• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi komparatif proses mediasi di pengadilan agama dengan proses perdamaian di Mahkamah Syari'ah Kuching Sarawak Malaysia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi komparatif proses mediasi di pengadilan agama dengan proses perdamaian di Mahkamah Syari'ah Kuching Sarawak Malaysia."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA INDONESIA DENGAN PROSES PERDAMAIAN DI

MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA

SKRIPSI

Oleh

Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson

NIM. C41213105

UNIVERSITAS ISLAM NEG E RI SUNAN AMPEL

FAK UL TAS SYARI ’AH DAN H UK UM

J URUSAN HUKUM PERDATA

PRODI HUKUM KE L UAR G A

SUR ABAYA

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bert anda tangan dibawah ini saya :

Nama Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson

NIM C412 13l 05

Semester VIII

Fakultas/ Jurusan/ Prodi Syari 'ah dan Hukum/ Hukum Perdat a/ Hukum Keluarga

Judul Penelitian STUD!KO:MPARATIF PROSES MEDIAS!DI

PENGADILAN AGAMA INDONESIA DENGAN PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI'AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA

Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil pene litian/ karya

saya sendiri , kecuali pada bagi an-bagian yang dirujuk sumbemya.

Surabaya, 2 1 Maret 20 17

(3)

Skripsi yang ditulis oleh Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson

NIM.C4 l 2 l 3 l 05 ini telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.

Surabaya, 2 1 Maret 2017

Pembimbing,

Dr. H. Darmawan, S.HL, M.HL

NIP. 198004102005011004

(4)

Skripsi yang ditulis oleh Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson NIM C41213105 ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel pada hari Senin, tanggal 17 April 2017 dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program

sarjana strata satu dalam Ilmu Syari'ah.

Majelis Munaqasah Skripsi:

Dr. H awan MHI.

NIP.198004102005011004 NIP.195711101996031001

Penguji III, Peguji IV,

Hj. Nabiela Naily, S.SI., MHI. NIP.

198102262005012003

Surabaya, 17 April 2017 Mengesahkan,

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam NegeriSunanAmpel

(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Studi Komparatif Proses Mediasi di Pengadilan Agama dengan Proses Perdamaian di

Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia”. Adapun rumusan masalah

yang ada dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia dan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah

Kuching Sarawak Malaysia. Kedua, apa persamaan dan perbedaan proses mediasi

antara Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research). Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif deskriptif-komparatif untuk mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama dengan

proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia serta

persamaan dan perbedaan antara keduanya.

Proses mediasi di Pengadilan Agama dilaksanakan ketika sidang pertama dan itu diwajibkan, apabila tidak dilaksanakan maka akan gugur demi hukum sedangkan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah adalah sebelum masuk ke persidangan, tiap perkara harus menempuh konseling di Jabatan Agama Islam Sarawak (JAIS), akan tetapi jika tidak menemukan kesepakatan maka masih

dilakukan upaya perdamaian oleh hakim di Mahkamah Syari’ah. Hasil penelitian

menyimpulkan ada persamaan antara proses mediasi di Pengadilan Agama

dengan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah. Persamaan antara keduanya

adalah dari pengertian mediasi yaitu upaya hakim maupun Pengadilan untuk mendamaikan para pihak agar proses perceraian tidak sampai berlanjut pada persidangan berikutnya. Perbedaan yang cukup signifikan dari proses mediasi

antara Pengadilan Agama dengan Mahkamah Syari’ah yakni lamanya proses

mediasi dan alur dari proses mediasi tersebut, jika dalam Pengadilan Agama lama proses mediasi tidak sampai satu bulan dan di Mahkamah Syari’ah lama proses

mediasinya selama enam bulan, sedangkan alur proses mediasi di Pengadilan

Agama belum melibatkan KUA dan di Mahkamah Syari’ah melibatkan JAIS

(KUA).

Tiap-tiap peradilan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang bisa dijadikan bahan evaluasi untuk Pengadilan Agama maupun Mahkamah

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah... 6

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Penelitian... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

(8)

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA

A. Kewenangan Pengadilan Agama Indonesia ... 18

1. Kewenangan Relatif ... 18

2. Kewenangan Absolut... 20

B. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia ... 20

1. Pengertian Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia ... 21

2. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia ... 25

3. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 ... 28

4. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ... 31

BAB III PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA A. Kewenangan Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia ... 37

B. Latar Belakang Kemunculan Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 ... 39

C. Proses Perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia ... 45

1. Pengertian Perdamaian di Mahkamah Syari’ah... 45

(9)

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA DENGAN PROSES

PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING

SARAWAK MALAYSIA

A. Persamaan antara Proses Mediasi di Pengadilan Agama

Indonesia dan Proses Perdamaian di Mahkamah

Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia ... 56

B. Perbedaan antara Proses Mediasi di Pengadilan Agama

Indonesia dan Proses Perdamaian di Mahkamah Syari’ah

Kuching Sarawak Malaysia ... 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 65

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para

akademisi dan praktisi. Para ilmuan berusaha mengungkap secara jelas makna

mediasi dalam berbagai literatur ilmiah melalui risert dan studi akademik. Secara

etimologi, istilah mediasi berasal dari Bahasa Latin mediare yang berarti berada

ditengah.1 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai

pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian suatu perselisihan

sebagai penasehat.2 Penjelasan mediasi lebih menekankan pada keberadaan pihak

ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan

perselisihannya.

Tanpa mengurangi arti perdamaian dalam segala bidang persengketaan,

makna perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran

tersendiri dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa

perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi

juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,

agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian dapat dilakukan oleh hakim

1Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta:

Kencana, 2011), 2.

2Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(11)

secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal

yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.

Mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1

Tahun 2008 pada huruf a bahwa mediasi merupakan salah satu proses

penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses

yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan

dan memenuhi rassa keadilan.3

Keberadaan mediator untuk menyelesaikan sengketa keluarga sangat

urgen, karena peran mediator memperbaiki hubungan suami istri akan

menentukan kelanggengan suatu rumah tangga. Alquran menjelaskan beban dan

tanggung jawab mediator dalam sengketa keluarga cukup penting, terutama

ketika suatu keluarga sudah menunjukkan tanda-tanda adanya perselisihan, maka

pihak keluarga dari suami istri sudah dapat mengutus mediator. Mediator dalam

sengketa keluarga dapat mengidentifikasi setiap persoalan, dan mencari jalan

keluar serta menawarkan kepada suami istri yang bersengketa. Tindakan yang

ditempuh oleh mediator harus sangat hati-hati, karena persoalan keluarga

dianggap persoalan sensitif dan membutuhkan konsentrasi penuh, demi untuk

mengeratkan hubungan yang retak.

Memahami situasi suami istri merupakan kewajiban mediator dalam

rangka menciptakan damai dan rekonsiliasi dalam keluarga yang bersengketa.

