• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterpaduan Hubungan Agama Islam dan Sai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keterpaduan Hubungan Agama Islam dan Sai"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS

Ketika agama pertama kali berjumpa dengan sains modern pada abad ke-17, perjumpaan itu bersifat bersahabat. Kebanyakan penggagas revolusi ilmiah adalah orang-orang Kristen taat yang berkeyakinan bahwa tujuan kerja ilmiah pada hakikatnya adalah mempelajari ciptaan Tuhan. Pada abad ke-18, beberapa ilmuwan berkeyakinan bahwa Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta bukan lagi Tuhan yang personal, terlibat aktif dalam kehidupan manusia dan dunia. Pada abad ke-19, sejumlah ilmuwan mengabaikan agama kendati pun Darwin sendiri masih berkeyakinan bahwa proses evolusi merupakan kehendak Tuhan itu sendiri.

Sejarah hubungan ilmu dan agama di Barat mencatat bahwa pemimpin gereja menolak Teori Heliosentris Galileo atau Teori Evolusi Darwin. Pemimpin gereja membuat pernyataan yang berada di luar kompetensinya. Sebaliknya, Issac Newton dan tokoh-tokoh Ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh data yang lebih lengkap atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu kesulitan iitu terjawab, maka secara otomatis, intervensi Tuhan tidak lagi diperlukan. Akhirnya Tuhan dalam benak para ilmuan sekuler hanya ibarat pembuat jam (clock maker). Begitu alam semesta ini selesai diciptakan, Ia tidak peduli lagi dengan alam raya ciptaan-Nya dan alam semesta pun berjalan sendiri secara mekanis tanpa campur tangan tujuan agung ketuhanan.

Dalam Islam, hubungan antara sains dan agama bukanlah suatu masalah yang besar. Soalnya, sains hanyalah sebagian dari limu atau ‘ilm, yang berasal dari kata dasar ‘alama yang berarti mengetahui. Jadi, secara intrinsic tidak ada pertentangan antar sains dan islam. Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsfat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsfat Yunani terlalu deduktif, yang lebih mendasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi dengan pengamatan empiris sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.1

Pada abad ke-20, interaksi antara agama dan sains mengambil beragam bentuk. Temuan-temuan baru dalam sains menantang gagasan-gagasan keagamaan klasik. Sebagai respon atasnya, beberapa orang berusaha mempertahankan doktrin tradisional, beberapa meninggalkan tradisi, dan beberapa merumuskan kembali konsep keagamaan secara ilmiah.

(2)

Albert Enstein, seorang ilmuan terkemuka pada abad yang telah lalu, dikenal juga dengan keyakinannya kepada Tuhan. Dia tidak ragu mendukung bahwa sains tidak akan ada tanpa agama. Sebagaimana yang dikatakannya:

Saya tidak bisa membayangkan ilmuan sejati tanpa kelimuan mendalam. Situasi ini bisa dinyatakan dengan gambaran: sains tanpa agama akan lumpuh.”2

Sains dan agama sering dipandang bermusuhan atau dalam pertempuran hidup mati. Namun konflik ini sebenarnya bisa saja dapat dielakkan jika saja sains dan agama bersifat independen, masing-masing menempati domain yang terpisah dan jarak yang aman satu sama lain. Lazim dikatakan bahwa sains menulusuri hubungan sebab-akibat antar peristiwa, sedangkan agama mencari makna dan tujuan hidup. Dua pencarian ini menawarkan perspektif yang saling melengkapi tentang dunia, masing-masing berdiri sendiri, terpisah, dan tidak terlibat hubungan konflik.

Namun beberapa orang kini berupaya mencari kemitraan yang konstruktif antara keduanya. Mereka mendapati bahwa sains telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab sendiri. Beberapa orang menyadari keterbatasan disiplin mereka dan tidak mengklaim telah mengantongi seluruh jawaban. Mereka berprinsip bahwa kita dapat belajar satu sama lain. Beberapa teolog berupaya merumuskan kembali gagasan-gagasan tradisional tentang Tuhan dan manusia dengan mempertimbangkan temuan-temuan sains sembari berpegang teguh pada ajaran utama agama mereka.3

Agama selalu mendorong pencarian pengetahuan, terutama pengetahuan tentang dunia, yang Tuhan ciptakan untuk manusia. Semua agama menekankan bahwa kita harus mangamati hal-hal di sekeliling kita untuk melihat ayat-ayat Tuhan di mana-mana, karena dunia menampakkan keindahan dan keagungan, pengetahuan, dan cinta Tuhan. Ini adalah ajaran al-Qur’an, Taurat dan Injil. Di Barat kini muncul anggapan bahwa Kristen adalah sesuatu yang istimewa, dan bahwa Tuhan mencapai nalar dan kebebasan pada diri manusia, melalui peristiwa Inkarnasi (Embodiment). Menurut gagasan ini, Kristen telah membuka jalan bagi sains modern yang kemudian mencul di Barat. Inilah pemahaman modern teologi Kristen berbeda dengan pemahaman teologi Kristen abad pertengahan.4

Seperti telah disebutkan di atas, agama mendorong sains. Mereka yang menggunakan akal dan mengikuti nurani untuk melakukan penelitian ilmiah, akan memperoleh iman yang kuat karena mereka memahami tanda-tanda Tuhan secara langsung. Mereka dihadapkan pada suatu system tak bercela dan detail sempurna yang diciptakan Tuhan di tiap tahapan penelitian yang mereka kerjakan, dan di tiap penemuan yang mereka buat. Seperti dinyatakan Rasulullah Muhammad saw; mereka

2Science, Filosophy and Religion, A Symposium, diterbitkan oleh Confrence on Science, Philosophy and Religion in Their Relation to the Democratic Way of Life, Inc., New York, 1941

3Ian G. Barbour, 2002. Juru Bicara Tuhan. Bandung; Mizan. Hal. 13-14

(3)

bertindak dengan kesadaran bahwa “Orang yang pergi untuk mencari pengetahuan adalah orang yang taat (beriman) pada Allah hingga ia kembali.”5

Itulah sebabnya, di tangan ilmuwan muslim, sains berkembang dengan pesat. Pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuwan muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional objektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun, rasionlitas sains tak bias dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral.6

Empat Pandangan Hubungan Sains dengan Agama

Pada tahun 1990, dalam bab pertama buku Religion in an Age of Science, Barbour mengusulkan empat tipologi hubungan untuk memetakan berbagai pendekatan yang dipakai dalam hubungan sains dengan agama.7 Dengan mempertahankan klasifikasi yang sama, tipologi ini

dimodifikasi dalam edisi revisi buku yang sama pada tahun 1997.8 Empat tipologi hubungan antara

sains dan agama tersebut adalah : 1. Konflik

2. Independen 3. Dialog 4. Integrasi

Tiap-tiap pandangan di atas memiliki beberapa varian yang membedakan satu dengan yang lain, tetapi semua varian itu memilki ciri-ciri umum yang menjadikan mereka dihimpun dalam kelompok yang sama.

1. Konflik

Pandangan konflik mengemuka pada abad ke-19 melalui dua buku berpengaruh, yakni History of Conflict between Religion and Science karya J.W. Draper dan A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A.D. White.9 Beberapa ahli sejarahwan mutakhir menunjukkan

bahwa bukti-bukti yang mereka sosdorkan sangan selektif dan pandangan-pandangan alternative

5HR. Tirmidzi 220

6Armahedi Mahzar, 2004. Revolusi Integraslime Islam: Dialog Sains dan Agama: Pendekatan Komparatif Integralisme Islam. Bandung; Mizan. Hal. 210-211.

7Ian G. Barbour, 1990. Religion in an Age of Science, Gifford Lectures, Jil. ke-1. San Fransisco; Harper San Fransisco. Bab I

8Ian G. Barbour, 1997. Religion in an Age of Science: Historical and Contemporary Issues. San Fransisco; Harper San Fransisco. Bab 4.

