1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena pengangguran mempengaruhi tingkat output atau pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan perilaku antara perubahan tingkat pengangguran dan tingkat output. Arthur Okun sebaga pencetus Hukum Okun berpendapat bahwa adanya penurunan tingkat output akan menyebabkan naiknya tingkat pengangguran:
“Every 2 percent that GDP falls relative to potential GDP, the unemployment rate rises about 1 percentage point” (Samuel dan Nordhaus, 2005).
Koefisien Okun merupakan salah satu komponen penting yang dikaji oleh para ekonom dalam menganalisis hukum Okun untuk beberapa alasan (Sinclair dalam Darman, 2013). Pertama, apabila tingkat pengangguran adalah sebuah variabel kebijakan, maka koefisien Okun dapat diinterpretasikan sebagai besaran target perekonomian untuk mereduksi tingkat pengangguran. Kedua, proyeksi output sering dibuat untuk menyatakan proyeksi tingkat pengangguran. Ketiga, koefisien Okun sangat berguna untuk mengetahui kapan output berada di atas atau di bawah nilai potensialnya.
2
Terdapat berbagai penelitian berkaitan dengan hukum Okun, yang memberikan kesimpulan bahwa hukum Okun terbukti meskipun terdapat variasi koefisien Okun di setiap negara. Penelitian yang dilakukan oleh Darman (2013) dengan studi kasus Indonesia memberikan kesimpulan bahwa hukum Okun tidak sesuai dalam perekonomian Indonesia karena adanya perbedaan dengan koefisien asli dari hukum Okun itu sendiri. Hal tersebut menunjukkan tingkat pengangguran di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan dalam output riil.
Terdapat versi alternatif dari hukum Okun, di mana hubungan antara tingkat pengangguran dan tingkat output muncul dari pengamatan di mana semakin banyak tenaga kerja dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa dalam perekonomian. Dalam hal ini, Okun mengasumsikan bahwa tingkat pengangguran dapat digunakan untuk melihat jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam perekonomian (Knotek, 2007).
Kebutuhan tenaga kerja dapat dilihat dari permintaan dan penawaran yang ada di pasar tenaga kerja, sehingga dengan demikian dapat diketahui tingkat penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian. Di Indonesia, kebijakan ketenagakerjaan diatur oleh pemerintah Provinsi, di mana pemerintah provinsi harus melaksanakan program-program yang mampu menunjang peningkatan penyerapan tenaga kerja sehingga akan menurunkan tingkat pengangguran. Pada tahun 2013, terdapat tiga provinsi dengan tingkat penduduk bekerja tertinggi beserta dengan tingkat pengangguran (Grafik 1.1) yaitu Provinsi Jawa Timur dengan tingkat serapan 17,3 persen, Provinsi Jawa Barat
3
sebesar 16,6 persen dan Jawa Tengah sebesar 14,6 persen dari total penduduk bekerja nasional. Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat pengangguran tertinggi diantara ketiga provinsi lainnya tersebut dengan angka hampir mendekati 10 persen.
Grafik 1. 1 Penduduk Bekerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka di 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Sumber : World Bank tahun 2013, diolah
Ketenagakerjaan merupakan salah satu bidang yang penting dalam usaha memajukan perekonomian. Tenaga kerja yang memadai baik dari kualitas maupun kuantitas menjadi hal pokok dalam pembangunan ekonomi, di mana tenaga kerja sebagai sumber daya untuk menjalankan proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Selain itu, tenaga kerja adalah sasaran untuk menciptakan dan mengembangkan pasar (Akmal, 2010).
Permasalahan pokok dalam urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah pada kesempatan kerja yang tersedia. Ciri dari negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi akan berdampak pada proses penyerapan tenaga kerja. Ketidakseimbangan antara peningkatan penduduk usia kerja dengan
0 2 4 6 8 10 12 0 5 10 15 20 25 N A D M A LU KU B A N TE N JA B A R D KI J A K A R TA KA LT IM SU M B A R SU LU T SU M U T JA TE N G LA M PU N G KE P. R IA U R IA U N TB SU LS EL SU M SE L JA M B I B EN G KU LU PA PU A B A R A T SU LT R A JA TI M SU LT EN G G O R O N TA LO KA LB A R M A LU KU U TA R A KA LS EL KE P. B A B EL N TT DIY PA PU A KA LT EN G SU LB A R B A LI Per se n Ju ta Jiwa Penduduk Bekerja TPT
4
kesempatan kerja, menyebabkan banyak penduduk usia kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, jumlah pengangguran meningkat dan berdampak pada kestabilan perekonomian.
