AGAMA INDONESIA DENGAN PROSES PERDAMAIAN DI
MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA
SKRIPSI
Oleh
Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson
NIM. C41213105
UNIVERSITAS ISLAM NEG E RI SUNAN AMPEL
FAK UL TAS SYARI ’AH DAN H UK UM
J URUSAN HUKUM PERDATA
PRODI HUKUM KE L UAR G A
SUR ABAYA
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bert anda tangan dibawah ini saya :
Nama Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson
NIM C412 13l 05
Semester VIII
Fakultas/ Jurusan/ Prodi Syari 'ah dan Hukum/ Hukum Perdat a/ Hukum Keluarga
Judul Penelitian STUD!KO:MPARATIF PROSES MEDIAS!DI
PENGADILAN AGAMA INDONESIA DENGAN PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI'AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil pene litian/ karya
saya sendiri , kecuali pada bagi an-bagian yang dirujuk sumbemya.
Surabaya, 2 1 Maret 20 17
Skripsi yang ditulis oleh Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson
NIM.C4 l 2 l 3 l 05 ini telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.
Surabaya, 2 1 Maret 2017
Pembimbing,
Dr. H. Darmawan, S.HL, M.HL
NIP. 198004102005011004
Skripsi yang ditulis oleh Umar Abdul Aziz Bin Haji Ali Samson NIM C41213105 ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel pada hari Senin, tanggal 17 April 2017 dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program
sarjana strata satu dalam Ilmu Syari'ah.
Majelis Munaqasah Skripsi:
Dr. H awan MHI.
NIP.198004102005011004 NIP.195711101996031001
Penguji III, Peguji IV,
Hj. Nabiela Naily, S.SI., MHI. NIP.
198102262005012003
Surabaya, 17 April 2017 Mengesahkan,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam NegeriSunanAmpel
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Studi Komparatif Proses Mediasi di Pengadilan Agama dengan Proses Perdamaian di
Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia”. Adapun rumusan masalah
yang ada dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia dan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah
Kuching Sarawak Malaysia. Kedua, apa persamaan dan perbedaan proses mediasi
antara Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research). Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif deskriptif-komparatif untuk mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama dengan
proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia serta
persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Proses mediasi di Pengadilan Agama dilaksanakan ketika sidang pertama dan itu diwajibkan, apabila tidak dilaksanakan maka akan gugur demi hukum sedangkan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah adalah sebelum masuk ke persidangan, tiap perkara harus menempuh konseling di Jabatan Agama Islam Sarawak (JAIS), akan tetapi jika tidak menemukan kesepakatan maka masih
dilakukan upaya perdamaian oleh hakim di Mahkamah Syari’ah. Hasil penelitian
menyimpulkan ada persamaan antara proses mediasi di Pengadilan Agama
dengan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah. Persamaan antara keduanya
adalah dari pengertian mediasi yaitu upaya hakim maupun Pengadilan untuk mendamaikan para pihak agar proses perceraian tidak sampai berlanjut pada persidangan berikutnya. Perbedaan yang cukup signifikan dari proses mediasi
antara Pengadilan Agama dengan Mahkamah Syari’ah yakni lamanya proses
mediasi dan alur dari proses mediasi tersebut, jika dalam Pengadilan Agama lama proses mediasi tidak sampai satu bulan dan di Mahkamah Syari’ah lama proses
mediasinya selama enam bulan, sedangkan alur proses mediasi di Pengadilan
Agama belum melibatkan KUA dan di Mahkamah Syari’ah melibatkan JAIS
(KUA).
Tiap-tiap peradilan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang bisa dijadikan bahan evaluasi untuk Pengadilan Agama maupun Mahkamah
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah... 6
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Penelitian... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
A. Kewenangan Pengadilan Agama Indonesia ... 18
1. Kewenangan Relatif ... 18
2. Kewenangan Absolut... 20
B. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia ... 20
1. Pengertian Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia ... 21
2. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia ... 25
3. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 ... 28
4. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ... 31
BAB III PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA A. Kewenangan Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia ... 37
B. Latar Belakang Kemunculan Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 ... 39
C. Proses Perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia ... 45
1. Pengertian Perdamaian di Mahkamah Syari’ah... 45
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA DENGAN PROSES
PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING
SARAWAK MALAYSIA
A. Persamaan antara Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Indonesia dan Proses Perdamaian di Mahkamah
Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia ... 56
B. Perbedaan antara Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Indonesia dan Proses Perdamaian di Mahkamah Syari’ah
Kuching Sarawak Malaysia ... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 65
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para
akademisi dan praktisi. Para ilmuan berusaha mengungkap secara jelas makna
mediasi dalam berbagai literatur ilmiah melalui risert dan studi akademik. Secara
etimologi, istilah mediasi berasal dari Bahasa Latin mediare yang berarti berada
ditengah.1 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasehat.2 Penjelasan mediasi lebih menekankan pada keberadaan pihak
ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
perselisihannya.
Tanpa mengurangi arti perdamaian dalam segala bidang persengketaan,
makna perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran
tersendiri dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi
juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian dapat dilakukan oleh hakim
1Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta:
Kencana, 2011), 2.
2Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal
yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.
Mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1
Tahun 2008 pada huruf a bahwa mediasi merupakan salah satu proses
penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses
yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan
dan memenuhi rassa keadilan.3
Keberadaan mediator untuk menyelesaikan sengketa keluarga sangat
urgen, karena peran mediator memperbaiki hubungan suami istri akan
menentukan kelanggengan suatu rumah tangga. Alquran menjelaskan beban dan
tanggung jawab mediator dalam sengketa keluarga cukup penting, terutama
ketika suatu keluarga sudah menunjukkan tanda-tanda adanya perselisihan, maka
pihak keluarga dari suami istri sudah dapat mengutus mediator. Mediator dalam
sengketa keluarga dapat mengidentifikasi setiap persoalan, dan mencari jalan
keluar serta menawarkan kepada suami istri yang bersengketa. Tindakan yang
ditempuh oleh mediator harus sangat hati-hati, karena persoalan keluarga
dianggap persoalan sensitif dan membutuhkan konsentrasi penuh, demi untuk
mengeratkan hubungan yang retak.
Memahami situasi suami istri merupakan kewajiban mediator dalam
rangka menciptakan damai dan rekonsiliasi dalam keluarga yang bersengketa.