(4)

tentang hubungan sains dan agama telah dianut secara luas selama berabad-abad. Kini, potret popular “perang sains melawan agama” dipertajam oleh media karena kontroversi antara materialisme ilmiah

dan literalisme biblikal jauh lebih dinikmati khalayak daripada posisi moderat. Kedua kontroversi ini ditempatkan dalam hubungan konflik, dua pandangan yang saling asing. Alasannya, metrialisme ilmiah dan literalisme biblikal sama-sama mengklaim bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan dalam domain yang sama (sejarah alam) sehingga orang harus memilih satu di antara dua. Mereka percaya bahwa orang tidak akan mempercayai evolusi dan Tuhan sekaligus. Masing-masing hal tersebut menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan.

a. Materialisme Ilmiah

Materilaisme memandang materi sebagai realita dasar alam semesta. Materialisme merupakan sebentuk metafisika (sehimpunan klaim tentang karakteristik dan penyusun dasar realitas). Materialisme ilmiah (scientific materialism) juga meyakini metode ilmiah sabagai satu-satunya metode pengetahuan yang sahih. Ini merupakan sebentuk epistemologi (sehimpunan klaim tentang hakikat dan pemerolehan pengetahuan). Dua paham ini saling berkaitan: jika maujud sejati adalah apa yang ditangani sains, sains adalah satu-satunya jalan pengetahuan yang abash.

Di samping itu, ada jenis metrialisme yang disebut reduksionisme. Reduksionisme epistemologis mengklaim bahwa semua hukum dan teori dalam sains pada dasarnya dapat direduksi ke hukum-hukum fisika dan kimia. Reduksionisme metafisis mengklaim bahwa perilaku system ditentukan oleh komponen-komponennya. Kaum materialis meyakini bahwa semua fenomena pada kahirnya dapat dijelaskan dalam kerangka aksi komponen-komponen material yang merupakan satu-satunya sebab efektif di alam semesta. Analisis tentang bagian-bagian system sangatlah bermanfaat di dunia sains.10

b. Literalisme Biblikal

Jenis konflik yang sangat berbeda muncul dari tafsiran harfiah atas Alkitab. Pada abad ke-20, Gereja Katolik Roma dan aliran utama Protestan berkeyakinan bahwa kitab suci merupakan kesaksian manusia atas wahyu yang terjadi dalam kehidupan nabi-nabi khususnya kehidupan dan pengikut Yesus. Sejumlah kalangan tradisionalis dan penginjil menekankan sentralitas Yesus tanpa menekankan kemaksuman (infallibility) Alkitab. Namun, gereja fundamentalis dan sebagian besar denominasi histories di Amerika Serikat (terutama kaum Baptis Selatan) tetap berpendapat bahwa kitab suci sama sekali bebas dari kesalahan (maksum).

2. Independensi

(5)

Suatu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang berbeda. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Ini merupakan jenis-jenis pembedaan yang tegas, tetapi secara keseluruhan mereka membangun independensi dan otonomi dalam kedua bidang. Jika ada dua wilayah hukum, sains dan agama pastilah cenderung mementingkan dirinya sendiri dan tidak mencampuri yang lain. Setiap mode penelitian bersifat seleksi dan mempunyai keterbatasannya sendiri. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga keinginan untuk mengakui perbedaan karakter setiap area kehidupan dan pemikiran ini.

a. Dua Domain yang Terpisah

Banyak kaum Kristen Protestan dan konservatif dewasa ini memberikan peran religius terpenting kepada kitab suci tanpa menekankan literalisme biblikal atau membela sains penciptaan. Mereka menekankan kematian Kristus Sang Penebus dan konversi orang-orang beriman dalam menerima Kristus sebagai Penyelamat pribadi. Mereka menyadari daya ubah kitab suci yang tidak mengancam atau mendukung sains modern. Bagi mereka, sains dan agama merupakan dua aspek kehidupan manusia yang betul-betul terpisah.11

Kaum protestan yang neo-ortodoksi menyokong pemisahan yang lebih eksplisit antara agama dan sains. Mereka berupaya memulihkan titik tekan Reformasi Protestan pada kesentralan Kristus dan keutamaan wahyu sembari menerima sepenuhnya hasil-hasil kesarjanaan biblikal dan sains modern.

Menurut Karl Barth dan para pengikutnya, Tuhan hanya dapat dikenal sebagaimana yang diwahyukan di dalam Krustus dan diakui di dalama iman. Tuhan adalah transenden, sepenuhnya berbeda (dengan semua yang lain), tidak dapat diketahui kecuali melalui pemyimgkapan diri. Keyakinan keagamaan bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan, bukan pada penemuan manusia sebagaimana sains. Lingkum utama tindakan Tuhan adalah sejarah dan bukan alam. Saintis bebas menjalankan kerja mereka tanpa campur tangan teologi, dan begitu pula sebaliknya, kerna metode dan pokok persoalan keduanya berbeda sama sekali. Sains dibangun berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu.12

Dalam pandangan ini, Alkitab harus dipandang dengan secara menyuluruh dan serius, tetapi tidak secara harfiah. Kitab suci bukanlah wahyu itu sendiri, ia merupakan catatan tentang kesaksian manusia atas peristiwa pewahyuan. Lokus aktivitas Ilahi bukanlah pendiktean teks, melainkan kehdupan orang-orang dan komunitas (dalam konteks masyarakat kuno Israel: nabi-nabi, pengikut

11Richard H. Bube, 1995. Putting It All Together: Seven Patterns for Relating Science and the Christian Faith. Lanham, NY; University Press of America.

(6)

Kristus, dan orang-orang generasi awal yang merespons Kristus). Tulisan biblikal mencerminkan beragam tafsiran peristiwa-peristiwa tersebut.

Langdon Gilkey, dalam tulisan awalnya dan kesaksiannya dalam kasus kreasionisme di Arkansas, menyatakan beberapa hal tentang tema ini. Dia membuat pemetaan berikut ini: (1). Sains mencoba menjelaskan data yang bersifat objek, public, dan dapat diulang. Agama berurusan dengan eksistensi tatanan dan keindahan dunia serta pengalaman kehidupan dakhil (seperti rasa bersalah, kecemasan, ketidakberartian pada satu sisi, pemaafan, kepercayaan, dan keseluruhan pada sisi lain). (2). Sains mengajukan pertanyaan “bagaimana” yang objektif. Agama mengajukan pertanyaan “mengapa” tentang makna dan tujuan serta asal mula dan takdir terakhir. (3). Basis otoritas dalam sains adalah koherensi logis dan kesesuaian eksperimental. Otoritas tertinggi dalam agama adalah Tuhan dan wahyu yang diterima oleh orang-orang yang terpilih yang beroleh pencerahan dan wawasan ruhani dan diyakini melalui pengalaman personal. (4). Sains melakukan prediksi kuantitatif yang dapat diuji secara eksperimental. Agama harus menggunakan bahasa simbolis dan analogis karena Tuhan bersifat Transenden.13

Jalan lain untuk memisahkan pernyataan teologis dan pernyataan ilmiah adalah membedakan

kausalitas primer dengan kausalitas sekunder yang lazim ditemukan dalam pemikiran Katolik dan neo-ortodoks. Tuhan sebagai Sebab Utama (causa prima) dikatakan bekerja melalui sebab sekunder di dunia alami, dunia yang dikaji sains. Tuhan bersifat Mahakuasa dan menggunakan hokum alam untuk mencapai tujuan tertentu. Kausalitas primer sama sekali berbeda dengan interaksi di antara maujud-maujud di dunia.

b. Dua Bahasa dan Dua Fungsi yang Berbeda

Jalan lain untuk memisahkan sains dan agama adalah dengan menafsirkan sains dan agama sebagai dua bahsa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing benar-benar berbeda. Di kalangan filosof era 1950-an, kaum positivis logis menetapkan pernyataan keilmuan (scientific statement) sebagai norm bagi setiap pernyataan kognitif (cognitive assertion) dan menolak pernyataan apa pun yang tidak berlandaskan verifikasi empiris.

