BAB II
KONSELING FEMINIS
Untuk memahami lebih jauh tentang peranan perempuan pasca perceraian, perlu
diketahui teori yang mendukungnya. Dalam bab ini, akan dijelaskan tentang
teori-teori konseling feminis, yang diawali dengan definisi perceraian, faktor-faktor
penyebab perceraian, dan dampak perceraian.
2.1. Definisi Perceraian
Perceraian berasal dari kata dasar cerai yang berarti putusnya hubungan pernikahan
secara formal menurut pengadilan, agama maupun hukum.1 Perceraian dapat pula
dipahami sebagai cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan
mereka menjalankan peran sebagai orang tua.2 Zandiyeh, dalam penelitiannya yang
dilakukan di Iran
,
menyatakan bahwa perceraian merupakan masalah sosialkontroversial dan bencana.3 Sun et all menjelaskan bahwa perceraian adalah masalah yang dialami oleh perempuan dan juga laki-laki yang dampaknya dirasakan oleh
keduanya dalam hal ini penekanan untuk kesetaraan.4 Perceraian juga merupakan
kondisi yang rumit dari pasangan suami istri akibat tidak adanya jalinan komunikasi
yang baik.5 Dari pemahaman tersebut, penulis berpendapat bahwa perceraian adalah
masalah interaksi relasi yang menyebabkan hubungan suami istri menjadi terputus.
1 Suharso dan Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 107.
2
Karim, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga , 135.
3Zahra Zandiyeh dan Yousefi H, “Woman’s experiences of applying for a divorce.
Iranian journal of nursing and midwifery research, Vol. 19, Issue. 2 (2014): 168.
4
Shirley Hsiao-Li Sun, Wen En Chong dan Si Hui Lim, “Gender and Divorce in Contemporary Singapore,” Journal of Comparative Family Studies, Vol. 65 (2014): 127-128.
2.2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian
Menurut UU No 1 tahun 1974 pasal 19 tentang perkawinan menjelaskan bahwa
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah perzinahan, kekerasan
atau penganiayaan, salah satu pasangan meninggalkan pasangannya selama kurun
waktu dua tahun tanpa alasan yang jelas, kesehatan dari salah satu pasangan yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.6
Zandiyeh menyebutkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya
perceraian di Iran, salah satunya adalah faktor budaya.7 Faktor budaya menjadi faktor
yang paling besar pengaruhnya karena terdapat budaya perjodohan dan kawin paksa.
Sejalan dengan itu, dalam penelitian di
S
ingapura faktor utama yang mempengaruhiperceraian juga ialah faktor budaya yaitu pernikahan lintas budaya antara Singapura
dan Cina.8 Alasan penulis memilih tiga negara ini (Iran, Singapura, dan Cina) ialah
karena ketiga negara tersebut tidak berbeda jauh dengan budaya Indonesia, artinya
masih dalam kawasan negara Asia dan ketiganya masih menganut paham budaya
patriarkhal. Dengan demikian, faktor-faktor perceraian yang terjadi pada tiga negara
tersebut dapat menjadi acuan untuk mengetahui faktor yang terjadi di Indonesia.
Selain faktor budaya di atas, muncul pula faktor-faktor lain seperti faktor sosial,
faktor keluarga, faktor keamanan, dan faktor ekonomi. Dalam faktor sosial, yang
mempengaruhi ialah hubungan sosial yang bebas, suami bergaul dengan siapa saja dan
tertangkap oleh istri bahwa dari pergaulan itu ternyata sang suami berselingkuh,
sehingga istri meminta untuk bercerai. Sebaliknya, pada faktor keluarga, suami lebih
memperhatikan saudara perempuan istrinya sehingga timbul kecemburuan dan akhinya
istri meminta untuk bercerai. Faktor ekonomi, faktor ini rentan terhadap perceraian
6 Hukum Perkawinan Indonesia, UU RI No 1 Tahun 1974 (Tangerang Selatan: SL Media), 40-41.
7Zandiyeh dan Yousefi H, “Woman’s Experiences...”, 170.
karena masalah suami yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak mampu memenuhi
kebutuhan keluarga sehingga istri ingin bercerai.9
Di Indonesia sendiri, menurut Ellis penyebab perceraian ada dua hal dilihat dari
penyebab utama dan penyebab khusus.10 Penyebab utama ialah keyakinan terhadap
takdir, sistem kekerabatan, dan tradisi lokal, sedangkan penyebab khusus ialah masalah
ekonomi, hubungan yang tidak harmonis antar pasangan, hubungan yang buruk dengan
orang tua atau mertua, dan perselingkuhan. Bowen dalam penelitian di Gayo pada akhir
tahun 90-an mengatakan bahwa masalah ekonomi menjadi faktor utama terjadinya
perceraian.11 Paul Bohannon menjelaskan bahwa faktor emosional juga merupakan
faktor utama terjadinya perceraian. Artinya, sebelum bercerai pasangan suami istri
mengalami banyak masalah dan masalah-masalah tersebut membuat mereka tidak
saling terbuka, tidak saling memahami, sulit berkomunikasi, tidak saling percaya. Fisik
mereka mungkin dekat saat duduk, tidur atau makan bersama
,
namun pikiran dan hatimereka tidak satu atau dalam hal ini dikatakan Bohannon sebagai teralienasi
.
Suamidan istri menganggap satu dengan yang lain sebagai orang asing dan hal ini yang
membuat ikatan emosional mereka memudar sehingga akhirnya komitmen untuk
bersama terabaikan.12
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, penulis berpendapat bahwa faktor utama
terjadinya perceraian adalah faktor emosional, faktor ekonomi, dan faktor budaya.
Faktor emosional sebenarnya yang mengontrol setiap pasangan
,
namun dalampengambilan keputusan pikiran mempunyai peranan penting yang mempengaruhi
9Zandiyeh dan Yousefi H, “Woman’s Experiences...”, 170.
10
Euis Nuraelawati, “Muslim Women in Indonesian Religious Courts: Reform, Strategies, and Pronouncement of Divorce,” Islamic Law and Society, (2013): 258.
emosi sehingga terjadi perceraian. Ketika pikiran dan perasaan tidak lagi sejalan maka
tindakan yang muncul adalah tindakan yang negatif yakni tindakan untuk bercerai.
Dari pembahasan di atas, penulis akan menjelaskan tentang dampak
perceraian. Hal ini penting karena untuk mengetahui apa yang akan terjadi dalam suatu
pernikahan jika terjadi perceraian.
