• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /enm/images/dokumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /enm/images/dokumen"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI KERAKYATAN

Tulus Tambunan

Kadin Indonesia & Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti

I. Kondisi dan Permasalahan

Pertumbuhan Ekonomi membaik

Walaupun berjalan relatif lambat dibandingkan negara-negara tetangga yang juga mengalami krisis yang sama tahun 1997/98, ekonomi Indonesia, paling tidak pada tingkat makro, terus menunjukkan perbaikan. Sejak tahun 2000 produk domestik bruto (PDB) nasional terus meningkat, yang pada tahun 2004 tercatat sekitar 5,1% dan 5,6% tahun 2005. Menurut Lembaga Moneter Internasional (IMF), tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya, namun untuk 2007 akan lebih baik (Tabel 1).

[image:1.612.73.552.264.515.2]

Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah pertumbuhan tersebut mempunyai elastisitas positif yang tinggi terhadap kesempatan kerja dan elastisitas negatif yang tinggi terhadap tingkat kemiskinan. Pada masa Orde Baru Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang oleh banyak kalangan dianggap menakjubkan yakni rata-rata 7% per tahun dan jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan juga mengalami penurunan yang signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi pada waktu itu dianggap sangat pro-poor. 1

Tabel 1: Pertumbuhan PDB Riil di Beberapa Negara Asia, (%)

Perkiraan

Negara/Ekonomi 2004 2005

2006 2007 China

Asia Selatan -India -Pakistan -Bangladesh

NICs

-Korea Selatan -Taiwan -Hong Kong -Singapura

ASEAN 4 -Indonesia -Thailand -Filipina -Malaysia

10,1

7,7 8,1 7,1 5,9

5,8 4,6 6,1 8,6 8,7

5,8 5,1 6,2 6,0 7,1

9,9

7,9 8,3 7,0 5,8

4,6 4,0 4,1 7,3 6,4

5,2 5,6 4,4 5,1 5,3

9,5

7,1 7,3 6,4 6,0

5,2 5,5 4,5 5,5 5,5

5,1 5,0 5,0 5,0 5,5

9,0

6,9 7,0 6,3 6,3

4,5 4,5 4,5 4,5 4,5

5,7 6,0 5,4 5,6 5,8 Sumber: IMF (2006).

Pengangguran cenderung meningkat

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang pro-poor, ada dua syarat utama, yakni lowongan kerja baru, terutama bagi kelompok miskin, bertambah dengan laju yang juga tinggi, dan tingkat produktivitas tenaga kerja yang bekerja juga meningkat. Dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan pertumbuhan kesempatan kerja yang produktif. Semakin besar kesempatan kerja yang produktif bagi kelompok masyarakat berpendapatan paling rendah (termiskin), semakin besar indeks pro-poor dari pertumbuhan ekonomi.

Namun di Indonesia, kenyataannya adalah tingkat pengangguran terbuka terus meningkat Pada tahun 1995, jumlah orang yang menganggur tercatat sebanyak 6,3 juta jiwa. Pada masa krisis (1998-1999) jumlah pengangguran sekitar 6 juta orang,2namun setelah itu meningkat terus hingga mencapai 11,9 juta jiwa tahun 2005 (November). Pada bulan Februari

1

Timmer (2005) menunjukkan bahwa selama periode 1965-1990, ’indeks pro-poor’ mencapai 6,56, dibandingkan misalnya pada masa Orde Lama (1950-65) yakni 2,37. Indeks ini dihitung berdasarkan suatu hubungan analitis antara tingkat kemiskinan dan elastisitas pertumbuhan dari permintaan (konsumsi). Selanjutnya lihat juga Bank Dunia (2004, 2006).

2

(2)

2006, jumlah ini sedikir berkurang menjadi 11,1 juta jiwa, atau sekitar 10,4% dari jumlah angkatan kerja. Selain itu, jumlah yang bekerja tidak penuh a’lias setengah menganggur juga meningkat, yakni yang sukarela dari 14,5 juta jiwa Agustus 2004 ke 15,7 juta jiwa Februari 2006, dan yang terpaksa dari 13,4 juta jiwa ke 14,2 juta jiwa selama periode yang sama. Kebanyakan dari mereka ini bekerja di sektor informal, terutama dari golongan yang terpaksa.

Bahkan, yang mengkuatirkan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun belakangan ini (setelah krisis) cenderung anti kemiskinan, karena tidak menghasilkan penurunan jumlah pengangguran. Sebaliknya, berdasarkan data BPS, pertumbuhan PDB berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah orang yang tidak mendapat pekerjaan. Pada tahun 2001, PDB tumbuh sekitar 3,8% dan naik menjadi 5,6% tahun 2005. Sementara tingkat pengangguran juga bertambah selama periode yang sama dari 8.1% ke 11,4% (Gambar 1)

Gambar 1: Laju Pertumbuhan PDB dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) (%)

0 2 4 6 8 10 12

2001 2002 2003 2004 2005

PDB TPT

Sumber: BPS

Kemiskinan masih Besar3

Walaupun ekonomi mulai membaik, kesejahteraan masyarakat, yang salah satunya bisa diukur dengan jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bahkan setelah sempat menurun tahun 2000 (dibandingkan pada era krisis), jumlah orang miskin cenderung meningkat kembali, dan hingga Maret 2006 tercatat sekitar 39 juta jiwa, atau hampir 17,8 persen dari jumlah populasi (Tabel 2). Jika angka resmi yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tersebut memang akurat, kenaikan tingkat kemiskinan tersebut menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang membaik sejak tahun 2000 sama sekali tidak berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan.