Analisa bahasa sebagai respon atasnya, menekankan bahwa bahasa-bahasa yang berbeda ini melayani fungsi-fungsi yang berbeda pula dan tidak perlu mereduksi satu sama lain. Setiap “permainan bahasa” dibedakan berdasarkan fungsinya dalam konteks social. Sains dan agama bekerja sangat berbeda dan oleh karena itu, satu samalain tidak bisa saling menilai dengan standar masing-masing. Bahasa ilmiah (scientific language) terutama berfungsi untuk melakukan prediksi dan kontrol. Teori

13Langdon Gilkey, Maker of Heaven and Earth (Garden City, NY: Doubleday. 1959) dan Creationism on Trial

(7)

digunakan untuk menghimpun data, menemukan keteraturan dalam dunia fenomena yang teramati, dan memproduksi aplikasi teknologis. Sains mengeksplorasi masalah terbatas tentang fenomena alam. Fungsi utama bahasa keagamaan, menurut analis bahasa adalah menawarkan jalan hidup dan seperangkat pedoman serta mendorong kesetiaan pada prinsip moral tertentu. Bahasa agama lahir dari ritual dan praktik umat beriman. Ia juga mengekspresikan dan mengarahkan pengalaman religius personal. Salah satu kekuatan madzhab bahasa adalah bahwa ia tidak berkonsentrasi pada keyakinan agama sebagai sistem pemikiran yang abstrak, tetapi melihat fungsi bahasa agama dalam kehidupan individu dan komunitas.14

Pendekatan “dua bahasa” juga mendapatkan dukungan filososfis dari instrumentalisme. Menurut instrumentalisme, teori ilmiah bukanlah interpretasi realitas, melainkan perangkat intelektual dan praktis yang mempunyai nilai guna. Teori merupakan konstruksi manusia, perangkat pengamatan dan peramalan. Model ilmiah bukanlah gambaran tentang dunia, melainkan fiksi yang berguna yang dapat dicampakkan setelah digunakan untuk mengonstruksi teori yang akan memprediksi pengamatan. Kaum ini umumnya menganut pragmetisme, yakni keabsahan suatu pernyataan diukur dari nilai gunanya dalam kehidupan manusia bukan berdasarkan kesesuaiannya dengan realitas.

Akhirnya, beberapa penulis merujuk sains dan agama sebagai dua perspektif yang saling melengkapi (komplementer). Pendekatan “dua bahasa” memang mengakui keragaman fungsi bahasa agama. Agama adalah jalan hidup dan tidak bias disederhanakan sebagai perangkat keyakinan dan gagasan. Akan tetapi, praktik keagamaan komunitas termasuk peribadatan dan etika, mengandaikan adanya keyakinan yang unik. Berlawanan dengan instrumentalisme yang memandang teori ilmiah dan kepercayaan agama sebagai konstruksi manusia untuk tujuan tertentu manusia. Kita tidak boleh merasa puas dengan pendapat bahwa sains dan agama merupakan dua bahasa yang tidak saling berkaitan, seolah-olah mereka merupakan dua bahasa yang berbeda tentang dunia yang sama. Jika berupaya mencari penafsiran koheren atas semua pengalaman, kita tidak bias menghindar dari mencari pandangan dunia yang lebih terpadu.

Jika sains dan agama benar-benar independent, kemungkinan terjadinya konflik bias dihindari, tetapi memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas. Kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun sebagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspek yang berbeda.

3. Dialog

(8)

Dialog memotret hubungan yang lebih konstruktif antara sains dan agama daripada pandangan Konflik dan Independensi. Namun, Dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana diajukan pandangan Integrasi. Dialog mungkin muncul dengan mempertimbangkan pra-anggapan dalam upaya ilmiah, atau mengeksplorasi kesejajaran metode antara sains dan agama, atau menganalisis konsep dalam satu bidang dengan konsep lain. Dalam membandingkan sains dan agama, Dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan, metode, dan konsep. Sebaliknya Independensi menekankan perbedaan yang ada.

a. Pra-anggapan dan Pertanyaan-Pertanyaan Batas

Para sejarahwan meneliti mengapa sains modern lahir di Barat Judeo-Kristiani di antara seluruh kebudayaan dunia. Maslah ini bias dijawab dengan menyatakan bahwa doktrin penciptaan telah merangsang kegiatan ilmiah. Pemikiran Yunani ataupun biblikal menegaskan bahwa dunia ini teratur dan dapat dipahami. Akan tetapi, orang Yunani berpendapat bahwa keteraturan merupakan keniscayaan dan dengan demikian, orang dapat menurunkan struktur alam semesta dari prinsip pertama. Pemikiran biblikal berkeyakinan bahwa Tuhan menciptakan bentuk dan materi yang berarti bahwa dunia tidak hadir sebagaimana sekarang dan bahwa detail-detail keteraturannya ini riil dan baik dalam pandangan Alkitab, ia tidak dengan sendirinya berwatak ilahiah sebagaimana dianut oleh banyak kebudayaan kuno, dan oleh karena itu, manusia diperbolehkan untuk bereksperimen dengan alam.15

Namun kita tidak boleh gegabah membesar-besarkan peran pemikiran Kristen bagi kebangkitan sains. Sains Arab melakukan kemajuan luar biasa pada Abad Pertengahan, era ketika Barat lebih berorientasi kea lam akhirat (meskipun teknologi praktis dan penting dibangun, terutama di lingkaran gereja). Ketika berkembang di Erpa, sains modern didukung oleh kepentingan humanities dalam Renaisens, pertumbuhan pertukangan, perdagangan, komersial, pola-pola baru dalam bidang hiburan dan pendidikan. Akan tetapi, gagasan tentang penciptaan tampaknya memberikan legitimasi religius bagi eksplorasi ilmiah. Beberapa saintis generasi awal percaya bahwa dalam bekerja, mereka berpikir tentang pikiran Tuhan.16

Dewasa ini, pertanyaan-pertanyaan batas (limit question) telah diangkat oleh sains, tetapi tidak dapat dijawab oleh sains itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kadang-kadang disebut “pertanyaan-pertanyaan batas” (boundary question), merujuk ke batas-batas metodologis dan konseptual serta spasial temporal. Thomas Torrance, teolog asal Skotlandia, berpendapat bahwa sains telah mengajukan masalah-masalah fundamental yang tidak dapat ia jawab sendiri. Sains

15Cristopher Kaiser, Creation and the History of Science (Grand Rapids: Eerdmans, 1991)

(9)

menunjukkan kepada kita tatanan yang rasional dan kontingen (adalah hal yang tidak niscaya tetapi tidak mustahil adanya dan intelijibilitas mendorong kita untuk meneliti bentuk-bentuk baru dan tak terduga dari tatanan rasional. Kaum teolog mengatakan bahwa Tuhan adalah landasan kontingen bagi tatanan yang kontingen dan rasional dari alam semesta. “Korelasi dan rasionalitas itu dalam konteks Tuhan lebih jauh telah mempertimbangkan sifat misterius dan mengagumkan dari intelijibilitas yang melekat pada alam semesta, dan menjelaskan perasaan kuat tentang agama yang memanggil kita, dan yang seperti dikatakan Einstein, menjadi dorongan utama sains”.17 Teori-teori yang berkaitan

dengan Dentuman Besar dan asal usul alam semesta, khusunya, telah mengangkat berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan batas-batas temporal, spasial, dan konseptual. Mengapa ada alam semesta?

b. Kesejajaran Metodologis dan Konseptual

Pendukung materialisme ilmiah umumnya menganggap sains bersifat objek. Teori sains diuji dengan criteria yang tegas dan kesesuaiannya dengan data yang bebas teori. Data sains tidak dipengaruhi oleh kecenderungan individu atau budaya. Sebaliknya, agama sangat subjektif dan dipengaruhi oleh asumsi individu dan budaya. Sains menuntut pengamatan yang berjarak dan penalaran yang logis, sedangkan agama menuntut keterlibatan personal dalam tradisi tertentu dan seperangkat praktik.

Akan tetapi, beberpa ahli sejarah, filosof sains, dan teolog mempertanyakan pembedaan yang tajam ini. Mereka berargumen bahwa sains tidaklah seobjektif dan agama tidaklah sesubjektif sebagaimana yang diduga. Ada perbedaan titik tekan antara kedua bidang ini, tetapi pembedaan ini tidaklah mutlak. Data ilmiah bersifat sarat-teori dan tidak bebas-teori. Asumsi-asumsi teoritis mengalami pemilahan, pelaporan, dan penafsiran terhadap apa yang dianggap sebagai data. Lebih dari itu, teori tidak lahir dari analisis data secara logis, tetapi dari tindakan imajinsi kreatif yang di dalamnya analogi dan model sering berperan. Model-model konseptual membantu kita membayangkan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung, terutama di alam yang sangat besar (atronomi) dan sangat kecil (fisika kuantum).

Karakteristik semacam itu juga ditemukan dalam agama. Data agama meliputi pengalaman keagamaan, ritual, teks kitab suci. Dat semacam itu lebih banyak diwarnai penafsiran konseptual.

Metafora dan model juga berperan penting dalam bahasa agama, sebagaimana yang dibahas dalam tlisan Sallie McFague dan Janet Soskice.18 Jelasnya, keyakinan keagamaan tidak mengalami pengujian

17Thomas Torrance, God and the Contingent World, Zygon 14 (1979): 347. Lihat juga dalam Divine and Contingent Order (Oxford: Oxford University Press, 1981)

(10)

empiris secara ketat, tetapi didekati dengan semangat pencarian yang sama sebagaimana dalam sains. Kriteria sains seperti koherensi, kekomprehensifan, dan kemanfaatan mempunyai kesejajaran sama dengan pemikiran keagamaan.