2.3. Dampak Perceraian
Dampak dari perceraian menurut Ahrons sangat dirasakan oleh anak-anak dewasa.13
Ahrons menitikberatkan kepada anak-anak dewasa karena melalui penelitiannya di
Virginia
,
ia menemukan bahwa anak-anak dewasa yang orang tuanya telah berceraiselama 20 tahun mengalami gangguan dalam kehidupan mereka, baik relasi dengan
sesama ataupun dukungan dari orang tua mereka.14 Hasil yang sama penulis dapati
dalam penelitian yang dilakukan oleh Shirley Hsiao-Li Sun, dkk melalui wawancara
yang dilakukan kepada seorang perempuan
S
ingapura yang mengatakan bahwa:
Setelah kami bercerai, saya mendapatkan anak-anak, namun mantan suami saya tidak menafkahi saya dan anak-anak lagi karena dia tidak memenangkan hak asuh terhadap anak kami.15
Artinya, dalam hukum di Singapura pemerintah menerapkan strategi peran
pengasuhan anak kepada perempuan sehingga hampir semua pasangan yang bercerai,
pada akhirnya hak asuh anak akan dimenangkan oleh perempuan. Bagi penulis, strategi
ini telah memojokkan perempuan dalam artian perempuan hanya dianggap sebatas
pengasuh dan perawat tanpa memperhatikan kendala-kendala yang mereka hadapi
seperti kendala ekonomi. Benar, bahwa ini adalah tugas perempuan sebagai seorang
13Constancer Ahrons, “Family Ties after Divorce: Long Term Implications for Children,”
Journal of Family Process, Vol. 46 (2006): 58.
14Ahrons, “Family Ties after Divorce...”, 58
-59. 15
ibu
,
secara otomatis juga merupakan tanggung jawabnya untuk mengasuh dan merawat.
Walaupun demikian, tetap harus ada keadilan agar terjadi keseimbangan antara
pengasuhan dan kebutuhan anak yang terpenuhi. Selain dampaknya kepada anak-anak,
Li Sun et all menjelaskan dampak lain adalah tingkat stres yang tinggi yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Stres yang dialami oleh laki-laki dijelaskan bahwa
dampaknya ialah mereka tidak memiliki hak asuh kepada anaknya16. Hal ini
dikarenakan, pemerintah di
S
ingapura menerapkan strategi peran pengasuhan anakkepada perempuan17. Dampak bagi perempuan adalah terkait dengan kebutuhan hidup.
Artinya, suami tidak lagi menafkahi istri dan anak-anaknya setelah perceraian sehingga
perempuan mengalami kesulitan dalam mengurus anaknya.18 Melalui penelitiannya di
Indonesia, Nuraelawati menemukan dampak yang lain, yakni posisi perempuan menjadi
lebih rendah ketika mengalami perceraian. Hak-hak mereka dibatasi dan cenderung
selalu disalahkan.19
Hirsc dan Stiles dalam Nuraelawati menyatakan dampak perceraian juga dirasakan
perempuan dalam proses hukum
. D
alam hal ini mengubah norma-norma agama danlokal yang menyebabkan posisi perempuan selalu berada di dalam posisi kurang
beruntung yakni perempuan selalu dibatasi dan tidak diberdayakan.20 Dari pendapat
tersebut, maka dampak perceraian menyebabkan ketidakberdayaan, pengekangan,
pembatasan hak-hak yang menjadikan perempuan sebagai kaum inferior yang pasrah
terhadap segala bentuk ketidakadilan termasuk dalam kaitan dengan masalah
perceraian.
16 Hsiao-Li Sun, Wen En Chong dan Si Hui Lim, “Gender and Divorce...”, 128.
17
Hsiao-Li Sun, Wen En Chong dan Si Hui Lim, “Gender and Divorce...”, 129.
18
Hsiao-Li Sun, Wen En Chong dan Si Hui Lim, “Gender and Divorce...”, 132-134.
Dalam pemaparan terhadap penelitian yang dilakukan di tiga negara (Iran,
Singapura, dan Indonesia)
,
penulis melihat bahwa perceraian lebih cenderungmerugikan para perempuan, baik secara fisik maupun psikis. Walaupun tidak
ditemukan adanya kekerasan terhadap perempuan dalam penelitian di atas, namun yang
dimaksudkan secara fisik ialah tentang biaya perawatan kepada anak-anak yang
cenderung tidak diberikan oleh mantan suami ketika perceraian terjadi. Pada akhirnya,
perempuan harus bersusah payah mengusahakan kehidupan bagi anak-anak mereka.
Secara psikis dapat dilihat dengan adanya perselingkuhan suami dan ketidakadilan
dalam budaya karena perjodohan orang tua yang mengharuskan perempuan melepaskan
hak mereka. Kebebasan perempuan dibatasi dengan budaya tersebut. Dalam penelitian
yang ketiga di Indonesia
,
penulis menemukan adanya peningkatan dari perempuandalam hal kesetaraan gender. Isu ini menjadikan perempuan lebih optimis dan berani
dalam mengambil keputusan, walaupun pada akhirnya dalam menjalani perceraian
perempuan yang sendiri merasakan dampaknya.
2.4. Konseling Pastoral
Jemaat dengan segala persoalan dan pergumulan hidup yang membuat depresi dan
putus asa
,
tidak dapat dianggap sepele. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupanrohani mereka tidak berkembang ke arah kedewasaan, juga bisa berakibat fatal
misalnya dengan keinginan untuk cepat mengakihiri kehidupan alias bunuh diri. Dalam
keadaan seperti inilah peran konseling sangat dibutuhkan untuk membantu mencari
jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Konseling bukan merupakan
bergantung pada pengetahuan teknis yang dijalankan oleh seseorang profesional yang
benar dan terlatih.21
Berdasarkan realitas di atas, maka konseling pastoral sangat dibutuhkan oleh setiap
orang yang bermasalah. Melakukan konseling pastoral bukan hanya secara teori namun
juga praktis seperti sentuhan dan kepedulian yang harus ditampilkan. Untuk melakukan
konseling pastoral, seorang konselor perlu mengetahui tentang hakekat konseling
pastoral tersebut.
