang berstatus swasta melebihi 600 buah.

(4)

tetapi tidak kurang dari 3000 PTS yang ada di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan

partisipasi yang besar dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan sangat tinggi.

bayangkan saja, di Kota Malang tidak kurang dari 40 Perguruan Tinggi swasta dengan berbagai

variannya, perguruan tinggi bahkan berdiri di tingkat kecamatan. Sepertinya fenomena seperti

ini hanya ada di Indonesia.

Namun demikian perlu dipertanyakan sejauh manakah kondisi dari sebagian PTAI

tersebut. Menakar kualitas PTAI dibanding dengan PTU? Apakah sudah benar-benar menjadi

Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar menjadi lembaga “pencetak” ijazah, lalu apa bedanya

dengan kantor kecamatan atau Samsat yang bisa menerbitkan banyak KTP atau STNK.

Perguruan tinggi yang dikhawatirkan tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan

daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat atau seberapa kompeten dalam memenuhi

tugas-tugas keprofesiannya tentu akan banyak menanggung resiko.

Seperti yang diprediksi para ahli, di antaranya Aviliani (2014) , yang melihat Indonesia

akan kebanjiran pengangguran perguruan tinggi pada tahun 2020 dengan sebutan pengangguran

intelek. Seiring dengan terbukanya akses global yang diawali dengan MEA (masyarakat

ekonomi Asean), justeru masyarakat akan terpinggirkan dengan pekerja negara lain yang datang.

Partisipasi masyarakat yang tinggi terhadap pendidikan tentu membaikkan bangsa,

selain membantu pemerintah mencerdaskan anak bangsa juga menyerap tenaga kerja. Pada

aspek lain, maraknya pendirian perguruan tinggi menambah daftar persoalan bangsa ini, satu di

antarnya adalah menjadi terbatasnya pengawasan atau kontrol mutu dari pemerintah ditambah

penyelenggara secara internal kurang memahami bagaimana penyelenggaraan pendidikan yang

berkualitas. Tiap perguruan tinggi dengan kompetisi yang ketat berpikir keras agar kuota input

mahasiswa terpenuhi dengan berbagai cara dan bukan tidak sedikit yang kalah tidak

mendapatkan kuota mahasiswa yang memadai. Praktik kelas jauh atau pertemuan akhir pekan

yang tidak representatif cenderung ditawarkan, agar kuota kelas terpenuhi.

Lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga strategis, yang mampu mengantarkan

kesuksesan seseorang pada kebahagiaan hidup, dengan memiliki ijazah seseorang memiliki

pekerjaan dan status sosial, seperti agama yang mengantarkan orang ke syurga, begitupun

sekolah dengan ijazah mengantarkan orang pada kesuksesan, dalam hal ini, Ivan Illich

(1926-2002) menyebut sekolah sebagai “agama baru”. Jika penyelenggaraan pendidikan sudah kian

pragmatis, standar mutu bakal ditawar rendah, tidak sedikit yang memanfaatkan kondisi

perguruan tinggi yang sedang memerlukan pertolongan ini, sehingga melakukan tawar menawar

(5)

Lembaga penyelenggara pendidikan yang kurang memperhatikan mutu akan

berdampak luas, pada konteks Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, jika mahasiswa yang dicetak

lulus sarjana tanpa melalui proses mutu, dapat dibayangkan jika ijazah yang diperolehnya dapat

memposisikannya menjadi guru, bermulalah persoalan mutu selanjutnya, standar penguasaan

ilmu yang dimiliki, keterampilan mengajar yang dikuasai, menghasilkan pendidikan yang tidak

bermutu. Terjadilah warisan pendidikan tanpa mutu pada peserta didik, hal ini terus berlanjut,

seperti lingkaran syetan yang terus berputar. Siswa yang lulus di jenjang SLTA/MA yang tidak

bermutu tidak akan diterima di PT bermutu, ia juga hanya akan diterima oleh PT yang kurang

mampu bersaing.