Beberapa penulis mengangkat kesejajaran metodologis antara sains dan agama. Semua penulis ini mengakui bahwa ada perbedaan metode antara sains dan agama. Sains jauh lebih ebjektif daripada agama dalam setiap hal yang telah disebutkan tadi. Jenis data yang dipakai agama berbeda jauh dengan data sains, dan kemungkinan untuk menguji keyakinan agama jauh lebih terbatas. Agama lebih dari sekedar system intelektual karena tujuannya adalah melakukan transformasi personal dan menawarkan jalan hidup. Akan tetapi, semua penulis ini menekankan bahwa ada kesejajaran metode yang signifikan dalam kedua bidang ini, termasuk penggunaan criteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Mereka berpendapat bahwa teologi merupakan upaya kritik dari reflektif yang dapat membuka wawasan baru, termasuk yang berasal dari sains.

Di samping kesejajaran metodologis, kesejajaran konseptual antara sains dan agama juga dieksplorasi oleh beberpa penulis. Komunikasi informasi dalam sains, misalnya menawarkan beberapa kesejajaran yang menarik dengan pandangan biblikal tentang Firman Tuhan dalam penciptaan. Pendeknya, kesejajaran konseptual dan metodologis seperti halnya pra-anggapan dan pertanyaan-pertanyaan batas, menawarkan kemungkinan tentang dialog bermakna antara sains dan agama sembari mempertahankan integritas masing-masing.

4. Integrasi

Beberapa penulis menyerukan perumusan ulang gagasan-gagasan teologi tradisional yang lebih ekstensif dan sistematis daripada yang dilakukan oleh pendukung dialog. Ada tiga versi berbeda dalam inegrasi. Dalam natural theology, terdapat kalaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (atau didukung oleh) bukti tentang desain alam, yang tentangnya alam membuat kita semakin menyadarinya. Dalam theology of nature, sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi teori-teori ilmiah bisa berdampak kuat atas perumusan ulang doktrin-doktrin tertentu, terutama doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia. Dalam sintesis sistematis, sains ataupun agama memberikan kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif, seperti filsafat proses.

a. Natural Theology

Terdapat beberapa contoh natural theology dari abad-abad lalu. Thomas Aquinas berpendapat bahwa beberapa sifat Tuhan dapat diketahui hanya dari wahyu dalam kitab suci, tetapi eksistensi Tuhan itu sendiri dapat diketahui hanya dari nalar. Salah satu bentuk argumen kosmologis

(11)

mengatakan bahwa seluruh rantai sebab-sebab natural (terbatas atau tidak terbatas) besifat kontingen dan bisa jadi sebelumnya tidak demikian. Ia bergantung pada suatu wujud yang mengada secara niscaya. Argument teleologis (dari telos, bahsa Yunani, berarti tujuan) Aquinas berangkat dari keteraturan dan intelijibilitas sebagai ciri umum alam semesta, tetapi menunjukkan bukti tentang desain alam. 19

Pembangun sains modern sering menyatakan ketakjubannya atas koordinasi alam yang harmonis, yang mereka pandang sebagai karya tangan Tuhan. Newton mengatakan bahwa mata tidak dapat dirancang tanpa kecakapan yang tinggi dalam bidang optik, dan Robert Boyle mengagumi bukti-bukti yang melimpah tentang desain di seluruh alam semesta. Pada abad ke-18. dunia dipandang sebagai mekanisme jam dengan Tuhan sebagai Perancangnya. Akan tetapi, filosof David Hume melakukan kritik tajam terhadap argumen desain semacam itu. Dia mengamati bahwa ada prinsip-prinsip pengatur yang bertanggung jawab atas pola-pola di alam. Prinsip-prinsip-prinsip pengatur tersebut bisa jadi terkandung di dalam organisme, bukan di luarnya. Dia mengatakan bahwa argumen ini setidak-tidaknya akan mengarah ke eksistensi Tuhan yang terbatas atau eksistensi tuhan-tuhan yang tidak mengarah ke eksistensi Pencipta Yang Mahakuasa sebagaimana yang diyakini agama monoteis. Dia juga mengklaim bahwa adanya kejahatan dan penderitaan di dunia telah melemahkan argumen-desain tradisional.20

Meskipun ada kritik Hume, argumen desain-ilahi tetap sangat populer. Di antara filosof kontemporer, Richard Swinburne adalah pembela gigih natural theology. Dia berangkat dari mendiskusikan teori konfirmasi (confirmation theory) dalam filsafat sains. Dalam perkembangan sains, bukti-bukti baru ternyata tidak selalu mengukuhkan teori yang sudah ada. Alih-alih suatu teori mempunyai penerimaan awal karena kesederhanaannya dan potensi kebenarannya akan mengurangi atau menambahi bukti-bukti tambahan yang diperlukan (teorema Bayes). Swinburne mengatakan eksistensi Tuhan mempunyai kemasukakalan awal (initial plausibility) karena kesederhanaannya dan memberikan penjelasan secara terpadu tentang dunia dalam kerangka tujuan pelaku. Dia kemudian berargumen bahwa bukti-bukti tentang keteraturan dunia memperbesar kemungkinan bagi hipotesis teistik. Dia juga berpendapat bahwa sains tidak bisa dianggap yang bertanggung jawab atas kehadiran makhluk berkesadaran di dunia. “Sesuatu di luar jaringan hokum fisika” dibutuhkan untuk menjelaskan terbitnya kesadaran. Akhirnya, pengalaman keagamaan menyediakan “bukti penting tambahan”. Swinburne menyimpulkan, “Berdasarkan bukti-bukti yang ada, seisme lebih memungkinkan untuk diterima daripada tidak.”21

19Anthony J.P. Kenny, The Five Ways of St. Thomas Aquinas’ Proofs of God’s Existence (New York: Schocken Books, 1969)

20David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion [1779] (New York: social science publishers, 1948)

(12)

Versi mutakhir argumen-desain adalah Prinsip Antropik dalam kosmologi. Para astrofisikawan menunjukkan bahwa kehidupan di alam semesta akan menjadi mustahil andaikata beberapa tetapan fisika dan beberapa kondisi-kondisi lain pada alam semesta dini sedikit berbeda dengan nilai yang kini diketahui. Alam semesta tampaknya “tertala” (fine-tuned) dengan amat cermat sehingga memungkinkan munculnya kehidupan. Stephen Hawking menghitung bahwa andaikata laju pengembangan alam semesta pada satu detik setelah Dentumsn Besar lebih kecil daripada 1 per 100.000.000.000.000.000 (atau 1017), alam semesta akan runtuh kembali sebelum kehidupan dapat

terbentuk.22

Natural theology mempunyai daya tarik kuat di dunia multi-agama karena berangkat dari bukti ilmiah yang berpotensi untuk mencapai kesepakatan di antara berbagai budaya dan agama. Lebih lanjut, ia konsisten dengan kekaguman dan keterpesonaan personal yang dirasakan para saintis dalam kerja mereka. Pendukung argumen-desain kini tidak mengklaim bahwa argumen-desain menawarkan bukti yang konklusif bagi teisme; mereka menegaskan bahwa semakin sederhana klaim yang mempercayai Sang Perancang tentulah lebih berterima daripada (atau paling tidak setara dengan) usulan penafsiran alternative. Ini dapat membantu mengatasi kendala untuk percaya dan dapat mengarah ke keterbukaan labih besar bagi bentuk-bentuk pengalaman keagamaan dan bagi partisipasi dalam komunitas keagamaan. Pada sisi lain, keterbatasan dari argument desain-ilahi tetap diakui. Dipandang secara terpisah, argument-desain paling-paling mengarah ke Tuhan menurut paham deisme: Sang Perancang yang jauh dari dunia. Bagaimanapun, argumen-desain dapat digabungkan dengan keyakinan teistik berdasarkan pengalaman keagamaan personal dan tradisi historis. Pendukung theology of nature dapat menggunakan argumen-desain, tetapi cenderung tidak memberinya posisi sentral dalam kehidupan dan pemikiran mereka.

b. Theology of nature

Theology of nature tidak berangkat dari sains sebagaimana natural theology. Alih-alih, ia berangkat dari tradisi keagamaan berdasakan pengalaman keagamaan dari wahyu historis. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa bebrapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam sinaran sains terkini. Di sini, sains dan agama dipandang sebagai sumber ide-ide yang relative independen, tetapi bertumpang tindih dalam bidang minatnya. Secara khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains. Jika kepercayaan agama hendak diselaraskan dengan pengetahuan ilmiah, kita mesti melakukan penyesuaian dan modifikasi yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis Dialog. Dikatakan bahwa teolog harus mengambil bentangan–luas sains yang telah diterima secara luas, alih-alih beresiko mengadaptasikannya ke teori

(13)

terbatas atau spekulatif yang cenderung diringgalkan pada masa mendatang. Doktrin teologi harus konsisten dengan bukti ilmiah bahkan jika ia tidak dipengaruhi langsung oleh teori sains terkini.