Sebagian besar dari jumlah orang miskin di Indonesia terdapat di perdesaan, dan struktur kemiskinan ini mencerminkan pembangunan ekonomi yang timpang selama ini. Dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama era Orde Baru dan ekonomi yang membaik pasca krisis tersebut lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Kesempatan kerja, khususnya di sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan/gaji tinggi seperti industri, konstruksi, perbankan dan perdagangan modern jauh lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Di perdesaan kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah.

Lebih besarnya kemiskinan di perdesaan juga dicerminkan oleh masih banyaknya jumlah desa tertinggal. Menurut perhitungan Agusta (2005) dengan menggunakan data Potensi Desa dari BPS, pada tahun 2004 jumlah desa tertinggal mencapai 11.258 (Tabel 3). Banyak faktor penyebab desa-desa tertinggal tersebut, diantaranya lahan yang tidak subur, miskin sumber daya alam, secara geografi sangat terisolasi, budaya masyarakat lokal yang tidak mendukung kreativitas dan etos kerja yang tinggi, dan ketidak pedulian pemerintah lokal.

Informasi di Tabel 4 menunjukkan dengan jelas bahwa jumlah desa tertinggal cenderung lebih banyak di kawasan Indonesia timur. Ini merefleksikan ketimpangan yang besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial antara kawasan tersebut dengan kawasan Indonesia barat. Struktur desa tertinggal menurut kawasan tersebut juga didukung oleh struktur kegiatan ekonomi menurut provinsi. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2, semakin ke timur semakin kecil nilai rupiah dari kegiatan ekonomi.

Masih besarnya masalah kemiskinan di Indonesia juga tercerminkan oleh banyaknya kasus busing lapar di banyak daerah. Memang sangat ironis, di satu sisi, Indonesia termasuk negara paling kaya dalam sumber daya alam (SDA) dengan tanah yang sngat luas dan subur dan iklim tropis yang sangat baik, sementara, pada di sisi lain, masih banyak penduduk Indonesia yang “kelaparan” dalam arti tidak sanggup membeli makanan dengan gizi yang cukup untuk kehidupan yang

mereka yang tidak mempunyai pekerjaan di sektor formal masuk ke sektor informal, sehingga mereka tidak tercakup di dalam angka pengangguran terbuka.
(3)
[image:3.612.141.452.359.742.2]

sehat. Lebih ironisnya lagi, sistem ekonomi Indonesia dilandaskan pada azas Pancasila yang menekankan pada rakyat adil dan makmur, dan Indonesia sudah lebih dari 30 tahun lamanya membangun sejak Repelita I dimulai tahun 1969 lalu.

Tabel 2: Tingkat Kemiskinan

Tahun

Jumlah (juta

jiwa) Persen

1996 34,01 17,47

1998 49,50 24,23

1999 47,97 23,43

2000 38,70 19,14

2001 37,90 18,41

2002 38,40 18,20

2003 37,30 17,42

2004 36,10 16,66

2005 (Feb) 35,10 15,97

2006 (Mar) 39,05 17,75

Sumber: BPS

Tabel 3: Jumlah Desa Tertinggal menurut Propinsi, 2004

Propinsi Jumlah NAD

Bali Banten Bengkulu DI Yogyakarta Gorontalo Irian Jaya Barat Jambi

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kep. Bangka Belitung Kep. Riau

Lampung Maluku Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua

Riau

Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara

(4)

Indonesia 11.258

Sumber: Agusta (2005).

Gambar 2: Peringkat Provinsi Berdasarkan Kegiatan Ekonomi (dengan migas), 2002 (Rp triliun)

581,95 254,74

226,96 214,3 156,73 88,78

86,74 67,66 49,68 36,55 35,47 29,12 28,24 23,09 22,06 21,65 20,53 16,52 15,75 13,8 13,13 11,2 11,15 8,68 8,03 7,25 5,92 3,41 2,25 1,99

0 100 200 300 400 500 600 700

Banten Jakarta Jatim Jabar Jateng Kaltim Sumut Riau Sumsel

Sulsel NAD Sumbar Lampung Papua Bali Kalbar

Kalsel DIY NTB Kalteng

Jambi Sulteng

Sulut NTT Sultengg Bangka-Bel Bengkulu Maluku Gorontalo M.Utara

Sumber: BPS

(5)

mengalami busung lapar atau gizi buruk. Juga dilaporkan ada banyak anak balita mengalami hal yang sama di Lampung. Lombok dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesuai hasil SUSENAS, di NTB, yang selama ini dikenal sebagai daerah lumbung padi, jumlah anak balita yang menderita kekurangan gizi sekitar 10% dari jumlah anak balita, atau 49.000 anak. Terbitan tanggal 12 April 2006, Kompas menceritakan pengalaman seorang warga di Lombok Timur sebagai berikut: ...Sumaini, warga Dusun Batu Rimpang, Desa Selebung Ketangga, Lombok Timur…….adalah janda satu anak (Hildatun, 2). Ia tinggal di rumah gubuk ukuran 3x5 meter yang dihuni sembilan jiwa, termasuk seorang suadaranya dan beberapa anaknya serta ayahnya, Nuralam (55). Sumaini yang bercerai saat usia kandungannya enam bulan bekerja serabutan, seperti ngerampek (merontokkan bulir padi dari batangnya) dan tukang cuci pakaian serta perkakas rumah tangga. Dari jasanya itu, selain diberi makanan ala kadarnya, ia juga mendapat upah Rp 3.000 per hari. Beban Sumaini kian berat sebab Hildatun menderita busung lapar dan kini dalam proses penyembuhan. Penghasilan itu bila ada yang meminta. Jika tidak ada, kosonglah pendapatan Sumaini hari itu. Sementara Nuralam tak mampu bekerja lagi, hanya mengharap ada tetangga yang datang berobat karena sakit mata, maklum dia dianggap “ahli” di bidang itu. (halaman 15).

