BAB II
LATAR BELAKANG PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN
A.Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dan Pencatatan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa perkawinan
adalah “perjodohan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan/pertalian antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu pernikahan yang menyebabkan
halalnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tersebut. Sedangkan nikah
adalah kawin atau syarat sahnya hubungan suami isteri menurut Islam”.56
Di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur di dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat di
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.57
56
WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 876
Perkawinan
menurut UUP 1974 Pasal 1 ialah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi
menurut perundangan, perkawinan itu adalah “ikatan antara seorang pria dengan
seorang wanita”, berarti perkawinan sama dengan “perikatan” (verbintenis).
Selanjutnya dalam hal ini di lihat kembali pada Pasal 26 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (K.U.H.Perdata) yang mengatakan “Undang-undang memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal 81 K.U.H.Perdata
dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum
kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di
hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Dengan demikian jelas nampak
perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut K.U.H.Perdata dan menurut UUP
1974. Perkawinan menurut K.U.H.Perdata hanya sebagai “Perikatan Perdata”,
sedangkan perkawinan menurut UUP 1974 tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi
juga merupakan “Perikatan Keagamaan”.58
Jika ditinjau secara umum menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan
yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam
memenuhi perintah atau anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga
dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia
dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak
seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak Jika dilihat dari tujuan perkawinan yang
dikemukakan dalam Pasal 1 UUP 1974, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali dalam K.U.H.Perdata
(BW).
58
membenarkan perkawinan berlangsung tidak seagama.59 Dalam hal ini dilihat dari
agama Islam, yang jika dilihat dari segi fungsinya, hukum perkawinan Islam
merupakan bagian dari hukum muamalah, karena ia mengatur hubungan antara
sesama manusia. Hukum perkawinan dalam kepustakaan Islam, disebut fiqh
munakahat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum fiqh yang mengatur soal nikah, talak,
rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya. Sedang perkataan perkawinan sendiri
menurut hukum fiqh, disebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua arti,
yaitu:60
a. Arti menurut bahasa adalah “berkumpul” atau “bersetubuh” (wata);
b. Arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian (suci) dengan lafal tertentu
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai
suami isteri.
Sehingga menurut Hukum Islam perkawinan diartikan sebagai akad atau
(perjanjian suci) dengan lapas tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Bila ditelusuri dan diteliti
norma-norma hukum mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul.61
Menurut hukum adat perkawinan dipandang bukan saja perihal mengenai
hubungan ikatan antara suami isteri saja, merupakan juga kepentingan seluruh
59Ibid, hal. 10
60
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013),hal.68
keluarga/ kerabat dan bahkan masyarakat adat ikut berkepentingan dalam soal
perkawinan itu.Bahkan dalam pandangan hukum adat perkawinan adalah
perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan
atau keagamaan.62
Perkawinan dalam arti “perikatan adat” ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.63
Mengenai tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk
mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat
adatnya. Namun karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing
masyarakat berlainan, maka penekanan dari tujuan perkawinanpun disesuaikan
dengan sistem kekeluargaannya.64
Berarti bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan
saja merupakan “perikatan keperdataan” tetapi juga merupakan “perikatan
keagamaan”, dan sekaligus menampung pula asas-asas perkawinan menurut hukum
adat yang menghendaki bahwa perkawinan sebagai “perikatan kekeluargaan” dan
“perikatan kekerabatan”.65
2. Pengertian Lembaga Catatan Sipil
Lembaga pencatatan telah ada pada masa sebelum kemerdekaan sejak 1848
(asas konkordansi), akan tetapi baru diundangkan pada tahun 1849. Lembaga ini
62 Hasim Purba, Op.Cit, hal.5 63
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal 8-9
diperuntukkan pertama-tama bagi golongan Eropa di Indonesia, melalui Stb.1849
No.25. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa diterbitkan Reglement Catatan Sipil
yang dimuat dalam Stb.1917 No.130 jo.Stb.1919 No.81 tentang Peraturan Catatan
Sipil untuk Golongan Tionghoa, yang berlaku di Jawa dan Madura serta beberapa
daerah lain pada tanggal 1 Mei 1919. Sementara bagi golongan Bumi Putra
diterbitkan Reglement yang dimuat dalam Stb.1920 No. 751 jo. Stb. 1927 No.564
yang mulai berlaku 1 Januari 1928. Sedangkan dengan Ordonantie 1923 No.75
jo.Stb. 1936 No.607, diberlakukan Reglement Catatan Sipil bagi Golongan Bumi
Putra Kristen di Jawa dan Madura, bekas residen Menado (yang lebih dikenal dengan
nama Minahasa) serta di daerah-daerah Amboina, Saparua, dan Banda. 66
Lembaga catatan sipil tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mencatat
selengkapnya dan sejelas-jelasnya sehingga memberikan kepastian yang
sebenar-benarnya mengenai semua kejadian, antara lain : 67
a. Kelahiran;
b. Pengakuan (terhadap kelahiran); c. Perkawinan dan perceraian; d. Kematian; dan
e. Izin kawin.