Dengan demikian, mediator dapat menciptakan situasi yang menyebabkan kedua
belah pihak percayadan tumbuh keinginan untuk bersatu kembali
mempertahankan rumahtangga.4 Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak
yang bersengketa, melainkan juga memberikan manfaat bagi dunia peradilan.
Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang
diajukan ke Pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan
sendirinya akan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua,
sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan
pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan
pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga,
sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan
membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.
Perdamaian itu hendaklah dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah
sangat mencintai orang yang berlaku adil. Umar ibnu Khattab ketika menjabat
Khulafaur Rasyidin dalam suatu peristiwa pernah mengemukakan bahwa
menyelesaikan suatu peristiwa dengan jalan putusan hakim sungguh tidak
menyenangkan dan hal ini akan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
berlanjut sebaiknya dihindari. Dulu di dalam Islam juga dikenal dengan tahkim
yakni orang yang mereka sepakati dan ditunjuk sebagai seorang hakam untuk
4Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta:
menyelesaikan sengketa.
Allah juga menandaskan hal tersebut dalam Surat An-Nisa ayat 35 sebagai
berikut:
ََُا ِقِ فَوُ ي
اًح ََْصِإ اَديِرُي ْنِإ اَهِلَْأ ْنِم اًمَكَحَو ِهِلَْأ ْنِم اًمَكَح اوُثَعْ باَف اَمِهِنْيَ ب َقاَقِش ْمُتْفِخ ْنِإَو
اًرِبَخ اًميِلَع َناَك َََا َنِإ ۗ اَمُهَ نْ يَ ب
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”5
Ayat di atas menegaskan bahwa setiap terjadi persengketaan, kita
diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami atau istri
untuk mendamaikan mereka. Dalam hal ini, ulama fiqih sepakat untuk
menyatakan bahwa kalau hakam (juru damai dari pihak suami atau istri) berbeda
pendapat maka putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam
sama-sama memutuskan untuk mendamaikan suami dan istri kembali, maka putusannya
harus dijalankan tanpa minta kuasa pada mereka.
Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak
adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang
diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa, mengadili,
dan memutuskan perkara perceraian. Mediasi mendapatkan kedudukan penting
dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di Pengadilan. Hakim wajib
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim menolak
untuk prosedur mediasi dilakukan, maka putusan hakim tersebut batal demi
hukum (Pasal 2 ayat (#3) Perma Nomor 1 Tahun 2008).6
Sementara di Malaysia, khususnya di Mahkamah Syari’ah Kuching,
Sarawak, Malaysia, proses perdamaian bersangkutan perkara perceraian akan
terlebih dahulu dihadapkan ke Jawatankuasa Pendamai (Concilliatory
Committee). Berbeda dengan lembaga mediasi di Pengadilan Agama Indonesia
yang beroperasi di bawah ketentuan Perma No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, Jawatankuasa Pendamai di Mahkamah Syari’ah Kuching
Sarawak Malaysia, beroperasi di bawah ketentuan Ordinan Undang-Undang
Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 yakni pada Seksyen 45 (5) Ordinan
Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 mengharuskan Mahkamah melantik
suatu Jawatankuasa Pendamai untuk melaksanakan proses perdamaian antara
pihak yang bersengketa.
Berdasarkan dari perbedaan yang mendasar ini, penulis tertarik untuk
melakukan kajian secara komprehensif tentang proses mediasi di Pengadilan
Agama dan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah tersebut baik dari aspek
latar belakangnya maupun esensi aturannya dalam skripsi yang berjudul “Studi
6 Ketua Mahkamah Agung R.I, Perma R.I Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Komparatif Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia Dengan Proses
Perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia”.
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah
Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka
dapat digambarkan masalah yang mungkin timbul yaitu:
1. Tentang Proses Mediasi Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
2. Tentang Proses Mediasi Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
3. Pengenalan tentang Mahkamah Syari’ah Sarawak.
4. Tentang Proses Perdamaian di Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak
2001.
Dari indentifikasi masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas, penulis membatasi sebagai berikut:
1. Proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia.
2. Proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam skripsi ini adalah:
Perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia ?
2. Apa persamaan dan perbedaan proses mediasi antara Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syari’ah ?
D. Kajian Pustaka
Adapun penelitian yang sedikit berhubungan dalam karya tulis ini adalah:
1. “Studi Analisis Tentang Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Perkara
Syiqaq” oleh Roichan Mahbub yang menganalisis kedudukan mediator dan
hakam dalam menangani perkara syiqaq sebelum dan sesudah diberlakunya
Perma Nomor 1 Tahun 2008.Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa tugas
dan cara-cara yang dilakukan mediator adalah seperti yang tertera didalam
Perma No.1 Tahun 2008, dan untuk hakam adalah seperti yang tersurat
didalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35. Kemudian tentang kedudukan
hakam, hal ini tidak bisa digantikan oleh mediator karena dasar legalitas
hakam lebih kuat daripada mediator, yaitu antara Undang-undang dengan
Perma yang hal ini bisa diketahui dari UU No.10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan TAP MPR
No.III/MPR/2000. Kemudian untuk tugas mediator dan hakam dalam
menyelesaikan perkara syiqaq telah sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang
lebih dikenal dengan istilah maqasidus syari’ah. 7
7Roichan Mahbub, “Studi Analisis Tentang Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Perkara Syiqaq”
2. “Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara No.