Menurut Sihadi (2005), sejak 1989, angka prevalensi gizi buruk secara nasional mengalami stagnasi, dalam arti belum ada penurunan yang berarti. Data tahun 2003 dari Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi anak balita gizi buruk di Indonesia mencapai sekitar 8%-8,55%. Menurut proyeksi penduduk Indonesia yang disusun BPS, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun mencapai 20,87 juta. Berarti dengan persentase tersebut, tahun 2005 ada sekitar 1,67 juta anak balita menderita busung lapar. Ini terntu suatu angka yang gawat, yang memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Apalagi Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, yang Pasal 6 dan 24-nya menyebutkan bahwa negara yang meratifikasi Konvensi tersebut akan berupaya maksimal untuk melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

Jika dari sisi ekonomi, kasus-kasus tersebut mencerminkan kemiskinan, dari sisi sosial-politik, masalah kekurangan gizi ini mencerminkan ketidakpedulian atau ketidaksanggupan pemerintah Indonesia dalam menghargai harkat/martabat manusia dan juga dalam mengadakan pangan secara adil. Dapat dikatakan bahwa kekurangan gizi atau kelaparan merupakan salah satu dampak dari sistem pemerintahan yang amat buruk yang tidak mendahulukan kesejahteraan masyarakat (Chang, 2005). Jelas, kekurangan gizi atau masih banyaknya masyarakat di dalam negeri yang sangat sulit untuk bisa makan sehat mencerminkan adanya ketidakadilan sosial yang sedang dialami masyarakat Indonesia.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat dari rendahnya pengeluaran APBN untuk kesehatan. Padahal masyarakat miskin sangat tergantung pada pelayanan dari sektor kesehatan publik, sementara masyarakat kaya bisa menikmati pelayanan kesehatan dari sektor swasta. Dari dulu anggaran kesehatan hanya sekitar 2,3% hingga 2,4%, yang membuat Indonesia negara paling kecil dalam pengeluaran kesehatan (Gambar 3).

Gambar 3: Pengeluaran Pemerintah Untuk Kesehatan, 1996-1998 (% dari PNB)

0,5

1,1

1,7

1,3

1,7

0 0.5 1 1.5 2

Indonesia Singapura Filipina Malaysia Thailand

Sumber: UNDP dkk. (2001)

Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor (World Bank, 2000). Namun, di Indonesia kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Pernyataan ini didukung oleh banyak fakta. Fakta pertama adalah bahwa sektor terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia selama ini adalah pertanian.4Walaupun tren perkembangan jangka panjangnya menurun, pertanian tetap paling

4
(6)
[image:6.612.84.530.60.140.2]

banyak menyerap tenaga kerja. Pada awal dekade 70-an, sekitar 67% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sekitar 46,3% (Tabel 4).

Tabel 4: Kesempatan Kerja menurut Sektor (%)

Sektor 1971 1980 1985 1990 1995 2000 2003

Pertanian Industri Pertambangan Lainnya

67,04 6,92 0,21 25,83

56,3 9,14 0,76 33,80

54,66 9,28 0,67 35,39

55,87 10,14 0,7 33,29

43,98 12,64 0,8 42,58

45,28 12,96 0,58 41,18

46,26 12,04 0,98 40,72 Sumber: BPS

Data berikut yang disajikan di Tabel 5 s/d Tabel 7 memperkuat bukti empiri bahwa posisi pertanian memang sangat krusial bagi pertumbuhan kesempatan kerja atau sumber pendapatan di Indonesia. Dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja terdapat di daerah perdesaan, yang pada tahun 2003 tercatat 60% dari jumlah angkatan kerja yang bekerja, berkurang dari 75% pada awal dekade 90-an (Tabel 5). Sebagian besar dari tenaga kerja yang bekerja di daerah perdesaan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Tabel 6). Pada awal dekade 90-an, sektor ini menyerap sekitar 70%, dan sedikit menurun ke 68% pada tahun 2003. Sedangkan yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena memang sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti elektronik, mesin, dan tekstil dan pakaian jadi berada di daerah perkotaan atau dipinggir kota-kota besar seperti Jabotabek, Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar. Industri-industri seperti ini lebih tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber daya alam, dan untuk kebutuhan tenaga kerja mereka bisa dengan mudah didapat di daerah perkotaan. Sumber pendapatan satu-satunya atau utama bagi sebagian besar rumah tangga (RT) di perdesaan berasal dari bertani, yang tercatat sebesar 46,3%; sedangkan di perkotaan sebaliknya, hanya sekitar 6%. Jumlah RT di perdesaan yang salah satu sumber pendapatannya di pertanian juga cukup besar, yakni sekitar 13,2%. Bahkan sekitar 2,6% dari jumlah RT di perkotaan juga sangat tergantung pada pertanian (Tabel 7).

.

Tabel 5: Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah (%)

Sektor 1990 1995 2000 2003

Perdesaan Perkotaan

75 25

67 33

62 38

60 40 Sumber: BPS

Tabel 6: Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor (%)

Sektor 1990 1995 2000 2003

Pertanian Industri Jasa

70 9 22

60 11 29

66 10 24

68 9 24 Source: BPS

Tabel 7: Pendapatan Keluarga menurut Sumber, 1995 (%)

Sumber Nasional Perdesaan Perkotaan Semua:

- Pertanian - Non-pertanian Kombinasi

- Sebagian besar pertanian - Sebagian besar non-pertanian

24,9 52,5 22,6 9,9 12,7

46,3 27,4 26,3 13,2 13,1

6,0 84,0 10,0 2,6 7,4 Sumber: BPS

II Analisa dan Pembahasan

Dari sudut pandang ilmu ekonomi, ada dua penyebab utama kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya pengangguran dan rendahnya produktivitas dari kesempatan kerja yang ada. Tingginya pengangguran5bisa disebabkan oleh dua faktor utama, yakni sedikitnya lowongan kerja atau rendahnya tingkat pendidikan dari tenaga kerja yang mencari pekerjaan, sementara lowongan ada. Rendahnya kesempatan kerja disebabkan oleh kombinasi dari rendahnya pertumbuhan kegiatan ekonomi dan meningkatnya intensitas modal dari proses produksi.