Konseling Pastoral dikenal pertama kali dalam gereja-gereja di Amerika, dengan
pengertian seseorang yang memberi nasihat.22 Juneman menjelaskan bahwa konseling
pastoral merupakan sebuah orientasi konseling yang menekankan keterbukaan untuk
melakukan penggalian terhadap persoalan spiritual dan religius pada konseli serta
antara konseli dan konselor.23 Clinebell menyatakan fungsi konseling pastoral ialah
menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan, dan mengasuh.24
Menyembuhkan memiliki pengertian membuat konseli merasa terobati dari masalah
yang ia alami; menopang artinya konselor hadir sebagai penopang bagi konseli
sehingga konseli merasa ada yang memperhatikannya; membimbing berarti konselor
membantu mengarahkan konseli untuk keluar dari beban masalahnya; mendamaikan
artinya konselor membangun komunikasi yang positif sehingga konseli dapat menerima
dirinya dan masalah yang ia alami (berdamai dengan diri sendiri); dan mengasuh
merujuk pada pengertian konselor sebagai sosok yang dapat memberi asuhan kepada
konseli untuk membantunya memecahkan masalah yang ia hadapi.
21
Gary R. Collins, Konseling Kristen Yang Efektif (Malang: SAAT, 1998), 6. 22
J. L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 8.
23
Nasib Sembiring dan Yosef Dedi Pradipto, Psikologi Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 1.
24 Howard John Clinebell, Basic Types of Pastoral Care and Counselling (Nashville: Abingdon Press, 1984),
Berdasarkan tujuan dan fungsi di atas, Gerkin menyatakan konseling sebagai suatu
seni pengenalan. Dengan demikian, konseling pastoral mempunyai tugas utama ialah
menimbulkan kepekaan.25 Artinya, baik konselor maupun konseli harus peka dalam
hubungan dan pengalaman mereka, dimana keintiman/kedekatan dari kehadiran dan
aktivitas Rohlah yang dapat dirasakan/dikenali. Sejalan dengan itu Muller, White dan
Epston menjelaskan melalui penelitian mereka di Afrika Selatan tentang kekerasan
domestik yang kerap terjadi dalam rumah tangga dan korbannya selalu perempuan dan
anak-anak, bahwa untuk melakukan konseling bagi seseorang yang bermasalah. Roh
sangat berperan penting. Hal ini dikarenakan konseli yang bermasalah pastinya terlibat
dalam masa lalu dan kisah-kisah yang pahit. Untuk itu, melalui kisah-kisah yang pahit
tersebut konselor harus membantu konseli agar dapat menemukan makna dibalik
permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, konselor pun turut terlibat untuk
membangun identitas konseli serta ada gerakan peduli dan empati terhadap konseli.26
Berkaitan dengan itu, Wiryasaputra memahami konseling pastoral sebagai usaha
kuratif (penyembuhan), edukatif (pendidikan), promotif (peningkatan), dan rehabilitatif
(pemulihan) secara terintegrasi.27 Dari pengertian tersebut, tujuan konseling pastoral
adalah untuk menunjang proses pengutuhan manusia dalam semua aspek hidup mereka
sejauh mungkin.28 Wiryasaputra menjelaskan ada tujuh tujuan konseling pastoral, yakni
(1) membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan, (2)
membantu konseli mengungkapkan diri secara penuh dan utuh, (3) membantu konseli
berubah, bertumbuh, dan befungsi maksimal, (4) membantu konseli menciptakan
komunikasi yang sehat, (5) membantu konseli bertingkah laku baru, (6) membantu
25 Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral dalam Transisi (Jakarta: Kanisius, 1992), 96.
26Petronella J Davies dan Yolanda Dreyer, “A Pastoral Psychological approach to domestic violence in South
Afrika,” Journal of theological Studies, Vol. 70, No. 3 (2014): 7-8. 27
Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 93.
28
konseli bertahan dalam situasi baru, (7) membantu konseli menghilangkan gejala
disfungsional.29
Berkaitan dengan penjelasan di atas, dalam proses konseling umum biasanya
konseling dilakukan oleh seorang konselor yang harus menyarankan dan menanggapi
masalah konseli dengan peduli. Konselor akan membantu konseli untuk memecahkan
masalah mereka dengan menyediakan kesempatan bagi mereka untuk memilih cara
mereka sendiri.30 Meskipun secara umum, namun proses konseling harus berdasarkan
teori-teori konseling yang dapat memecahkan masalah konseli mulai dari pikiran,
perasaan, serta perilaku mereka dan semua ini juga dilakukan dalam penyertaan Roh.
Roh yang menuntun dan menggerakan hati konselor maupun konseli agar keduanya
terbantu untuk menyelesaikan permasalahan konseli. Setara dengan hal ini, American Association of Pastoral Counselling menjelaskan bahwa untuk menolong orang yang bermasalah biasanya akan diberikan solusi melalui cara tradisional yakni penyembuhan
berbasis keagamaan. Konseling agama merupakan perkembangan dari konseling
pastoral. Dengan kata lain konseling agama dan konseling pastoral telah
mengintegrasikan teologi dan tradisi agama, spiritualitas serta perilaku.31
Pada akhirnya konseling pastoral tidak bisa dipisahkan dari konseling agama.
Artinya ketika seseorang bermasalah maka untuk membantunya keluar dari
permasalahan itu, konselor tidak hanya melakukan teknik-teknik secara teoritis namun
juga harus melakukan tradisi keagamaan seperti berdoa serta meyakini kuasa Roh
kudus, sehingga ada keseimbangan antara spiritual dan perilaku.
29
Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 97-105. 30
Samphorn Theinkaw dan Somporn Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering
Counseling for Abused Women: A Perspectives of Thai Abused Women,” International Journal of Behavioral Science, Vol. 8 No. 1 (2013): 38.
31
2.5. Konseling Feminis
Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada tahun 1960-an
di Amerika Serikat, yang mana para perempuan membentuk sebuah forum untuk secara
aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang
memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua. Feminisme, yang
merupakan dasar filosofis bagi konseling feminis, bertujuan untuk menumbangkan
patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan
perubahan sosial radikal.32
The National Organization for Women (Organisasi Nasional Para Perempuan), yang lazim disingkat NOW, merupakan salah satu organisasi yang didirikan di Washington
D.C pada tanggal 29 Oktober 1966. Organisasi ini sangat serius dalam mengupayakan
reformasi struktur sosial dan peran-peran tradisional perempuan, serta menyuarakan
feminisme antara tahun 1960 hingga 1970-an.33 Seiring dengan pertumbuhan gerakan
feminis, beberapa perempuan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan
penyadaran (consciousness raising) dan mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi, pendidikan, dan arena sosiopolitik
signifikan lainnya.34 Kelompok consciousness raising (usaha penyadaran para perempuan) awalnya merupakan kelompok para perempuan yang bertemu untuk
berbagi pengalaman atas tekanan dan ketidakberdayaan yang mereka alami.