Raw input yang kurang bermutu akan mempengaruhi proses dan output, apatah lagi

pihak lembaga tidak mampu menjamin keberhasilan proses yang diselenggarakan. Seperti

dijelaskan Haidar dalam bukunya Peluang dan Tantangn PTAI, bahwa lulusan SLTA

(SMA/SMK/MA) sesungguhnya tidak benar-benar pernah dipersiapkan secara akademik

(tinjauan kurikulum) maupun mental untuk memasuki PTAI, maka secara kuantitatif tidak

mustahil seandainya mereka memasuki PTAI setelah lulus ujian masuk, atau bahkan mereka

memasuki PTAI hanya sebagai pelampiasan terakhir karena tidak diterima di PTU favorit.

Berarti PTAI hanya sebagai alternatif terakhir saja.

Jadi, orientasi Pendidikan Tinggi itu sendiri yang dalam hal ini adalah PTAI harus

mampu menyiapkan peserta didik menjadi cakap akademiknya dan juga profesional secara

praktisnya.

Dalam penilaian masyarakat yang majemuk ini, out-put FTK PTAI dihadapkan pada

penilaian yang masih dipandang sebelah mata, disebut profesional tidak sampai, disebut ulama

juga belum jadi. Hal ini didasari oleh beberapa fenomena yang penulis sarikan dari beberapa

data di antaranya poin yang ditulis Fathurrahman (2012) diantaranya: Pertama, mahasiswa dan

lulusan FTK-PTAI umumnya tidak memiliki kompetensi profesionalitas / pengetahuan yang

memadai atau kalau tidak disebut sangat lemah dalam penguasaannya terhadap teks-teks klasik

(kitab kuning), dibandingkan mereka yang berlatar belakang pesantren. Padahal literatur pokok

yang harus dipelajari di PTAI bersumberkan pada teks klasik itu sendiri. Ladang utama lulusan

FTK PTAI adalah madrasah yang rumpun mata pelajaran khususnya PAI mengarah pada SKI,

Akidah Akhlak, Al-Quran Hadis, dan Fikih. Apakah dapat dijamin kompetensinya dalam

menguasai bidang-bidang tersebut, sering kali masih ditemukan mahasiswa atau lulusan PTAI

(6)

Oleh karena itu, sebagai tempat penggemblengan dan pembinaan calon intelektual

muslim, FTK-PTAI harus mampu memberikan kemampuan berbahasa Arab secara memadai,

mendalami mazhab dan ilmu al-quran hadis secara mumpuni, sehingga memungkinkan

mahasiswa dan lulusannya dapat mengkaji kitab-kitab klasik, piawai dalam melantunkan ayat

dan hadis serta tafsirnya, dialogis menerangkan akidah akhlak serta dinamika corak

keberagamaan masyarakat kepada peserta didiknya secara kritis analitis dan rasional. Jadi

walaupun di FTK-PTAI tidak hanya melahirkan calon guru PAI, namun juga guru-guru umum

lainnya, tapi nilai lebih yang mesti dimiliki oleh lulusan PTAI adalah cira khas keagamaannya

yang dapat diandalkan.

Kedua, tidak sedikit jumlah alumni FTK-PTAI yang dianggap tidak kompeten di bidang

paedagogis, sehingga kurang trampil melaksanakan fungsi pelayanan terhadap peserta didik,

terutama dalam menguasai pendekatan dan strategi dalam mengajar. Sehingga pelajaran didekati

dengan model yang membosankan dan tidak mencerahkan.

Ketiga, kurangnya kompetensi sosial kemasyarakatan, jika ditinjau secara lebih luas,

maka lingkungan pendidikan itu meliputi sekolah, masyarakat dan rumah tangga, maka seorang

sosok pendidik tidak semata handal di sekolah, namun juga mampu dalam memimpin berbagai

acara ritual keagamaan. Di sisi lain, mahasiswa dan alumni PTAI umumnya cenderung berfikir

normatif, kurang mampu memahami konteks dan substansi empiris.