(12)

Dengan demikian, mediator dapat menciptakan situasi yang menyebabkan kedua

belah pihak percayadan tumbuh keinginan untuk bersatu kembali

mempertahankan rumahtangga.4 Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak

yang bersengketa, melainkan juga memberikan manfaat bagi dunia peradilan.

Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang

diajukan ke Pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan

sendirinya akan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua,

sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan

pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan

pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga,

sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan

membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.

Perdamaian itu hendaklah dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah

sangat mencintai orang yang berlaku adil. Umar ibnu Khattab ketika menjabat

Khulafaur Rasyidin dalam suatu peristiwa pernah mengemukakan bahwa

menyelesaikan suatu peristiwa dengan jalan putusan hakim sungguh tidak

menyenangkan dan hal ini akan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang

berlanjut sebaiknya dihindari. Dulu di dalam Islam juga dikenal dengan tahkim

yakni orang yang mereka sepakati dan ditunjuk sebagai seorang hakam untuk

4Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta:

(13)

menyelesaikan sengketa.

Allah juga menandaskan hal tersebut dalam Surat An-Nisa ayat 35 sebagai

berikut:

ََُا ِقِ فَوُ ي

اًح ََْصِإ اَديِرُي ْنِإ اَهِلَْأ ْنِم اًمَكَحَو ِهِلَْأ ْنِم اًمَكَح اوُثَعْ باَف اَمِهِنْيَ ب َقاَقِش ْمُتْفِخ ْنِإَو

اًرِبَخ اًميِلَع َناَك َََا َنِإ ۗ اَمُهَ نْ يَ ب

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”5

Ayat di atas menegaskan bahwa setiap terjadi persengketaan, kita

diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami atau istri

untuk mendamaikan mereka. Dalam hal ini, ulama fiqih sepakat untuk

menyatakan bahwa kalau hakam (juru damai dari pihak suami atau istri) berbeda

pendapat maka putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam

sama-sama memutuskan untuk mendamaikan suami dan istri kembali, maka putusannya

harus dijalankan tanpa minta kuasa pada mereka.

Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak

adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang

diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa, mengadili,

dan memutuskan perkara perceraian. Mediasi mendapatkan kedudukan penting

(14)

dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di Pengadilan. Hakim wajib

mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim menolak

untuk prosedur mediasi dilakukan, maka putusan hakim tersebut batal demi

hukum (Pasal 2 ayat (#3) Perma Nomor 1 Tahun 2008).6

Sementara di Malaysia, khususnya di Mahkamah Syari’ah Kuching,

Sarawak, Malaysia, proses perdamaian bersangkutan perkara perceraian akan

terlebih dahulu dihadapkan ke Jawatankuasa Pendamai (Concilliatory

Committee). Berbeda dengan lembaga mediasi di Pengadilan Agama Indonesia

yang beroperasi di bawah ketentuan Perma No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, Jawatankuasa Pendamai di Mahkamah Syari’ah Kuching

Sarawak Malaysia, beroperasi di bawah ketentuan Ordinan Undang-Undang

Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 yakni pada Seksyen 45 (5) Ordinan

Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 mengharuskan Mahkamah melantik

suatu Jawatankuasa Pendamai untuk melaksanakan proses perdamaian antara

pihak yang bersengketa.

Berdasarkan dari perbedaan yang mendasar ini, penulis tertarik untuk

melakukan kajian secara komprehensif tentang proses mediasi di Pengadilan

Agama dan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah tersebut baik dari aspek

latar belakangnya maupun esensi aturannya dalam skripsi yang berjudul “Studi

6 Ketua Mahkamah Agung R.I, Perma R.I Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

(15)

Komparatif Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia Dengan Proses

Perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia”.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka

dapat digambarkan masalah yang mungkin timbul yaitu:

1. Tentang Proses Mediasi Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.

2. Tentang Proses Mediasi Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.

3. Pengenalan tentang Mahkamah Syari’ah Sarawak.

4. Tentang Proses Perdamaian di Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak

2001.

Dari indentifikasi masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan

dibahas, penulis membatasi sebagai berikut:

1. Proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia.

2. Proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

dalam skripsi ini adalah:

(16)

Perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia ?

2. Apa persamaan dan perbedaan proses mediasi antara Pengadilan Agama dan

Mahkamah Syari’ah ?

D. Kajian Pustaka

Adapun penelitian yang sedikit berhubungan dalam karya tulis ini adalah:

1. “Studi Analisis Tentang Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Perkara

Syiqaq” oleh Roichan Mahbub yang menganalisis kedudukan mediator dan

hakam dalam menangani perkara syiqaq sebelum dan sesudah diberlakunya

Perma Nomor 1 Tahun 2008.Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa tugas

dan cara-cara yang dilakukan mediator adalah seperti yang tertera didalam

Perma No.1 Tahun 2008, dan untuk hakam adalah seperti yang tersurat

didalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35. Kemudian tentang kedudukan

hakam, hal ini tidak bisa digantikan oleh mediator karena dasar legalitas

hakam lebih kuat daripada mediator, yaitu antara Undang-undang dengan

Perma yang hal ini bisa diketahui dari UU No.10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan TAP MPR

No.III/MPR/2000. Kemudian untuk tugas mediator dan hakam dalam

menyelesaikan perkara syiqaq telah sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang

lebih dikenal dengan istilah maqasidus syari’ah. 7

7Roichan Mahbub, “Studi Analisis Tentang Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Perkara Syiqaq”

(17)

2. “Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara No.

98/Pdt.G/2009/P.Asby Tentang Cerai Gugat di Pengadilan Agama Surabaya

Perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2008” oleh Aini Rahmawatik yang

memfokuskan pada tugas hakim mediator yang berperan sebagai pihak netral

yang menjadi penegah dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan perkara

cerai gugat di Pengadilan Agama Surabaya. Dari penelitian tersebut dapat

dijelaskan bahwa Pengadilan Agama Surabaya telah melaksanakan proses

mediasi dalam mengupayakan perdamaian. Dalam pelaksanaan upaya damai

yang lebih berperan adalah para pihak sendiri. Namun, upaya tersebut tidak

mencapai kesepakatan sedangkan dalam proses mediasi yang lebih berperan

adalah mediator sebagai pihak ketiga karena sudah masuk ke dalam Hukum

Acara di Peradilan. Peran Hakim Mediator dalam menyelesaikan perkara

Nomor 98/Pdt.G/2009/PA.Sby bersifat netral dan tidak mempunyai

kewenangan memutus perkara. Karena pelaksanaan mediasi tidak mencapai

kesepakatan, maka perkara tersebut diserahkan kembali kepada majelis

hakim. Kegagalan mediator di sini bukan berarti mediasi tidak dilaksanakan

dengan maksimal. Namun, karena keadaan pernikahan yang sudah pecah

karena perselisihan telah terjadi terusmenerus, dan tidak ada inisiatif untuk

berdamai dari kedua belah pihak. Selain itu, fungsi Hakim Mediator di sini

adalah untuk mempercepat penyelesaian perkara dengan sederhana, cepat dan

(18)