Kelompok ini kemudian berkembang menjadi kelompok self-help (tolong diri) yang
32 Daniel Horowitz, Betty Frieden and the Making of the Feminine Mystique (Northampton: Massachusetts,
2000), 19. 33
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”,41.
34Alesha Durfee dan Karen Rosenberg, “Teaching sensitive issues: Feminist pedagogy and the practice of
tertata dalam memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial yang ada
saat itu.35
Berkaitan dengan penjelasan di atas, Freeman di dalam Gilbert dan Osipow
menjelaskan bahwa konseling feminis berkembang dari kelompok-kelompok
consciousness raising dan memainkan peranan penting dalam pendidikan, radikalisasi, dan mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Meskipun telah menjadi instrumen
penting bagi penyadaran para perempuan, namun dalam hal usaha perubahan secara
politis, kelompok-kelompok consciousness raising ini tidak seefektif organisasi semacam The National Organization for Women.36 Sejalan dengan itu, Lieberman dan Solow menjelaskan kelompok-kelompok consciousness raising lebih banyak mengambil peran dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi para anggotanya.37
Konseling feminis sesungguhnya bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang
dapat diterapkan pada berbagai orientasi teoritis. Teori konseling apapun dapat
dievaluasi dengan kriteria gender-fair, flexible-multicultural, interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan berbeda satu
sama lain bergantung pada teori apa yang dikombinasikan dengan prinsip dan konsep
feminis.38
Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu
pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak dikembangkan
oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoritis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan
35Durfee dan Rosenberg, “Teaching sensitive issues: Feminist pedagogy and the practice...”, 106.
36 Lucia Albino Gilbert dan Samuel Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,”
Journal of Psychology of Women Quarterly, Vol 15 (2011): 538.
37
Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 540.
teknik tertentu.39 Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh
pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan
menjadi korban. Oleh sebab itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat
membantu mereka.40
Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis cikal bakal lahirnya konseling
feminis ialah kepekaan terhadap masalah-masalah perempuan yang kerap terjadi dalam
berbagai aspek kehidupan. Menarik dalam penjelasan Enns yang memahami bahwa
konseling dan psikoterapi feminis didasari oleh pandangan terhadap perempuan yang
menjadi korban. Dari pemahaman tersebut dapat dilihat bahwa dalam menyikapi
masalah perempuan, seorang konselor harus memiliki prinsip yang menjadi dasar untuk
melakukan konseling feminis.
Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar
dari praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan satu sama
lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah41:
1) Masalahindividu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi
bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber
dari konteks politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut
seringkali berasal dari konteks marginalisasi, subordinasi, dan stereotipisasi.
Pandangan tentang dampak konteks politik dan sosial terhadap kehidupan
individu ini merupakan prinsip paling fundamental yang mendasari konseling
feminis.
2) Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha
melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial. Para
39
Mollie Whalen, karen P, dan Jill S. Barber,“Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,” Journal of multicultural counseling and development, Vol. 32 (2004): 380-381.
40 Mollie Whalen, karen P, dan Jill S. Barber,“Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,”
380-381. 41
konselor feminis memandang praktik konseling tidak hanya untuk membantu
konseli menyelesaikan masalah yang dihadapi secara individual, namun juga
untuk mewujudkan transformasi sosial. Aksi nyata untuk melakukan perubahan
sosial merupakan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai konselor. Sangatlah
penting bagi para perempuan yang terlibat dalam konseling, baik konseli ataupun
konselor untuk menyadari bahwa masalah yang mereka alami bersumber dari
opresi sebagai anggota masyarakat kelas dua dan bahwa mereka dapat berjuang
bersama para perempuan lainnya untuk mewujudkan perubahan. Tujuannya
adalah untuk mewujudkan kondisi sosial yang membebaskan para perempuan dan
laki-laki dari kekangan-kekangan yang timbul akibat ekspektasi peran gender,
yang hasil akhirnya adalah perubahan individual.
3) Suara, pemahaman, dan pengalaman perempuan diberi tempat yang sejajar
dengan pria. Perspektif perempuan merupakan hal yang sentral dalam memahami
permasalahan yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling. Konseling-konseling
tradisional yang menggunakan norma-norma androcentic,42 memakai laki-laki sebagai ukuran. Dengan demikian, perempuan seringkali ditemukan menyimpang
dari norma tersebut. Tujuan konseling feminis adalah untuk mengganti
“kebenaran obyektif patriarkal” dengan kesadaran feminis, yang mengakui
perbedaan dalam memahami sesuatu. Para perempuan didorong untuk
menghargai emosi dan intuisinya, serta menggunakan pengalaman pribadinya
sebagai dasar untuk menentukan “realitas”. Suara perempuan diakui sebagai
sumber pengetahuan yang otoritatif dan tidak terhingga nilainya. Penghargaan
dan fasilitasi suara perempuan di dalam dan di luar konseling ini akan
42 Keterpusatan pada laki-laki yang merupakan rangkaian nilai-nilai budaya dominan, yang didasarkan pada
menghilangkan kediaman perempuan dan berkontribusi pada perubahan pokok
dalam kondisi politik di masyarakat.
4) Hubungan konseling berlangsung secara egaliter.43 Salah satu perhatian utama
konseling feminis adalah mengenai power dan hubungan konseling yang egaliter. Para konselor feminis mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam hubungan konseling, sehingga mereka teguh mengusahakan egaliterianisme
hubungan konseling, serta menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa konseli
adalah ahli untuk dirinya sendiri. Sebuah diskusi yang penuh keterbukaan
mengenai power dan perbedaan-perbedaan peran dalam hubungan konseling akan membantu konseli untuk memahami bagaimana dinamika power berpengaruh pada konseling dan hubungan lainnya. Diskusi ini juga mengundang dialog
tentang bagaimana cara mengurangi ketimpangan power tersebut. Penemuan cara untuk saling menyeimbangkan power adalah hal yang esensial bagi konselor feminis. Hal ini karena mereka meyakini bahwa konseling seharusnya penuh
dengan kesejajaran atau mutualitas (kondisi keterhubungan otentik antara konseli
dan konselor).
5) Fokus pada kekuatan dan masalah psikologis. Beberapa konselor feminis
menolak untuk memberikan label diagnostik “penyakit mental” pada konseli.
Bagi mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang
dibawa oleh konseli ke dalam konseling. Konsep masalah di-reframing,44artinya masalah tersebut dibingkai ulang dengan mengubah sudut pandang konseli tanpa
mengubah kejadian itu sendiri, sehingga konseli mampu melihat masalahnya dari
sudut pandang yang berbeda. Hal ini dapat menjadi strategi untuk survival.