Implikasi lebih jauh adalah lahirnya sikap dan cara pandang mahasiswa terhadap agama

dalam kaitannya dengan tantangan modernisasi cenderung sempit, atau bersifat

legalistik-formalistik. Lebih lanjut, sisi minus lain dari PTAI adalah kelemahannya di dalam

mengembangkan pengetahuan baru. Kondisi ini sangat kontras dengan situasi dunia saat ini,

dengan menggejalanya ledakan ilmu pengetahuan (explosion of knowledge). Fakta menunjukkan

bahwa dominasi kebudayaan Barat atau Jepang atas budaya-budaya lain di dunia ini, pada

dasarnya disebabkan oleh kemampuan bangsa tersebut mengembangkan pengetahuan baru.

Dilihat dari sudut ini, jelas bahwa pola pendidikan PTAI yang hanya menekankan

kemampuan untuk memahami serta mengulang-ulang pengetahuan yang sudah ada dan

mengabaikan kemampuan untuk mengembangkan diri bagi pengetahuan baru, pada akhirnya

akan membuat alumni PTAI menjadi pihak-pihak yang dirugikan dalam interaksinya dengan

pihak lain. Untuk itulah diperlukan kerja sama interdisipliner pada setiap cabang ilmu

pengetahuan, tak terkecuali ilmu agama. Reformasi pendidikan Islam telah dimulai pada

penghujung abad 19 dan awal abad 20. Salah satu diantaranya yang paling mendasar adalah

(7)

Sebuah Tawaran untuk FTK Menuju Lembaga Pendidikan Islam Bersaing di Era Globalisasi

Era globalisasi ditandai dengan semakin ketatnya persaingan ideologi, teknologi dan

informasi. Masyarakat berada dalam kancah dunia tanpa sekat, tiap diri secara individu maupun

organisasi berpacu menemukan identitas dalam komunitas dunia, lembaga pendidikan Islam

tidak luput di dalamnya.

Seperti diuraikan oleh Aceng Muhtaram (1998) menjadi Pendidik yang mampu

menghantarkan seluruh anak bangsa untuk survive di dalam kancah transformasi sosial global

yang melahirkan berbagai paradoks. Dalam istilah UNESCO seperti yang diuraikan Tilaar

(1998), paradoks tersebut disebut “ketegangan-ketegangan” yang meliputi antara yang: 1) global

dan yang lokal, 2) universal dan individual, 3) tradisional dan yang modernitas, 4) program

jangka panjang dan program jangka pendek, 5) kebutuhan untuk berkompetisi dan kesamaan

kesempatan bagi seua orang, 6) kemajuan IPTEK yang pesat dan keterbatasan kemampuan

manusia untuk menyerapnya, dan 7) spiritual dan material. Jauh sebelum itu, John Naisbiit

memandang paradoks masyarakat dunia dengan sepuluh poin 1. Masyarakat Industri menjadi

masyarakat Informasi; 2. Teknologi Paksa menjadi High Tech / High Touch; 3. Ekonomi

Nasional menjadi Ekonomi Dunia; 4. Jangka pendek menjadi Jangka Panjang; 5. Sentralisasi

menjadi Desentralisasi; 6. Bantuan Institusional menjadi Bantuan Diri; 7. Demokrasi

Representatif menjadi Demokrasi Partisipatif; 8. Hierarki menjadi Jaringan; 9. Utara menjadi

Selatan; 10. Salah satu menjadi Pilihan Berganda

Hal penting lainnya untuk dijadikan pedoman dalam mengembangkan misi PTK adalah

memperhatikan kecenderungan dalam dunia pendidikan dan pembangunan. Wardiman

Djojonegoro sebagaimana dikutip Supriyadi (1998) mengidentifikasi adanya enam

kecenderungan dunia pendidikan di antaranya: a). hasil suatu proses pendidikan (outcome)

bukan hanya akan diukur dari apa yang diketahui (know-what), melainkan apa yang secara nyata

dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan (know-how), disertai sikap dan nilai kemandirian,

prakarsa, kreativitas, etos kerja, ketekunan, dan ketepatan yang dapat ditampilkan; b). diperlukan

tenaga ahli di bidang pengembangan pada tingkat profesional, menjadi problem solver

pendidikan; c). Standar mutu pendidikan sudah sudah tidak sekedar nasioanl tapi sudah go

international; d). Peningkatan ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan yang lebih bermutu,

relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan; e). Tuntutan pada pendidikan yang lebih relevan,

merata, adil, manusiawi.