mewujudkan sifat kekeluargaan dan kerukunan. Dalam Hukum Islam,

pernikahan yang telah pecah disebut dengan syiqaq. Penyelesaiannya dengan

menunjuk hakam. Penunjukan hakam ini senada dengan mediasi sebagaimana

dijelaskan dalam Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan. 8

3. “Studi Komparatif Tentang Kedudukan Lembaga Mediasi di Pengadilan

Agama Indonesia Dengan Jawatankuasa Pendamai di Mahkamah Syari’ah

Kuching, Sarawak” oleh Ahmad Shah Affandie yang memfokuskan

penelitian kedudukan kedua lembaga tersebut baik dari segi latar

belakangnya serta mencari persamaan dan perbedaan kedudukan lembaga

tersebut. Hasil penelitian ini menyimpulkan pertama, lembaga mediasi di

Pengadilan Agama Indonesia beroperasi di bawah Perma Nomor 1 Tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang berperan sebagai hukum

formil yang mengatur tentang tatacara perdamaian di pengadilan agama

Indonesia. Kedua, Jawatankuasa Pendamai dibentuk atas perintah dibentuk

atas perintah mahkamah berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam

Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 yang

merupakan salah satu dari pecahan Ordinan Undang-Undang Islam yang

berlaku di Sarawak. Ketiga, persamaan antara keduanya adalah: 1) keduanya

bertujuan mendamaikan sengketa di pengadilan sekaligus sejalan dengan

8Aini Rahmawatik, Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara No. 98/Pdt.G/2009 P.A

(19)

prinsip perdamaian dalam Islam; 2) keduanya beroperasi dalam batas waktu

tertentu; 3) Hasil akhir perdamaian harus tertulis. Keempat, perbedaan antara

keduanya adalah: 1) Mediator adalah pihak yang memeliki sertifikat

mediator sedangkan anggota jawatankuasa pendamai diketuai seorang

Pegawai Agama dari unit konseling Jabatan Agama Islam (JAIS) dan dua

orang yang masing-masing mewakili para pihak berpekara; 2) Jasa mediator

bukan hakim dikenakan biaya. Manakala jasa jawatankuasa pendamai tidak

dikenakan biaya; 3) Mediator di Pengadilan Agama Indonesia berwenang

menangani perkara yang termasuk dalam kewenangan subsantif Pengadilan

Agama itu sendiri sedangkan wewenang jawatankuasa pendamai di

Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak hanya terbatas pada konflik

rumahtangga; 4) Di Pengadilan Agama Indonesia, waktu yang diberikan

untuk mendamaikan relatif lebih singkat daripada Mahkamah Syari’ah

Kuching Sarawak. 9

Skripsi ini berjudul “Studi Komparatif Proses Mediasi di Pengadilan

Agama Indonesia Dengan Proses Perdamaian di Mahkamah Syari’ah, Kuching,

Sarawak, Malaysia”, berbeda dengan skripsi diatas. Penulis memfokuskan

penelitian pada proses mediasi bukan pada kedudukannya daripada Pengadilan

Agama dan Mahkamah Syari’ah. Tiap-tiap peradilan mempunyai kelebihan

9Ahmad Shah Affandie, Studi Komparatif Tentang Kedudukan Lembaga Mediasi di Pengadilan

Agama Indonesia Dengan Jawatankuasa Pendamai di Mahkamah Syari’ah Kuc hing, Sarawak”

(20)

dan kekurangan masing-masing yang bisa dijadikan bahan evaluasi untuk

Pengadilan Agama maupun Mahkamah Syari’ah, seperti proses mediasi yang

berlaku di Pengadilan Agama dan penunjukan moderator di Mahkamah

Syari’ah.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian perlu

untuk mengetahui satu persatudari rumusan masalah di atas antaranya sebagai

berikut:

1. Mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia dan proses

perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia.

2. Mengetahui persamaan dan perbedaan proses mediasi antara Pengadilan

Agama dan Mahkamah Syari’ah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai kegunaan sebagai

berikut:

1. Aspek Teoritis:

Untuk memperkayakan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang

Ahwal Al-Syakhsiyah, terutama dalam bidang yang berkaitan, selain sebagai

kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa dan

(21)

terhadap pembentukan dan penerapan hukum oleh kedua negara yang

menganut hukum yang berbeda.

2. Aspek Praktis:

Penulisan ini juga diharapkan dapat memberi kontribusi wacana bagi

perkembangan dunia hukum di antara kedua negara agar segera mencapai

cita-cita negara yang baik sebagaimana yang diamanatkan dalam

undang-undang pada kedua negara, sekaligus memberi sumbangan pemikiran bagi

mereka yang berminat mengkaji seta mengembangkan pengetahuan tentang

sebuah undang-undang negara lain. Di samping juga diharapkan bisa menjadi

contoh satu dengan yang lain. Tiap-tiap peradilan mempunyai kelebihan dan

kekurangan masing-masing yang bisa dijadikan bahan evaluasi untuk

Pengadilan Agama maupun Mahkamah Syari’ah, seperti proses mediasi yang

berlaku di Pengadilan Agama dan penunjukan moderator di Mahkamah

Syari’ah.

G. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu didefinisikan

secara jelas agar tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Adapun

istilah-istilah tersebut adalah:

1. Studi Komparatif bermaksud perbandingan, bersejajaran, bersama-sama dan

bersifat perbandingan.

(22)

suatu penyelisihan di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah.

3. Pengadilan Agama adalah pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

4. Mahkamah Syari’ah bermaksud tempat membicarakan dan mengadili

hal-hal yang bersangkutan dengan hukum Islam di kalangan umat Islam, sebuah

lembaga peradilan di Malaysia.

5. Negeri Sarawak adalah negeri yang merdeka dan telah tercantum sebagai

sebuah negeri di antara 14 buah negeri di dalam negara Malaysia pada

tanggal 16 September 1963 yang merupakan dan mempunyai 9 Bagian

(kabupaten). Pusat pemerintahannya adalah di Bagian Kuching dan

diperintah oleh Ketua Menteri.

H. Metode Penelitian

Agar tercipta penulisan skripsi itu secara sistematis jelas dan benar, maka

perlu dijelaskan bahwa jenis penelitian skripsi ini adalah kualitatif dan penelitian

ini masuk ke penelitian lapangan, maka perlu dijelaskan tentang metode

penelitian sebagai berikut:

1. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode

deskriptif komparatif.

2. Data yang dikumpulkan

Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain adalah:

a. Data tentang proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia.