Pandangan kita tentang sifat umum alam mempengaruhi model hubungan Tuhan dengan alam. Alam kini dipahami sebagai proses evolusioner dinamis dengan sejarah panjang kebaruan yang muncul yang ditandai oleh kebetulan (chance) dan hukum (law). Karakteristik ini mengubah representasi dalam hubungan antara Tuhan dan manusia dengan alam bukan manusia. Ini pada gilirannya mempengaruhi sikap kita terhadap alam dan berimplikasi praktis bagi etika lingkungan. Problem kejahatan huga dipandang secara berbeda dalam dunia evolusioner daripada dalam dunia statis.

Bagi Arthur Poacocke, biokimiawan dan teolog, titik berangkat refleksi teologi adalah pengalaman keagamaan masa lalu dan masa kini dalam komunitas keagamaan yang berkembang. Keyakinan keagamaan diuji dengan konsensus komunitas dan dengan koherensi, kekomprehensifan, dan kemanfaatan. Akan tetapi, Poacocke hendak merumuskan ulang kepercayaan tradisional demi merespons sains terkini. Dia mendiskusikan secara panjang lebar bagaimana kebetulan dan hukum

bekerja bersama-sama dalam kosmologi, fisika kuantum, termodinamika non kesetimbangan, dan evolusi biologis. Dia menggambarkan munculnya bentuk-bentuk aktivitas yang khas pada tingkat kompleksitas yang lebih tinggi, dalam hierarki bertingkat dalam kehidupan organis dan pikiran. Dia memberikan peran positif pada kebetulan dalam eksplorasi dan ekspresi potensialitas pada semua tingkat. Tuhan mencipta melalui seluruh proses hukum dan kebetulan, tidak dengan mengintervensi celah-celah proses. Tuhan mencipta di dalam dan melalui proses dunia alami yang disingkap sains.23

Versi mutakhir theology of nature dapat ditemukan di kalangan penulis feminis. Mereka menunjukkan adanya korelasi di antara dualisme yang begitu melekat dalam pemikiran Barat. Pikiran/tubuh, nalar/emosi, objektivitas/subjektivitas, dominasi/kepasrahan, kekuatan/cinta. Dalam setiap kasus, istilah pertama dari setiap pasangan (pikiran, nalar, objektivitas, dominasi, dan kekuatan) tersebut diidentifikasi dalam budaya kita sebagai bersifat maskulin, sedangkan istilah kedua (tubuh, emosi, subjektivitas, kepasrahan, dan cinta) sebagai bersifat feminin. Budaya patriarkat secara histories, lelaki memegang posisi tertinggi dalam kekuasaan, telah melestarikan citra maskulin Tuhan. Lebih jauh lagi, istilah pertama dadri setiap pasangan tersebut dipandang sebagai karakter sains, utamanya dalam upayanya untuk mendominasi dan mengendalikan alam. Beberapa feminis berpendapat bahwa eksploitasi atas perempuan dan alam mempunyai akar ideologis yang sama di Barat. Ekofeminis yang radikal menengok ke budaya pribumi bagi symbol-feminin ilahiah dan

(14)

pemulihan kesucian alam.24 Pada sisi lain, feminis berhaluan reformis percaya bahwa watak patriarkat

dari Kristen historis dapat disisihkan tanpa perlu menolak tradisi secara keseluruhan.25

“Saya percaya bahwa theology of nature harus ditarik dari sains dan agama dalam upaya untuk merumuskan etika lingkungan yang relevan dengan dunai kontemporer. Hanya sainslah yang dapat memasok data yang diperlukan untuk mengevaluasi ancaman tehadap lingkungan yang muncul dari teknologi dan gaya hidup kita. Akan tetapi, kepercayaan agama secara signifikan mempengaruhi sikap terhadap alam dan motivasi tindakan kita. Pembela lingkungan mengkritik tajam atas Kristen kalsik atas sikapnya yang menarik garis batas yang tajam antara manusia dan alam bukan manusia, dan atas penekanannya pada transendensi Tuhan yang melampaui imenensi-Nya.26

c. Sintesis Sistematis

Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains dan agama memberikan kontribusi ke arah pandangan dunia yang lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif. Metafisika adalah pencarian seperangkat konsep umum yang dapat menafsirkan berbagai aspek realitas (secara terpadu). Skema konseptual yang inklusif diupayakan sedemikian sehingga dapat mewakili karakteristik fundamental bagi semua fenomena. Metafisik semacam itu merupakan bidang garapan filosof daripada saintis atau teolog, tetapi dapat berfungsi sebagai arena refleksi bersama.

Filsafat proses (process philosophy) merupakan kandidat yang menjanjikan untuk menjadi penengah dewasa ini karena ia sendiri dirumuskan di bawah pengaruh gagasan sains dan agama. Filsafat proses mengatakan bahwa penyusun dasar realitas bukanlah dua jenis maujud alami (dualisme pikiran/materi) atau satu jenis maujud abadi (materialisme), melainkan satu jenis peristiwa yang mempunyai dua aspek atau dua fase. Filsafat ini bersifat monistik dalam memotret karakter umum dari semua peristiwa, tetapi mengakui bahwa semua peristiwa dapat diorganisasi dengan beragam cara, mengrah ke keragaman pengaturan untuk berbagai tingkat. Semua maujud terorganisasi semacam organisme (bukan agregat tak terintegrasi seperti batu) yang mempunyai realitas luar dan realitas dalam, tetapi tiap-tiap maujud tersebut mengambil bentuk yang sangat berbeda pada berbagai tingkat. Interioritas sangat bervariasi, dari memori, perasaam, daya tanggap, dan antisipasi yang sederhana pada organisme tingkat rendah hingga kesadaran pada organisme

24Irene Diamond dan Gloria Feman Orenstein, Reweaving the World: The Emergence of Ecofeminism (San Francisco: Sierra Club Books, 1990); Judith Plant, peny., Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism (Philadelphia: New Society Publishers); Carol Adams, peny., Ecofeminism and the Sacred (New York: Continuum, 1993)

25Sallie McFague, Models of God: Theology of an Ecological, Nuclear Age (Philadelphia: Fortress Press, 1987); Rosemary Radford Ruether, Gaia and God: An Ecofeminism Theology of Earth Healing (San Francisco: Harper San Francisco, 1992)

(15)

tingkat tinggi yang mempunyai system saraf pusat. Dipandang dari dalam, interioritas dapat ditafisrkan sebagai suatu momen pengalaman kendatipun mengalami pengalaman sadar (conscious) hanya terjadi di organisme tingkat tinggi, dan kesadaran tinggi reflektif menjadi ciri khas manusia. Secara genuine, fenomena baru muncul dalam sejarah evolusi, tetapi kategori dasar metafisika berlaku untuk semua peristiwa.27

Bagi filosof proses, Tuhan adalah sumber kebaruan dan tatanan. Penciptaan adalah proses yang panjang dan belum sempurna. Tuhan mendapatkan penciptaan diri dari entitas individual, dan karena itu memungkinkan munculnya kebebasan dan kebaruan serta tatanan dan struktur. Tuhan bukanlah kedaulatan transenden sebagaimana yang diyakini Kristen klasik. Tuhan berinteraksi secara timbal balik dengan dunia, berpengaruh atas semua peristiwa, tetapi tidak pernah menjadi sebab tunggal untuk semua peristiwa. Metafisika memahami setiap peristiwa baru sebagai produk maujud masa lau, tindakan diri, dan aksi Tuhan. Di sini, Tuhan mentransendensi dunia, tetapi Dia juga imanen di dunia dengan cara tertentu dalam struktur setiap peristiwa. Kita tidak mempunyai rentetan peristiwa alami murni yang diselingi oleh peristiwa yang dikendalikan Tuhan sepenuhnya.