[image:6.612.77.519.327.573.2]
(7)

Sedangkan, rendahnya tingkat produktivitas disebabkan oleh banyak faktor, diantarnya yang utama adalah pendidikan rendah, kurang modal, tidak ada teknologi, kesehatan buruk, dan tidak adanya faktor insentif seperti bonus prestasi atau kenaikan gaji berkala.

Di dalam perekonomian Indonesia, ada dua sektor yang, di satu sisi, sangat banyak menyerap kesempatan kerja atau sebagai sumber utama pendapatan bagi kelompok masyarakat miskin, namun, di sisi lain, tingkat produktivitas di dua sektor tersebut rendah, yakni pertanian dan usaha kecil dan rumah tangga. Kedua sektor ini merupakan dua komponen penting dari apa yang disebut dengan ’ekonomi kerakyatan’.

Pertanian

[image:7.612.56.548.270.502.2]

Pentingnya sektor pertanian sebagai sumber utama pendapatan bagi kelompok masyarakat miskin ditunjukkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar dari penduduk miskin di Indonesia bekerja di pertanian, seperti yang ditunjukkan oleh data SUSENAS di Tabel 8. Pada tahun 1996, tercatat hampir 69% dari jumlah keluarga miskin di Indonesia memiliki sumber pendapatan di pertanian, baik sebagai petani (dengan lahan atau tanpa lahan sendiri) maupun buruh (lepas atau kontrak), dan pada tahun 2002 porsinya sekitar 67%.6 Bahkan, satu hal yang menarik seperti yang ditunjukkan di Tabel 9 adalah bahwa kegiatan pertanian mempunyai suatu peran yang dominan sebagai sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan. Bisa dilihat di pinggiran kota Jakarta, Bekasi dan Tangerang banyak keluarga miskin menanam berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit dipinggir sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya.

Tabel 8: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan (%)

Sektor 1996 1998 1999 2000 2001 2002

Pertanian Industri Jasa

68,5 6,7 24,7

56,7 7,4 35,9

58,4 8,7 32,9

51,7 13,8 34,5

63,0 11,9 25,1

67,4 10,3 22,3

Sumber: BPS

Tabel 9: Distribusi Keluarga Miskin menurut Sektor dan Wilayah: 2002 (%)

Sektor Perkotaan Perdesaan

Pertanian Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa Lainnya

31,11 0,23 1,48 1,25 12,17

0,10 9,67 14,06

8,94 0,69 8,14 0,04

69,09 1,34 2,23 0,49 4,98 0,02 3,63 5,00 2,73 0,08 2,40 0,06

Sumber: BPS.

Rendahnya tingkat produktivitas di sektor ini dicerminkan oleh rendahnya pendapatan rata-rata per petani atau sebagian besar petani berpenghasilan sangat rendah. Berdasarkan data pendapatan petani dari SUSENAS 2004 (BPS), Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar dari jumlah petani dan buruh tani di Indonesia masuk di dalam kategori pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan. Sekitar 36% dan 45,5%, masing-masing, dari jumlah petani dan buruh tani punya pendapatan kurang dari setengah juta rupiah per bulan.

Sensus Pertanian (SP) 2003 menunjukkan bahwa, rata-rata, ukuran keluarga dari rumah tangga (RT) petani (bagi petani dan buruh tani yang dibayar sebagai kepala keluarga yang pekerjaan utamanya bertani) adalah 4 orang (walaupun beberapa dari buruh tani di Tabel 10 bisa merupakan putra-putra yang bapak mereka adalah petani). Jadi, pendapatan per kapita per bulan di kelompok pendapatan pertama di Tabel 10 adalah sekitar Rp 143.500. Selanjutnya, berdasarkan SP tersebut, sekitar 7,5% dari jumlah RT petani (yakni kepala-kepala keluarga sebagai petani atau buruh tani) berpenghasilan per bulan kurang dari Rp 167.000, atau per kapita kurang dari Rp 41.750; dan 29% dengan pendapatan per bulan antara Rp 167.000 –

6
(8)

Rp416.000, atau per kapala antara Rp 41.750 – Rp 104.000. Jadi, dapat dikatakan bahwa 36,5% dari jumlah RT petani atau sekitar 20.454.140 RT adalah RT miskin karena pendapatan mereka per orang rata-rata jauh lebih kecil daripada garis kemiskinan tahun 2004 sebesar Rp 104,300 di perdesaan.

Table 10: Jumlah Petani dan Buruh Tani yang dibayar menurut Kelompok Pendapatan, 2004

Kelompok Rp per bulan Petani Buruh Tani

1 2 3 4 5

Total

<575.000

575.001 – 821.000 821.001 – 1.162.500 1.162.501 – 1.843.750 >1.843.750

16.319.607 11.975.732 8.392.119 5.942.527 2.672.920

45.302.905

4.884.532 2.488.980 1.607.130 1.324.362 430.830

10.735.834 Sumber: SUSENAS (2004)

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas atau dominannya RT petani miskin di pertanian adalah distribusi lahan pertanian yang sangat timpang; walaupun Indonesia punya Undang-undang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Data dari SP menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani skala kecil dan jumlah ini meningkat terus. Pada tahun 2003 dari 25,437 juta petani yang menggunakan/memiliki lahan, 13.663 juta atau hampir 57%-nya adalah petani marjinal/gurem dengan lahan lebih kecil dari 0,5 hektar atau tanpa lahan. Pada tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan tercatat sekitar 20,518 juta orang atau tumbuh 1,8% per tahun, di mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta atau bertambah 2,6% per tahun selama periode 1993-2003. Di Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani marjinal naik 2,4% per tahun (Tabel 11). Petani-petani gurem dan buruh tani (petani tanpa memiliki tanah) dengan pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan (Mason dan Baptist, 1996).