98/Pdt.G/2009/P.Asby Tentang Cerai Gugat di Pengadilan Agama Surabaya
Perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2008” oleh Aini Rahmawatik yang
memfokuskan pada tugas hakim mediator yang berperan sebagai pihak netral
yang menjadi penegah dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan perkara
cerai gugat di Pengadilan Agama Surabaya. Dari penelitian tersebut dapat
dijelaskan bahwa Pengadilan Agama Surabaya telah melaksanakan proses
mediasi dalam mengupayakan perdamaian. Dalam pelaksanaan upaya damai
yang lebih berperan adalah para pihak sendiri. Namun, upaya tersebut tidak
mencapai kesepakatan sedangkan dalam proses mediasi yang lebih berperan
adalah mediator sebagai pihak ketiga karena sudah masuk ke dalam Hukum
Acara di Peradilan. Peran Hakim Mediator dalam menyelesaikan perkara
Nomor 98/Pdt.G/2009/PA.Sby bersifat netral dan tidak mempunyai
kewenangan memutus perkara. Karena pelaksanaan mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka perkara tersebut diserahkan kembali kepada majelis
hakim. Kegagalan mediator di sini bukan berarti mediasi tidak dilaksanakan
dengan maksimal. Namun, karena keadaan pernikahan yang sudah pecah
karena perselisihan telah terjadi terusmenerus, dan tidak ada inisiatif untuk
berdamai dari kedua belah pihak. Selain itu, fungsi Hakim Mediator di sini
adalah untuk mempercepat penyelesaian perkara dengan sederhana, cepat dan
mewujudkan sifat kekeluargaan dan kerukunan. Dalam Hukum Islam,
pernikahan yang telah pecah disebut dengan syiqaq. Penyelesaiannya dengan
menunjuk hakam. Penunjukan hakam ini senada dengan mediasi sebagaimana
dijelaskan dalam Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. 8
3. “Studi Komparatif Tentang Kedudukan Lembaga Mediasi di Pengadilan
Agama Indonesia Dengan Jawatankuasa Pendamai di Mahkamah Syari’ah
Kuching, Sarawak” oleh Ahmad Shah Affandie yang memfokuskan
penelitian kedudukan kedua lembaga tersebut baik dari segi latar
belakangnya serta mencari persamaan dan perbedaan kedudukan lembaga
tersebut. Hasil penelitian ini menyimpulkan pertama, lembaga mediasi di
Pengadilan Agama Indonesia beroperasi di bawah Perma Nomor 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang berperan sebagai hukum
formil yang mengatur tentang tatacara perdamaian di pengadilan agama
Indonesia. Kedua, Jawatankuasa Pendamai dibentuk atas perintah dibentuk
atas perintah mahkamah berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam
Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001 yang
merupakan salah satu dari pecahan Ordinan Undang-Undang Islam yang
berlaku di Sarawak. Ketiga, persamaan antara keduanya adalah: 1) keduanya
bertujuan mendamaikan sengketa di pengadilan sekaligus sejalan dengan
8Aini Rahmawatik, “Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara No. 98/Pdt.G/2009 P.A
prinsip perdamaian dalam Islam; 2) keduanya beroperasi dalam batas waktu
tertentu; 3) Hasil akhir perdamaian harus tertulis. Keempat, perbedaan antara
keduanya adalah: 1) Mediator adalah pihak yang memeliki sertifikat
mediator sedangkan anggota jawatankuasa pendamai diketuai seorang
Pegawai Agama dari unit konseling Jabatan Agama Islam (JAIS) dan dua
orang yang masing-masing mewakili para pihak berpekara; 2) Jasa mediator
bukan hakim dikenakan biaya. Manakala jasa jawatankuasa pendamai tidak
dikenakan biaya; 3) Mediator di Pengadilan Agama Indonesia berwenang
menangani perkara yang termasuk dalam kewenangan subsantif Pengadilan
Agama itu sendiri sedangkan wewenang jawatankuasa pendamai di
Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak hanya terbatas pada konflik
rumahtangga; 4) Di Pengadilan Agama Indonesia, waktu yang diberikan
untuk mendamaikan relatif lebih singkat daripada Mahkamah Syari’ah
Kuching Sarawak. 9
Skripsi ini berjudul “Studi Komparatif Proses Mediasi di Pengadilan
Agama Indonesia Dengan Proses Perdamaian di Mahkamah Syari’ah, Kuching,
Sarawak, Malaysia”, berbeda dengan skripsi diatas. Penulis memfokuskan
penelitian pada proses mediasi bukan pada kedudukannya daripada Pengadilan
Agama dan Mahkamah Syari’ah. Tiap-tiap peradilan mempunyai kelebihan
9Ahmad Shah Affandie, “Studi Komparatif Tentang Kedudukan Lembaga Mediasi di Pengadilan
Agama Indonesia Dengan Jawatankuasa Pendamai di Mahkamah Syari’ah Kuc hing, Sarawak”
dan kekurangan masing-masing yang bisa dijadikan bahan evaluasi untuk
Pengadilan Agama maupun Mahkamah Syari’ah, seperti proses mediasi yang
berlaku di Pengadilan Agama dan penunjukan moderator di Mahkamah
Syari’ah.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian perlu
untuk mengetahui satu persatudari rumusan masalah di atas antaranya sebagai
berikut:
1. Mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia dan proses
perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan proses mediasi antara Pengadilan
Agama dan Mahkamah Syari’ah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai kegunaan sebagai
berikut:
1. Aspek Teoritis:
Untuk memperkayakan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang
Ahwal Al-Syakhsiyah, terutama dalam bidang yang berkaitan, selain sebagai
kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa dan
terhadap pembentukan dan penerapan hukum oleh kedua negara yang
menganut hukum yang berbeda.
2. Aspek Praktis:
Penulisan ini juga diharapkan dapat memberi kontribusi wacana bagi
perkembangan dunia hukum di antara kedua negara agar segera mencapai
cita-cita negara yang baik sebagaimana yang diamanatkan dalam
undang-undang pada kedua negara, sekaligus memberi sumbangan pemikiran bagi
mereka yang berminat mengkaji seta mengembangkan pengetahuan tentang
sebuah undang-undang negara lain. Di samping juga diharapkan bisa menjadi
contoh satu dengan yang lain. Tiap-tiap peradilan mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang bisa dijadikan bahan evaluasi untuk
Pengadilan Agama maupun Mahkamah Syari’ah, seperti proses mediasi yang
berlaku di Pengadilan Agama dan penunjukan moderator di Mahkamah
Syari’ah.
G. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu didefinisikan
secara jelas agar tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Adapun
istilah-istilah tersebut adalah:
1. Studi Komparatif bermaksud perbandingan, bersejajaran, bersama-sama dan
bersifat perbandingan.
suatu penyelisihan di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah.
3. Pengadilan Agama adalah pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
4. Mahkamah Syari’ah bermaksud tempat membicarakan dan mengadili
hal-hal yang bersangkutan dengan hukum Islam di kalangan umat Islam, sebuah
lembaga peradilan di Malaysia.
5. Negeri Sarawak adalah negeri yang merdeka dan telah tercantum sebagai
sebuah negeri di antara 14 buah negeri di dalam negara Malaysia pada
tanggal 16 September 1963 yang merupakan dan mempunyai 9 Bagian
(kabupaten). Pusat pemerintahannya adalah di Bagian Kuching dan
diperintah oleh Ketua Menteri.
H. Metode Penelitian
Agar tercipta penulisan skripsi itu secara sistematis jelas dan benar, maka
perlu dijelaskan bahwa jenis penelitian skripsi ini adalah kualitatif dan penelitian
ini masuk ke penelitian lapangan, maka perlu dijelaskan tentang metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif komparatif.