Memperhatikan beberapa kecenderungan pendidikan masa globalisasi di atas, maka

(8)

mampu menjawab segala tantangan. Maka dalam membangun institusi LPTK yang tangguh,

termasuk di FTK PTAI, diperlukan komponen pokok sebagaimana diurai Aceng (1998) di

antaranya: a). Governance, tugas dan tanggung jawab serta koordinasi fungsional antara

pimpinan institusi; b). Standard dan prosedur kerja, yakni perwujudan aturan birokrasi dalam

proses manajemen; c). Disiplin, yakni menyangkut komitmen dan kepatuhan, diikuti kreativitas

tinggi; d). Kendali mutu, dengan konsep Total Quality Control secara sistemik meliputi faktor

input, proses dan output.

Ketahanan sistem yang kokoh dari LPTK memiliki peluang lebih besar untuk dapat

berkiprah dalam persaingan global. Dalam kaitan ini sejalan dengan pandangan Rosabeth Moss

Kanter (Pimpinan Harvard Bussiness Review) sebagaimana dikemukakan Haedar Bagir (1995)

ada empat sumber competitive advantages. Untuk suatu perusahaan (modern) yang sukses.

Keempatnya juga cocok untuk diterapkan di LPTK termasuk di FTK-PTAI. Pertama, core

competence, memusatkan seluruh perhatian berbasiskan informasi, penyampaian strategi ke

seluruh lini, sampai yang paling bawah, menjadi tugas utama pimpinan LPTK; Kedua, time

compression, LPTK harus berkompetisi dalam hal waktu, mulai dari keterdahuluan dalam

menemukan hasil-hasil (Iptek dan Imtak), melakukan berbagai inovasi, dan merespon dengan

cepat terhadap kecenderungan masyarakat pendidikan. Karena itu waktu luang dan sumber daya

tertentu mesti disediakan bagi semua tenaga untuk menemukan dan mencoba gagasan-gagasan

baru; Ketiga, continuous quality improvement, LPTK mesti memandang mutu tidak lagi sekedar

bebas dari cacat. Ia memerlukan perbaiakan yang terus menerus seperti kaizen ala Jepang.

Keempat, collaborations, hubungan lintas institusi, khususnya dengan pihak pemakai lulusan

merupakan sumber kelebihan LPTK.

Dengan proses ini, tentu guru Indonesia tidak lagi bingung dengan perubahan

kurilukum pendidikan yang silih berganti. Para guru juga akan mengerti apa yang harus

dikerjakan dan apa yang dituju, karena guru itu sendiri adalah kurikulum bagi pembelajaran yang

ia lakukan.

Sejalan dengan uraian di atas, Tilaar (1998) mengemukakan pentingnya untuk

mendongkrak citra profesi guru dan meningkatkan mutu rekruitmen calon mahasiswa maka

LPTK harus sedekat mungkin dengan universitas. Di samping itu organisasi LPTK harus ada

keterkaitan dengan pasar kerja. Demikian pula dengan organisasi profesi, perlu keterkaitan untuk

dapat menetapkan program-program standarisasi profesi sehingga apakah profesi itu meningkat.

Sejalan dengan pendapat Tilaar tersebut, faktor dosen yang mengajar, tenaga administratif,

(9)

Teaching dan perpustakaan serta laboratorium praktek menjadi hal penting yang tidak bisa tidak

mesti diperhatikan.

Perspektif agama meniscayakan manusia dengan keseluruhan potensi yang telah

dianugerahkan, menjadi makhluk yang berkesempatan bertugas sebagai ‘wakil Tuhan’, dalam rangka memelihara dan membimbing seluruh semesta guna mencapai tujuan penciptaannya

yaitu sebagai khalifatullah yang pada dasarnya merupakan tanggung jawabnya dalam rangka

pengabdiannya sebagai Abdullah. Tujuan pendidikan Islam sama dengan penciptaan manusia,

yakni menjadi manusia pengabdi Allah ‘abdullah’ sekaligus delegasi Tuhan pengatur alam semesta ‘khalifatullah’. Apa yang menjadi benang merah dalam menemukan titik temu masyiatullah‘kehendak Allah’ danmasyiatul ‘ibad‘keinginan yang dikehendaki manusia’

hanyalah dapat tercapai melalui pendidikan.