Tabel 11: Distribusi Rumah Tangga Petani menurut Luas Lahan (%)

Luas (ha) 1983 1993 2003

<0,1 0,1-0,49 0,50-0,99

≥1,0

8,5 37,7 24,1 29,7

7,0 40,7 22,4 29,9

17,2 39,2 18,4 25,2 Sumber: BPS

[image:8.612.73.540.70.181.2] [image:8.612.40.571.518.594.2]

Masalah ini diperparah oleh kenyataan bahwa peralihan lahan pertanian ke non-pertanian seperti untuk pembangunan jalan raya/tol, perumahan/apartemen, lapangan golf, pertokoan/plaza/mall, perkantoran dan pabrik dalam 10 tahun belakangan ini semakin pesat. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 12, untuk kasus lahan padi, walaupun setiap tahun ada lahan baru untuk pertanian, namun laju penambahannya lebih kecil daripada tingkat konversinya sehingga setiap tahun jumlah lahan untuk sawah atau ladang padi terus berkurang. Di Jawa selama periode 1999-2003 luas lahan konversi tercatat sebesar 149,1 ribu hektar (ha) atau dengan tingkat konversi 4,42%, dan di luar Jawa mencapai hampir 424 juta ha atau 5,23%.

Tabel 12: Perubahan-perubahan Lahan Padi, 1999-2003

Wilayah Luas lahan tetap untuk

padi tahun 1999 (juta ha)

Luas lahan padi yang hilang (000 ha)

Luas lahan baru untuk padi (000 ha)

Luas lahan konversi (000 ha)

% dari konversi

Jawa Luar Jawa Indonesia

3,38 4,73 8,11

167,2 396,0 563,2

18,1 121,3 139,3

-149,1 -274,7 -423,9

4,42 5,81 5,23 Sumber: BPS

Socio-economic Accounting Matrix (SAM) dari BPS memberikan suatu cara lain dalam melihat relasi positif antara tingkat pendapatan dari petani dan luas lahan yang dimiliki oleh petani. Dalam SAM, kelompok-kelompok rumah tangga pertanian dibagi dalam: buruh tani, petani yang memiliki lahan 0,5 hektar atau kurang, petani dengan lahan dari 0,5 hingga 1 hektar, dan petani dengan lahan lebih dari 1 hektar. Seperti dapat dilihat di Tabel 13, pekerja/buruh tani adalah dari kelompok keluarga tani dengan pendapatan terendah. Ini membuktikan bahwa kemiskinan di Indonesia tidak lepas dari masalah kemiskinan di pertanian, dan yang terakhir ini erat kaitannya dengan masalah ketidak adilan dalam pembagian lahan pertanian.

(9)
[image:9.612.42.559.124.206.2]

mengedepankan keadilan sosial demi mencapai kesejahteraan masyarakat, pemerintah harus tetap berusaha, di satu sisi, memperlambat laju peralihan lahan pertanian, terutama mencegah pemusatan kepemilikan tanah oleh keluarga-keluarga kaya atau pemodal-pemodal besar yang hidup di perkotaan untuk tujuan-tujuan non-produktif atau yang tidak menciptakan sumber pendapatan atau kesempatan kerja yang signifikan bagi masyarakat, dan, di sisi lain, mempermudah petani mendapatkan sertifikat tanah. Jika penguasaan tanah oleh segelintir orang terus dibiarkan, sementara petani, khususnya dari kelompok skala kecil, tetap sulit mendapatkan sertifikat tanah, akses petani ke tanah dan air akan semakin kecil dan berarti kemiskinan akan meningkat.

Tabel 13: Pendapatan bersih per kapita menurut kelompok rumah tangga pertanian (ribu rupiah),

Kelompok rumah tangga tani 1975 1980 1985 1990 1993 1995 1999

Buruh tani

Petani dengan 0,5 ha/kurang Petani dengan 0,501 – 1,0 ha Petani dengan > 1,0 ha

40,1 43,3 57,7 84,4

102,2 133,9 154,8 198,9

238,1 228,7 342,0 553,7

415,3 548,9 656,5 1035,3

468,2 757,6 901,9 1471,8

616,7 934,5 1200,2 1758,8

1629,7 1676,9 2650,5 3422,3

Sumber: BPS

Padahal, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi kesejahteraan dan keadilan sosial di negara agraris seperti Indonesia. Kata kunci dari aksesibilitas atas tanah adalah property rights. Ketidak adilan dalam ekonomi dicerminkan salah satunya oleh lemahnya sistem property rights, yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal besar. Hak petani atas tanah juga disinggug oleh Amartya Sen dengan asumsi mengenai entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan (Hadar, 2006).

Kesalahan pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan 1945 tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan land reform, dan jika dilakukan saat ini sudah sangat terlambat karena hanya akan menghadapi hambatan-hambatan dari pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh kebijakan seperti ini. Padahal sebenarnya reformasi pembagian lahan adalah bagian dari kewajiban penegakan hak asasi manusia (HAM) oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah Indonesia (seperti pemerintah dari negara-negara lainnya di dunia) berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air dan sumber-sumber produktif lainnya kepda masyarakat, atau dalam hal ini petani, agar mereka bisa menyediakan sendiri makananya (Hadar, 2006).