Selanjutnya Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan
pendaftaran, pencatatan serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan
sejelas-jelasnya serta memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa
66
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 63
kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian.68 Sedangkan dalam Art. 16 NBW
Baru Negeri Belanda dan K.U.H.Perdata disebutkan bahwa catatan sipil merupakan
institusi untuk meregistrasi kedudukan hukum mengenai pribadi seseorang terhadap
kelahiran, perkawinan, perceraian, orang tua, dan kematian diri mereka.69
Kemudian dari kedua defenisi tersebut terdapat 5 (lima) jenis registrasi catatan
sipil, yaitu :70
a. Kelahiran b. Perkawinan c. Perceraian d. Orang tua e. Kematian
Berdasarkan Pasal 4 K.U.H.Perdata terdapat 6 (enam) jenis registrasi catatan
sipil, yaitu :71
a. Kelahiran
b. Pemberitahuan kawin c. Izin kawin
d. Perkawinan e. Perceraian f. Kematian.
Pasal 2 ayat (2) UUP 1974 menyatakan bahwa “
68Lie Oen Hock dalam Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar
Grafika,Cet. I, 2001), hal. 42
Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2)
UUP 1974 dapat dilihat bahwa setelah perkawinan dilangsungkan menurut agamanya
69Ibid 70
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya : Airlangga University Press. Cet.III, 2000), hal. 6
masing-masing tanpa melanggar hukum adat, perkawinan tersebut perlu dicatatkan
pada pejabat perkawinan, yaitu:72
a.
b.
Untuk orang Islam di Kantor Urusan Agama.
Untuk orang-orang yang beragama selain Islam di Kantor Catatan Sipil.
Hal tersebut lebih lanjut di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUP 1974, di dalam Pasal 2 ayat (1)
menyatakan: "Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Nikah, Talak dan Rujuk". Sementara itu dalam ayat (2) dari
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut dinyatakan: 73
"Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya
dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan".
72Sudarsono, Op.Cit. hal. 1
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 1 angka 14 dikatakan bahwa “Pencatatan
sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register
Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana”. Peristiwa penting (belangrijke feit) yang
dimaksudkan dalam unsur pengertian tersebut adalah kejadian yang dialami oleh seseorang
meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
73
pengesahan anak,pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.74
Pencatatan sipil dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil yaitu pejabat yang
melakukan pencatatan peristiwa penting yang dialami seseorang pada instansi pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan
penduduk dan pencatatan sipil bertujuan untuk memberikan keabsahan identitas dan
kepastian hukum atas dokumen penduduk, perlindungan status hak sipil penduduk, dan
mendapatkan data yang mutakhir, benar dan lengkap. hukum perdata memberikan keharusan
kepada setiap orang untuk mencatatkan secara yuridis momentum kelahirannya pada instansi
dimana orang tersebut dilahirkan, begitu juga dengan setiap perkawinan yang dilakukan harus
dicatatkan. 75
74Ibid
Permasalahan yang sering terjadi dewasa ini adalah banyaknya ikatan perkawinan
antar pria dan wanita yang dilaksanakan cenderung cukup hanya memenuhi persyaratan
hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua belah pihak calon pasangan suami
isteri dan mengabaikan kewajiban lain sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat
(2) UUP 1974. Walaupun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak dinyatakan secara tegas
perkawinan yang telah dilangsungkan wajib untuk dicatatkan, akan tetapi banyak masalah
yang kemudian timbul dan berpangkal karena pasangan suami isteri tersebut lalai atau
sengaja untuk tidak mencatatkan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama atau Kantor
Pencatatan Sipil lainnya. Padahal dipandang mempunyai arti yang sangat penting terhadap
suatu peristiwa perkawinan seseorang yang dapat dijadikan bukti otentik, serta memberikan
kepastian hukum. Menurut catatan Departemen Agama Republik Indonesia, setidaknya ada
58% (Lima puluh delapan persen) pernikahan di Indonesia tidak dicatatkan.76
Alat bukti yang otentik itu pada umumnya dituangkan dalam akta, yakni akta
perkawinan. Berpangkal dari tidak dicatatkannya suatu peristiwa perkawinan, timbul
permasalahan yang mengarah kepada kedudukan isteri di pihak yang lemah.77Apabila
terjadi perceraian diantara pasangan suami isteri untuk menindaklanjuti perceraiannya pada
sidang pengadilan diperlukan adanya Akta Nikah tanpa adanya Akta Nikah tersebut maka
akan menyulitkan bagi pihak yang bersangkutan dalam proses perceraian.78
3. Tujuan dan Fungsi Kantor Catatan Sipil
76LBH APIK,Tentang Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap
Wanita-http://groups.hukumonline.com,/Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Wanita
diakses pada tanggal 31 Mei 2013 Pukul 13.00 Wib
Selanjutnya dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta
didaftar dan dikeluarkan oleh catatan sipil mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang
tidak dapat dibantah oleh pihak lain.Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data
selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui.Kantor Catatan Sipil ini
dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat.
Selain itu juga akta-akta yang di buat dan dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil merupakan
bukti yang paling kuat dan sempurna, karena akta ini bersifat otentik yang dibuat oleh pejabat
pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada. Sehingga untuk memperoleh gambaran yang
jelas di bidang pengaturan tugas pokok dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, maka dapat di
lihat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden
77
Mayang Sekarwangi, Permasalahan Hukum Dalam Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dilembaga Pencatatan Perkawinan, (Jakarta, Universitas Indonesia, 2005), Tesis, hal 19-20
Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan
Catatan Sipil.79
Kantor Catatan Sipil mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan:80
a. b.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran.
c.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan.
d.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian.
e.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak.
f.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian.
g.
Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta pengakuan dan pengesahan anak, dan akta kematian
Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan atau kewarganegaraan.
Tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi,
yaitu:81
a.
b.
Fungsi yang bersifat operasional atau teknis fungsional, yang berkaitan dengan
pelayanan dan proses penyelesaian suatu akta catatan sipil.
Fungsi yang bersifat administratif fungsional, yaitu yang berkaitan dengan
ketatausahaan perkantoran pada umumnya.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan catatan sipil dapat di lihat dari empat sudut, yaitu:82
a. b.
Untuk mewujudkan kepastian hukum.
c.
Untuk membentuk ketertiban umum.
d.
Sebagai alat pembuktian.
Untuk memperlancar aktivitas pemerintah dibidang kependudukan atau administrasi kependudukan.
4.
79Pasal 1, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, Tentang Penataan dan
Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. Jenis – Jenis Akta Catatan Sipil
80 Ibid 81Ibid
ss
Berdasarkan Keputusan Menteri DalamNegeri Nomor 54 Tahun 1983 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota Madya, disebutkan lima
jenis akta catatan sipil, yaitu : 83
a. Akta Kelahiran
Akta kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan
dengan adanya kelahiran. Akta kelahiran bermanfaat antara lain untuk memudahkan
pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan juga
persyaratan bagi seseorang yang masuk sebagai pegawai pemerintahaan, lembaga negara,
pegawai BUMN dan sebagainya. Akta kelahiran ini terdiri dari :84
1) Akta Kelahiran Umum
2)
Akta kelahiran umum adalah akta yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan dalam waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan, yakni 60 hari kerja sejak peristiwa untuk semua golongan, kecuali golongan Eropa selama 10 hari kerja. Esensi dari akta kelahiran umum adalah disampaikan dalam 60 hari kerja sejak kelahiran.
Akta Kelahiran Istimewa
3)
Akta kelahiran istimewa adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan setelah melewati batas waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan. Batas waktu lewat yakni melebihi 60 hari.
Akta Kelahiran Luar Biasa
4)
Akta kelahiran luar biasa adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil pada zaman Revolusi antara 1 Mei 1940 sampai dengan 31 Desember 1949 dan kelahiran tersebut tidak di wilayah hukum kantor catatan sipil setempat.
Akta Kelahiran Tambahan
Akta kelahiran tambahan adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang terhadap orang yang lahir pada tanggal 1 Januari 1967 sampai 1 Maret 1983, yang tunduk pada Stb. 1920 No.571 jo. Stb. 1927 No.564 dan Stb. 1933 No. 75 jo.Stb 1936 No. 607.
b. Akta Perkawinan
83Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit., hal. 6
Akta perkawinan adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang
berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan akta
perkawinan meliputi : Kepala KUA bagi yang beragama Islam dan Kepala Kantor Catatan
Sipil bagi yang beragama non Islam.
B.Latar Belakang Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif.
1. Di tinjau Dari Sisi Anak
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan
anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan
harta benda lainnya. Karena itu anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa di jaga
dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak
anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Selanjutnya
pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan
bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Peristiwa kelahiran seorang anak manusia yang dihasilkan dari sebuah
terlahir seringkali memiliki julukan sebagai anak haram, dalam ilmu hukum Perdata
mereka disebut sebagai anak luar kawin.85
Selanjutnya kejelasan status dari seorang anak manusia sangat memegang arti
penting dalam langkahnya menapaki kehidupan. Dalam hal ini bukan berarti
melindungi perbuatan tercela manusia yang mengakibatkan hadirnya anak luar kawin
tetapi lebih kepada perlindungan terhadap seorang anak yang keberadaan dan
kedudukan hukumnya tidak jelas.86 Seorang anak luar kawin dan anak sah pada
umumnya tidak memiliki pembedaan yang nyata dalam hukum positif di Indonesia.
Baik itu anak luar kawin maupun anak sah keduanya masuk dalam kategori anak.
Sebagaimana pada umumnya anak-anak di Indonesia maka anak luar kawin pun
berhak mendapatkan perlindungan dari negara melalui peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Sehingga terlihat semakin jelas perlindungan
seorang anak tersebut dengan keluarnya Undang-undang nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.87
Perlindungan hukum dapat diberikan kepada anak luar kawin sebagaimana
tersebut diatas agar terlepas dari beban kehidupan yang berat adalah dengan jalan
pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan. Sementara Peraturan Pemerintah
85
Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 7
86
Emilda Kuspaningrum, Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif
Hukum Di Indonesia, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, (Jakarta :UI Press,
2006), hal. 24
sebagaimana yang tersebut dalam UUP 1974 yang akan mengatur tentang nasib anak
di luar kawin sampai saat ini belum diterbitkan.88
Unifikasi hukum yang bertolak kepada Wawasan Nusantara dan Bhineka
Tunggal Ika, sebaiknya perlu dipikirkan tentang lembaga pengakuan dan pengesahan
anak di luar kawin guna menaikkan harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan
Allah SWT.89 Sehingga mempunyai banyak manfaat bagi seorang anak yaitu dapat
memberikan kejelasan status bagi anak, mengangkat harkat dan martabat anak juga
dapat memberikan jaminan pemeliharaan dan masa depan bagi anak tersebut,
kemudian terlihat jelaslah dari uraian di atas latar belakang perlunya adanya
pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan.90
2. Di tinjau Dari Sisi Orang Tua
Anak dilihat sebagai penerus generasi, dipandang sebagai wadah di mana
semua harapan orangtuanya dikemudian hari kelak menjadi tanggungjawabnya. Di
pandang pula sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak mampu
lagi secara fisik untuk mencari nafkah lagi. Anak yang lahir dalam perkawinan yang
sah antara seorang wanita sebagai ibunya dengan seorang pria sebagai bapaknya yang
menjadi suami wanita tersebut.91
88Ibid
89Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006),
hal. 84
90Ibid
91
Mr.B.Ter Haar Bzn, diindonesiakan oleh K.Ng.Soerbakti Poesponoto, Azaz-azaz dan Susunan
Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena beberapa hal yang menjadi
latar belakang bagi orang tua yakni memberikan kejelasan status anak sebagai
generasi yang melanjutkan keturunan orang tuanya termasuk dalam melanjutkan
marga (bagi yang menganut sistem patrilineal) dan waris, meletakkan beban
kewajiban kepada orangtua untuk bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak,
juga memberikan jaminan masa depan bagi orangtua apabila kelak sudah terkendala
secara fisik.92
Hukum ingin memastikan bahwa anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu
adalah sah, dan secara sosiologis tidak menjadi pergunjingan dalam masyarakat.
Tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak terletak pada kedua orang
tuanya (ayah-ibu). Pendidikan dan pengasuhan anak akan berhasil, sejauh mana
keterlibatan kedua orangtuanya dalam mendidik. Islam tidak membebankan tanggung
jawab itu hanya kepada salah satu dari kedua orang tua.93
92 Ibid
Untuk dapat mewaris maka
ahli waris itu ada yang karena di tunjuk oleh Undang-undang dan ada yang karena di
tunjuk oleh surat wasiat yang dapat mewaris berdasarkan Undang-undang.
Penggolongan pewarisan anak luar nikah dibagi atas anak sah (anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah) dan anak luar nikah yang terbagi lagi dalam anak luar nikah
yang dapat diakui sahnya dan anak luar nikah yang tidak dapat diakui sahnya. Pasal
862 sampai dengan Pasal 873 K.U.H.Perdata adalah mengenai hubungan hukum
antara anak luar nikah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan adanya kelahiran
93 Sudirman Kartohadprojo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Rakyat,
makanya ada hubungan antara ibu dengan anak. Hubungan anak dengan laki-laki
yang membuahkannya tidak ada. Adanya pengakuan dari laki-laki (ayah biologis)
anak tersebut maka lahirlah hubungan-hubungan hukum antara anak dan laki-laki
yang mengakuinya. 94
Walaupun kedudukannya tetap terbelakang dibandingkan dengan anak sah
terutama dalam hukum waris. Anak luar nikah tidak akan pernah dapat mewaris dari
sanak keluarga orang tuanya, dan sebaliknya sanak keluarga orang tuanya tidak dapat
bertindak dalam harta peninggalan anak luar nikah dari seorang anggota keluarganya.
Akan tetapi Pasal 873 K.U.H.Perdata memungkinkan terjadi pewarisan yang
demikian. Jadi hanya apabila sama sekali tidak ada orang lain, maka anak luar nikah
dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya dan sebaliknya dengan
menyampingkan negara. .
95
C.Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak 1. Pengertian Anak Sah
a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak menurut Kamus Bahasa Indonesia dikemukan sebagai hasil dari
hubungan antara pria dan wanita. Sejalan dengan perkembangannya lebih lanjut kata
“anak” bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia,
94Ibid 95
tetapi juga dipakai untuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh
atau anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa.96
Secara yuridis, yang dimaksud dengan anak sah adalah97
1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah;
2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian
anak sah tidak dapat dilepaskan dari suatu perkawinan yang sah.
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang memberikan
pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu maka jika anak itu lahir, anak itu adalah sah dari perkawinan wanita itu dengan pria itu.98
Maka dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa anak yang sah adalah :99
1) Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan;
2) Kelahirannya harus dari perhubungan perkawinan yang sah;
3) Dengan demikian bapak dan ibunya yang telah resmi secara terikat dalam suatu
perkawinan yang sah.
Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang sah apabila
kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah
96WJS Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 38 97
Tan Kamello, Hukum Orang dan Keluarga, Medan : USU Press, 2011., hal. 67-68
98Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 133-134 99
Amelisa Juliana, Tinjauan Yuridis Tentang Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,( Medan, USU Press, 2012), Skripsi, hal.
didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan
bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkan
perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawinan
yang sah.
Menurut dari beberapa rumusan diatas, maka pengertian anak sah mengandung
beberapa kategori pengertian antara lain :100
1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah;
2) Seorang anak dibenihkan diluar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah;
3) Seorang anak dibenihkan didalam perkawinan yang sah namun dilahirkan diluar perkawinan;
4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri diluar rahim dan dilahirkan oleh si isteri.
b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Begitu juga dalam K.U.H.Perdata (BW) istilah anak sah hanya dipakai dalam
hal ada suatu perkawinan antara ayah dan ibu si anak itu. Juga kalau perkawinan itu
diselenggarakan setelah anak itu sudah lahir, anak itu dapat dianggap “disahkan”, asal
saja hal ini ditegaskan pada waktu pernikahan dilakukan. Syarat mutlak untuk
pengesahan ialah bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan
sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan ayah.101
100D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta, Prestasi Pustakaraya,
2012), hal 39
101
Menurut K.U.H.Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya.102
1e. Jika si suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan kehamilan si isteri. Pasal 251 K.U.H.Perdata
mengatakan “Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan
puluh dari perkawinan dapat diingkari oleh si suami”. Namun pengingkaran ini tidak
boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut :
2e. Jika ia telah hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tak dapat menandatanganinya.