Dengan demikian, akan semakin urgenlah seluruh upaya umat manusia dalam

menyelenggarakan pendidikan, betapa tidak, karena tanpa pendidikan, bakal tidak tercapailah

tujuan hidup manusia itu. Dalam kaidah ushul fikih, “sesuatu yang dihukumi wajib, maka perantara untuk mencapainya juga menjadi wajib”, seperti wajibnya shalat dalam keadaan suci mewajibkan orang untuk bersuci. Kewajiban menuntut ilmu bagi tiap diri, berarti kewajiban

dalam mempersiapkan segala hal yang mengkondisikan tiap orang memperoleh ilmu, maka

dalam konteks ini, adanya lembaga pendidikan Islam yang berkualitas adalah sebuah

keniscayaan, bila tidak maka resiko kemanusiaan dan suramnya masa depan menjadi ancaman.

Maka ciri khas yang menjadi tren keunggulan PTAI harus benar-benar

diimplementasikan seperti yang diurai Yakob Matondang (1998) meliputi beberapa aspek di

antaranya: Pertama kedalaman ilmu, Sebagai wahana alih teknologi dan pengembangannya,

PTAI memokuskan diri pada pengembangan kajian dan penelitian terhadap tiga ayat Tuhan

secara simultan, yaitu al-ulum an-Naqliyah, al-ulum al-Kauniyah dan al-ulum al-insaniyah

secara integratif dan tidak parsial. Dengan kondisi yang demikian, lembaga tinggi agama Islam

mampu mempersiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam

menghadapi era globalisasi; kedua, keluhuran moral, tidak hanya aspek intelektual, PTAI

mementingkan aspek moral, sehingga peka terhadap problematika yang dihadapi umat serta turut

serta mencarikan jalan keluarganya. melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian serta

pengabdian pada masyarakat dapat melaksanakan berbagai jenis partisipasi yang bersifat moral,

baik dalam bentuk pemikiran dan gagasan, tenaga, kemahiran dan ketrampilan. Partisipasi

optiomal yang diberikan lembaga pendidikan tinggi Islam diharapkan dapat memberi arah yang

(10)

kemslahatan maysrakat dalam mempersiapkan diri memasuki era globalisasi. Maka membangun

institusi lembaga pendidikan yang bermutu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar.

Memiliki keunggulan seperti yang dijelaskan di atas tidak serta merta menjadikan

lembaga pendidikan Islam menjadi baik, diperlukan manajemen yang mumpuni, seperti yang

ditawarkan Bambang Widagdo (2015) dengan paradigma pengelolaan pendidikan, bagaimana

membangun Lembaga Pendidikan yang berdaya saing. Berdasarkan uraian tersebut, maka pihak

manajemen lembaga pendidikan mulai mengintrospeksi atau evaluasi diri institusi, melakukan

integrasi internal maupun adaptasi eksternal, mengorientasikan tujuan penyelenggaraan yang

lebih terprogram berdasarkan visi, misi, budaya kerja yang secara terus menerus menerapkan

model manajemen kinerja mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjutnya

yang tidak hanya berorientasi contents tapi proses, tidak hanya bertanya “bagaimana” tapi

“mengapa”, tidak hanya memberi pelatihan tapi juga pengalaman.

Memperhatikan aspek penyelenggara lembaga pendidikan mulai dari kurikulum, model

mengajar, pelayanan pembelaran, budaya akademik dan kehidupan kampus serta eksposure pada

level nasional dan internasional. Tidak mengabaikan stakeholder lembaga pendidikan mulai dari

pendidik dan tenaga kependidikan, mahasiswa dan keluarganya, pemerintah, asosiasi profesi,

dunia usaha dan industri serta stockholder (penyandang dana).