(23)

Sarawak, Malaysia.

3. Sumber Data

Untuk mendapatkan data-data tersebut di atas ada dua sumber data,

yaitu sumber primer dan sumber sekunder :

a. Primer:

1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

2) Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

3) Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun

2001.

4) Wawancara pegawai Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah.

b. Sekunder:

1) Departemen Agama R.I, Al-Qur`an dan Terjemahan.

2) Muhammad Saifullah, Mediasi Dalam Tinjauan Hukum Islam dan

Hukum Positif di Indonesia.

3) Jabatan Percetakan Negara Kuching, Sarawak, Ordinan

Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001.

4) Ahmad Ibrahim, Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

(24)

menelaah secara teliti data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

b. Wawancara dengan beberapa individu yang bersangkutan.

4. Teknik Pengelolan Data

Tahapan dalam pengelolaan data pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Organizing yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,

pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.

b. Editing yaitu kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan data

tersebut serta memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh

dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang

meliputi kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian,

kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan. Teknik ini digunakan

peneliti untuk memeriksa kelengkapan data-data yang sudah diperoleh.

c. Analyzing yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang diperoleh dari sumber-sumber

penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga

diperoleh kesimpulan.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

(25)

a. Deskriptif, yaitu menggambarkan ketentuan-ketentuan serta latar

belakang tentang proses mediasi di Pengadilan Agama di Indonesia dan

proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah di Kuching, Sarawak,

Malaysia.

b. Komparatif, yaitu membandingkan proses mediasi di Pengadilan Agama

di Indonesia dengan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching,

Sarawak, Malaysia untuk kemudian dicari persamaan dan perbedaannya.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam setiap pembahasan sesuatu masalah, sistematika pembahasan

merupakan sesuatu aspek yang sangat penting, karena sistematika pembahasan

ini dimaksud untuk mempermudahkan bagi pembaca dalam mengetahui alur

pembahasan yang terkandung di dalam skripsi. Untuk memberikan jaminan

bahwa pembahasan yang termuat dalam penulisan ini benar-benar mengarah

kepada tercapainya tujuan yang ada maka penulis membuat sistematika sebagai

berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua adalah pembahasan mengenai kewenangan Pengadilan

(26)

yang meliputi sumber hukum.

Bab ketiga adalah pembahasan mengenai kewenangan Mahkamah

Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia serta proses perdamaian di Mahkamah

Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia. Selain itu, penulis juga membahas sekilas

tentang latar belakang kemunculan Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam

Sarawak Tahun 2001.

Bab keempat adalah analisis persamaan dan perbedaan proses mediasi

atau perdamaian di Pengadilan Agama Indonesia dan Mahkamah Syari’ah

Kuching, Sarawak, Malaysia.

(27)

BAB II

PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA

A. Kewenangan Pengadilan Agama Indonesia

1. Kewenangan Relatif

Kewenangan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang

yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau

wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama

dalam lingkungan Peradilan Agama.1

Di dalam menentukan kompetensi relatif setiap Pengadilan Agama, dasar

hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Hukum Acara

Perdata. Dalam 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa

acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara

Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu,

landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama merujuk

kepada ketentuan Pasal 118 HIR atau Pasal 142 R.Bg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik

tolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan diajukan

agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas

(28)

bahwa yang berwewenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat. Asas

ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”.2

Tentang kompetensi relatif perkara cerai talak dan cerai gugat dapat

dijelaskan sebagai berikut: Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa kompetensi relatif dalam bentuk cerai talak,

pada prinsipnya ditentukan oleh faktor tempat kediaman termohon. Hal ini

dikecualikan dalam hal termohon dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa izin pemohon.3

Demikian pula apabila termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka

kompetensi relatif jatuh kepada Pengadilan Agama di daerah hukum tempat

kediaman pemohon. Dalam hal cerai gugat kompetensi relatif ditentukan faktor

tempat kediaman Penggugat. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 73 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

Namun hal ini pun dikecualikan bila penggugat sengaja meninggalkan

tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka kompetensi relatif beralih

pada tempat kediaman tergugat. Selain itu, dalam Pasal 73 ayat (2) ditentukan

bahwa kompetensi relatif berada pada tempat kediaman tergugat, apabila

penggugat bertempat kediaman di luar negeri.

Disamping itu, ditentukan pula pada Pasal 73 ayat (3) dalam hal suami istri

bertempat kediaman di luar negeri, yaitu kompetensi relatif ditentukan di tempat

perkawinan dilangsungkan atau dapat pula diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat.

2 Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Indonesia: Kencana,

2008),102.

3Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:Citra Aditya

(29)

2. Kewenangan Absolut

Kewenangan absolut (absolut competentie) adalah kekuasaan yang

berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.

Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan

rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.4

Perkara-perkara yang termasuk dalam kewenangan absolut Pengadilan

Agama diatur dalam Pasal 49 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama

Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut :

a. perkawinan;

B. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia

Pada praktek proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia, hakim wajib

mendamaikan pada setiap kali sidang. Ini berdasarkan prinsip atau asas yang

dianut peradilan agama, yakni “ asas wajib mendamaikan”, bahkan

sewaktu-waktu hakim hendak memutuskan perkara, hakim akan membuka peluang

terakhir agar para pihak yang bersengketa bersetuju untuk berdamai. Maka

dijelaskan terkait proses mediasi sebagai berikut :

(30)

1. Pengertian Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia

Secara etimologi (bahasa) mediasi berasal dari bahasa latin yaitu

“mediare” yang berarti ditengah atau berada ditengah, karena orang yang

melakukan mediasi (mediator) harus menjadi penengah orang yang bertikai.5

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘mediasi’ diberi arti sebagai

proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam menyelesaian suatu perselisihan

sebagai penasehat.6

Menurut Syahrizal Abbas penjelasan mediasi jika dilihat dari segi

kebahasaan lebih menitik beratkan pada keberadaan pihak ketiga sebagai

fasilitator para pihak bersengketa untuk menyelesaikan suatu perselisihan.

Penjelasan ini sangat penting untuk membedakan dengan bentuk-bentuk

alternative penyelesaian sengketa lainnya.7

Dari segi terminologi (istilah) terdapat banyak pendapat yang

memberikan penekanan berbeda-beda tentang mediasi, salah satu di

antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Takdir Rahmadi yang

mendefinisikan mediasi sebagai langkah yang diambil seseorang untuk

menyelesaikan perselisihan antara dua orang atau lebih dengan jalan

perundingan sehingga menghasilkan sebuah perdamaian.8

5 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:Citra Aditya

Bakti, 2003), 79.

6 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 2000),640.

7 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan hukum Nasional

(Jakarta:Kencana, 2009), 3.

8 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta:PT.