Filsafat proses menolak gagasan terhadap kemahakuasaan Tuhan; mereka percaya pada ajakan, bukan paksaan, Tuhan dan mempunyai analisis khas tentang kebetulan, kebebasan manusia, kejahatan dan penderitaan dunia. Filsafat proses juga memberikan sumbangan khas bagi etika lingungan. Kehidupan manusia dan bukan manusia tidak dapat dipisahkan secara tegas. Jika makhluk lain sebagai pengalaman, mereka juga mempunyai nilai yang intrinsik dan bukan sekedar instrumental bagi manusia. Tema proses yang berkaitan dengan dampak lingkungan adalah penekanannya pada transendensi (meski tak mengabaikan imanensi). Filsafat proses yang cenderung menekankan imanensi Tuhan di alam raya (tanpa mengabaikan transendensi) akan mendorong penghormatan yang lebih besar terhadap terhadap alam.

Dalam upaya merumuskan theology of nature, metafisika yang sistematis semacam filsafat proses ini dapat membantu kita dalam mencari visi yang koheren. Akan tetapi, ini tidak berarti agama atau sains hendak disamakan dengan sistem metafisika. Ada bahaya jika gagasan-gagasan sains atau agama diselewengkan demi menyesuaikan diri dengan sintesis yang mengklaim mencakup semua realita. Kita harus selalu mempertimbangkan keluasan pengalaman manusiawi. Kita mendistorsikannya jika kita memotong-motongnya menjadi ranah-ranah yang terpisah atau penggarisbatasan yang tegas, tetapi kita juga mendistorsikannya jika kita memaksakannya sesuai dengan sistem intelektual yang ketat. Visi koheren tentang realitas harus memungkinkan keunikan berbagai pengalaman yang ada.

(16)

Ian G. Barbour berbicara tentang adanya spektrum empat hubungan yang mungkin antara sains dan agama, yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi sebagaimana telah dijelaskan di atas.28 Spektrum relasi sains dan agama versi Barbour ini tampaknya juga mencerminkan

perkembangannya secara kronologis begitu warisan sains dari peradaban Islam mengalami sekulerisasi.

Dalam hubungan konflik agama dan sains saling menegasikan kebenaran yang lain alias kontradiktif. Hal ini dapat dicontohkan dengan hukuman Galileo Galilei yang diberikan oleh Gereja Katolik pada abad ke-17. Juga penolakan Gereja Katolik pada abad e-19 terhadap teori evolusi Darwin merupakan contoh lainnya. Contoh terbaru adalah gerakan Kreasionisme para inteletual Kristen pada abad ke-20.

Penolakan fundamentalisme religius secara dogmatis ini mengalami perlawanan yang smaa dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak objektivisme sains. Namun, tidak semua ilmuwan berpandangan dengan sikap bermusuhan seperti itu. Sebagian besar justru menganut pandangan independensi di mana agama dan sains dianggap mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai. Mereka yang berpandangan seperti ini menganggap agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains hanya berhubungan dengan fakta. Pandangan yang seperti inilah yang diyakini oleh biolog Stephen Jay Gould dalam konsepnya tentang non-overlapping magisteria (NOMA), yaitu dua urusan yang tak berpotongan. Sebaliknya, kaum agamawan juga menganut ajaran independensi itu sendiri. Hanya saja, mereka menganggap sumber nilai-nilai itu adalah Tuhan Maha Pencipta semua alam yang nyata maupun yang gaib.

Mengenai yang pertama dan alam gaib hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan, sedangkan sains hanya berkaitan dengan alam nyata. Dengan demikian, pandangan independensi ini walaupun dengan interpretasi yang sedikit berbeda menjamin kedamaian antara agama dan sains.

Selanjutnya, dalam hubungan dialogis, agama dan sains mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan satu sama lainnya. Barangkali pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat fisikawan besar, Albert Einstein, yang terkenal itu. Einstein mengatakan bahwa “Religion without science is blind; science without religion is lame.” Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama sains menjadi lumpuh. Mungkin Einstein mengingat religiusitas para pelopor sains modern, seperti Copernicus, Keppler, dan Newton.

Belakangan, pendekatan dialog ini telah melahirkan pendekatan yang lebih bersahabat, yaitu pendekatan integrative. Dalam hubungan integratif, sains dan agama menyadari akan adanya suatu

(17)

wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis.

Pandangan integratif lain yang bekerja pada tataran lebih fundamental. Pandangan ini adalah pandangan pluralisme epistemologis postmodern. Dalam pandangan ini, baik agama maupun sains dapat bekerja sama karena keduanya merupakan interpretasi intersubjektif yang berbeda-beda pada pengalaman manusia, seperti halnya seni, sastra, dan filsafat yang setara satu sama lain. Pandangan yang banyak dianut para budayawan humaniora ini tentu saja ditolak oleh kebanyakan ilmuwan kealaman yang menganggap objektivitas sebagai hal yang mutlak. Begitu juga para agamawan menolaknya karena telah merelatifkan dogma keimanan yang mereka anggap mutlak.

Oleh karena itu, perlu dicari sebuah pandangan fundamental lain bagi dialog interaktif antara sains dan agama. Menggantikan konsep pluralitas dengan paham konsep integralitas adalah salah satu upaya untuk mencari landasan bersama bagi dialog itu.29

(18)

BAB II

KEILMUAN INTEGRATIF

Islam dewasa ini, dalam kondisi terpuruk, terutama secara psikologis dengan dikaitkannya ulah sekelompok kecil dari umat Islam dengan terorisme internasional. Di lain pihak, peradaban barat sedang mengalami transformasi besar. Transformasi ini diawali dengan runtuhnya paradigma atau filsafat dasar sains modern selama ini. Krisis di dunia Barat itu telah melahirkan pandangan postmodernisme yang mempunyai dua sayap: a. Sayap kiri, pos-strukturalisme pluralistic dan b. Sayap kanan, holisme monistik.

Munculnya kedua sayap ini adalah kelanjutan dari terbelahnya kebudayaan modern menjadi cabang-cabang budaya yang otonom, yaitu seni, sains, dan teknologi. Kelompok yang berkecimpung di dunia seni biasanya cenderung menganut sayap kiri posmodernisme/pos-strukturalisme pluralistik, sedangkan yang ilmuan cenderung menganut sayap kanan holisme monistik. Yang menarik dari kedua sayap itu adalah kendati mempunyai sudut pandang yang bertentangan, mempunyai satu kesamaan, yaitu mereka pada dasarnya sama-sama mencoba manyatukan apa yang telah dipisahkan oleh budaya modern atau proses modernisasi sekuler. Keduanya mencoba melalui paradigma modernitas dengan sejenis kesatuan.

Kesatuan yang diajukan oleh pos-strukturalisme adalah pluralisme, relativisme mutlak, dan fragmentasi. Sedangkan yang diajukan oleh holisme adalah monodualisme, relativisme kontekstual, dan integrasi. Pada paradigma posmodernisme, sains dan agama sama-sama menjadi relatifnya dengan seni. Sedangkan paradigma holisme, sains, agama, dan seni mempunyai kedaulatan sendiri-sendiri dalam suatu monodualisme di mana sains dan teknologi bersifat objektif, sedangkan agama dan seni bersifat subjektif. Tentu saja kedua paradigma baru peradaban Barat ini tidak dapat diterima oleh para ilmuwan dan agamawan.

Wacana tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul cukup lama. Meski tak selalu menggunakan kata integrasi secara eksplisit, di kalangan Muslim modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu (iman), telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban islam, ilmu dan agama telah integrated. Dalam konteks Indonesia, secara lebih khusus ini tampak dalam wacana mengenai transformasi dari IAIN/STAIN menjadi UIN, dan karena istilah yang digunakan adalah

reintegrasi yang nanti akan didiskusikan lebih lanjut.

(19)

berkambang di Barat, tetapi pengaruhnya kini telah amat menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia.

Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan.30 Keduanya memiliki wilayah

sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggara. Dengan ungkapan lain, ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu.31

Bahwa agama mesti diintegrasikan atau dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan manusia, tampaknya tak memerlukan penjelasan lebih jauh. Hanya dengan inilah agama bisa bermakna dan menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia, atau bahkan keseluruhan alam semesta.

Karena itu, tampak alamiah saja ketika dalam memperbincangkan ilmu dan agama, “integrasi” tampaknya menjadi kata kunci untuk mengungkapkan sikap yang dianggap paling tepat, khususnya dari sudut pandang umat beragama.32 Secara harfiah, integrasi berlawanan dengan pemisahan, suatu

sikap yang meletakkan tiap-tiap bidang kehidupan ini dalam kotak-kotak yang berlainan. Namun, kita melihat dalam sejarah, sikap ekspansionis agama maupun sains menolak pengaplingan wilayah ini, keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilayah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Namun, ketika suatu kotak didiami oleh kedua entitas ini, terbukalah peluang bagi terjadinya konflik antara keduanya.