Tingkat penduduk bekerja menggambarkan tingkat serapan tenaga kerja di masing-masing provinsi, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan bahwa beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan penyerap tenaga kerja terbesar. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Kementerian Perindustrian yang mengatakan bahwa 75 persen kawasan industri berada di Pulau Jawa, sedangkan 25 persen lainnya tersebar di luar Pulau Jawa, sehingga sampai dengan saat ini pusat pertumbuhan ekonomi masih akan tetap dipertahankan untuk berada di Pulau Jawa.
Salah satu provinsi yang memiliki kawasan industri terbesar di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini juga menjadi daerah yang sangat diminati para investor untuk menanamkan modalnya. Dengan demikian, berkembangnya kawasan industri dapat meningkatkan serapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat karena didukung oleh permintaan tenaga kerja dari sektor industri. Meskipun demikian, pertumbuhan penduduk bekerja di Jawa Barat masih berada di bawah pertumbuhan ekonominya (Grafik 1. 2), keduanya memiliki hubungan positif di mana pertumbuhan jumlah penduduk bekerja berkurang seiring dengan turunnya pertumbuhan ekonomi. Hal yang sebaliknya justru terjadi di tahun 2012, di mana tingkat penduduk bekerja berhubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
5
Grafik 1. 2 Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penduduk Bekerja di Jawa Barat
Sumber: World Bank tahun 2012, diolah
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2010 meningkat sebesar 1,9 persen namun pada waktu yang sama, meskipun jumlah penduduk bekerja naik tetapi pertumbuhannya turun sebesar 2,31 persen dari tahun sebelumnya. Hal yang berbeda terjadi pada tahun 2012, di mana pada tahun tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk bekerja berada di atas pertumbuhan ekonominya. Tingkat pertumbuhan penduduk bekerja yang tinggi ini menggambarkan bahwa sektor-sektor ekonomi di Jawa Barat mampu menyerap tenaga kerja secara efisien, dikarenakan adanya perubahan struktur ekonomi.
Struktur ekonomi dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan, yang dalam hal ini dapat dilihat setidak-tidaknya berdasarkan empat macam tinjauan, antara lain adalah (1) tinjauan makro-sektoral, (2) tinjauan keruangan, penyelenggaraan kenegaraan dan (3) tinjauan birokrasi pengambilan keputusan.
4.19 6.09 6.21 2.55 0.24 6.95 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Pers en
6
Tinjauan makro-sektoral mengambarkan sebuah perekonomian yang dapat berstruktur agraris, industrial atau niaga tergantung pada sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian yang bersangkutan (Dumairy 1996). Berdasarkan PDRB ADHK menurut lapangan usaha Provinsi Jawa Barat dari tahun 2007-2013 (Tabel 1.1), pangsa terbesar dalam PDRB adalah sektor industri pengolahan dengan 44,75 persen pada tahun 2007 dan 40,75 persen tahun 2013, namun sektor industri pengolahan bukan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Jawa Barat. Berbeda dari sektor industri, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB yang lebih kecil justru menjadi pangsa tenaga kerja tertinggi di Jawa Barat pada tahun 2007 yaitu sebesar 26,86 persen, namun ditahun 2013 posisinya digantikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai sekor yang menyerap tenaga kerja terbanyak, yaitu sebesar 25,62 persen.
Tabel 1. 1 Persentase PDB terhadap Total PDRB dan Persentase Tenaga Kerja Terhadap Total Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat
Sektor PDRB TENAGA KERJA
2007 2013 2007 2013 Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 13,02 11,19 26,86 20,31 Petambangan dan Penggalian 2,44 4,29 0,51 0,75
Industri Pengolahan 44,75 40,75 17,45 21,01
Listrik, Air dan Gas 2,10 2,25 0,28 0,34
Konstruksi 3,26 4,29 5,85 6,86
Perdagangan, Hotel dan Restoran 19,98 23,57 26,01 25,62 Transportasi dan Telekomunikasi 4,48 5,60 9,26 5,55
Lembaga Keuangan 3,15 3,70 1,57 2,88
Jasa 6,83 2,25 12,21 16,68
Sumber: World Bank tahun 2013, diolah
Dalam model Lewis, sebuah negara berkembang memiliki dua sektor: sekor tradisional dan sektor industri modern (Todaro dan Smith, 2012) dan di dalamnya
7
terdapat teori transformasi struktural di mana kontribusi sektor manufaktur terhadap pendapatan nasional melebihi kontribusi dari sektor pertanian, seperti halnya dengan kontribusi sektor industri yang melebihi kontribusi sektor pertanian di Jawa Barat.