3e. Jika si anak tak hidup tatkala dilahirkannya.
Seorang suami yang tidak hadir serumah dengan isterinya (dan ini harus dibuktikan
dengan sah), selama 300 (tiga ratus) hari sebelum kelahiran seorang anak dari
isterinya, maka ia boleh mengingkari keabsahan anaknya itu.103
Seorang suami tadi boleh memakai alasan selama itu ia tidak mampu
melakukan persetubuhan dengan isterinya. Pasal 253 K.U.H.Perdata menegaskan
bahwa “suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak atas dasar perbuatan zina,
kecuali jika anak itu dirahasiakan terhadapnya dalam hal mana ia harus
diperkenankan membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu”.
Hukum Perdata mengenal lembaga hukum yang bernama sceiding van tafel en
bed, sehubungan dengan lembaga ini, seorang suami dapat pula mengingkari sahnya
seorang anak yang dilahirkan oleh isterinya 300 (tiga ratus) hari setelah hari
keputusan sceiding van tafel en bed itu memperoleh kekuatan yang pasti dari
pengadilan (ex Pasal 254 K.U.H.Perdata). Begitu pula seorang anak yang lahir
setelah lampau 300 (tiga ratus) hari setelah bubarnya perkawinan ibu-bapaknya, ia
adalah anak luar kawin (ex Pasal 255 K.U.H.Perdata). 104
c. Menurut Hukum Islam
Lain halnya dalam Hukum Islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa nasab
( keturunan terutama dari pihak ayah) seseorang kepada ibunya terjadi dengan sebab
kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukannya dengan seorang
lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui
hubungan gelap, kumpul kebo, perselingkuhan, dan perzinaan. Para ulama fiqh
sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah,
dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi
Muhammad SAW dalam sebuah hadis :105
”Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Anak itu bagi
yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri isteri) dan bagi pezina hanya
berhak mendapatkan batu hukuman (HR.Muslim)”.
Maksud dari hadist di atas adalah penegasan bahwa nasab anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah atau fasid, dapat ditetapkan dan dihubungkan kepada ayah
kandungnya.Ketetapan ini tidak berlaku bagi pezina sebab nasab merupakan nikmat
dan karunia besar dari Allah SWT. Para ulama sepakat dalam masalah menentukan
104Soedharyo Soimin, Op.Cit, hal. 42-43 105
pernikahan secara sah sebagai penyebab ditetapkannya nasab anak kepada ayah
kandungnya.106
Menurut pandangan hukum Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu
dianggap sah, yaitu :107
1) Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah.
2) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuquha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan.
3) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam.
106Ibid
4) Suami tidak mengingkar anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang terkandung oleh isterinya dengan cara li’an.
Islam juga menentukan apakah anak tersebut sah dapat diketahui dengan tiga cara
yaitu :108
1) Pergaulan antara kedua orang tuanya (perkawinan yang sah)
2) Pengakuan oleh orang tuanya dan kakeknya.
3) Adanya pembuktian menurut syariat Islam (saksi-saksi)
Hukum agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kedudukan
anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk
memenuhi perintah Allah SWT agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah. Islam menghendaki
terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat tetangga, dilarang
terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus kenal siapa ayah dan
ibunya.109
Sebagaimana para ahli hukum Islam sependapat dengan apa yang telah dikemukakan
oleh Anwar al Amrusy yang mengatakan :
“Bahwa tidak ada ketunggalan hukum (hukum yang bulat) dalam hal soal nasab, sebab hukum Islam sangat memerhatikan kemaslahatan dan perlindungan terhadap anak yang lahir secara sah. Anak sah juga mempunyai kedudukan tertentu terhadap
108
Riana Kesuma Ayu, “Tentang Anak Sah Menurut Hukum Islam”,
Wib
keluarganya, orang tuanya berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunannya”.110
Menurut hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
atau 177(seratus tujuh puluh tujuh) hari semenjak pernikahan orang tuanya, tidak perduli
apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah
berpisah karena wafatnya si suami, atau karena perceraian di masa hidupnya, dalam hal
mana iddah bagi si isteri adalah selama masih mengandung anaknya ditambah 40 (empat
puluh) hari sesudah lahirnya, jika anak itu lahir sebelum genap jangka waktu 177 (seratus
tujuh puluh tujuh) hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya dan si suami dapat
memungkiri bahwa ia adalah anaknya yang sah.111 Pendapat Yusuf al Qadhawi
menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur
suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya.112
d. Menurut Hukum Adat
Masyarakat hukum adat berbeda dari masyarakat yang modren, dimana