Integrasi ingin mendayung di antara dua karang itu: membuka kotak yang bermakna antara agama dan ilmu, tetapi tidak terjebak dalam konflik. Ini cara pertama yang mencirikan integrasi. Dengan pencirian ini, bagi kaum beragama, integrasi tampaknya telah menjadi suatu sikap yang

religiously correct yakni bahwa memang sudah seharusnya ilmu dan agama dipadukan.

Persoalannya kemudian adalah pemaduan seperti apa yang bisa dilakukan? Bisa diduga, integrasi tak bermakna tunggal. Dalam wacana tentang ilmu dan agama, integrasi dalam artian generiknya sebagai upaya memadukan ilmu dan agama memang dapat dan telah dimaknai secara berbeda-beda. Memadukan tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukan. Identitas

30M. Amin Abdullah menyatakan bahwa konotasi penyebutan “agama” dapat berarti macam-macam. Bisa berupa kelembagaan agama, ritus-ritus agama, dogma agama, tradisi agama,dan seterusnya. Namun yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, moralitas, dan etika yang dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya Islam.

31M. Amin Abdullah, 2004. Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. Yogyakarta; Suka Press. Hal. 3

(20)

dan watak dari kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan.

Kebanyakmaknaan integrasi akan makin jelas jika kita melihat bahwa secara logis [andangan seseorang tentang hubungan sains dan agama niscaya dipengaruhi cara ia memandang sains (hakikatnya, metodenya, tujuannya) dan cara ia memandang agama. Padahal kita tahu, dari kajian tentang sains dan agama, bahwa ada beragam pandanagn tentang keduanya. Di samping itu, ada pula fakta bahwa masing-masing memiliki cukup banyak dimensi. Karenanya, setidaknya secara logis pasti akan beragam pula cara mempertemukan atau memadukan keduanya.

Mengakhiri Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Praktek Kependidikan

Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula berpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik di satu sisi, yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, berhadapan dengan pola pengembangan keilmuan agama yang

spesifik-parsialitik di sisi lain, yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan fiqh. Keterpisahan secara diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis, berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya.33 Dalam ketiga revolusi

peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi industri, dan revolusi informasi, tidak ada satu pun ilmuwan muslim tercatat namanya dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.34

Perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekuler sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum yang tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di satu pihak, sementara di lain pihak perkembangan dan pertumbuhan Perguruan Tinggi Agama yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-keagamaan di tanah air.

Dari sini tergambar bahwa ilmu-ilmu sekuler yang dikambangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekaranmg ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat menyelesaikan banyak persoalan), mengalami kemndekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternative-alternatif yang

33Menurut laporan pengembangan Mnausia (Human Development Report 2002-UNDP), nilai Human

Development Index (HDI) 2000, Indonesia mendapat nilai 0,688 (urutan 109). Untuk diketahui, HDI adalah indeks campuran yang merupakan ukuran rata-rata prestasi atas tiga dimensi dasar dalam pengembangan atau pembangunan manusia: a. Long and healty life, b. Knowledge, c. Kelayakan standar hidup (a decent standard of living)

(21)

lebih mensejahterakan manusia) damn penuh bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban). Dari latar belakang seperti itulah gerakan rapprochment

(kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan merupakan suatu keniscayaan.gerakan raprochment dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemology keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak dipoerlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada millennium ketiga serta tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah Allah fil al-ardh.35

Tantangan di era globalisasi menuntut respon yang tepat dan cepat dari system pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslim tidak hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan keniscayaan.36

Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hokum, kebijaksanaan, serta sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut

teoantroposentris.

Modernisme dan sekulerisme sebagai hasil turunannya yang menghendaki diferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak pandang atau horizon berpikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu ada perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sector kehidupan lain, maka dideferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.

Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu, bagaimana ilmu diproduksi, tujuan-tujuan iilmu. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan aksiologi keilmuan (whyness).

35M. Amin Abdullah, 2004. Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. Yogyakarta; Suka Press. Hal. 6-7

(22)

Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif (mengalami proses objektifikasi). Dalam arti ilmu tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non-agama, dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif (sisi historisitas-empirisitas) semata. Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif. Maka objektifitas ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk pengikut agama tertentu saja. Contoh objektivitas ilmu, antara lain dapat disebutkan: Optik dan aljabar (tanpa harus terlalu dikaitkan dengan budaya Ilsam era Haitami, Al-Khawarizmi), Mekanika dan astrofisika (tanpa dikait-kaitkan dengan budaya Yudeo-Kristiani), akupuntur (tanpa harus percaya konsep Yin-Yang Taoisme), pijet urut (tanpa harus percaya konsep animisme dan dinamisme dalam budaya leluhur), yoga (tanpa harus percaya Hinduisme), khasiat madu lebah (tanpa harus percaya kepada Al-Qur’an yang memuji lebah), perbankan syari’ah (tanpa harus meyakini etika islam tentang ekonomi).

Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistic-integralistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekulerisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyrakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi epistemologi keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negtaif agama-agama yang rigid dan radikal.

Beberapa contoh di bawah ini akan memberikan gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkan. Contoh dapat diambil dari ilmu ekonomi syari’ah, yang sudah nyata ada praktik penyatuan antara wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia.37 Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil

(mudharabah), dan kerjasama (al-musyarakah). Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non-agama, atau bahkan anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia. Ke depan pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, teknologi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan, dan seterusnya.

Dalam ilustrasi hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik terlihat adanya jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, telihat pula

(23)

sosok manusia beragama (islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh selalu dibarengi etika moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dimaknai secara baru (heurmenetis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hdup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.38

Dengan demikian, integrasi sains dan agama dapat dilakukan dengan mengambil inti filosofis ilmu-ilmu keagamaan fundamental islam sebagai paradigma sains masa depan. Inti filososfis itu adalaha adanya hierarki epistemologis, aksiologis, kosmologis, dan teologis yang bersesuaian dengan hierarki integralisme: materi, energi, informasi, nila-nilai, dan sumber. Proses integrasi ini dapat dianggap sebagai islamisasi sains sebagi bagian dari proses islamisasi peradaban masa depan.39

38Lihat lebih jelas gambar jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik dalam buku Integrasi Sains dan Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Yogyakarta; Suka Press.

(24)

BAB III

ISLAM DAN ILMU BIOLOGI

A. Ilmu Biologi

Biologi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan ilmu lainnya dalam hal objek, persoalan dan metodenya. Di dalam struktur keilmuan menurut BSCS persoalan yang dikaji dalam Biologi meliputi 9 tema dasar yaitu : (1). Biologi (sains) sebagai proses inkuiri/penemuan, (2) sejarah konsep biologi, (3) evolusi, (4). Keanekaragaman dan keseragaman, (5) genetic dan keberlangsungan hidup, (6). Organisme dan lingkungan, (7) perilaku, (8) struktur dan fungsi dan (9) regulasi. 40

Mempelajari biologi dilakukan dengan metode ilmiah. Metode ilmiah akan menghasilkan produk ilmiah, yaitu:

1) Fakta : tumbuhan bergerak, hewan beranak 2) Konsep : fotosintesis, pertumbuhan, reproduksi 3) Prinsip : fotosintesis menghasilkan oksigen

4) Prosedur : penggunaan mikroskop, penggunaan thermometer 5) Teori : teori evolusi, teori biogenesis, teori neobiogenesis

6) Hukum dan postulat: Hukum Mendel, hukum Hardy-Weinberg, Postulat Koch. 41

B. Islam dan Biologi

Di dalam Al-Quran ditemukan sangat banyak ayat yang berbicara tentang makhluk hidup yang menjadi lingkup pembahasan biologi, khususnya tentang manusia. Manusia diungkap Al-Quran dalam berbagai dimensi, mulai dari asal mulanya, reproduksi, perkembangannya dari lahri hinggi akhir hayatnya sampai pada kehidupan akhir di akhirat nanti.

Hubungan Islam dan biologi juga banyak terdapat dalam persoalan-persoalannya. Diantaranya adalah:

B.1. Keanekaragaman dan Keberagaman

Masing-masing dari makhluk hidup memiliki persamaan dan perbedaan dengan makhluk hidup yang lain. Persamaan dan perbedaan antar makhluk hidup menjadi ciri-ciri untuk membedakannya dengan yang lain. Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup merupakan faktor pembeda dari banyaknya makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT.