Melihat kontribusi sektor industri pengolahan yang besar dalam PDRB, tidak lepas dari banyaknya kawasan industri yang berlokasi di beberapa kabupaten di Jawa Barat, yang antara lain adalah Kabupaten Bekasi, Bogor, Karawang, Sumedang, Purwakarta, Bandung, Cirebon dan Subang. Namun, serapan tenaga kerja di kabupaten dengan kawasan industri dapat dikatakan belum efisien, mengingat Jawa Barat juga merupakan provinsi dengan jumlah pengangguran tertinggi di Indonesia.
Jumlah tenaga kerja yang ditawarkan maupun jumlah yang diminta baik sektoral maupun keseluruhan menciptakan struktur upah dalam pasar tenaga kerja. Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1999, yang mengatur mengenai upah minimum, dan penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2001 memberikan wewenang kepada pemerintah tingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk menetapkan upah minimumnya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh SMERU (2001) bahwa terdapat tanda-tanda awal pengalihan wewenang terkait pengupahan akan meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Terdapat banyak studi mengenai upah minimum dan adanya kenaikan upah minimum justru menjadi topik yang penting serta efek tenaga kerja/pengangguran terhadap upah minimum masih menjadi suatu masalah penting (Brown et al, 1982).
8
Tabel 1. 2 Perkembangan Upah Minimum 8 Kabupaten di Jawa Barat 2011-2013 Kabupaten 2011 2012 2013 Karawang 1.1590.00 1.269.227 2.000.000 Bekasi 1.286.421 1.491.866 2.002.000 Bogor 1.172.000 1.174.200 2.002.000 Purwakarta 961.200 1.047.500 1.693.167 Sumedang 1.110.135 1.240.000 1.381.700 Bandung 1.123.800 1.223.800 1.388.333 Subang 791.200 862.500 1.220.000 Cirebon 906.103 956.650 1.081.300
Sumber: SK Gubernur Jawa Barat Tahun 2006-2014, diolah
Upah minimum selalu naik setiap tahunnya, mengikuti perkembangan harga-harga barang kebutuhan hidup. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2 yang menunjukkan besaran upah minimum yang terus meningkat. Rata-rata kenaikan upah minimum 8 kabupaten di tahun 2012 adalah 8,73 persen sedangkan di tahun 2013 rata-rata kenaikan mencapai 37,91 persen.
Selain upah, salah satu faktor penting dalam penyerapan tenaga kerja adalah
human capital atau kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia
setiap individu berbeda, tergantung pada tingkat pendidikan, kesehatan dan standar hidup layak. Indonesia menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk mengukur kkualitas sumber daya manusia. Menurut Badan Pusat Statistik, IPM mampu menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan aspek yang lain. Berdasarkan data UNDP, Indonesia menempati peringkat 108 dunia, dan tergolong dalam kategori Medium Human Development di tahun 2013. Studi Askenazy (2003) dalam
9
Sulistiawati (2012) menunjukkan bahwa upah minimum memberikan dampak positif terhadap ekonomi melalui akumulasi modal manusia. Sehingga implikasi upah minimum dalam kesejahteraan akan terwujud dalam perekonomian yang kompetitif.
Menurut BPS, salah satu permasalahan di Jawa Barat yang berkaitan dengan pembangunan manusia adalah rata-rata pendidikan masyarakat hanya 6,8 tahun serta angka partisipasi sekolah yang hanya 47 persen di tingkat SMA dan 10 persen di tingkat perguruan tinggi. Artinya sebagian besar masyarakat Jawa Barat lulusan SD dan rendahnya angka partisipasi sekolah menyebabkan kualitas manusianya juga rendah. Hal demikian juga dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia tingkat provinsi sebesar sebesar 73,58 dan masih berada di bawah nasional. Dengan angka tersebut, IPM di tiap kabupaten pun berbeda-beda (Grafik 1.3). Empat di antara delapan kabupaten memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) di bawah angka IPM provinsi.