Konselor feminis membicarakan masalah dalam konteks kehidupan dan strategi
menyelesaikannya, bukan dalam konteks patologi.
6) Mengenali semua bentuk tekanan. Konselor feminis memahami bahwa
ketimpangan sosial dan politik berdampak negatif pada semua orang. Konselor
feminis berusaha untuk membantu individu membuat perubahan dalam hidupnya
serta perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotyping45, marginalisasi, dan opresi. Tujuan kuncinya adalah untuk melakukan intervensi
dengan cara yang dapat menghasilkan perubahan dalam lingkungan sosiopolitik
yang disfungsional. Membingkai masalah dalam konteks kultural akan membawa
pada pemberdayaan konseli, yang hanya dapat dicapai melalui perubahan sosial.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, menurut penulis konseling feminis pada
hakekatnya diperuntukkan kepada setiap perempuan yang mengalami ketertindasan dan
ketidakadilan. Keenam prinsip di atas memaparkan tentang realitas perempuan yang
mengalami diskriminasi dari berbagai pihak, yang pada akhirnya hanya untuk
memojokkan dan mengucilkan perempuan. Untuk itu peran seorang konselor feminis
sangat diperlukan dalam rangka pemulihan dan pemberdayaan konseli yang teralienasi.
Sejalan dengan hal di atas, Stein menyatakan bahwa konseling feminis berkaitan
dengan pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan tersebut dapat diklasifikasikan
dalam tiga aspek, yakni46:
1. Berfokus pada peningkatan kesadaran melalui dialog.
2. Berfokus pada pemberdayaan kesadaran kepercayaan diri untuk meyakini nilai
mereka sendiri, sehingga mereka dapat membuat keputusan dan mengontrol
kehidupan mereka.
45
Keyakinan yang membentuk sekelompok orang terhadap sikap tertentu. 46
3. Kombinasi peningkatan dan pemberdayaan kesadaran. Kombinasi ini dapat
membantu kesadaran kritis yang mampu memberdayakan perilaku individu dalam
kesiapan mereka menghadapi situasi kritis.
Dari ketiga aspek tersebut, Stein dkk menjelaskan tujuan konseling feminis ialah
untuk menerapkan perubahan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.
Proses pemberdayaan ini membantu perempuan memilih dan mengontrol jalur hidup
mereka. Meningkatkan kesadaran gender yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian perempuan mampu mengembangkan proses pemberdayaan melalui
kesadaran kritis.47
Sejalan dengan penjelasan di atas, Enns menyatakan bahwa tujuan konseling feminis
yang berkisar pada pemberdayaan, menghargai perbedaan, berusaha melakukan
perubahan (daripada hanya sekedar penyesuaian), kesetaraan, menyeimbangkan
independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan self-nurturance (peduli diri). Enns di dalam Whalen juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk
membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan
kepentingan orang lain. Tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan
seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat.
Konseling feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap konseli secara
individual maupun terhadap masyarakat secara umum.48
Berkaitan dengan pemahaman di atas, melalui studi yang dilakukan oleh beberapa
peneliti terhadap pemberdayaan perempuan di Indonesia, menjelaskan tentang beberapa
tujuan terkait peran ideal perempuan, yakni49 :
47
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38. 48
Mollie Whalen, karen P, dan Jill S. Barber,“Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,” 385.
49
1. Dapat mengubah kesadaran perempuan tentang kemampuan dirinya sebagai pribadi
dan dalam mengisi peran sosialnya (mengubah sikap ambigu yang masih merupakan
ciri dari kebanyakan perempuan).
2. Agar tercipta kesadaran masyarakat pada umumnya dan para pengambil keputusan
pada khususnya dengan membuat kebijakan yang menyambung
atau
benar-benarrelevan dengan kebutuhan perempuan dan variasi permasalahannya.
3. Memberikan arah pada perubahan nilai-nilai yang merupakan bagian integral dari
berlangsungnya proses pembangunan dimana kaum perempuan berperan sebagai
objek ataupun subjek pembangunan.
4. Menjawab kebutuhan kaum perempuan di suatu kelompok/daerah berbeda dengan
kaum perempuan yang ada di kelompok/daerah lain.
5. Menyertakan partisipasi laki yang mau peduli. Keikutsertaan ini membuat
laki-laki lebih peka dan memahami pengalaman perempuan. Sehingga, mereka turut
membantu memecahkan persoalan yang biasa perempuan seperti kekerasan dalam
rumah tangga, pemerkosaan, dan diskrminasi dalam lingkungan kerja.
Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis, pada level individual konselor
feminis bekerja untuk membantu para perempuan dan pria agar mengenali, menuntut,
dan mendapatkan kekuatan personal mereka. Pemberdayaan konseli merupakan inti
dari konseling ini dan merupakan tujuan jangka panjang konseling. Dengan
diberdayakan, konseli akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan-ikatan
peran gender serta dapat menantang tekanan-tekanan institusional atas dirinya.
Sejalan dengan itu, Worell & Remer di dalam Black menambahkan konseling
feminis membantu konseli untuk50:
1. Menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri.
50
2. Mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya untuk
kemudian menggantinya dengan yang lebih konstruktif (membuatnya lebih
dapat berkembang).
3. Memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik masyarakat yang
seksis dan opresif memberikan pengaruh negatif pada dirinya.
4. Memperoleh keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan pada
lingkungan.
5. Merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari
praktik-praktik diskriminasi.
6. Mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas.
7. Mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya.
8. Mengembangkan rasa personal dan daya sosial.
9. Mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan.
10. Mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya.
Dari penjelasan di atas, bagi penulis, para konselor feminis telah mengintegrasikan
feminisme ke dalam pendekatan konseling dan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tindakan, keyakinan, serta kehidupan personal dan profesional mereka sejalan dengan
feminisme ini. Mereka berkomitmen untuk selalu memonitor bias dan distorsi pribadi
mereka, khususnya mengenai dimensi sosial dan kultural pengalaman perempuan. Bagi
Freeman, konselor feminis juga berkomitmen untuk memahami penindasan dalam
segala bentuknya: seksisme, rasisme, heteroseksisme, dan mencoba menyadari dampak
penindasan dan diskriminasi tersebut pada kesejahteraan psikologis seseorang. Mereka
bersedia hadir secara emosional untuk konseli, mau berbagi selama sesi konseling,
kesadaran (counsciousness-raising) pribadinya.51 Akhirnya, walaupun para konselor feminis mungkin menggunakan teknik dan strategi dari teori lain, mereka sangat unik
dengan asumsi-asumsi feminis yang mereka pegang teguh.