keluarga/rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung,
tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Bukan
tidak menjadi masalah tentang sah tidaknya anak, hal mana dipengaruhi oleh agama yang
dianut masyarakat bersangkutan, tetapi yang juga penting adalah menyangkut masalah
110Abdul Manan, Op.Cit, hal. 80 111
Soedharyo Soimin, Loc.Cit
112
keturunan dan pewarisan. Masyarakat dengan susunan kekerabatan yang patrilineal yang
cenderung melakukan perkawinan bentuk jujur, dimana isteri pada umumnya masuk dalam
kelompok kekerabatan suami, maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan
keturunan menurut garis lelaki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak
mempunyai anak lelaki atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki
orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar dengan anak sendiri. Jadi
dalam keluarga/rumah tangga yang bersifat patrilineal, terdapat bermacam-macam anak,
seperti anak sah yang tidak sama kedudukannya dengan anak tidak sah, anak kandung yang
berbeda kedudukan karena kedudukan ibunya berbeda, anak tiri yang dapat diangkat
menjadi anak penerus keturunan bapak tiri seperti di Rejang Bengkulu, anak angkat
penerus keturunan bapak angkat (Lampung : tegak tegi) yang matrilokal seperti nyentane di
Bali, begitu pula halnya dengan anak levirat (Lampung : semalang), anak sororat
(Lampung, nuket : turun ranjang), anak asuh (anak pelihara), anak akuan dan lain-lain,
yang berbeda-beda dalam kedudukannya terhadap ayah kandung, ayah angkat, ayah tiri,
mertua dan sebagainya, dan dalam kekerabatannya.113
Masyarakat matrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk
semenda, dimana suami masuk dalam kerabat isteri, maka kedudukan anak dikaitkan
dengan penerusan keturunan menurut garis wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga
yang tidak mempunyai anak wanita atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat
anak lelaki berkedudukan seperti anak wanita atau mengangkat anak wanita orang lain
untuk menjadi penerus keturunan yang berkedudukan sejajar dengan anak sendiri. Untuk
masyarakat keibuan seperti Minangkabau kedudukan anak lebih menghormati ibu dan
mamaknya daripada terhadap ayahnya sendiri. Tanggung jawab pihak ibu lebih besar dari
tanggung jawab pihak ayah terhadap anak kemenakannya. Dilingkungan masyarakat adat
Semendo Sumatera Selatan kedudukan anak yang menjadi ‘tunggu tubang’ lebih
berperanan dan bertanggung jawab daripada anak-anak wanita lainnya. Sedangkan
masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (keorangtuaan) yang terbanyak di
Indonesia, kedudukan anak di daerah yang satu berbeda dari daerah lain. Di samping itu di
pedesaan orang Jawa sudah terbiasa anak-cucu diurus oleh embah-kakeknya entah anak itu
anak sah atau tidak sah, sedangkan di daerah lain bukan suatu kebiasaan.114
Perihal masa iddah atau masa tenggang enam bulan seperti dalam hukum Islam, pada
hukum adat tidaklah di kenal hal tersebut. Tenggang enam bulan sesudah perkawinan
dilakukan, sekiranya sama sekali tidak ada dalam hukum adat artinya meskipun seorang
anak lahir dalam waktu yang amat pendek sesudah pernikahan ibunya tetapi suami ibunya
dianggap sebagai ayahnya. Menurut Ter Haar menganggap bahwa seorang anak yang lahir
sesudah perkawinan terputus tetapi dalam tenggang yang sama dengan tenggang hamil
yang biasa 8 (delapan) atau 9 (sembilan) bulan, dan masih dianggap anak dari bekas suami
ibunya. Maka tenggang 4 (empat) tahun yang oleh sebagian penganut agama Islam diambil
sebagai ukuran, tetapi tidak demikan halnya dalam hukum adat.115
114 Ibid 115
Usaha untuk menghindari keadaan seorang anak tidak mempunyai ayah (anak haram
jaddah), maka seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan, agak di paksa kawin,
sedapat mungkin tentunya dengan seorang laki-laki yang pernah bersetubuh dengan si
perempuan itu dan juga dapat dianggap menyebabkan hamilnya itu. Akan tetapi kalau ini
tidak mungkin, maka seringkali seorang perempuan yang hamil itu di paksa kawin dengan
sembarangan orang laki-laki yang mau saja, misalnya dengan seorang laki-laki yang sudah
sangat tua usianya atau dengan seorang laki-laki yang sudah terang tidak pantas menjadi
suami dari perempuan tersebut. Hal ini si suami ini hanya resmi menjadi suaminya, tetapi
sebetulnya diinsyafi betul-betul oleh semua orang lain dan oleh suami itu sendiri, bahwa
pernikahan hanya dilakukan agar supaya anak yang lahir itu resmi mempunyai
ayah.116Berdasar atas harapan inilah, maka sudah selayaknya Hukum Islam dan Hukum
Adat maupun Hukum BW menentukan, bahwa seorang anak yang lahir atau mulai
dikandung oleh ibunya pada waktu ibunya mempunyai suami, dalam keadaan biasa adalah
anak dari suaminya juga. Dan perhubungan anak-ayah diantara mereka ini dianggap
sebagai suatu perhubungan yang sah artinya menurut hukum (wettig).117
2. Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak.