Tabel 1. 3 Indeks Pembangunan Manusia di 8 Kabupaten di Jawa Barat
Sumber: Pusat Data dan Analisa Pembangunan Jawa Barat Tahun 2013, diolah
71.56 74.8 73.92 72.75 73.58 74.7 72.5 70.5 68 69 70 71 72 73 74 75 76
Karawang Bekasi Bogor Purwakarta Sumedang Bandung Subang Cirebon Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Indeks Pembangunan Manusia Provinsi
10 1.2. Rumusan Masalah
Seperti beberapa hal yang telah disampaikan dalam latar belakang bahwa terjadi pergeseran pangsa tenaga kerja dan pertumbuhan serapan tenaga kerja di delapan kabupaten kawasan industri cenderung menurun, kebijakan upah minimum yang ditentukan pemerintah provinsi yang terus berubah setiap tahunnya, dan rendahnya kualitas manusia di Jawa Barat. Permasalahannya adalah Jawa Barat merupakan sebagai salah provinsi yang yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, namun di sisi lain juga merupakan provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Hal ini seharusnya kecil kemungkinannya untuk terjadi karena terdapat banyak kawasan industri di Jawa Barat yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lebih besar. Dari permasalahan tersebut, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan PDRB, upah minimum dan pendidikan dengan penyerapan tenaga kerja di 8 kabupaten penilitian pada tahun 2007-2013? 2. Berapa besar perubahan penyerapan tenaga kerja sektoral pada 8 kabupaten
penelitian dalam rentang waktu 2007-2013?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Menganalisis korelasi pertumbuhan ekonomi, upah minimum kabupaten dan indeks pembangunan manusia dengan penyerapan tenaga kerja di delapan kabupaten di Jawa Barat yang memiliki kawasan industri.
11
2. Menganalisis perubahan jumlah penyerapan tenaga kerja sektoral delapan kabupaten di Jawa Barat yang terdapat kawasan industri.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari dilakukannya penelitian antara lain adalah:
1. Sebagai sarana untuk berpendapat secara ilmiah untuk instrumen-instrumen kebijakan yang berkaitan dengan tenaga kerja dan analisis sektoral.
2. Memperkaya studi empiris dalam tenaga kerja, analisis sektoral dan regional.
1.5. Pembatasan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada Provinsi Jawa Barat karena Provinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan karakteristik yang unik di mana meskipun serapan tenaga kerja tertinggi ke-dua di Indonesia, Jawa Barat juga memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Delapan kabupaten dipilih merupakan area yang menunjukkan kawasan industri di Jawa Barat (Lampiran tabel 1) yang menjadi fokus dari penelitian ini. Variabel yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja sektoral di delapan kabupaten tersebut dan jumlah total Jawa Barat, produk domestik regional bruto (PDRB), upah minimum kabupaten dan indeks pembangunan manusia (IPM).
1.6.Data Penelitian
1. Tenaga kerja sektoral delapan kabupaten (Karawang, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Bandung, Cirebon, Subang) tahun 2007-2013
12
3. PDRB atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha dari delapan kabupaten (Karawang, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Bandung, Cirebon, Subang) tahun 2007-2013.
4. Upah minimum delapan kabupaten (Karawang, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Bandung, Cirebon, Subang) tahun 2007-2013
5. Indeks pembangunan manusia delapan kabupaten (Karawang, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Bandung, Cirebon, Subang) tahun 2007-2013.
1.7. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini disusun sebagai berikut:
Bab I membahas mengenai pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pembatasan penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II membahas uraian terkait landasan teori yang terdiri atas tinjauan pustaka dan tinjauan literatur.
Bab III membahas uraian metodologi penelitian, model, hipotesis dan alat analisis.
Bab IV membahas mengenai hasil dan pembahasan penelitian yang terdiri dari statistik deskriptif, tahapan analisis, hasil dan temuan serta pembahasan penilitian.
Bab V membahas mengenai kesimpulan penelitian serta saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.