Konselor feminis memiliki dasar yang sama dengan konselor Adlerian52 dalam hal
tekanan utamanya pada kesetaraan dan minat sosial. Konselor feminis sama dengan
konselor eksistensial53 yang menekankan konseling sebagai perjalanan bersama; bahwa
kehidupan berubah tidak hanya untuk konseli, namun juga untuk konselor, serta sama
dalam meyakini bahwa konseli mampu untuk bergerak maju secara positif dan
konstruktif. Para konselor feminis meyakini bahwa hubungan konseling harus tidak
bersifat hierarkikal, harus hubungan person-to-person (antar pribadi), dan mereka berusaha memberdayakan konseli untuk menjalani hidup menurut nilai pribadinya serta
bersandar pada lokus kontrol internal (bukan eksternal) dalam menentukan mana yang
baik untuk dirinya. Hal ini dapat dilihat pada konselor person-centered. Konselor feminis menunjukkan genuineness (ketulusan) dan sikap saling empati antara konselor dan konseli. Konselor feminis tidak memandang hubungan konseling semata sebagai
sesuatu yang mencukupi untuk terjadinya perubahan. Insight, introspeksi, dan kesadaran diri merupakan batu loncatan untuk menuju aksi. Konselor feminis bekerja
untuk membebaskan para perempuan dari peran-peran yang telah mengikat mereka
untuk merealisasikan potensi masing-masing.54
Beberapa konselor feminis sama dengan konselor posmodern dalam hal penekanan
pada politik dan power relation55 dalam proses konseling, serta dalam hal fokus kepada
power relation di dunia secara umum. Baik konselor feminis maupun posmodern
51
Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 543.
52
Salah satu teknik konseling yang menekankan pentingnya unsur sosial dalam proses penyesuaian individu.
53 Salah satu teknik konseling yang berfokus pada diri manusia dan mengutamakan sikap yang menekankan
pada pemahaman atas manusia.
54
Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 544-545.
55 Artinya, melalui hubungan tersebut akan lahir kekuatan baru untuk membantu konseli menyelesaikan masalah
menyatakan bahwa konselor seharusnya tidak mereplikasi ketidakseimbangan power di masyarakat atau menciptakan dependensi pada konseli. Sebaliknya, konselor dan
konseli harus mengambil peran yang aktif dan setara, bekerja bersama untuk
menentukan tujuan dan prosedur. Kesamaan umum antara pendekatan feminis dan
posmodern adalah penolakan atas peran konselor sebagai ahli yang tahu segalanya.
Menurut kedua pendekatan ini konselor seharusnya memegang peran sebagai
“relational-expert”.56
2.6. Hubungan Konseling Pastoral dan Konseling Feminis
Konseling pastoral dan konseling feminis memiliki hubungan dilihat dari tujuan dan
fungsinya. Clinebell menjelaskan fungsi konseling pastoral adalah menyembuhkan,
menopang, membimbing, mendamaikan, dan mengasuh.57 Fungsi-fungsi ini dapat
dikaitkan dengan tujuan konseling feminis.
Fungsi menyembuhkan dapat dikaitkan dengan tujuan mengembangkan rasa
personal dan daya sosial. Konselor membantu konseli untuk menyembuhkannya dari
kesakitan masalah yang dialami dengan cara mengembangkan indentitas personalnya
serta kemampuannya dalam bersosialisasi. Fungsi menopang setara dengan tujuan
mengidentifikasi pesan-pesan positif yang membuat konseli berkembang. Konselor
bertugas sebagai pelindung dan penopang bagi konseli dengan memberikan
masukan-masukan positif yang dapat membuatnya lebih berkembang dan merasa ada yang
menopangnya. Fungsi membimbing dapat dikaitkan dengan tujuan memperoleh
keterampilan. Konselor dapat membimbing dan mengajak konseli untuk memperoleh
keterampilan yang akan dikembangkan olehnya sendiri. Keterampilan tersebut dapat
menjadi salah satu media untuk konseli keluar dari masalahnya. Fungsi mendamaikan
berkaitan dengan tujuan penyadaran peran gender. Konseli akan dibantu untuk
56
Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 544-545. 57
berdamai dengan diri dan masalahnya sendiri dengan pemahaman bahwa perannya
sebagai perempuan tidak berbeda dengan peran laki-laki (adanya kesetaraan), sehingga
tidak ada penyesalan diri, rasa minder bahkan penolakan terhadap dirinya sendiri.
Fungsi mengasuh dapat dikaitkan dengan tujuan mengembangkan perilaku bebas dan
pemberdayaan. Konseli diasuh untuk mengenal kekuatannya dan pilihan bebas terhadap
dirinya sehingga ia mampu memberdayakan dirinya paska perceraian. Terkait dengan
fungsi ini, Kellenbach melalui penelitiannya menjelaskan bahwa hak pilihan moral
perempuan dalam perannya paska perceraian adalah suatu tindakan keberanian serta
menentang pengekangan dan pembatasan.58 Penulis berpendapat bahwa Kellenbach
melalui penelitiannya ingin mengedepankan kekuatan perempuan yang memiliki
kebebasan untuk melawan pengekangan.
Sejalan dengan itu, Kubany dan Taft menjelaskan melalui penelitian mereka di
Thailand bahwa proses konseling dapat membantu perempuan korban kekerasan dalam
meningkatkan kondisi mereka serta memberdayakan kekuatan mereka untuk melawan
akibat dari kekerasan yang diterima.59 Dari penelitian tersebut dapat dilihat kesamaan
fungsi konseling pastoral terhadap peran perempuan yang mengalami masalah
ketidakadilan baik masalah perceraian maupun kekerasan. Alasan penulis
membandingkan dengan masalah kekerasan perempuan ialah karena penulis ingin
menunjukkan bahwa tindakan konseling yang berorientasi kepada masalah perempuan
sebagian besar menekankan kepada pemberdayaan kekuatan perempuan, sehingga tiga
aspek yang dikemukakan Stein terkait konseling feminis dan pemberdayaan perempuan
dapat teraplikasikan.60
58 Katharina Von Kellenbach, “God’s Love and Women’s Love,” Journal of Feminist Studies in Religion
(2011): 7-8. 59
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38. 60
Dapat dilihat juga ialah tentang tujuan konseling. Dalam penjelasan konseling
pastoral, telah dipaparkan bahwa tujuan konseling secara umum ialah untuk membantu
konseli keluar dari masalah, serta memberi mereka kebebasan untuk mengambil
keputusan terhadap masalah yang dihadapi. Hal tersebut sejalan dengan tujuan
konseling feminis yang diungkapkan oleh Worrel dan Remer, yang menyatakan bahwa
konselor membantu konseli untuk menyadari, memahami, mengembangkan serta
mempercayai diri mereka sendiri dalam menyikapi masalah yang dihadapi.61 Hal ini
berarti konseling pastoral dan konseling feminis bertumpu pada pemberdayaan pada
diri perempuan secara utuh serta kebebasan mereka.