(31)

Adapun pengertian yang cukup luas sebagaimana disampaikan oleh

Muhammad Saifullah mengutip pendapat oleh Gary Goodpaster sebagai

berikut:

Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau Arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan dan informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif. Dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.9\

Sedangkan dalam PERMA No.1 Tahun 2016 pasal 1 angka (1)

menjelaskan tentang mediasi, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa

melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak

dengan dibantu oleh mediator.10

Justru, intinya memiliki pengertian yang sama tentang mediasi yakni

proses penyelesaian sengketa dengan mendatangkan pihak ketiga atau

disebut dengan mediator yang bertugas sebagai penengah yang netral serta

melakukan proses tawar-menawar untuk menemukan sebuah solusi sehingga

di akhir perundingan para pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

9 Muhammad Saifullah, Mediasi dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

(Semarang:Walisongo Press, 2009), 76.

10 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(32)

Dari pengertian mediasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

mediasi mengandung unsur-unsur mediasi sebagai berikut:

1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas

kesukarelaan melalui sesuatu perundingan.

2. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa

untuk mencari penyelesaian.

3. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan

selama perundingan berlangsung.

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan

yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri

sengketa.11

Prosedur perkara sangat penting untuk diketahui oleh para pihak

berperkara, dengan mengetahui prosedur berperkara para pihak akan tahu apa

yang akan dilakukannya. Karena para pihak umumnya belum terbiasa dengan

aturan hukum yang berlaku pada suatu instansi.

1. Tata cara mengajukan perkara

Prosedur penerimaan perkara tingkat pertama (gugatan dan

permohonan didaftar dan diterima oleh meja I, petugas meja I inilah yang

membantu memeriksa kelengkapan berkas dari para pihak yang

mengajukan perkara. Selanjutnya menaksir panjar biaya perkara,

kemudian membuat slip pembayaran rangkap 4 (empat) antara lain :

(33)

lembar 1 warna hijau untuk Bank yang bersangkutan, lembar 2 (dua)

warna putih untuk Penggugat atau Pemohon, lembar 3 (tiga) warna merah

untuk kasir dan lembar 4 (empat) warna kuning untuk dilampirkan dalam

berkas.

Setelah itu para pihak membayar panjar biaya perkara ke Bank

yang telah ditentukan dan selanjutnya bukti setoran diserahkan ke

pemegang kas atau kasir untuk dibubuhkan tanda lunas dan diberi Nomor

pada SKUM. Petugas Meja II menerima berkas perkara dari pemegang

kas atau kasir dan mencatat dalam register Induk Perkara Permohonan

dan Gugatan sesuai dengan nomor perkara yang tercantum di SKUM dan

selanjutnya menyerahkan satu rangkap surat gugat atau permohonan

berikut SKUM rangkap pertama kepada penggugat atau pemohon.

Selanjutnya Meja II menyerahkan satu rangkap surat gugatan atau

permohonan yang telah didaftar berikut SKUM rangkap pertama kepada

Penggugat atau Pemohon. Kemudian berkas perkara yang telah dicatat

dalam register perkara diserahkan Wakil Panitera untuk disampaikan

Ketua Pengadilan melalui Panitera.12

2. Persiapan Persidangan

a. Penetapan Majelis Hakim

b. Penunjukan panitera pengganti

c. Penetapan hari sidang

d. Pemanggilan para pihak.

12Edi As’Adi, Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia (Yogyakarta:

(34)

3. Proses Persidangan

a. Pembukaan

b. Pendamaian atau mediasi oleh hakim

c. Pembacaan surat gugatan atau permohonan

d. Jawaban dari pihak tergugat atau termohon

e. Replik

f. Duplik

g. Pembuktian oleh para pihak

h. Kesimpulan pihak-pihak

i. Musyawarah majelis

j. Pembacaan putusan.

1. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia

Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa dimana pihak luar

yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk

membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.

Setiap perkara perdata yang masuk di pengadilan, para pihak yang hadir di

persidangan harus mengikuti mediasi terlebih dahulu, maka hakim wajib

mendamaikan kedua belah pihak (pasal 130 HIR / Pasal 154 RBg). Dalam hal

mengupayakan perdamaian, pengadilan harus berpedoman pada Peraturan

(35)

perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk dilakukan

perdamaian dengan bantuan mediator.13

Tentunya dalam proses mediasi memerlukan mediator untuk

mendamaikan para pihak, syarat-syarat yang bisa menjadi mediator adalah:

1. Seseorang yang mengantongi sertifikat mediator atau yang lulus

mengikuti tes mediator.

2. Hakim.

Proses mediasi adalah kewajiban dalam beracara di Pengadilan Agama

dalam kasus perceraian, mediasi sebagai usaha hakim atau pihak pengadilan

agar proses perceraian bisa didamaikan dan tidak berlanjut pada sidang

selanjutnya. Proses mediasi terdapat pada persidangan pertama, urutan pada

sidang pertama antara lain:14

1. Hakim wajib menjelaskan kepada para pihak untuk menempuh mediasi.

2. Menyarankan para pihak untuk memilih mediator yang tersedia dalam

daftar mediator.

3. Membuat penetapan mediator yang dipilih oleh para pihak.

4. Apabila para pihak gagal memilih mediator, majelis menunjuk mediator

dari salah satu hakim yang bersertifikat, Ketua Majelis menunjuk

Anggota Majelis yang memeriksa perkara.

13 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 3 ( Bandung:Alumni, 1996),

165.

14 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:Citra Aditya

(36)

5. Setelah penunjukan mediator, majelis menunda persidangan untuk

memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh mediasi.

6. Para pihak masuk ke ruang mediasi bersama dengan mediator untuk

melakukan proses mediasi.

7. Mediator memeriksa identitas para pihak dan menanyakan apa masalah

yang menyebabkan terjadinya pertikaian.

8. Jika upaya mediasi berhasil maka kedua belah pihak menandatangani akta

perdamaian yang disaksikan oleh mediator.

9. Jika upaya mediasi gagal maka mediator menentukan sidang selanjutnya.

10. Para pihak menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah

ditentukan untuk memberitahukan laporan mediasi yang berhasil.

11. Mediator wajib memberitahukan secara tertulis kepada hakim bahwa

mediasi gagal.

Apabila dalam mediasi terdapat tergugatnya lebih dari satu, dan yang

hadir hanya sebagian, maka mediasi belum dapat dilaksanakan, dan tergugat

yang tidak hadir dipanggil lagi secara patut. Jika tergugat tetap tidak hadir,

mediasi berjalan hanya antara penggugat dengan tergugat yang hadir. Adapun

para pihak yang menolak untuk mediasi, maka penolakan para pihak untuk

mediasi dicatat dalam berita acara sidang dan putusan. Putusan perdamaian

tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Dalam putusan perdamaian ini mempunyai kekuatan yang sama dengan

(37)

dilaksanakan, dapat dimintakan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama

yang bersangkutan.

3. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Kebijakan Mahkamah Agung yang mengeluarkan Peraturan Mahkamah

Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan

merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di

pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

menyelesaikan sengketa.15

Dalam setiap sengketa perdata yang di ajukan ke pengadilan tingkat

pertama wajib diupayakan mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator

ataupun non hakim mediator dan para pihak yang berperkara sesuai dengan

prosedur mediasi di pengadilan yang dilakukan pada hari sidang pertama.

Apabila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka

putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat 3 PERMA No. 1 Tahun

2008).

Hubungan yang dikembangkan dalam mediasi tidak lain adalah upaya

menempatkan komunikasi pada tingkat yang tepat, memperhatikan reaksi

lawan bicara dan menyesuaikan komunikasi dengan lawan bicara dan situasi

yang melingkupinya.16 Dengan adanya hubungan komunikasi dapat dilakukan

secara terbuka. Namun hubungan tidak menjamin komunikasi selalu dapat

dilakukan dengan baik. Mereka yang terlibat konflik biasanya mengalami

15Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

MA RI.

(38)

sedikit ketegangan dan mungkin juga tidak mendengarkan dengan baik apa

yang dikatakan mediator.

Setelah proses komunikasi atau perundingan di dalam mediasi ditempuh

dan putusannya mencapai kesepakatan, maka mereka dapat meminta penetapan

dengan suatu akta perdamaian. Namun, jika kesepakatan tidak tercapai maka

mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi gagal dan

selanjutnya sidang dilanjutkan sebagaimana acara sidang biasa.17 Beberapa

kekhususan PERMA No. 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

1. Hak dan Kewajiban Para Pihak Para

Pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikut:

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan,

advokat atau akademisi hukum.

b. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau

berpengalaman dalam pokok sengketa.

c. Hakim majelis pemeriksa perkara. (pasal 8 ayat 1)18

Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua

Majelis Hakim dan jika setelah jangka waktu maksimal dua hari kerja para

pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para

pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada

Ketua Majelis Hakim (Pasal 11 Ayat 2 dan 4).

17 Nurmaningsih Amrina, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan

(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 59.

18 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi d i Pengadilan

(39)

Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Jika

salah satu pihak menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik, maka pihak

lainnya dapat menyatakan mundur dari proses mediasi (Pasal 12). Jika mediasi

menghasilkan kesepakatan maka para pihak dengan bantuan mediator wajib

merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan menandatangani

kesapakatan tersebut bersama-sama dengan mediator (Pasal 17 ayat 1).

Jika dalam proses mediasi tersebut para pihak diwakili oleh kuasa hukum

maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuannya atas

kesepakatan yang dicapai, selanjutnya para pihak wajib menghadap kembali

kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan

kesepakatan perdamaian (Pasal 17 ayat 2 dan 4).

Para pihak dapat mengajukan kepada hakim agar kesepakatan perdamaian

yang telah dirumuskannya dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, hanya

saja jika para pihak tidak menghendaki akta perdamaian ini maka dalam

kesepakatan tersebut harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau

klausula yang menyatakan perkara sudah selesai (Pasal 17 ayat 5 dan 6).19

1. Jangka Waktu Mediasi

Jangka waktu mediasi memiliki batas waktu yang telah ditentukan

diantaranya sebagai berikut:

a. Proses mediasi berlangsung selama 40 hari kerja sejak mediator dipilih

oleh para pihak atau mediator yang ditunjuk oleh ketua majlis hakim dan

atas dasar kesepakatan para pihak.

19 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(40)

b. Apabila masih kurang dalam waktu 40 hari maka waktu mediasi dapat

ditambah selama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari.

c. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan

perkara.

d. Jika diperlukan dan atas kesepakatan para pihak, mediasi dapat

dilaksanakan secara jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

Biaya mediasi merupakan mediasi pemanggilan para pihak untuk

menghadiri proses mediasi harus lebih dahulu dibebankan para pihak

penggugat melalui panjar biaya perkara. Jika para pihak berhasil mencapai

kesepakatan, biaya perkara ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan.

Apabila gagal biaya dibebankan kepada yang kalah.20

4. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur

mediasi di pengadilan merupakan bentuk pembaruan dari peraturan Mahkamah

Agung sebelumnya, yakni peraturan Mahkamah agung Nomor 1 Tahun 2008

tentang prosedur mediasi di pengadilan. Penyempurnaan yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dalam peraturan.

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di

pengadilan tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan

PERMA baru dalam rangka memepercepat dan mempermudah penyelesaian

sengketa serta memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan.

20 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(41)

Mediasi merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengatasi

penumpukan kasus di pengadilan serta memaksimalkan fungsi lembaga

pengadilan dalam menyelesaikan perkara.21 Sebagaimana mediasi bukan hanya

sekedar formalitas beracara belaka tapi memberikan kesempatan untuk

berdamai, namun hakim harus berperan aktif mengupayakan perdamaian.22

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur

mediasi di pengadilan ini memiliki tempat istimewa karena proses mediasi

menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan,

sehingga hakim dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa

melalui mediasi, apabila para pihak melanggar atau tidak menghadiri mediasi

terlebih dahulu, maka putusan yang dihasilkan batal demi hukum dan akan

dikenai sanksi berupa kewajiban membayar biaya mediasi, hal ini disebutkan

dalam pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.

Dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan tingkat pertama, para pihak

harus beriktikad baik dalam proses mediasi, namun mengingat tidak semua para

pihak beriktikad baik dalam proses mediasi, maka dalam pasal 22 ayat 1 dan

ayat 2 PERMA ini mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang tidak

beriktikad baik dalam proses mediasi.

Hakim atau kuasa hukum dari pihak-pihak yang berperkara dituntut

untuk aktif dalam mendorong para pihak untuk berperan aktif dalam proses

21 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah (Jakarta:Kencana,2009), 310.

22 Bagir Manan, Peradilan Agama dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung (Jakarta:Direktori

(42)

mediasi, dengan adanya kewajiban menjalankan mediasi, maka hakim dapat

menunda persidangan perkara agar dapat terjalin komunikasi antara para pihak

yang berperkara.

Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan Agama diatur prosedur

beracara mediasi yakni :

1. Tahap Pra Mediasi

Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim

mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim menunda proses

persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi lama 30

hari kerja. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang

bersengketa. Para pihak memilih mediator dari daftar nama yang telah

tersedia pada hari sidang pertama atau paling lama 2 hari kerja berikutnya.

Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat

memilih mediator yang dikehendaki. Ketua majelis hakim segera menunjuk

hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator.23

2. Tahap Proses Mediasi

Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk

mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume

perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung

paling lama 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi.

Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak

atau para pihak telah 2 kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan

23Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(43)

mediasi sesuai jadwal yang disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara

patut.