Banyak negara yang melakukan land reform dan hasilnya sangat nyata: kesejahteraan petani di negara-negara tersebut tinggi. Diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Hasil dari kebijakan dalam pembagian lahan pertanian di negara-negara ini menghancurkan hak monopoli dari landlords dan membuat petani yang tadinya sebagai penyewa menjadi pemilik tanah. Keuntungan dari land reform bagi petani dijelaskan oleh Hadar (2006) sebagai berikut, Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi, berdampak positif karena selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi. Mereka juga sudah mengenal sistem yang berlaku serta telah pengalaman dalam perannya sebagai manager dan pekerja tani (halaman 6).

Penyebab lainnya adalah pendidikan petani yang rendah. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk peningkatan produktivitas, dan peningkatan rasio output-tenaga kerja ini pada gilirannya berkorelasi positif terhadap peningkatan pendapatan riil per pekerja. Dalam perkataan lain, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, peningkatan produktivitas menjadi suatu keharusan, dan untuk mencapai ini, pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat. Hal ini juga berlaku di sektor pertanian. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas di atau buruknya kualitas dari sebagian besar hasil pertanian Indonesia selama ini adalah karena pendidikan rata-rata petani dan buruh tani relatif rendah. Pendidikan menjadi ekstra sangat penting bagi kemajuan dan daya saing pertanian di Indonesia saat ini dan di masa depan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dunia.

Data BPS (SP) menunjukkan bahwa sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar (44,98%) dan tidak berpendidikan formal sama sekali (31,62%). Hanya sekitar 1,69% dari jumlah petani yang ada pada tahun 2003 yang mempunyai diploma pendidikan tersier (Tabel 14). Tidak diragukan, kondisi ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini. Jelas, usaha pemerintah untuk membuka kesempatan lebih besar bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik adalah suatu langkah konkrit yang sangat diperlukan, dan kebijakan ini bisa membantu untuk mencapai keadilan ekonomi lintas sektoral.

(10)
[image:10.612.97.501.24.363.2]

Tabel 14: Persentase dari Petani menurut Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003

Tingkat Pendidikan Jawa Luar Jawa Indonesia Tidak ada pendidikan

Hanya pendidikan dasar Sekunder

Tersier

Jumlah

34,44 48,07 15,8 1,69

100,00

28,83 41,93 27,56 1,68

100,00

31,62 44,98 21,71 1,69

[image:10.612.169.455.136.360.2]

100,00 Sumber: BPS

Gambar 4: Persentase dari petani menurut sumber pendanaan, 2003

Bank: 3,06 Koperasi:

1,79

Lainnya: 9,72

Uang sendiri: 85,43

Sumber: BPS

Tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah sering disebut sebagai salah satu hambatan yang dihadapi banyak petani dalam mendapatkan modal pinjaman dari bank. Sulitnya kaum miskin mendapatkan sertifikat atas tanah yang mereka telah diami lebih dari satu generasi merupakan satu conoth konkrit dari adanya ketidakadilan sosial selama ini di Indonesia. Sebagai satu kasus, pernah diberitakan di harian Kompas (Rabu, 15 Maret 2006), bahwa para transmigran asal pulau Teon, Nila, dan Serua sudah 28 tahun lamanya mendiami dataran Waipia di pulau Seram tetapi tetap saja belum memiliki sertikifat atas tanah yang mereka diami tersebut.

Terakhir, terus merosotnya nilai tukar petani (NTP) juga merupakan penyebab kemiskinan di pertanian selama ini. Secara teori, kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan oleh besar kecilnya NTP. Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor, dan lainnya..Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.

NTP yang cenderung terus menurun tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis di Indonesia yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi pengadaan input, petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.

(11)

Usaha Rumah Tangga dan Kecil7

Usaha rumah tangga (URT) dan usaha kecil (UK) yang sebagian besar terdapat di sektor informal sangat penting bagi kelompok miskin, baik sebagai sumber pendapatan utama atau satu-satunya (bagi mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal) maupun sebagai sumber pendapatan tambahan (misalnya pegawai rendahan di sektor formal dan pemerntah) atau musiman (misalnya petani). Walaupun diakui peran strategis dari sektor ini untuk pengentasan kemiskinan, sektor ini menghadapi kesulitan untuk bisa bertahan dalam menghadapi persaingan dari perusahaan-perusahaan besar/modern dan barang-barang impor.

Salah satu penyebabnya adalah rendahnya tingkat produktivitas yang membuat rendahnya pendapatan riil di sektor tersebut. Seperti yang ditunjukkan Tabel 15, di industri manufaktur, rata-rata rasio nilai tambah (NT) -tenaga kerja di URT dan UK secara bersama jauh lebih rendah daripada di usaha menengah (UM) dan usaha besar (UB) sebagai satu kelompok, yang membuat pangsa total output (atau NT bruto) dari URT dan UK jauh lebih kecil dibandingkan UM dan UB. Misalnya, pada tahun 1999, produktivitas tenaga kerja di URT dan UK hanya 8,35 juta rupiah dibandingkan 115,28 juta rupiah di UM dan UB; atau 9,32 juta rupiah banding 90,68 juta rupiah di tahun 2003.

[image:11.612.33.566.223.286.2]

Tabel 15: Rata-rata produktivitas tenaga kerja (Q1) dan kontribusi Total Output Manufaktur (Q2)

menurut skala usaha.