Kebebasan perempuan menjadi penting karena menyangkut pilihan hidupnya.62
Malahayati menjelaskan bahwa perempuan selalu membawakan kehangatan, setia
menjadi pendengar yang baik, sabar, tekun, sehingga dari segi transisi perempuan
memiliki lebih banyak partner kerja karena pekerjaan baginya adalah sebuah seni yang
harus dinikmati. Hal ini berkaitan dengan peran pemberdayaan yang berfokus pada
kesadaran perempuan melalui dialog. Perempuan dapat menjadi partner yang
menyenangkan karena kesadaran dialog mereka yang tinggi, ada kepedulian untuk
saling berbagi. Dengan demikian kehadiran perempuan dapat menjadi penopang,
pembimbing dan pendamai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka fungsi konseling
pastoral dan konseling feminis dapat dirasakan.63
61
(1) Menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri, (2) Mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya untuk kemudian menggantinya dengan yang lebih konstruktif (membuatnya lebih dapat berkembang), (3) Memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik masyarakat yang seksis dan opresif memberikan pengaruh negatif pada dirinya, (4) Memperoleh keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan pada lingkungan, (5) Merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari praktik-praktik diskriminasi, (6) Mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas, (7) Mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya, (8) Mengembangkan rasa personal dan daya sosial, (9) Mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan, (10) Mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya.
62
Benyamin Y, Kekerasan terhadap Perempuan dan Bagaimana Menyikapinya (Denpasar: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003), 48.
63
2.7. Peran Perempuan Paska Perceraian dari Perspektif Konseling Feminis
Paska bercerai perempuan akan mengalami masalah terhadap peran mereka. Pada
satu sisi mereka bertindak sebagai seorang ibu, tapi di sisi yang lain mereka menjadi
seorang ayah. Dengan demikian ada dua peran yang mereka lakukan yakni sebagai
pengasuh anak tetapi juga pencari nafkah bagi keluarga. Berbicara mengenai
perempuan, menurut Kate Mclnturff dalam tulisannya tentang “Women are talking.
Who’s listening?” menjelaskan bahwa masalah perempuan adalah masalah yang
kompleks. Penelitian yang ia lakukan di Kanada ditemukan bahwa kekerasan terhadap
perempuan kerap dilakukan.64 Di bawah isu kekerasan terhadap perempuan, ia
mencoba memberi pemahaman terhadap dunia perempuan yang suara mereka tidak
selalu didengar. Masalah perempuan hanya sebatas didialogkan dan dibicarakan tanpa
mencapai solusi, dan hal ini disebabkan oleh lemahnya keberanian perempuan dalam
menyuarakan kekerasan yang dialami karena ketakutan akan dipublikasikan secara
umum dan akhirnya mereka memilih sikap diam.65 Keprihatinan ini memunculkan
banyak gerakan dan penyedia layanan yang memperjuangkan hak perempuan. Salah
satu gerakan yang sangat menonjol ialah gerakan feminis.
Gerakan feminis muncul dari realitas perempuan yang digambarkan Howell di
dalam Mc Leod sebagai perendahan kultural perempuan.66 Hal ini terjadi karena kita
hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki.67 Arivia menjelaskan bahwa
menjadi seorang feminis seringkali digambarkan secara buruk oleh berbagai kelompok.
Misalnya, dalam tingkat budaya segala efek negatif kemajuan budaya kontemporer
dianggap bersumber pada feminisme (contoh: adanya hubungan seksual, perceraian,
64
Kate Mclnturff, “Women are talking. Who’s listening?,” Journal of Violence Againts Women (January 2015): 1.
65Mclnturff, “Womenare talking. Who’s listening?”, 1-2. 66
John McLeod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2010), s230. 67
pakaian minim/seksi).68 Jung Su menjelaskan bahwa nasib para perempuan di Korea
sudah lama hidup dalam keadaan marginal, mereka dikekang oleh kekuasaan
patriarkhal yang cenderung membatasi hak mereka dan selalu berada dalam posisi sub
ordinat.69 Dari pemahaman tersebut perempuan secara kultural dilihat rendah terutama
dalam masalah seksisme dan budaya yang selalu memojokkan perempuan serta
merendahkan harkat dan martabat perempuan. Nilai-nilai kemanusiaan perempuan
menjadi tidak ada artinya, karena perempuan dianggap hanya sebagai komoditas dalam
industri perbudakan seks modern.70 Menurut penulis, hal ini sejalan dengan yang telah
dijelaskan di atas tentang dampak perceraian yang dialami perempuan yang
mengakibatkan mereka selalu berada pada posisi kurang beruntung.
Ketidakberuntungan ini kemudian nampak dalam peran perempuan paska perceraian
yang dijelaskan oleh wibowo bahwa peran perempuan terbagi dua yakni peran tradisi
(domestik) dan peran transisi.71
a. Peran Tradisi (Domestik)
Peran tradisi/domestik merupakan peran perempuan sebagai pengelolah rumah
tangga, yakni sebagai istri dan ibu.72 Menurut White peran perempuan kebanyakan
hanya ditemui dalam sektor domestik, sebagai ibu rumah tangga yang harus menjaga,
merawat, memberikan ketenangan dan menciptakan suasana bahagia dalam rumah
tangga sekalipun perempuan tersebut adalah pekerja publik, namun di dalam rumah
tangga kedudukannya tetap tersubordinasi (lebih rendah) dari laki-laki. 73 Media tidak
68
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah kata Hati (Jakarta: Kompas, 2006), 3.
69Jung Su Pak, “The Anguish of the Korean Woman’s Soul: Feminist Theologians on a Real-Life,”
Pastoral psychol (2011): 291-292.
70
Louise Brown, Sex Slaves: The Trafficking in Asia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 2.
