• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANGKUMAN DASAR DASAR SUMBER HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RANGKUMAN DASAR DASAR SUMBER HUKUM ISLAM"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

RANGKUMAN

DASAR-DASAR SUMBER HUKUM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

"PENGANTAR STUDI ISLAM"

DOSEN PEMBIMBING

Drs. MUHADIN

DISUSUN OLEH :

HUDA YUSUF

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIAH

AL-MUSLIHUUN

(2)

DASAR-DASAR SUMBER HUKUM ISLAM

A. AL-QUR’AN 1. Arti Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad s.a.w. Sebagai sumber hokum dan pedoman hidup bagi pemeluk agama islam, jika dibaca menjadi ibadah kepada Allah.

Al-Qur’an mempunyai nama-nama lain seperti : Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqon (yang artinya membedakan antara yang hak dan yang batil) dan Adz-Dzikru artinya peringatan.

2. Garis-garis besar isi Al-Qur’an

Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima : a. Tauhid.

b. Tuntunan ibadah.

c. Janji dan ancaman.

d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah. 3. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam

Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah :

كيلا ىحوأ يذلاب كسمتساف

: فرخزلا ) 43

(

Artinya :

(3)

4. Dasar-dasar

Al-Qur’an dalam membuat hukum

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk jadi petunjuk

dan pengajaran bagi seluruh

umat manusia.

Al-Qur’an selalu berpedoman kepada 2 hal yaitu : (1) Tidak memberatkan, dan (2)

berangsur-angsur.

1.

Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah :

“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (Al-Baqoroh ayat 286)

Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh : a. Mengqoshor shalat dan menjama’ .

b. Boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.

c. Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.

d. Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan memaksa.

2.

Berangsur-angsur,

Al-Qur’an telah membuat hukum-hukum dengan

berangsur-angsur. Hal ini dapat

diketahui sebagai berikut :

a. Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras

danperjudian, sebagaimana firman Allah :

“ mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukkan dan tentangperjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripadamanfaatnya”. (S. Al-Baqoroh ayat 219)

(4)

.

ىركس متناو ةلصلا اوبرقتل اونما نيذلا اهيااي

: ءاسنلا)

43 (

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat di kala kamu sedangmabuk”. (S. An-Nisa’ ayat 43)

Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah

banyakorang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama danyang kedua. Yaitu firman Allah :

”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenungadalah pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. (S. Al-Maidah ayat 90)

Demikian Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaanhukumpun secara berangsur-angsur pula.

5. Memetik pelajaran dari

Al-Qur’an

Selain mengetahui sebab-sebab turunya

Al-Qur’an, perlu pula mengetahui cara

mengambil

pelajaran yang terdapat di dalamnya. terutama yang berhubungan

dengan hukum.

Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain sebagai

berikut :

1.

Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jela. Seperti ayat :

ةلصلا اوميقاو

.

ةرقبلا

43

Artinya :

”Dan dirikanlah olehmu shalat”. (S. Al-baqarah ayat 43)

Dalam ayat ini perintah shalat jelas, tetepi cara melaksanakannya tidak disebutkan.

2.

Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas. Misalnya :

ةاكزلااوتاو

.

ةرقبلا

43

(5)

“Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-baqarah ayat 43)

Ayat ini jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan nishabnya tidak diterangkan di dalamayat ini.

 Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya penjelasan lebih

lanjut. Penjelasan ini tidak ada yang berhak memberikannya, kecuali Nabi Muhammad saw. Sebagaimanafirman Allah :

44لحنلا

.

سانلل نيبتلركذلا كيلا انلزناو

Artinya :

“Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia”. (S. An-Nahl ayat 44)

Adz-Dzikru oleh sebagian ulama’ diartikan segala yang datang dari Rasulullah, yaitu

sabdanya, perbuatan dan sebagainya yang menjadi tafsir bagi Al-Qur’an, yaitu yang dinamakan “sunnah”.

B. SUNNAH

1. Arti sunnah dan pembagiannya masing-masing

Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah menurut istilah syara’ ialah perkataan nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya.

2. Pembagian sunnah dan pengertiannya

Sunnah itu dibagi menjadi tiga : (1) Sunnah Qouliyah = sabda-sabda Rasulullah; (2) Sunnah Fi’liyah = perbuatan Rasulullah; (3) Sunnah Taqririyah = diamnya Rasulullah atas ucapan atau perbuatan sahabat.

(6)

Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw.