3. Mediasi Mencapai Kesepakatan

Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib

dirumuskan sacara tertulis dan ditandatngani oleh para pihak dan mediator.

Jika mediasi di wakili oleh kuasa hukum maka para pihak wajib menyatakan

secara tertulis persetujuan yang dicapai. Para pihak wajib menghadap

kembali kepada hakim pada sidang yang telah ditentukan untuk

memberitahukan. kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan

dalam bentuk akta perdamaian.

4. Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan

Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator wajib

menyatakan secara tertulis proses mediasi telah gagal. Pada tiap tahapan

pemeriksaan perkara hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk

mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika

mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi

tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.24

Dari data yang akan dipaparkan pada tabel berikut merupakan salah satu

rekapitulasi yang ada di Pengadilan Agama Indonesia, yang dalam hak ini adalah

yakni Pengadilan Agama Tuban. Data perkara yang masuk di Pengadilan Agama

Tuban menunjukkan tampak bahwa pada setiap bulan perkara perceraian semakin

meningkat. Selain itu, dari data tersebut diperoleh hasil data keberhasilan dan

24 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(44)

kegagalan yang tingkat keberhasilannya semakin menurun setiap bulannya. Hal

ini terbukti, pada bulan Januari, Februari, dan bulan Maret sampai akhir tahun

2016. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa proses mediasi di Pengadilan

Agama bisa dikatakan belum berhasil karena persentase keberhasilannya hanya

berkisar satu hingga dua persen.25

(45)
(46)

BAB III

PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING

SARAWAK MALAYSIA

A. Kewenangan Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia

Di dalam Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia merupakan

satu peradilan yang terbagi kepada beberapa kewenangan dalam menangani

perkara sengketa seperti berikut :

1. Bidang Kuasa Mal

Bidang Kuasa Mal Mahkamah Syari’ah atau kewenangan perdata

Mahkamah Syari’ah terbatas pada perkara tertentu seperti yang telah

disebutkan dalam Pasal 10 ayat (2) Ordinan Mahkamah Syari’ah Sarawak

Tahun 1991 sebagai berikut :

Dalam bidang kuasa Malnya, mendengar dan memutuskan perkara antara pihak yang beragama Islam berhubungan dengan :

a. Pertunangan, perkawinan, perceraian, pembubaran perkawinan (fasakh), atau pemisahan kehakiman (faraq);

b. Apa-apa pelupusan atau tuntutan kepada harta yang berbangkit daripada mana-mana perkara yang dinyatakan dalam sub perenggan i; c. Nafkah orang-orang tanggungan, kesahtarafan, atau penjagaan atau

jagaan (hadanah) anak-anak;

d. Pembahagian atau tuntutan kepada harta sepencarian; e. Wasiat atau pemberian semasa marad al-maut si mati Islam;

f. Pemberian semasa hidup (hidup), atau penyelesaian yang dibuat tanpa balasan yang memadai dengan wang atau nilaian wang, oleh seseorang Islam;

g. Wakaf atau nazar;

(47)

i. Hal menentukan seseorang yang berhak kepada bahagian harta pusaka seseorang si mati Islam atau bagian-bagian yang orang-orang itu masing-masing berhak atau;

Perkara-perkara lain yang berkenanaan di mana bidang kuasa diberi oleh mana-mana undang-undang bertulis.1

2. Bidang Kuasa Jenayah

Bidang Kuasa Jenayah atau kewenangan pidana Mahkamah Syari’ah

termaktub dalam Bagian II Ordinan Kesalahan Jenayah Syari’ah Sarawak

Tahun 2001 sebagai berikut:

l. Menjual atau memberi anak kepada orang bukan Islam

m. Minum minuman keras

n. Menjual, makan di bulan Ramadhan

o. Menghina, mengingkari Pihak berkuasa Agama

(48)

p. Ingkar perintah mahkamah

q. Qadzaf

r. Mempermainkan agama Islam

s. Ajaran atau perbuatan sesat

t. Pemujaan

u. Mengajar agama tanpa kebenaran

v. Mendirikan masjid tanpa izin

w. Perbuatan syirik

x. Memberi keterangan palsu2

B. Latar Belakang Kemunculan Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001

1. Sebelum Kedatangan Raja Brooke

Sarawak dahulu merupakan sebagian dari wilayah kesultanan Brunei.

Pemerintahannya pada ketika itu dijalankan oleh seorang pembesar yang

telah dilantik oleh Sultan Brunei. Pada tahun 1827, Pangeran Md. Salleh

yang bergelar Pangeran Indera Mahkota telah dilantik sebagai Gubenur di

Kuching.3

“Undang-Undang tak tertulis” (unwritten law) di negeri-negeri Borneo

(Sabah & Sarawak) kebanyakannya terdiri dari hukum dan adat bangsa

bumiputera (pribumi) di beberapa daerah termasuk (seperti yang dikatakan

oleh Hakim Besar Sarawak) “Hukum Islam dan Bumiputera yang lain sejauh

2 Badan Perundangan Sarawak, Ordinan Jenayah Syari’ah…, 1.

3 Mohammad Sholahudin Bin Abu Bakar, Efektifitas Mahkamah Syari’ah (Kuala Lumpur:

(49)

yang munasabah”; Hakim Besar itu menambah lagi bahwa “ini juga termasuk

Hukum Islam, Dayak dan lain-lain yang berkaitan dengan pernikahan,

pewarisan dan hukum-hukum adat yang berkaitan dengan jenayah (pidana)

seperti zina dan perbuatan yang melanggar tatasusila seperti yang termaktub

dalam hukum adat Melayu dan Dayak.”4

Dalam sejarah pemerintahan kesultanan Brunei sendiri terdapat

‘Undang-Undang Brunei’ yang dikutip dari “Undang-Undang Islam Melaka’.

Kodifikasi terawal undang-undang tersebut bertanggal 1211H. (1708M).

Undang-undang inilah yang diberlakukan di Sarawak dan dikompilasikan

dalam ‘Hukum Adat Melayu’.5

2. Setelah Kedatangan Raja Brooke

Sarawak jatuh ke tangan Inggris apabila James Brooke dijadikan raja

pada tahun 1841 disebabkan perpecahan yang terjadi dikalangan keluarga

pemerintah. Perpecahan ini dikarenakan kehadiran Pengeran Md. Salleh

sebagai Gubenur tidak disenangi oleh para pembesar Melayu di Kuching.

Sentimen kebencian ini mencapai puncaknya setelah terjadi pemberontakan

besar-besaran pada tahun 1836 yang diketuai oleh Pangeran Usop.6

Akibat dari peristiwa tersebut, Sultan Brunei menghantar Pangeran

Muda Hashim untuk mententeramkan keadaan tapi gagal usaha tersebut

menemui kegagalan, sehingga datanglah seorang Inggris bernama James

4 Ahmad Mohamed Ibrahim & Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang (Selangor: Dewan

Bahasa dan Pustaka,1992),23.