2. Data yang dikumpulkan
Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain adalah:
a. Data tentang proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia.
Sarawak, Malaysia.
3. Sumber Data
Untuk mendapatkan data-data tersebut di atas ada dua sumber data,
yaitu sumber primer dan sumber sekunder :
a. Primer:
1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
2) Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
3) Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun
2001.
4) Wawancara pegawai Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah.
b. Sekunder:
1) Departemen Agama R.I, Al-Qur`an dan Terjemahan.
2) Muhammad Saifullah, Mediasi Dalam Tinjauan Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia.
3) Jabatan Percetakan Negara Kuching, Sarawak, Ordinan
Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001.
4) Ahmad Ibrahim, Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
menelaah secara teliti data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
b. Wawancara dengan beberapa individu yang bersangkutan.
4. Teknik Pengelolan Data
Tahapan dalam pengelolaan data pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Organizing yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,
pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.
b. Editing yaitu kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan data
tersebut serta memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh
dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang
meliputi kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian,
kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan. Teknik ini digunakan
peneliti untuk memeriksa kelengkapan data-data yang sudah diperoleh.
c. Analyzing yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil
editing dan organizing data yang diperoleh dari sumber-sumber
penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga
diperoleh kesimpulan.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Deskriptif, yaitu menggambarkan ketentuan-ketentuan serta latar
belakang tentang proses mediasi di Pengadilan Agama di Indonesia dan
proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah di Kuching, Sarawak,
Malaysia.
b. Komparatif, yaitu membandingkan proses mediasi di Pengadilan Agama
di Indonesia dengan proses perdamaian di Mahkamah Syari’ah Kuching,
Sarawak, Malaysia untuk kemudian dicari persamaan dan perbedaannya.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam setiap pembahasan sesuatu masalah, sistematika pembahasan
merupakan sesuatu aspek yang sangat penting, karena sistematika pembahasan
ini dimaksud untuk mempermudahkan bagi pembaca dalam mengetahui alur
pembahasan yang terkandung di dalam skripsi. Untuk memberikan jaminan
bahwa pembahasan yang termuat dalam penulisan ini benar-benar mengarah
kepada tercapainya tujuan yang ada maka penulis membuat sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah pembahasan mengenai kewenangan Pengadilan
yang meliputi sumber hukum.
Bab ketiga adalah pembahasan mengenai kewenangan Mahkamah
Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia serta proses perdamaian di Mahkamah
Syari’ah Kuching, Sarawak, Malaysia. Selain itu, penulis juga membahas sekilas
tentang latar belakang kemunculan Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam
Sarawak Tahun 2001.
Bab keempat adalah analisis persamaan dan perbedaan proses mediasi
atau perdamaian di Pengadilan Agama Indonesia dan Mahkamah Syari’ah
Kuching, Sarawak, Malaysia.
BAB II
PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA
A. Kewenangan Pengadilan Agama Indonesia
1. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang
yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama
dalam lingkungan Peradilan Agama.1
Di dalam menentukan kompetensi relatif setiap Pengadilan Agama, dasar
hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Hukum Acara
Perdata. Dalam 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa
acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu,
landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama merujuk
kepada ketentuan Pasal 118 HIR atau Pasal 142 R.Bg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik
tolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan diajukan
agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas
bahwa yang berwewenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat. Asas
ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”.2
Tentang kompetensi relatif perkara cerai talak dan cerai gugat dapat
dijelaskan sebagai berikut: Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa kompetensi relatif dalam bentuk cerai talak,
pada prinsipnya ditentukan oleh faktor tempat kediaman termohon. Hal ini
dikecualikan dalam hal termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin pemohon.3
Demikian pula apabila termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka
kompetensi relatif jatuh kepada Pengadilan Agama di daerah hukum tempat
kediaman pemohon. Dalam hal cerai gugat kompetensi relatif ditentukan faktor
tempat kediaman Penggugat. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 73 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Namun hal ini pun dikecualikan bila penggugat sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka kompetensi relatif beralih
pada tempat kediaman tergugat. Selain itu, dalam Pasal 73 ayat (2) ditentukan
bahwa kompetensi relatif berada pada tempat kediaman tergugat, apabila
penggugat bertempat kediaman di luar negeri.
Disamping itu, ditentukan pula pada Pasal 73 ayat (3) dalam hal suami istri
bertempat kediaman di luar negeri, yaitu kompetensi relatif ditentukan di tempat
perkawinan dilangsungkan atau dapat pula diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
2 Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Indonesia: Kencana,
2008),102.
3Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:Citra Aditya
2. Kewenangan Absolut
Kewenangan absolut (absolut competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.4
Perkara-perkara yang termasuk dalam kewenangan absolut Pengadilan
Agama diatur dalam Pasal 49 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama
Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut :
a. perkawinan;
B. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia
Pada praktek proses mediasi di Pengadilan Agama Indonesia, hakim wajib
mendamaikan pada setiap kali sidang. Ini berdasarkan prinsip atau asas yang
dianut peradilan agama, yakni “ asas wajib mendamaikan”, bahkan
sewaktu-waktu hakim hendak memutuskan perkara, hakim akan membuka peluang
terakhir agar para pihak yang bersengketa bersetuju untuk berdamai. Maka
dijelaskan terkait proses mediasi sebagai berikut :
1. Pengertian Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia
Secara etimologi (bahasa) mediasi berasal dari bahasa latin yaitu
“mediare” yang berarti ditengah atau berada ditengah, karena orang yang
melakukan mediasi (mediator) harus menjadi penengah orang yang bertikai.5
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘mediasi’ diberi arti sebagai
proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam menyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasehat.6
Menurut Syahrizal Abbas penjelasan mediasi jika dilihat dari segi
kebahasaan lebih menitik beratkan pada keberadaan pihak ketiga sebagai
fasilitator para pihak bersengketa untuk menyelesaikan suatu perselisihan.
Penjelasan ini sangat penting untuk membedakan dengan bentuk-bentuk
alternative penyelesaian sengketa lainnya.7
Dari segi terminologi (istilah) terdapat banyak pendapat yang
memberikan penekanan berbeda-beda tentang mediasi, salah satu di
antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Takdir Rahmadi yang
mendefinisikan mediasi sebagai langkah yang diambil seseorang untuk
menyelesaikan perselisihan antara dua orang atau lebih dengan jalan
perundingan sehingga menghasilkan sebuah perdamaian.8
5 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:Citra Aditya
Bakti, 2003), 79.