1999 2000 2001 2002 2003

Skala

Q1 Q2 (%) Q1 Q2 (%) Q1 Q2 (%) Q1 Q2 (%) Q1 Q2 (%) UM + UB

URT + UK

115,28 8,35

90,52 9,48

143,99 9,11

91,65 8,35

167,70 10,98

91,50 8,50

166,31 12,36

89,94 10,06

196,26 13,55

90,68 9,32

Catatan: Q1 dalam juta rupiah

Sumber: BPS

Tidak hanya produktivitasnya rendah, juga kualitas dari barang-barang yang dihasilkan oleh URT dan UK sangat buruk dibandingkan dengan barang-barang yang sama buatan UM dan UB (termasuk impor). Selain itu, URT dan UK juga mengalami kendala dalam mengembangkan kapasitas produksi. Semua ini disebabkan oleh banyaknya masalah yang dihadapi oleh pengusaha-pengusaha di kelompok industri tersebut. Survei BPS 2003 terhadap URT dan UK di industri manufaktur (Tabel 16) menunjukkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh sebagian besar dari responden adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dana dari saudara/kenalan atau dari sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan formal.

Dalam hal pemasaran, URT dan UK pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan produk-produk mereka, atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan UB lewat sistem subcontracting.

Hal yang menarik dari hasil survei ini adalah bahwa walaupun sudah bukan rahasia lagi bahwa penyebab utama rendahnya produktivitas di UKM di Indonesia adalah keterbatasan teknologi dan SDM, Tabel 16 menunjukkan bahwa UMI dan UK yang disurvei tidak menyebut keterbatasan teknologi dan SDM sebagai salah satu permasalahan serius mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidak-sadaran mereka bahwa produktivitas mereka rendah atau mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena produk-produk yang mereka buat tidak kompetitif dibandingkan produk-produk yang sama buatan UM atau UB atau impor, dan ini disebabkan terutama oleh rendahnya teknologi atau kualitas SDM.

(12)
[image:12.612.45.546.29.197.2]

Tabel 16: Problem-problem utama yang dihadapi URT dan UK manufaktur di Indonesia, 2003

UK URT Total UK & URT

Tidak ada problem

Punya problem -Bahan baku -Pemasaran -Modal

-Transportasi/Distribusi -Energi

-Biaya tenaga kerja -Lainnya

Total UK & UMI

46.485 (19,48)*

192.097 (80,52) 20.362 (10,60) 77.175 (40,18) 71.001 (39,96) 5.027 (2,62) 40.605 (2,4) 2.335 (1,22) 11.592 (6,04)

238.582 (100,00)

627.650 (25,21)

1.862.468 (74,79) 400.915 (21,53) 552.231 (29,65) 643.628 (34,56) 49.918 (2,68) 50.815 (2,73) 14.315 (0,77) 150.646 (8,09)

2.490.118 (100,00)

674.135 (24,71)

2.054.565 (75,29) 421.277 (20,50) 629.406 (30,63) 714.629 (34,78) 54.945 (2,67)

55.420 (2,7) 16.650 (0,81) 162.238 (7,90)

2.728.700 (100,00) Catatan: * = persentase distribusi

Sumber: BPS

III. Kesimpulan dan Rekomendasi

Ada dua perkembangan yang saling berlawanan dari pembangunan ekonomi nasional selama era pasca krisis. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi cenderung terus membaik, walaupun lakunya lambat secara relatif dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami krisis yang sama. Namun, di sisi lain, dua aspek dari pembangunan yang seharusnya mendapat dampak positif dari pertumbuhan tersebut belum menunjukkan suatu perbaikan yang signifikan, yakni kesempatan kerja dan kemiskinan.

Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini belum menyentuh sepenuhnya atau terdistribusi secara merata ke dua sektor besar sebagai sumber kesempatan kerja dan pendapatan, yakni pertanian dan URT dan UK. Memang, dua sektor ini yang merupakan komponen-komponen paling utama dari ekonomi kerakyatan tidak bisa berfungsi sepenuhnya tanpa keterkaitan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam kata lain, hanya mengandalkan pada kedua sektor tersebut (ekonomi kerakyatan), Indonesia tidak bisa lepas sepenuhnya dari permasalahan pengangguran dan kemiskinan. Namun demikian, pembagian yang lebih merata dari pembangunan atau pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya akan memperbesar porsi yang dinikmati oleh kedua sektor tersebut, dan dampak positifnya terhadap penurunan pengangguran dan kemiskinan akan jauh lebih besar daripada yang terjadi selama ini.

Untuk mencapai tujuan di atas, yakni pemerataan pembangunan/pertumbuhan ekonomi, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertanian

1) menghentikan penguasaan lahan oleh pemilik-pemilik modal tanpa kompensasi yang adil;

2) mengurangi (jika tidak bisa menghentikan sepenuhnya) konversi lahan pertanian untuk maksud-maksud lain; terutama di lahan-lahan yang subur atau di sentra-sentra pertanian.

3) memberikan akses sepenuhnya bagi petani untuk mendapatkan pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lainnya; dan untuk maksud ini, pengurusan sertifikat tanah oleh petani harus dipermudah;

4) menjaga stabilitas harga, baik di sisi output maupun input agar nilai tukar petani (NTP) bisa meningkat terus; dan untuk maksud ini, semua distorsi, termasuk praktek-praktek spekulasi dan monopoli/monopsoni, di dalam proses pengadaan, distribusi dan pemasaran harus dihilangkan;

5) membangun infrastruktur secara merata di seluruh perdesaan, seperti irigasi teknis, listrik, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, pergudangan/fasilitas penyimpanan, dan fasilitas transportasi.