Ciri-ciri yang nampak dapat menimbulkan keanekaragaman fenotif (sifat yang tampak pada individu). Beberapa contoh keanekaragaman morfologis dari makhluk hidup itu misalnya:

40 Anonim, 2003, Pedoman Khusus Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Biologi, Depdiknas, Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, hal.2.

(25)

- Pada manusia: keanekaragaman dalam sosok tubuh, raut muka, tinggi badan, bentuk hidung, bentuk bibir, dan sebagainya.

- Pada hewan : keanekaragaman dalam besar tubuh, warna bulu, sifat bertelur atau tidak dan sebagainya.

- Pada tumbuhan: keanekaragaman warna bunga, bentuk daun, kelebatan buah dan sebagainya.

Keanekaragaman hewan sudah diterangkan oleh Allah di dalam Al-Quran pada surat An-Nur ayat 45.

Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki.

Allah juga menerangkan keanekaragaman tumbuhan di dalam surat Abasa ayat 27-32 yang artinya:

Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaetun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat dan buah-buahan serta rumput-rumputan untuk kesenanganmu dan untuk binatang ternakmu.

Bagi manusia, ciri-ciri seseorang dapat dikenali melalui sidik jarinya. Sidik jari menjadi identitas yang sangat penting untuk mengenali seseorang.42 Di dalam keunikan ini Allah SWT menerangkan

di dalam surat Al-Qiyamah ayat 4, artinya:

Bukankah demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun ujung-ujung jarinya dengan sempurna. B.2. Genetika dan Embriologi

Genetika adalah salah satu golongan ilmu biologi yang mempelajari turun-temurunnya sifat-sifat induk atau orang tua kepada keturunannya. Genetika berkembang pesat sejak permulaan abad -20. Di bidang kedokteran, genetika mempunyai lingkup sangat luas antara lain membahas tentang aspek keluarga, antara lain penentuan jenis kelamin bayi.43

Di dalam Al-Quran Allah menerangkan:

Dan bahwasanya Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan. (Q.S. An-Nujum, 53:45-46).

Ilmu genetika yang berkembang dewasa ini membenarkan firman Allah di atas. Kini telah diketahui manusia bahwa yang berperan dalam penentuan jenis kelamin seorang anak adalah orang tua laki-laki. Di dalam penentuan jenis kelamin, kromosom Y yang dimiliki ayah yang akan berperan.

(26)

Manusia mempunyai 46 buah kromosom, terdiri dari 44 (22 pasang) autosom dan 2 (1 pasang) kromosom kelamin. Seorang perempuan memiliki 22 pasang autosom dan 1 pasang kromosom –X atau dapat dituliskan formulanya 22AAXX. Seorang laki-laki memiliki 22 pasang autosom, 1 kromosom X dan 1 kromosom –Y, maka formulanya 22AAXY.

Kromosom Y membawa gen-gen yang mengkode sifat kelaki-lakian, sedangkan kromosom X membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kewanitaan. Pembentukan seorang manusia baru berawal dari penggabungan silang salah satu kromosom kelamin kedua orang tua. Jadi, dua kromosom X pada ibu akan berpasangan dengan salah satu kromosom kelamin ayah. Pasangan tersebut dapat berbentuk XX dan XY. Jika kromosom X dari ibu berpasangan dengan kromosom X dari ayah (XX) maka anak yang akan lahir adalah anak perempuan dan jika kromosom X dari ibu berpasangan dengan kromosom Y dari ayah (XY) maka akan lahir anak laki-laki.

Dari penjelasan di atas, keyakinan bahwa penyebab lahirnya anak dengan jenis kelamin tertentu ditentukan oleh orang tua laki-laki. Seperti yang telah diterangkan Allah bahwa anak tidak akan lahir kecuali setelah air mani (sperma) dari orangtua laki-laki dipancarkan.

Di dalam embriologi, peran orang tua laki-lai yang menghasilkan sperma dan orang tua perempuan yang menghasilkan ovum sama pentingnya. Jika di dalam genetika hanya menentukan jenis kelamin, keilmuan embriologi menerangkan perkembangan janin anak setelah sperma dan ovum bersatu. Oleh karena itu, setelah penentuan jenis kelamin akan diterangkan juga tentang perkembangan janin.

Perkembangan janin di dalam rahim seorang ibu dimulai sejak terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma. Peleburan sel telur dengan sperma disebut dengan zigot. Zigot berkembang menjadi embrio dan embrio menjadi fetus.

Di dalam Quran tahapan-tahapan perkembangan bayi diterangkan di dalam surat Al-Mukminun, 23: 12-14.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu dari air mani (yang disimpan) dalam tempat kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

(27)

Kata nutfah secara harfiah berarti setetes cairan. Di dalam Al- Qur’an nutfah adalah cairan yang dipancarkan ( ke dalam rahim). Cairan yang dipancarkan adalah perpaduan dari dua cairan ( sperma dan ovum). Perpaduan ini disebut sebagai nutfah amsyaj.44 Nutfah amsyaj berkembang

dengan dibekali ciri- ciri dan sifat tertentu.45 Dalam embriologi disebut dengan istilah pra

pembentukan dimana manusia mewarisi gen dari bapak dan ibunya. (Hal 58 - 64)

Spermatozoa yang ditumpahkan tidak semua berhasil membuahi ovum. Hanya satu dari jumlah besar yang akan membuahi ovum untuk membentuk zigot yang selanjutnya tumbuh menjadi bayi. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Tidak dari keseluruhan cairan ( yang ditumpahkan) manusia dibuat, tetapi dari sebagian kecilnya saja.”46

2. Alaqah

Alaqah berarti sesuatu yang melekat kepada sesuatu yang lain. Begitu pembuahan diselesaikan oleh sperma, ovum yang telah dibuahi segera mengadakan pembelahan secara berturut- turut, membentuk sel- sel yang lebih kecil yang disebut blastomer. Pada hari ketiga, 12-16 sel seperti ini terbentuk dalam mode seperti mulberi dan karena itu bernama morula, yang tumbuh dan menjadi terisi dengan cairan dari dalam yang membentuk bola. Struktur seperti ini disebut

blastula dan rongga yang terisi dengan cairan itu disebut blastocoele. ( Hal : 69) Allah berfirman :

“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani ( yang disimpan dalam tempat yang kokoh ( rahim).47

Nutfah yang telah bercampur ( pembuahan) akan disimpan di dalam tempat yang kokoh. Saat ini tempat itu lebih dikenal dengan sebutan rahim ( uterus).

Blastula mencapai rahim pada hari ke-4 hingga ke-5 dan tinggal bebas di dalam sekresi rahim selama 2 hari selanjutnya sebelum melekat dan implantasi pada dinding rahim. Proses implantasi blastosista ke dalam endometrium membutuhkan waktu 5 hari, yaitu dari hari ke-7 hingga ke-12 dan seperti yang dikatakan Keith Moore dalam bukunya The Developing Human: “Implantasi blastosista adalah sifat khas pada tahap ini.”48

Pada hari ke-10 sesudah pembuahan, blastosista cenderung sama sekali bersembunyi atau menghilang. Ini tepat seperti yang digambarkan Al-Qur’an dimana alaqah menghilang di dalam rahim. Allah berfirman :

44 Q.S. Surat Al-Insan (76): 2 45 Q.S. Surat ‘Abasa (80): 17-19 46 HR. Muslim

47 Q.S.Al-Mu’minun (23):13

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan surat berharga dimana pemegangnya memiliki hak mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), serta

Alamat gateway pada implementasi modul network mitm pada websploit untuk memonitoring aktifitas pengguna dalam mengakses internet adalah 192.168.1.1 Berikut ini

Mulai dari proses penerimaan zakat, infak/sedekah yang diakui sesuai dengan nominal yang disetorkan kepada BAZNAS dari muzzaki, penyaluran zakat, infak/sedekah yang diakui ketika

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi dengan judul Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Menurut

Kenyataan ini menyebabk an sistem m-learning harus dikembangkan secara khusus dan dioptimasi sedemikian rupa untuk dapat kompatibel pada platform dan divais yang

Penelitian ini bermanfaat bagi proses penelitian yang dilakukan oleh penulis terutama dalam penyususnan kerangka teori yang memiliki hubungan dengan kinerja pada transaksi

Ditinjau dari segi materi, hasil penelitian menyatakan bahwa materi modul S1 PGPAUD sangat berkualitas dibuktikan dengan hasil angket yang menyatakan setuju dan sangat