6 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 2000),640.
7 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan hukum Nasional
(Jakarta:Kencana, 2009), 3.
8 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta:PT.
Adapun pengertian yang cukup luas sebagaimana disampaikan oleh
Muhammad Saifullah mengutip pendapat oleh Gary Goodpaster sebagai
berikut:
Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau Arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan dan informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif. Dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.9\
Sedangkan dalam PERMA No.1 Tahun 2016 pasal 1 angka (1)
menjelaskan tentang mediasi, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.10
Justru, intinya memiliki pengertian yang sama tentang mediasi yakni
proses penyelesaian sengketa dengan mendatangkan pihak ketiga atau
disebut dengan mediator yang bertugas sebagai penengah yang netral serta
melakukan proses tawar-menawar untuk menemukan sebuah solusi sehingga
di akhir perundingan para pihak tidak ada yang merasa dirugikan.
9 Muhammad Saifullah, Mediasi dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
(Semarang:Walisongo Press, 2009), 76.
10 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Dari pengertian mediasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
mediasi mengandung unsur-unsur mediasi sebagai berikut:
1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas
kesukarelaan melalui sesuatu perundingan.
2. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa
untuk mencari penyelesaian.
3. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan
selama perundingan berlangsung.
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri
sengketa.11
Prosedur perkara sangat penting untuk diketahui oleh para pihak
berperkara, dengan mengetahui prosedur berperkara para pihak akan tahu apa
yang akan dilakukannya. Karena para pihak umumnya belum terbiasa dengan
aturan hukum yang berlaku pada suatu instansi.
1. Tata cara mengajukan perkara
Prosedur penerimaan perkara tingkat pertama (gugatan dan
permohonan didaftar dan diterima oleh meja I, petugas meja I inilah yang
membantu memeriksa kelengkapan berkas dari para pihak yang
mengajukan perkara. Selanjutnya menaksir panjar biaya perkara,
kemudian membuat slip pembayaran rangkap 4 (empat) antara lain :
lembar 1 warna hijau untuk Bank yang bersangkutan, lembar 2 (dua)
warna putih untuk Penggugat atau Pemohon, lembar 3 (tiga) warna merah
untuk kasir dan lembar 4 (empat) warna kuning untuk dilampirkan dalam
berkas.
Setelah itu para pihak membayar panjar biaya perkara ke Bank
yang telah ditentukan dan selanjutnya bukti setoran diserahkan ke
pemegang kas atau kasir untuk dibubuhkan tanda lunas dan diberi Nomor
pada SKUM. Petugas Meja II menerima berkas perkara dari pemegang
kas atau kasir dan mencatat dalam register Induk Perkara Permohonan
dan Gugatan sesuai dengan nomor perkara yang tercantum di SKUM dan
selanjutnya menyerahkan satu rangkap surat gugat atau permohonan
berikut SKUM rangkap pertama kepada penggugat atau pemohon.
Selanjutnya Meja II menyerahkan satu rangkap surat gugatan atau
permohonan yang telah didaftar berikut SKUM rangkap pertama kepada
Penggugat atau Pemohon. Kemudian berkas perkara yang telah dicatat
dalam register perkara diserahkan Wakil Panitera untuk disampaikan
Ketua Pengadilan melalui Panitera.12
2. Persiapan Persidangan
a. Penetapan Majelis Hakim
b. Penunjukan panitera pengganti
c. Penetapan hari sidang
d. Pemanggilan para pihak.
12Edi As’Adi, Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia (Yogyakarta:
3. Proses Persidangan
a. Pembukaan
b. Pendamaian atau mediasi oleh hakim
c. Pembacaan surat gugatan atau permohonan
d. Jawaban dari pihak tergugat atau termohon
e. Replik
f. Duplik
g. Pembuktian oleh para pihak
h. Kesimpulan pihak-pihak
i. Musyawarah majelis
j. Pembacaan putusan.
1. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Indonesia
Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa dimana pihak luar
yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.
Setiap perkara perdata yang masuk di pengadilan, para pihak yang hadir di
persidangan harus mengikuti mediasi terlebih dahulu, maka hakim wajib
mendamaikan kedua belah pihak (pasal 130 HIR / Pasal 154 RBg). Dalam hal
mengupayakan perdamaian, pengadilan harus berpedoman pada Peraturan
perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk dilakukan
perdamaian dengan bantuan mediator.13
Tentunya dalam proses mediasi memerlukan mediator untuk
mendamaikan para pihak, syarat-syarat yang bisa menjadi mediator adalah:
1. Seseorang yang mengantongi sertifikat mediator atau yang lulus
mengikuti tes mediator.
2. Hakim.
Proses mediasi adalah kewajiban dalam beracara di Pengadilan Agama
dalam kasus perceraian, mediasi sebagai usaha hakim atau pihak pengadilan
agar proses perceraian bisa didamaikan dan tidak berlanjut pada sidang
selanjutnya. Proses mediasi terdapat pada persidangan pertama, urutan pada
sidang pertama antara lain:14
1. Hakim wajib menjelaskan kepada para pihak untuk menempuh mediasi.
2. Menyarankan para pihak untuk memilih mediator yang tersedia dalam
daftar mediator.
3. Membuat penetapan mediator yang dipilih oleh para pihak.
4. Apabila para pihak gagal memilih mediator, majelis menunjuk mediator
dari salah satu hakim yang bersertifikat, Ketua Majelis menunjuk
Anggota Majelis yang memeriksa perkara.
13 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 3 ( Bandung:Alumni, 1996),
165.
14 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:Citra Aditya
5. Setelah penunjukan mediator, majelis menunda persidangan untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh mediasi.
6. Para pihak masuk ke ruang mediasi bersama dengan mediator untuk
melakukan proses mediasi.
7. Mediator memeriksa identitas para pihak dan menanyakan apa masalah
yang menyebabkan terjadinya pertikaian.
8. Jika upaya mediasi berhasil maka kedua belah pihak menandatangani akta
perdamaian yang disaksikan oleh mediator.
9. Jika upaya mediasi gagal maka mediator menentukan sidang selanjutnya.
10. Para pihak menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan laporan mediasi yang berhasil.
11. Mediator wajib memberitahukan secara tertulis kepada hakim bahwa
mediasi gagal.