71Dwi Edi Wibowo, “The Dual Role of Women and Gender Equality,” MUWAZAH, Vol. 3, No.1 (Juli 2011):
357. 72
Wibowo, “The Dual Role of Women and Gender Equality,” 357.
ketinggalan juga turut menyumbang dan memproduksi stereotype mengenai perempuan dan penggambaran citra perempuan, media sering mempresentasikan perempuan
sebagai objek yang lemah dengan menampilkan mereka hanya sebatas berperan di
ranah domestik.74
Berdasarkan penjelasan di atas, Gamble menjelaskan bahwa gambaran perempuan
seringkali dikaitkan dengan tugas ibu rumah tangga seperti merawat anak, memasak,
membersihkan rumah, dan mengurus suami. Jika dirunut, kewajiban di ranah domestik
ini menurutnya berkaitan dengan nature atau biologis.75 Artinya sejak awal, perempuan telah memiliki karakteristik biologis tertentu yakni mencakup kemampuan untuk
melahirkan.
Berbeda dengan perempuan yang dilekatkan dengan ranah domestiknya, laki-laki
justru sebaliknya. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang sesuai di ranah publik. Hal ini
kemudian diungkapkan oleh Nugroho bahwa posisi perempuan dalam kebudayaan tidak
seberuntung dan sebaik posisi laki-laki.76
Nugroho menjelaskan bahwa realitas tersebut diperparah dengan adanya dikotomi
yang menjadi pemicu bagi munculnya konstruksi sosial, khususnya dalam pembagian
kerja, dimana perempuan ditempatkan di wilayah domestik dan laki-laki di wilayah
publik.77 Bagi penulis, kecenderungan ini muncul karena tidak dapat dipungkiri bahwa
fenomena kesetaraan gender masih banyak ditemukan di dalam lingkungan masyarakat
Indonesia.
74
Strinati D, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Yogyakarta: Jejak, 2007), 207.
75
Gamble S, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 295.
76
Nugroho R, Gender dan Strategi pengarus utamaannya di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 172.
77
Paska perceraian, Lamela menjelaskan bahwa peran orang tua khususnya istri lebih
cenderung difokuskan kepada pengasuhan anak dan hal-hal yang bersifat domestik.78
Hal ini dikarenakan pemahaman umum yang telah menjadi stereotype seperti dalam pemaparan Gamble dan Nugroho bahwa dalam pembagian kerja perempuan kemudian
berada pada ranah domestik dan laki-laki pada ranah publik. Menurut penulis, Hal ini
semakin didukung dengan kodrat perempuan yang sering dipahami hanya untuk
melahirkan dan menjadi partner bagi laki-laki. Partner yang dimaksudkan pun bukan
seperti rekan kerja, namun memiliki pengertian lebih rendah dari status dan kedudukan
laki-laki.
b. Peran Transisi (Publik)
Zaman sekarang perempuan tidak lagi berkutat dalam ranah domestik tetapi juga
merambah ke ranah publik. Perempuan tidak terhenti pada tugas-tugas domestik seperti
memasak, melahirkan anak, mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan
menguasai wilayah domestik saja seperti dapur, dan tempat tidur. Perempuan saat ini
dituntut untuk bisa mandiri, independen, keluar dari lingkup domestiknya untuk maju
ke wilayah publik. Wibowo menyebutkan bahwa peran transisi meliputi pengertian
perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan.79
Banyak alasan mengapa perempuan terdorong untuk maju melangkah ke ranah
publik dan tidak stagnan di ranah domestik. Jika menengok ke belakang saat
gelombang emansipasi pertama kali didengungkan ketika zaman pergerakan, di situlah
titik tonggak perempuan menginginkan keterlibatannya dalam ranah publik. Perempuan
mulai dikenalkan pada pendidikan, walaupun tidak semua bisa mengenyam pendidikan
78Diogo Lamela dan Barbara Figueride, “Post-Divorce Representations of Marital Negotiation During Marriage
Predict Parenting Alliance in Newly Divorced Parents,” Jornal of sexual and relationship therapy, Vol. 26, No. 2 (Mei 2011): 183.
karena adanya hegemoni patriarkhi. Budaya patriarkhi tidak mengizinkan perempuan
untuk melebihi laki-laki walaupun tingkat pendidikan sama.80
Berbeda dengan penjelasan Saparinah, Xiao dalam penelitiannya di Cina,
mengatakan bahwa paska perceraian peran perempuan dalam dunia kerja tidak
diperhitungkan lagi dan cenderung diberhentikan.81 Briggs mengatakan bahwa
dukungan sosial penting untuk mendukung perempuan paska perceraian, dukungan
sosial di sini berkaitan dengan keluarga.82
Berdasarkan realitas di atas, bagi penulis, paska bercerai perempuan kemudian
terperangkap dalam situasi yang mengekang mereka. Stigma masyarakat pun
mempengaruhi kehidupan mereka sehingga pada akhirnya mereka tidak menyadari
kekuatan yang mereka miliki serta kebebasan mereka sebagai seorang perempuan.
Dalam keadaan seperti inilah, konseling feminis sangat dibutuhkan.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa tujuan konseling feminis ialah sebagai
pemberdayaan perempuan dalam menerapkan perubahan serta kesadaran dalam dirinya,
maka paska perceraian, seorang perempuan haruslah memahami bahwa dirinya masih
merupakan kepribadian yang utuh. Hal ini penting dilakukan oleh seorang konselor
agar konseli menyadari bahwa dirinya tetap utuh walaupun telah mengalami kisah yang
pahit.
Berkaitan dengan peran rangkap, dari perspektif konseling feminis, peran tersebut
haruslah dilihat sebagai kekuatan untuk memberdayakan. Pemberdayaan yang
dimaksudkan ialah bahwa seorang perempuan walaupun seorang diri, serta melakukan
80
Sadli, Berbeda tetapi Setara : Pemikiran tentang kajia n Perempuan, 166.
81 Hui Faye Xiao, “The Narrative of Gendered Self-Development in Chinese-Style Divorce,” Journal of
contemporary China (September 2010): 736.
82 Kay, E. C., “Social Support in Single Parents Transition from Welfare to Work: Analysis of Qualitative
tugas sebagai ibu dan ayah, ia masih tetap memiliki keyakinan bahwa tugas-tugas
tersebut adalah cara untuk memberdayakan dirinya kembali. Hal ini setara dengan
penjelasan Enns yang mengatakan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk
membantu individu, agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan
kepentingan orang lain. Berdasarkan hal ini, penulis berpendapat bahwa peran
perempuan paska perceraian dalam kaitan dengan perspektif konseling feminis ialah
mengacu pada tugas konselor yang harus mampu menanamkan nilai-nilai positif dari
substansi tujuan konseling feminis. Dengan demikian, konseli akan terbantu untuk
mengenali, serta memahami dan menerima dirinya secara utuh. Konseli menyadari
pemberdayaan yang dapat mereka lakukan, baik dalam peran domestik maupun peran
transisi.