Sunnah Qouliyah juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qouliyah itu boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar. Khabar pada umumnya dapat dibagi tiga :

1. Yang pasti benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan

dengan jalan mutawatir.

2. Yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan

oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.

3. Khabar yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,karena

kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.

b. Sunnah Fi’liyah

Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan nabi saw. yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara berwudhu, shalat dan sebagainya.

Sunnah Fi’liyah itu terbagi sebagai berikut :

1. Pekerjaan nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti : bernafas,

duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak bersangkut-paut dengan soal hukum, dan tidak ada hubungannya dengan suruhan larangan atau tauladan.

2. Perbuatan nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti : cara-cara makan, tidur dan sebagainya.

Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan perintah, larangan, dan tauladan. kecuali kalau ada perintah anjuran nabi untuk mengikuti cara-cara tersebut.

3. Perbuatan nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, beristri lebih dari empat. Dalam hal ini

orang lain tidak boleh mengikutinya.

4. Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti : shalatnya, hajjinya, yang

kedua-duanya menjelaskan sabdanya :

.

ىلصا ىنومتيأرامكاولص

Artinya :

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.

Dan:

.

مككسانم اوذخ

(7)

“Ambillah dari padaku hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.

Hukum perbuatan tersebut sama dengan hukum apa yang dijelaskan, baik wajib maupun mandubnya.

5. Pekerjaan yang dilakukan orang lain sebagai hukuman, seperti: menahan orang,atau

mengusahakan milik orang lain.

6. Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja, seperti: berwudhu dengan satu kali, dua kali dan

tiga kali.

c. Sunnah Taqririyah

Sunnah Taqririyah yaitu bila nabi saw. mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh nabi saw. dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi (taqrir).

Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bagi ummat seluruhnya.

Syarat sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq.

Contoh-contoh taqrir antara lain sebagai berikut: 1. Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.

2. Mempergunakan harta yang diusahakan mereka seketika masih kafir.

3. Membiarkan dzikir dengan suara keras sesudah shalat.

C. IJTIHAD

1. Pengertian dan Peranan Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari

داهتجا

-

دهتجي

-

دهتجا

“bersungguh-sungguh, rajin, giat”.

(8)

dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan :

باتكلا نم طابنتسلا قيرطب ىلعرش مكح لين ىف عسولا غارفتسا وه داهتجلا

ةنلسللاو

.

Artinya :

”Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.

Ijtihad sebagaimana dijelasakan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.

2. Hukum Ijtihad

Menurut Syekh Muhammad Khudlaribahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi : a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan

hilang sebelum hukumnya diketahui.

b. Wajib Kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang

sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.

c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi. 3. Syarat-syarat Ijtihad

Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.

a. Syarat-syarat Umum

(9)

2. Berakal sehat

3. Memahami masalah

4. Beriman

b. Syarat-syarat Khusus

1. Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis.

2. Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.

3. Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.

4. Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah.

5. Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.

6. Mengetahui ilmu ushul fiqih.

7. Mengetahui ilmu mantiq.

8. Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah.

9. Mengetahui soal-soal ijma’. c. Syarat-syarat pelengkap

1. Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan

hukumnya.

2. Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang akan mereka

sepakati.

3. Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlaq. 4. Tigkatan-tingkatan Mujtahid

Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat, dan aktifitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi : a. Mujtahid Mutlak atau Mustaqil.

b. Mujtahid Muntasib.

c. Mujtahid Fil Mazahib.

d. Mujtahid Murajjih.

D. IJMA’

(10)

Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :

راصعلا نم رصع ىف هتافو دعب مللسو هيلع لا ىلص دملحم ةملا ىدهتجم قافتلا

روملا نم رما ىلع

.

Artinya :

“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang masalah tertentu”.

Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.

Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam.

Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu : 1. Dengan ucapan (Qouli),

2. dengan perbuatan (Fi’li),

3. dengan diam (sukut) 2. Macam-macam Ijma’

1. Ijma’ Ummah

2. Ijma’ Sahaby

3. Ijma’ Ahli Madinah

4. Ijma’ Ahli Kufaah

5. Ijma’ Khalifah yang empat

6. Ijma’ Syaikhany

(11)

3. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum

Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny.

Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum. Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain adalah :

Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :

مكنم رملا ىلواو لوسرلا اوعيطاو لا اوعيطا اونما نيذلااهياي

: ءاسنلا ) 59

(

Artinya :

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri

diantara kamu".

Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para

ulama. Menurut hadits:

ةللضللا ىلع ىتملأ عمتجتل

Artinya:

"Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".

Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.

Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.

Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

4. Sebab-sebab Dilakukan Ijma'

Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma' ialah :

a. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam

(12)

b. Karena nash baik yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah

berhenti.

c. Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah

dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.

d. Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih

mudah dipersatukan.

E. QIYAS

1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.

Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan bersama oleh para mujtahid.

2. Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam

Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.

Mereka berpendapat demikian dengan alasan: Firman Allah :

راصبلا ىلوااي اوربتعاف

.

: رسحلا ) 2

( Artinya:

"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)

Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".

3. Rukun Qiyas

(13)

a. Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran.

b. Far'un (cabang) yang diukur

c. 'Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.

d. Hukum, yang ditetapkan pada far'i sesudah tetap pada ashal. 4. Macam-macam Qiyas

Qiyas ini ada empat macam : a. Qiyas aulawi (lebih-lebih)

Qiyas aulawi ialah yang 'illatnya sendiri menetapkan adanya hukum. b. Qiyas musawi (bersamaan 'illatnya)

Qiyas musawi ialah 'illatnya sama dengan 'illat qiyas aulawi. c. Qiyas dilalah (menunjukkan)

Qiyas dilalah ialah yang 'illatnya tidak menetapkan hukum. d. Qiyas syibh (menyerupai)

Qiyas syibh ialah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal ke mana yang paling banyah menyamai.

5. Sebab-sebab Dilakukan Qiyas

a. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam

nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma'.

b. Karena nash, baik berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.

c. Karena adanya persamaan 'illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa

yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

F. MASHALIHUL MURSALAH 1. Pengertiannya

(14)

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.

1. Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :

a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan

kemaslahatan umat manusia.

b. Pembinaan Hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu

bagi keinginan hawa nafsu.

2. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi'i

boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :

a. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.

b. Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan

maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'.

3. Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak ada nash yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an

tetapi oleh ummat Islam hal ini dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat ummat. 4. Dalam pernikahan mengadakan pensyaratan adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah

dan pembagian pusaka.

3. Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah

1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.

2. Maslahaat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.

3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip

yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma'.

G. SADDUDZ DZARI'AH 1. Pengertiannya

(15)

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum

1. Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.

2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan

sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :

كبريلام ىلا كبريام عد

Artinya :

"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".

H. ISTISHAB 1. Pengertiannya

Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam

Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.

Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut : a. Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :

ناكام ىلع ناكام ءاقب لصلا

Artinya :

"Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".

Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah lala.

b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.

كشللاب لوزيل نيقيلاب تبث ام

(16)

c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan

hukum tersebut.

ةحابلا ءايشلا ىف لصلا

Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.

Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.

I. ‘URF

1. Pengertiannya

Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Diantara contah urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.

2. Macam-macam Urf dan Hukumnya

a. Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak

menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.

b. Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan

syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.

3. Kedudukan Urf sebagai sumber hukum

(17)

J. ISTIHSAN 1. Pengertiannya

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.

Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :

1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah

bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.

Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qu'an.

Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat. 2. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan)

berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang

barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam

Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan :

1. Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti

menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.

2. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah

dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyar khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sumber hukum islam

Referensi

Dokumen terkait

Persoalannya adalah anggota Polri yang melakukan dan atau terlibat dalam tindak pidana yang sudah dijatuhi hukuman pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

Penelitian ini menggunakan model Servperf untuk menentukan kualitas layanan dengan hanya melakukan pengukuran pada kinerja pelayanan, Importance Performance Analysis

Dari keterangan di atas secara nyata telah membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya kekuasaan eksekutif dan legislatif, yakni pengangkatan panitia seleksi oleh

Upaya pem- berdayaan masyarakat tunagrahita di Kampung Idiot yang berada di Desa Karangpatihan Kecamatan Balong Ka- bupaten Ponorogo dilakukan di BLK (Balai Latihan

Berdasarkan uraian dan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Penerapan Pendekatan Pembelajaran Saintifik Terhadap Hasil

Dalam Tugas Akhir ini, dilakukan simulasi untuk mengamati kerusakan pada thyristor dalam suatu rangkaian penyearah tiga fasa terkontrol penuh, dengan beban yang digunakan yaitu

Process berhubungan erat dengan verba, karena semua process adalah verba yang berada pada sebuah klausa dengan kata lain sebuah klausa pasti memiliki verba yang

• Mendapatkan model terbaik faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Jawa Timur dengan menggunakan regresi robust dan