Apabila dalam mediasi terdapat tergugatnya lebih dari satu, dan yang
hadir hanya sebagian, maka mediasi belum dapat dilaksanakan, dan tergugat
yang tidak hadir dipanggil lagi secara patut. Jika tergugat tetap tidak hadir,
mediasi berjalan hanya antara penggugat dengan tergugat yang hadir. Adapun
para pihak yang menolak untuk mediasi, maka penolakan para pihak untuk
mediasi dicatat dalam berita acara sidang dan putusan. Putusan perdamaian
tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Dalam putusan perdamaian ini mempunyai kekuatan yang sama dengan
dilaksanakan, dapat dimintakan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama
yang bersangkutan.
3. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Kebijakan Mahkamah Agung yang mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan
merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di
pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa.15
Dalam setiap sengketa perdata yang di ajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib diupayakan mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator
ataupun non hakim mediator dan para pihak yang berperkara sesuai dengan
prosedur mediasi di pengadilan yang dilakukan pada hari sidang pertama.
Apabila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka
putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat 3 PERMA No. 1 Tahun
2008).
Hubungan yang dikembangkan dalam mediasi tidak lain adalah upaya
menempatkan komunikasi pada tingkat yang tepat, memperhatikan reaksi
lawan bicara dan menyesuaikan komunikasi dengan lawan bicara dan situasi
yang melingkupinya.16 Dengan adanya hubungan komunikasi dapat dilakukan
secara terbuka. Namun hubungan tidak menjamin komunikasi selalu dapat
dilakukan dengan baik. Mereka yang terlibat konflik biasanya mengalami
15Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
MA RI.
sedikit ketegangan dan mungkin juga tidak mendengarkan dengan baik apa
yang dikatakan mediator.
Setelah proses komunikasi atau perundingan di dalam mediasi ditempuh
dan putusannya mencapai kesepakatan, maka mereka dapat meminta penetapan
dengan suatu akta perdamaian. Namun, jika kesepakatan tidak tercapai maka
mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi gagal dan
selanjutnya sidang dilanjutkan sebagaimana acara sidang biasa.17 Beberapa
kekhususan PERMA No. 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
1. Hak dan Kewajiban Para Pihak Para
Pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan,
advokat atau akademisi hukum.
b. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa.
c. Hakim majelis pemeriksa perkara. (pasal 8 ayat 1)18
Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua
Majelis Hakim dan jika setelah jangka waktu maksimal dua hari kerja para
pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para
pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada
Ketua Majelis Hakim (Pasal 11 Ayat 2 dan 4).
17 Nurmaningsih Amrina, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan
(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 59.
18 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi d i Pengadilan
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Jika
salah satu pihak menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik, maka pihak
lainnya dapat menyatakan mundur dari proses mediasi (Pasal 12). Jika mediasi
menghasilkan kesepakatan maka para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan menandatangani
kesapakatan tersebut bersama-sama dengan mediator (Pasal 17 ayat 1).
Jika dalam proses mediasi tersebut para pihak diwakili oleh kuasa hukum
maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuannya atas
kesepakatan yang dicapai, selanjutnya para pihak wajib menghadap kembali
kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian (Pasal 17 ayat 2 dan 4).
Para pihak dapat mengajukan kepada hakim agar kesepakatan perdamaian
yang telah dirumuskannya dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, hanya
saja jika para pihak tidak menghendaki akta perdamaian ini maka dalam
kesepakatan tersebut harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau
klausula yang menyatakan perkara sudah selesai (Pasal 17 ayat 5 dan 6).19
1. Jangka Waktu Mediasi
Jangka waktu mediasi memiliki batas waktu yang telah ditentukan
diantaranya sebagai berikut:
a. Proses mediasi berlangsung selama 40 hari kerja sejak mediator dipilih
oleh para pihak atau mediator yang ditunjuk oleh ketua majlis hakim dan
atas dasar kesepakatan para pihak.
19 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
b. Apabila masih kurang dalam waktu 40 hari maka waktu mediasi dapat
ditambah selama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari.
c. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan
perkara.
d. Jika diperlukan dan atas kesepakatan para pihak, mediasi dapat
dilaksanakan secara jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
Biaya mediasi merupakan mediasi pemanggilan para pihak untuk
menghadiri proses mediasi harus lebih dahulu dibebankan para pihak
penggugat melalui panjar biaya perkara. Jika para pihak berhasil mencapai
kesepakatan, biaya perkara ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan.
Apabila gagal biaya dibebankan kepada yang kalah.20
4. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di pengadilan merupakan bentuk pembaruan dari peraturan Mahkamah
Agung sebelumnya, yakni peraturan Mahkamah agung Nomor 1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi di pengadilan. Penyempurnaan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dalam peraturan.
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan
PERMA baru dalam rangka memepercepat dan mempermudah penyelesaian
sengketa serta memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan.
20 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Mediasi merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengatasi
penumpukan kasus di pengadilan serta memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam menyelesaikan perkara.21 Sebagaimana mediasi bukan hanya
sekedar formalitas beracara belaka tapi memberikan kesempatan untuk
berdamai, namun hakim harus berperan aktif mengupayakan perdamaian.22
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di pengadilan ini memiliki tempat istimewa karena proses mediasi
menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan,
sehingga hakim dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi, apabila para pihak melanggar atau tidak menghadiri mediasi
terlebih dahulu, maka putusan yang dihasilkan batal demi hukum dan akan
dikenai sanksi berupa kewajiban membayar biaya mediasi, hal ini disebutkan
dalam pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan tingkat pertama, para pihak
harus beriktikad baik dalam proses mediasi, namun mengingat tidak semua para
pihak beriktikad baik dalam proses mediasi, maka dalam pasal 22 ayat 1 dan
ayat 2 PERMA ini mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang tidak
beriktikad baik dalam proses mediasi.
Hakim atau kuasa hukum dari pihak-pihak yang berperkara dituntut
untuk aktif dalam mendorong para pihak untuk berperan aktif dalam proses
21 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah (Jakarta:Kencana,2009), 310.
22 Bagir Manan, Peradilan Agama dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung (Jakarta:Direktori
mediasi, dengan adanya kewajiban menjalankan mediasi, maka hakim dapat
menunda persidangan perkara agar dapat terjalin komunikasi antara para pihak
yang berperkara.
Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan Agama diatur prosedur
beracara mediasi yakni :
1. Tahap Pra Mediasi
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim menunda proses
persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi lama 30
hari kerja. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang
bersengketa. Para pihak memilih mediator dari daftar nama yang telah
tersedia pada hari sidang pertama atau paling lama 2 hari kerja berikutnya.
Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat
memilih mediator yang dikehendaki. Ketua majelis hakim segera menunjuk
hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator.23
2. Tahap Proses Mediasi
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk
mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung
paling lama 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi.
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak
atau para pihak telah 2 kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan
23Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
mediasi sesuai jadwal yang disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara
patut.
3. Mediasi Mencapai Kesepakatan
Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib
dirumuskan sacara tertulis dan ditandatngani oleh para pihak dan mediator.
Jika mediasi di wakili oleh kuasa hukum maka para pihak wajib menyatakan
secara tertulis persetujuan yang dicapai. Para pihak wajib menghadap
kembali kepada hakim pada sidang yang telah ditentukan untuk
memberitahukan. kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian.
4. Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan
Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator wajib
menyatakan secara tertulis proses mediasi telah gagal. Pada tiap tahapan
pemeriksaan perkara hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk
mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika
mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.24
Dari data yang akan dipaparkan pada tabel berikut merupakan salah satu
rekapitulasi yang ada di Pengadilan Agama Indonesia, yang dalam hak ini adalah
yakni Pengadilan Agama Tuban. Data perkara yang masuk di Pengadilan Agama
Tuban menunjukkan tampak bahwa pada setiap bulan perkara perceraian semakin
meningkat. Selain itu, dari data tersebut diperoleh hasil data keberhasilan dan
24 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
kegagalan yang tingkat keberhasilannya semakin menurun setiap bulannya. Hal
ini terbukti, pada bulan Januari, Februari, dan bulan Maret sampai akhir tahun
2016. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa proses mediasi di Pengadilan
Agama bisa dikatakan belum berhasil karena persentase keberhasilannya hanya
berkisar satu hingga dua persen.25
BAB III
PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI’AH KUCHING
SARAWAK MALAYSIA
A. Kewenangan Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia
Di dalam Mahkamah Syari’ah Kuching Sarawak Malaysia merupakan
satu peradilan yang terbagi kepada beberapa kewenangan dalam menangani
perkara sengketa seperti berikut :
1. Bidang Kuasa Mal
Bidang Kuasa Mal Mahkamah Syari’ah atau kewenangan perdata
Mahkamah Syari’ah terbatas pada perkara tertentu seperti yang telah
disebutkan dalam Pasal 10 ayat (2) Ordinan Mahkamah Syari’ah Sarawak
Tahun 1991 sebagai berikut :
Dalam bidang kuasa Malnya, mendengar dan memutuskan perkara antara pihak yang beragama Islam berhubungan dengan :
a. Pertunangan, perkawinan, perceraian, pembubaran perkawinan (fasakh), atau pemisahan kehakiman (faraq);
b. Apa-apa pelupusan atau tuntutan kepada harta yang berbangkit daripada mana-mana perkara yang dinyatakan dalam sub perenggan i; c. Nafkah orang-orang tanggungan, kesahtarafan, atau penjagaan atau
jagaan (hadanah) anak-anak;
d. Pembahagian atau tuntutan kepada harta sepencarian; e. Wasiat atau pemberian semasa marad al-maut si mati Islam;
f. Pemberian semasa hidup (hidup), atau penyelesaian yang dibuat tanpa balasan yang memadai dengan wang atau nilaian wang, oleh seseorang Islam;
g. Wakaf atau nazar;
i. Hal menentukan seseorang yang berhak kepada bahagian harta pusaka seseorang si mati Islam atau bagian-bagian yang orang-orang itu masing-masing berhak atau;
Perkara-perkara lain yang berkenanaan di mana bidang kuasa diberi oleh mana-mana undang-undang bertulis.1
2. Bidang Kuasa Jenayah
Bidang Kuasa Jenayah atau kewenangan pidana Mahkamah Syari’ah
termaktub dalam Bagian II Ordinan Kesalahan Jenayah Syari’ah Sarawak
Tahun 2001 sebagai berikut:
l. Menjual atau memberi anak kepada orang bukan Islam
m. Minum minuman keras
n. Menjual, makan di bulan Ramadhan
o. Menghina, mengingkari Pihak berkuasa Agama
p. Ingkar perintah mahkamah
q. Qadzaf
r. Mempermainkan agama Islam
s. Ajaran atau perbuatan sesat
t. Pemujaan
u. Mengajar agama tanpa kebenaran
v. Mendirikan masjid tanpa izin
w. Perbuatan syirik
x. Memberi keterangan palsu2
B. Latar Belakang Kemunculan Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001
1. Sebelum Kedatangan Raja Brooke
Sarawak dahulu merupakan sebagian dari wilayah kesultanan Brunei.
Pemerintahannya pada ketika itu dijalankan oleh seorang pembesar yang
telah dilantik oleh Sultan Brunei. Pada tahun 1827, Pangeran Md. Salleh
yang bergelar Pangeran Indera Mahkota telah dilantik sebagai Gubenur di
Kuching.3
“Undang-Undang tak tertulis” (unwritten law) di negeri-negeri Borneo
(Sabah & Sarawak) kebanyakannya terdiri dari hukum dan adat bangsa
bumiputera (pribumi) di beberapa daerah termasuk (seperti yang dikatakan
oleh Hakim Besar Sarawak) “Hukum Islam dan Bumiputera yang lain sejauh
2 Badan Perundangan Sarawak, Ordinan Jenayah Syari’ah…, 1.
3 Mohammad Sholahudin Bin Abu Bakar, Efektifitas Mahkamah Syari’ah (Kuala Lumpur:
yang munasabah”; Hakim Besar itu menambah lagi bahwa “ini juga termasuk
Hukum Islam, Dayak dan lain-lain yang berkaitan dengan pernikahan,
pewarisan dan hukum-hukum adat yang berkaitan dengan jenayah (pidana)
seperti zina dan perbuatan yang melanggar tatasusila seperti yang termaktub
dalam hukum adat Melayu dan Dayak.”4
Dalam sejarah pemerintahan kesultanan Brunei sendiri terdapat
‘Undang-Undang Brunei’ yang dikutip dari “Undang-Undang Islam Melaka’.
Kodifikasi terawal undang-undang tersebut bertanggal 1211H. (1708M).