Adanya kenyataan di masyarakat mengenai hubungan luar nikah terutama atas dasar
saling cinta biasanya pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara itu baru melakukan
hubungan badan apabila nantinya akan ada perkawinan di kemudian hari. Dengan kata lain
116
Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hal. 135-136
117
hubungan tersebut dilakukan setelah mereka membuat “perjanjian” bahwa laki-lakinya
akan mengawini perempuan yang akan datang. Umumnya yang meminta perjanjian dari
pihak perempuan karena resikonya besar, yaitu jangan sampai ia menjadi hamil dan
kemudian melahirkan anak tanpa pernah melakukan perkawinan, sebab akan membuat
malu dirinya di mata keluarga dan masyarakat. Jika laki-laki tersebut menepati janji tentu
tidak akan menjadi masalah tetapi jika si laki-laki ingkar janji dan pergi meninggalkannya
maka kepada siapa diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Dari hubungan tersebut
dalam hukum pidana hanya dilarang apabila salah satu atau dua-duanya dari mereka terikat
tali perkawinan dengan orang lain. Jika dari hubungan tersebut melahirkan seorang anak
yang menurut Pasal 43 ayat (1) UUP 1974 anak luar kawin hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya saja, apakah laki-laki yang menghamili masih ada kesempatan untuk
menjalin hubungan hukum dengan anak tersebut.118
Apabila kita teliti dalam ketentuan K.U.H.Perdata terdapat lembaga pengakuan
anak-anak luar kawin sebagaimana diatur pada Buku Kesatu Bab Kedua Belas Bagian Ketiga.
Lembaga ini dapat dipergunakan, mengingat Pasal 66 UUP 1974 masih memberi peluang,
bahwa sepanjang belum di atur dalam Undang-Undang Perkawinan maka
peraturan-peraturan dalam K.U.H.Perdata masih berlaku. Dengan demikian Undang-undang
118
Perkawinan yang tidak mengatur lembaga pengakuan anak luar kawin, maka lembaga yang
ada dalam K.U.H.Perdata tidak dicabut dan dapat diberlakukan.119
Pasal 280 K.U.H.Perdata mengatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan
terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak
atau ibunya. Pada UUP 1974 dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa
yang mengakui anak tersebut ? Jika dicermati Pasal 41 UUP 1974, maka tidak akan terjadi
pengakuan itu dilakukan oleh seorang ibu, melainkan harus dilakukan oleh seorang ayah
karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya langsung secara otomatis sejak anak
itu dilahirkan.120Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan
segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang
mengakuinya, demikian menurut Subekti. Jadi anak luar kawin tersebut berstatus sebagai
anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind. Pasal 272 K.U.H.Perdata, yang
berbunyi sebagai berikut :121
”Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”.
Kedua orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan
pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat
119 Ibid 120
Tan Kamello, Op.Cit. hal. 69
dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara. Untuk hal ini Presiden harus
meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara
diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di muka Pencatatan Sipil dengan catatan dalam
akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tua, atau dalam surat akta
tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris.
Menurut Hukum Perdata yang tercantum dalam BW, melihat adanya tiga tingkatan status
hukum daripada anak di luar perkawinan : 122
a. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu-bapaknya.
b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya. c. Orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.
Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi
dalam bidang Hukum Perkawinan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya atau keluarga ibunya.”
Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya,
terutama hak mewaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah,
hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya,
sebagai yang membangkitkannya. Jika ingin anak luar kawin memperoleh hubungan
perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar kawin.
Pasal 280 sampai dengan Pasal 281 K.U.H. Perdata menegaskan bahwasanya dengan
pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan
bapaknya.
Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik,
bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan
pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang di buat oleh Pegawai Catatan
Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatangan.123
Syarat mutlak untuk pengesahan anak di luar perkawinan ialah bahwa pada waktu
nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan
bapak. Pasal 274 BW ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sedemikian rupa, bahwa syarat
mutlak bagi pengesahan anak ialah bahwa anak harus diakui oleh ibu dan bapaknya itu.
Pengesahan anak oleh pemerintah diperlukan suatu pertimbangan dari Mahkamah Agung,
yang menurut Pasal 275 BW, kalau perlu akan mendengarkan pendapat sanak keluarga dari
bapak dan ibu dan juga dapat mengumumkan dulu permohonan pengesahan anak ini dalam
surat-surat kabar, agar orang-orang yang berkepentingan ada kesempatan untuk memajukan
keberatan terhadap pengesahan anak ini. Mungkin sekali ada orang yang menyatakan
bahwa anak yang dimintakan pengesahan itu sebetulnya bukanlah anak dari yang
mengakuinya sebagai anak, melainkan anak orang lain. 124
123Tecky Waskito, Tentang Status Hukum Dan Pengakuan Anak Luar Nikah,
20.00 Wib
124
Pengesahan terhadap anak luar kawin di atur di dalam Buku I Bab XII Bagian Kedua
K.U.H.Perdata125, pengesahan anak luar kawin merupakan suatu cara untuk mengubah
status anak luar kawin menjadi anak sah. Pengesahan anak luar kawin dapat dilakukan
dengan cara: 126
a. Perkawinan orang tua127
b. Surat pengesahan128
Pengesahan dengan surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal yaitu:129
a. Orang tua lalai mengakui anak(-anak)nya sebelum atau pada saat dilangsungkannya
perkawinan130
b. Jika salah satu orang tua sudah meninggal dunia, sehingga perkawinan tidak dapat
dilangsungkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 272, unsur dari pengesahan anak luar kawin
adalah: 131 a.
b.
Pengakuan ; Sebelum anak luar kawin dapat disahkan menjadi anak sah, anak tersebut harus terlebih dahulu mendapat pengakuan dari bapak dan ibunya.
Perkawinan ; Tidaklah cukup dengan pengakuan anak luar kawin mengubah status anak tersebut menjadi anak sah. Setelah dilakukan pengakuan oleh bapak dan ibunya, bapak dan ibunya tersebut melangsungkan pernikahan.