6) membangun lembaga-lembaga pendukung secara merata di semua pusat-pusat kegiatan pertanian seperti lembaga keuangan, pusat informasi, lembaga pelatihan/pendidikan/penyuluhan, pusat pengembangan bisnis, bengkel peralatan, lembaga pengembangan dan penelitian (R&D), pusat distribusi input maupun output;

7) melibatkan petani dalam perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan setiap kebijakan yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kinerja pertanian, seperti misalnya dalam keputusan melakukan impor beras;

8) meningkatkan kinerja perguruan tinggi dan lembaga-lembaga R&D dalam pengembangan/penyempurnaan teknologi, metode produksi, bibit dan input pertanian lainnya;

(13)

URT dan UK

1) memberikan akses lebih besar baik dalam pengadaan input, termasuk modal, teknologi, sumber daya manusia, dan informasi, maupun pemasaran output;

2) membangun infrastruktur khususnya di wilayah-wilayah di mana terdapat sentra-sentra URT dan UK seperti irigasi teknis, listrik, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, dan fasilitas transportasi.

3) mempermudah pengurusan ijin usaha dan memangkas birokrasi lainnya yang menghambat secara langsung maupun tidak langsung kegiatan URT dan UK;

4) membangun lembaga-lembaga pendukung secara merata di sentra-sentra URT dan UK seperti lembaga keuangan, pusat informasi, lembaga pelatihan/pendidikan/penyuluhan, pusat pengembangan bisnis (BDS), bengkel peralatan, lembaga pengembangan dan penelitian (R&D), pusat distribusi input maupun output (seperti trading houses);

5) melibatkan pengusaha URT dan UK (misalnya diwakili oleh asosiasi pegusaha kecil) dalam perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan setiap kebijakan yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kinerja pertanian, seperti misalnya dalam keputusan menaikkan bea masuk terhadap impor suatu input yang sangat dibutuhkan oleh URT dan UK.

6) menghilangkan segala macam distorsi pasar termasuk praktek-praktek monopoli atau monopsoni;

7) meningkatkan kinerja perguruan tinggi dan lembaga-lembaga R&D dalam pengembangan/penyempurnaan teknologi, metode produksi, dll yang dibutuhkan oleh URT dan UK;

8) meningkatkan keterkaitan produksi (misalnya dalam bentuk subcontracting) antara URT dan UK dengan UM dan UB, termasuk perusahaan-perusahaan PMA..

Daftar Pustaka

Agusta, Ivanovich (2005), ”Desa Tertinggal dan Subsidi BBM”,

Kompas

, Opini, Sabtu, 9 April, halaman 48.

Bank Dunia (2004), “Concept Paper on Operationalizing Pro-Poor Growth”, A Research Project Sponsored by AFD,

DFID, GTZ, KfW and PREM, May, Washington, D.C.

Bank Dunia (2006), ”Making the New Indonesia Work for the Poor”, November, Jakarta: Indopov dan Bank Dunia

BPS (2005),

Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005

, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Chang, William (2005), ”Lapar akan Keadilan”,

Kompas

, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4

Hadar, Ivan a. (2006), ”Busung Lapar dan Reformasi Pertanian”,

Kompas

, Selasa, 21 Maret, halaman 6.

IMF (2006),

Global Economic Outlook

, April, Washington, D.C. International Monetary Fund.

Mason, Andrew D. and Jacquiline Baptist (1996),

“How Important Are Labor Markets to the Welfare of Indonesia's

Poor”, Policy Research Working Paper, no.1665, Poverty and Social Policy Department and East Asia and

Pacific Country Department III, World Bank, Washington, D.C.

Pradhan, Menno, Asep Suryahadi, Sudarno Sumarto, dan Lant Pritchett (2000), "Measurements of Poverty in Indonesia: 1996, 1999, and Beyond", SMERU Working Paper, June, Jakarta: The Social Monitoring & Early Response Unit.

Sihadi (2005), ”Rajin ke Posyandu, Cegah Gizi Buruk’,

Kompas

, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4.

Subandriyo, Toto (2006), ”Saatnya Berpihak kepada Petani’,

Kompas

, Opini, Jumat, 17 Maret, halaman 6.

UNDP, BAPPENAS dan BPS (2001),

Indonesian Human Development Report 2001

, Jakarta.

Tambunan, Tulus (2006a),

Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis

, Jakarta: Pustaka

Quantum.

Tambunan, Tulus (2006b),

Development of Small & Medium Enterprises in Indonesia from the Asia-Pacific

Perspective

, Jakarta: LPFE Universitas Trisakti

Tambunan, Tulus (2006c),

Entrepreneurship Development in Developing Countries

, New Delhi: Academic

Excellence.

Gambar

Tabel 1: Pertumbuhan PDB Riil di Beberapa Negara Asia, (%) Negara/Ekonomi 2004 2005 Perkiraan
Tabel 2: Tingkat Kemiskinan   Jumlah (juta
Tabel 5: Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah (%) Sektor
Tabel 8: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan (%) Sektor 1996 1998 1999 2000 2001 2002
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan komunikasi yang terdapat di dalam perancangan identitas dari Situs Taman Purbakala Cipari ini adalah menciptakan suatu identitas berupa logo yang memiliki ciri khas dan

berdasarkan hasil uji ANOVA dengan signifikansi 0.000 (p&lt;0.01); (2) pembelajaran menggunakan model Problem-Based Learning berpengaruh terhadap penguasaan konsep

Sasaran yang dituju dalam proses komunikasi massa adalah khalayak atau masyarakat luas yang terpencar satu sama lain tidak saling mengenal, karena masing – masing berbeda

Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.Urtikaria atau

tersebut, karena merupakan pesan atau solusi yang diperpendek menjadi sebuah kata-kata yang mudah dimengerti, serta dapat memotivasi pendengar, penyiar berusaha

Terapi obat dan tindakan pembedahan dapat digunakan untuk mengecilkan atau menghilangkan miom jika menyebabkan rasa tidak nyaman atau gejala-gejala yang bermasalah..

sanggahan selama 3 (1iga) hari kerja dari langgal 16 Sid 18 Juni 2015, yang dilujukan kepada Uni1. Layanan Pengadaan Kementerian