5 Wan Arfah Hamzah, A First Look at The Malaysian (Kuala Lunpur: MDC Publishers Sdn Bhd,

2003),159.

6 Zaini Nasohah, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia Sebelum dan Sesudah Merdeka

(50)

Brooke. Peristiwa tersebut merupakan titik tolak penjajahan Inggris di

Sarawak. Pangeran Muda Hashim yaitu bapa saudara Sultan Brunei sendiri

telah melantik James Brooke menjadi raja pada tahun 1841. Pelantikan

tersebut adalah sebagai tanda terima kasih kepada James Brooke yang telah

berhasil mengatasi aksi pemberontakan di Kuching. Pelantikan tersebut telah

dipersetujui oleh Sultan Brunei pada tahun 1842.

Sejarah modern Sarawak bermula dengan pemindaan milik dari

kesultanan Brunei kepada James Brooke yang kemudiannya menjadi pengasas

dinasti “Raja Putih” (White Rajah) Sarawak. Pemindahan milik tersebut

(bermula daru 1841 hingga 1846) bukan hanya penyerahan wilayah tapi juga

hak untuk memerintah sebagai pemerintah yang berdaulat.7

Di Sarawak, Undang-Undang keluarga Islam pertama sekali

diperkenalkan ialah Perintah 13 Maret 1893 yaitu tentang perkawinan antara

perempuan Sarawak dengan orang-orang dagang dan tentang larangan

berpoligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Perintah ini kemudiannya

diikuti oleh Perintah 16 Mei 1898 yang mengandung ketentuan-ketentuan

tentang pendaftaran pernikahan dan perceraian. Kedua perintah tersenut

kemudiannya disatukan dalam Ordinan Perkawinan Islam 1946 (Muhammad

Marriage Ordinance 1946). Antara Undang-Undang lain yang pernah

diberlakukan di Sarawak ialah Undang-Undang tentang pusaka dan wasiat. Ini

terkandung dalam Perintah 16 November 1898. Perintah tersebut

7 Rohani Abdul Rahim, Undang-Undang Islam Asia di Tenggara (Kuala Lumpur: Karya Abazie,

(51)

kemudiannya diikut oleh Muhammad Wills Ordinance dan kemudiannya oleh

The Muslims Wills Ordinance.8

Disamping itu, satu undang-undang yang lebih mendasar juga telah

diberlakukan di Sarawak. Undang tersebut dikenal sebagai

Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak (Law of The Malay Courts) yang

dibentuk pada tahun 1915. Undang-Undang tersebut kemudiannya mengalami

amandemen pada tahun 1926,1932, dan 1956.

Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak merupakan hukum

adat yang pertama dikodifikasi di Malaysia. Undang-Undang ini mengandung

enam puluh lima (65) pasal yang pada umumnya mengatur

ketentuan-ketentuan mengenai pertunangan, perkawinan, pewarisan dan

kesalahan-kesalahan seksual. Walaupun terdapat beberapa ketentuan yang diambil dari

hukum Islam, namun undang-undang ini bukanlah hukum Islam sepenuhnya.

Undang-Undang ini sebenarnya merupakan kompilasi terhadap hukum adat

Melayu yang bertujuan mengatur masyarakat Melayu yang mayoritas

muslim.9\

3. Setelah Kemerdekaan

Tanah Melayu (sebelum Sabah dan Sarawak bergabung dan

membentuk Negara federasi Malaysia) mendapat kemerdekaan dari penjajahan

Inggris dan Jepang pada tanggal 31 Agustus 1957. Namun di Sarawak masih

diberlakukan Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak sehingga Sarawak

8 Mahmud Zuhdi, Abd. Majid, Pengantar Undang-Undang Islam di Malaysia (Selangor: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1992),74.

9 Wan Arfah Hamzah, A First Look At The Malaysian (Kuala Lumpur: Utusan Publications &

(52)

bergabung sebagai salah satu dari Negara Bagian Malaysia pada 16 September

1963.10

Pada Tahun 1977 satu peraturan perundang-undangan yang diketahui

sebagai “Ordinan Majlis Islam” telah dibentuk. Ordinan ini diberlakukan

dengan tujuan untuk menubuhkan suatu lembaga yang kemudian dikenali

sebagai “Majlis Islam Sarawak” yang bertanggungjawab dalam administrasi

hal-hal yang berkaitan dengan ke-Islaman.

Bermula dari akhir 70-an, Negara-Negara Bagian di Malaysia telah

mengkaji ulang Undang-Undang yang berkaitan dengan Hukum Islam. Ini

bertujuan untuk menjadikannya lebih rapi dan efektif. Langkah tersebut telah

menghasilkan pemecahan terhadap aspek-aspek perundangan yang terdapat

dalam undang-undang yang lama untuk dijadikan Undang-Undang tersendiri.

Secara umumnya pemecahan tersebut telah menghasilkan Undang-Undang

sebagai berikut:

a. Enakmen Pentadbiran Mahkamah Syari’ah

b. Enakmen Pentadbiran Keluarga Islam

c. Enakmen Kanun Jenayah Syari’ah

d. Enakmen Atur Cara Mal

e. Enakmen Atur Cara Jenayah

f. Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak

Khusus di Sarawak, Langkah pemecahan tersebut telah menghasilkan

enam (6) ordinan yaitu Ordinan Mahkamah Syari’ah Tahun 1991, Ordinan

10 Mohd Suffian Hashim, Mengenal Perlembagaan Malaysia (Kuala Lumpur: Karya Abzaie,

Referensi

Dokumen terkait

(2012) dengan metode magnetik dalam luasan pengukuran sekitar 300x250 m2, melakukan pemodelan berdasarkan anomali medan magnetik total regional pada

Dari perhitungan tes uji coba yang telah dilakukan, diperoleh data sebagai berikut: Tabel 3.5 Data Uji Tes Pemahaman Konsep Matematika

Beberapa upaya pengendalian abrasi pesisir pantai merupakan tantangan terbesar yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, untuk membuat kebijakan dan

Inokulasi rhizobium Iletrisoy-2 ditambah 1,5 t/ha Santap dan setengah dosis reko- mendasi pupuk NPK dilaporkan Harsono dkk (2011) juga meningkatkan hasil kedelai dari dosis pupuk

Balai Besar Penelitan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor.. 08.00 10.30 GS1.1 MMR Ahmad Taufik Misbah PTPN XII

Mint ahogyan a hagyományos könyvtár sem azonos csupán a katalógusán keresztül elérhető, polcokon tárolt dokumentumaival, a digitális könyvtár sem pusztán

Seguimos la entrevista como línea principal del montaje, alternando e insertando al mismo tiempo primeros planos de del rostro de la protagonista así como planos detalles,