Berangkat dari hal tersebut, pihak lembaga seyogyanya mulai menyusun strategi

peningkatan daya saing, menciptakan organisasi yang sehat dengan akuntabilitas dan otonomi

yang tinggi, selalu melakukan evaluasi diri internal maupun akreditasi eksternal menuju

organisasi yang berkualitas. Arah tema pengembangan pendidikan tentu dengan memperhatikan

beberapa hal, diantaranya: a) suasana akademik, dengan membudayakan komunitas akademisi

dan pelibatan berbagai pihak termasuk di dalam proses belajar mengajar; b) Memberikan

kemudahan akses bagi seluruh lini, mulai dari proses penerimaan, proses pelayanan akademik,

hingga akses pasar kerja; c) memperhatikan pemerataan daya tampung kepada segenap segmen

input; d) Pengelolaan institusi, terutama pengelola pada level manejemen dan melakukan inovasi

secara terus menerus; e) memperhatikan jaminan mutu secara terus menerus; f) menjalin

kerjasama (partnership) dengan pasar kerja; g) kepemimpinan pihak leadership dalam mengelola

lembaga sehingga dicapai efisiensi dan produktivitas serta selalu relevan dengan masa kekinian.

Dengan model manajemen kinerja yang tawarkan, semoga lembaga pendidikan Islam yang

(11)

Bahan Bacaan

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).

Aceng Muhtaram, Mengembangakan LPTK dalam Perspektif Adaptabilitas Manajemen Nasional Pendidikan Memaasuki Era Milenium Ketiga, (Bandung: UPI, 1998).

Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktek, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2012).

Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998).

Fathurrahman, Analisis Kebijakan dan Problematika PTAI, Makalah, tidak dipublikasikan, 2012.

H. A. R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998).

Haidar Bagir, Era Baru Manajemen Etis, (Kumpulan Surat dari Harvard, Bandung: Mizan, 1995).

Iskandar Agung, Continuing Prfessional Development (CPD) dana Perubahan Paradigma Sekolah, (Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud).

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).

Rudi Ahmad Suryadi, Hadis: Sumber Pemikiran Tujuan Pendidikan, Jurnal Pendidikan Agama Islam– Ta’lim(Vol. 9 nomor 2-, 2011).

Yakub Matondang, Perguruan Tinggi Islam sebagai Subjek dan Objek Moral Akademik di Era Globalisasi. dalam Syahrin Harahap (Ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).

Sumber internet:

http://dmsstaipati.blogspot.com/2012/11/program-dms.html, diakses 21 Mei 2015.

http://stidnatsir.ac.id/index.php diakses 20 April 2015.

http://suyitno69.multiply.com/journal/ diakses 29-10- 2011.

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/tentang-uin.html, diakses tanggal 20 April 2015.

http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/ diakses 20 April 2015

http://old.uinmalang.ac.id/ diakses 20 April 2015

UU Guru dan Dosen: Diberi Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, (Harian MEDIA INDONESIA, 7 Desember 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan dan memperoleh bukti empiris adanya perbedaan volume perdagangan dan return saham sebelum dan setelah adanya pengumuman

Untuk indikator mengidentifikasi strategi yang dapat ditempuh Subjek Tinggi berada pada kategori kemampuan tinggi sedangkan Subjek Sedang berada pada kategori

Berdasarkan pengamatan gambar secara morfologi dan anatomi dari spesies Porifera, kelompokkanlah masing – masing kelas dalam filum Porifera sesuai dengan tabel di bawah

Gapura Angkasa dalam melakukan pengukuran kinerja menggunakan sistem balance score card.Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen (dan bukan sekedar sistem

Merokok bukanlah hal yang asing lagi yang kita ketahui, apalagi di zaman sekarang penikmat rokok tidak hanya dinikmati oleh kalangan orang dewasa saja kalangan mudapun

Bahan anorganik pada penelitian ini adalah kromium heksavalen, sehingga pengaruh naiknya suhu air juga mengakibatkan ikan kekurangan oksigen, metabolisme terganggu karena kromium

Konstruksi Makna Hidup pada Keluarga Pasien dengan Gangguan Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Hidayatullah Kanigaran Probolinggo, Skripsi , Fakultas Psikologi Universitas Islam