125 Lihat Pasal 272-279 KUH.Pdt
126R . S o e t o j o P r a w i r o h a mi d j o j o d a n A s i s S a f i o e d i n , Hukum Orang Dan Keluarga,(Bandung : Alumni, 1986), hal. 141
127 Lihat Pasal 272 KUH.Pdt 128 Lihat Pasal 274 KUH.Pdt 129
Ibid 130
Lihat Pasal 274 KUH.Pdt
Pengesahan anak luar kawin tidak dapat dilakukan terhadap anak zina dan anak sumbang.
Untuk anak sumbang dapat dilakukan pengesahan dalam akta nikah orang tuanya. Di mana
kedua orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan harus mendapat dispensasi terlebih
dahulu dari presiden.132Pengesahan anak luar kawin merupakan perbuatan hukum,
sehingga jika dilakukan akan menimbulkan akibat bagi para pihak yang bersangkutan.
Akibat dari pengesahan anak luar kawin adalah: 133
a. Jika pengesahan dilakukan karena perkawinan kedua orangtuanya maka kedudukan anak luar nikah tersebut sama dengan anak(-anak) yang dilahirkan dalam perkawinan.134
b. Jika pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan maka akan menimbulkan akibat hukum yang terbatas, dengan pembatasan.135
1) 2)
. Tidak akan merugikan anak-anak sebelumnya dalam hal pewarisan.
. Pengesahan itu tidak berlaku terhadap keluarga sedarah lainnya dalam hal pewarisan.
Menurut konsep hukum Islam pengakuan anak ada dua macam, yakni pengakuan anak
untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain. Pada prinsipnya sama tujuannya,
hanya dalam pelaksanannya sendiri sedikit berbeda, yaitu :136
132 Lihat Pasal 273 KUH.Pdt
133
Rita Manggala,Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Badan Peradilan (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 935/K/Pdt/1998), Tesis, (Jakarta : UI Press, 2006), hal. 71
134
Lihat Pasal 277 KUH.Pdt
135
Lihat Pasal 278 KUH.Pdt
a. Pengakuan anak untuk diri sendiri.
Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara langsung, misalnya si Badu
mengatakan bahwa anak itu adalah anakku. Jika pernyataan ini memenuhi ketentuan yang
telah ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah bagi yang
mengakuinya. Menurut Abdullah Ali Husein dalam hukum Islam dikenal beberapa syarat
untuk melaksanakan pengakuan seorang anak bagi dirinya sendiri, yaitu :137
1) Orang yang mengetahui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain menurut hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan melahirkan anak tersebut;
2) Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan orang gila, orang yang dipaksakan, dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima; 3) Anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasabnya, tidak sah
pengakuan terhadap anak yang telah terbukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain;
4) Pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih tua dari yang mengakui, atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut hukum biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan;
5) Pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu, maka pria yang mengakui itu harus membuktikannya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalau ia mau maka hubungan nasab itu terbukti adanya.
Pengakuan anak telah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut
diatas, maka anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan kedudukannya adalah sama
dengan kedudukan anak kandung.138
137Abdullah Ali Husein, Al Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawaninul Wadh’iyyah wa Tasyri’il Islami Muaqaranatan Bainal Fiqhil Qanuniyah Faransiy wa Mazhabil Imani Malik, (Darul Ihyail Kututb Arabiyah :
Cairo, 1947), hal. 236-237
138
Seorang pria bila telah melaksanakan pengakuan terhadap seorang anak dengan
menyatakan bahwa ia adalah anaknya, maka pengakuan tersebut tidak boleh dicabut
kembali, sekali ia telah mengikrarkannya maka pengakuan itu berlaku terus sepanjang
masa. Pengakuan anak itu dapat dilaksanakan kapan saja, walaupun setelah meninggalnya
orang yang diakui. Hanya saja hukum Islam menganggap bahwa pengakuan anak terhadap
orang yang telah meninggal dunia bermotif yang tidak baik, biasanya karena ada warisan.
Dalam hukum Islam pengakuan anak yang seperti ini baru dapat diterima apabila anak yang
diakui itu tidak mempunyai ahli waris dan harta peninggalannya hanya sedikit.139
b. Pengakuan anak terhadap orang lain.
Pengakuan anak ini sering disebut dengan pengakuan secara tidak langsung, misalnya
si Badu mengatakan bahwa si Budi adalah saudara kandungnya. Ini berarti bahwa si Badu
itu mengakui Budi sebagai anak dari Abdullah, di mana Abdullah itu ayah kandung dari
yang bernama Badu. Jika syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam sudah
terpenuhi, maka terjadilah hubungan nasab antara Badu dengan Budi sebagai saudaranya
dan dengan Abdullah sebagai ayahnya.140
Menurut Ahmad Husni syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan anak secara
tidak langsung adalah secara umum sama saja dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam
pengakuan untuk diri sendiri, hanya ditambah dua poin lagi, yaitu :141
139Abdul Manan, Op.Cit. hal, 92 140
Ibid 141
1). Orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan nasab kepadanya;
2). Ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut.
Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Indonesia disebutkan bahwa laki-laki yang
menghamili wanita itu saja yang boleh menikah dengan wanita hamil tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita yang
hamil itu kawin dengan orang yang bukan membuahinya/menghamilinya.
Jika terdapat alasan yang kuat tentang motivasi tentang pengakuan anak , baik untuk
diri sendiri maupun untuk orang lain, tidak ada salahnya hakim mengambil pendapat
asalkan membawa manfaat kepada semua pihak, tidak menimbulkan mudharat para