Undang-undang inilah yang diberlakukan di Sarawak dan dikompilasikan
dalam ‘Hukum Adat Melayu’.5
2. Setelah Kedatangan Raja Brooke
Sarawak jatuh ke tangan Inggris apabila James Brooke dijadikan raja
pada tahun 1841 disebabkan perpecahan yang terjadi dikalangan keluarga
pemerintah. Perpecahan ini dikarenakan kehadiran Pengeran Md. Salleh
sebagai Gubenur tidak disenangi oleh para pembesar Melayu di Kuching.
Sentimen kebencian ini mencapai puncaknya setelah terjadi pemberontakan
besar-besaran pada tahun 1836 yang diketuai oleh Pangeran Usop.6
Akibat dari peristiwa tersebut, Sultan Brunei menghantar Pangeran
Muda Hashim untuk mententeramkan keadaan tapi gagal usaha tersebut
menemui kegagalan, sehingga datanglah seorang Inggris bernama James
4 Ahmad Mohamed Ibrahim & Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang (Selangor: Dewan
Bahasa dan Pustaka,1992),23.
5 Wan Arfah Hamzah, A First Look at The Malaysian (Kuala Lunpur: MDC Publishers Sdn Bhd,
2003),159.
6 Zaini Nasohah, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia Sebelum dan Sesudah Merdeka
Brooke. Peristiwa tersebut merupakan titik tolak penjajahan Inggris di
Sarawak. Pangeran Muda Hashim yaitu bapa saudara Sultan Brunei sendiri
telah melantik James Brooke menjadi raja pada tahun 1841. Pelantikan
tersebut adalah sebagai tanda terima kasih kepada James Brooke yang telah
berhasil mengatasi aksi pemberontakan di Kuching. Pelantikan tersebut telah
dipersetujui oleh Sultan Brunei pada tahun 1842.
Sejarah modern Sarawak bermula dengan pemindaan milik dari
kesultanan Brunei kepada James Brooke yang kemudiannya menjadi pengasas
dinasti “Raja Putih” (White Rajah) Sarawak. Pemindahan milik tersebut
(bermula daru 1841 hingga 1846) bukan hanya penyerahan wilayah tapi juga
hak untuk memerintah sebagai pemerintah yang berdaulat.7
Di Sarawak, Undang-Undang keluarga Islam pertama sekali
diperkenalkan ialah Perintah 13 Maret 1893 yaitu tentang perkawinan antara
perempuan Sarawak dengan orang-orang dagang dan tentang larangan
berpoligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Perintah ini kemudiannya
diikuti oleh Perintah 16 Mei 1898 yang mengandung ketentuan-ketentuan
tentang pendaftaran pernikahan dan perceraian. Kedua perintah tersenut
kemudiannya disatukan dalam Ordinan Perkawinan Islam 1946 (Muhammad
Marriage Ordinance 1946). Antara Undang-Undang lain yang pernah
diberlakukan di Sarawak ialah Undang-Undang tentang pusaka dan wasiat. Ini
terkandung dalam Perintah 16 November 1898. Perintah tersebut
7 Rohani Abdul Rahim, Undang-Undang Islam Asia di Tenggara (Kuala Lumpur: Karya Abazie,
kemudiannya diikut oleh Muhammad Wills Ordinance dan kemudiannya oleh
The Muslims Wills Ordinance.8
Disamping itu, satu undang-undang yang lebih mendasar juga telah
diberlakukan di Sarawak. Undang tersebut dikenal sebagai
Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak (Law of The Malay Courts) yang
dibentuk pada tahun 1915. Undang-Undang tersebut kemudiannya mengalami
amandemen pada tahun 1926,1932, dan 1956.
Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak merupakan hukum
adat yang pertama dikodifikasi di Malaysia. Undang-Undang ini mengandung
enam puluh lima (65) pasal yang pada umumnya mengatur
ketentuan-ketentuan mengenai pertunangan, perkawinan, pewarisan dan
kesalahan-kesalahan seksual. Walaupun terdapat beberapa ketentuan yang diambil dari
hukum Islam, namun undang-undang ini bukanlah hukum Islam sepenuhnya.
Undang-Undang ini sebenarnya merupakan kompilasi terhadap hukum adat
Melayu yang bertujuan mengatur masyarakat Melayu yang mayoritas
muslim.9\
3. Setelah Kemerdekaan
Tanah Melayu (sebelum Sabah dan Sarawak bergabung dan
membentuk Negara federasi Malaysia) mendapat kemerdekaan dari penjajahan
Inggris dan Jepang pada tanggal 31 Agustus 1957. Namun di Sarawak masih
diberlakukan Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak sehingga Sarawak
8 Mahmud Zuhdi, Abd. Majid, Pengantar Undang-Undang Islam di Malaysia (Selangor: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1992),74.
9 Wan Arfah Hamzah, A First Look At The Malaysian (Kuala Lumpur: Utusan Publications &
bergabung sebagai salah satu dari Negara Bagian Malaysia pada 16 September
1963.10
Pada Tahun 1977 satu peraturan perundang-undangan yang diketahui
sebagai “Ordinan Majlis Islam” telah dibentuk. Ordinan ini diberlakukan
dengan tujuan untuk menubuhkan suatu lembaga yang kemudian dikenali
sebagai “Majlis Islam Sarawak” yang bertanggungjawab dalam administrasi
hal-hal yang berkaitan dengan ke-Islaman.
Bermula dari akhir 70-an, Negara-Negara Bagian di Malaysia telah
mengkaji ulang Undang-Undang yang berkaitan dengan Hukum Islam. Ini
bertujuan untuk menjadikannya lebih rapi dan efektif. Langkah tersebut telah
menghasilkan pemecahan terhadap aspek-aspek perundangan yang terdapat
dalam undang-undang yang lama untuk dijadikan Undang-Undang tersendiri.
Secara umumnya pemecahan tersebut telah menghasilkan Undang-Undang
sebagai berikut:
a. Enakmen Pentadbiran Mahkamah Syari’ah
b. Enakmen Pentadbiran Keluarga Islam
c. Enakmen Kanun Jenayah Syari’ah
d. Enakmen Atur Cara Mal
e. Enakmen Atur Cara Jenayah
f. Enakmen Pentadbiran Hukum Syarak
Khusus di Sarawak, Langkah pemecahan tersebut telah menghasilkan
enam (6) ordinan yaitu Ordinan Mahkamah Syari’ah Tahun 1991, Ordinan
10 Mohd Suffian Hashim, Mengenal Perlembagaan Malaysia (Kuala Lumpur: Karya Abzaie,