• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBAIKAN MUTU KULIT KOPI MELALUI FERMENTASI UNTUK BAHAN PAKAN IKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBAIKAN MUTU KULIT KOPI MELALUI FERMENTASI UNTUK BAHAN PAKAN IKAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERBAIKAN MUTU KULIT KOPI MELALUI FERMENTASI UNTUK

BAHAN PAKAN IKAN

Neltje Nobertine Palinggi, Kamaruddin, dan Asda Laining Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: neltje_npt@yahoo.co.id

ABSTRAK

Limbah kulit kopi dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif karena masih memiliki kandungan protein sekitar 6,48% dan ketersediaannya melimpah serta belum termanfaatkan dengan baik di daerah-daerah yang ada di Indonesia. Pemanfaatan kulit kopi sebagai bahan baku pakan ikan perlu pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan kualitasnya. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah pengolahan secara biologis yaitu memanfaatkan mikroorganisme jenis Aspergillus niger, Trichoderma viride, dan Rhizopus oryzae. Kulit kopi yang digunakan berasal dari Kelurahan Malakaji, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa. Kulit kopi ini dikeringkan kemudian dihaluskan dan selanjutnya disterilkan. Tepung kulit kopi steril difermentasi dengan 3 jenis mikroorganisme tersebut di atas dan sebagai kontrol tanpa fermentasi. Dari hasil fermentasi ini diperoleh peningkatan kadar protein kasar, lemak kasar dan kadar abu kulit kopi masing-masing sebesar 28,7%-37,7%; 38,1%-80,3%; dan 3,2%-21,1% sedang kandungan serat kasar menurun 2,6%-8,7%.

KATA KUNCI: kulit kopi, fermentasi, Aspergillus niger, Trichoderma viride, Rhizopus oryzae

PENDAHULUAN

Kulit kopi termasuk limbah pertanian yang sampai saat ini belum termanfaatkan. Indonesia tercatat merupakan negara terbesar kedua dalam luas areal perkebunan kopi namun masih di urutan keempat dalam hal produksi dan ekspor kopi dunia. Sampai dengan tahun 2008 luas perkebunan kopi Indonesia diperkirakan mencapai 1.303 ribu ha. Produksi perkebunan kopi selama lima tahun terakhir tumbuh sekitar 6%, pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 683 ribu ton (Anthoni, 2009). Berdasarkan hasil produksi kopi tahunan Indonesia dapat diestimasikan bahwa dari 683 ribu ton yang dihasilkan per tahun juga dihasilkan limbah kulit kopi sebesar 310 ribu ton. Jumlah ini merupakan suatu potensi yang layak dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan.

Pemanfaatan kulit kopi sebagai salah satu alternatif bahan pakan dikarenakan melimpahnya ketersediaan jumlah bahan ini di daerah-daerah yang ada di Indonesia dan belum termanfaatkan dengan baik. Bahan ini juga belum dimanfaatkan untuk kegiatan manusia sehingga dapat menjamin ketersediaannya dan harganya yang relatif murah dibandingkan dengan bahan baku pakan lain. Hal yang sangat bermanfaat dalam penggunaan limbah kulit kopi ini adalah kandungan nutrisi yang cukup tinggi yang dapat digunakan sebagai sumber protein untuk mengurangi penggunaan tepung ikan sebagai pakan. Dalam pengolahan kopi dihasilkan 45% kulit kopi, 5% kulit ari dan 40% biji kopi (untuk manusia). Kulit kopi mempunyai kandungan berat kering sebesar 91,77%, Protein kasar sebesar 11,18%, serat kasar (21,74%), Lemak kasar 2,8%, dan kandungan BETN sebesar 50,8% (Anonim, 2005). Pemanfaatan kulit kopi sebagai bahan baku pakan belum dilakukan secara optimal saat ini. Hal ini dikarenakan adanya kandungan serat kasar terutama lignin yang relatif tinggi dalam kulit kopi dan adanya kandungan antinutrisi berupa senyawa kafein dan tannin. Hal-hal tersebut di atas yang mengakibatkan belum digunakannya bahan ini sebagai salah satu alternatif bahan baku pakan. Solusi pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan pengolahan limbah tersebut. Salah satu alternatif pengolahan limbah yang aman, relatif murah dan sering digunakan oleh masyarakat adalah pengolahan secara biologis, yakni pengolahan dengan memanfaatkan mikroorganisme yang akan melakukan proses biologis (bioprocess) dalam mengolah senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan dalam bahan baku pakan dan mendapatkan senyawa yang diinginkan dalam

(2)

proses pembuatan bahan pakan. Mikroorganisme yang dimanfaatkan adalah mikroorganisme yang dapat berperan dalam memfermentasi senyawa-senyawa yang tidak diinginkan serta tidak menimbulkan efek toksik bagi organisme budidaya. Beberapa jenis mikroorganisme yang berpotensi untuk proses fermentasi kulit bii kopi diantaranya adalah Aspergillus niger, Trichoderma viride., dan Rhizopus oryzae. Pemanfaatan kulit biji kopi dengan bioprosessing menggunakan bantuan mikroorganisme diharapkan mampu menghasilkan senyawa-senyawa nutrien yang dibutuhkan oleh ikan.

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan kulit biji kopi sebagai bahan baku pakan ikan dengan bantuan mikroorganisme. Sasaran penelitian adalah perbaikan mutu dan pemanfaatan limbah pertanian untuk menurunkan biaya pakan dalam kegiatan budidaya ikan yang berkelanjutan. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Bahan uji yaitu kulit biji kopi diperoleh dari lokasi penggilingan buah kopi di Kelurahan Malakaji, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa.

Penyediaan Bahan Baku

Kulit kopi dijemur hingga kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan hammer mill (mesin penepung). Sebagian dari kulit kopi ini diambil sampelnya yang representatif untuk selanjutnya dianalisis proksimat sebagai data awal bahan yang tidak difermentasi. Sebagian lainnya difermentasi menggunakan 3 jenis mikroba sebagai perlakuan yaitu (A) Aspergillus niger, (B) Rhizopus orizae, (C) Trichoderma viride, Mikroba tersebut diperoleh dari hasil isolasi di Laboratorium Mikrobiologi PAU, Institut Pertanian Bogor.

Perbanyakan Mikroba Fermentasi (Kapang)

Hasil isolasi mikroba tersebut selanjutnya diperbanyak dengan metode sebagai berikut:  Kapang diinokulasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar) yang ditambah yeast extract 0,3% dengan

metode agar miring. Kemudian dilanjutkan dengan membiakkannya pada cawan petri (diameter 9 cm) dengan media yang sama. Hasil biakan ini siap digunakan pada fermentasi beras.

 Beras dicuci, lalu ditambahkan air sebanyak 400 cc air per 1 kg beras. Beras yang sudah ditambahkan air, dimasak (diaron), kemudian dikukus selama 30 menit, lalu didinginkan. Setelah dingin dicampur dengan biakan mikroba (kapang) sebanyak 3 petri per 1 kg beras. Setelah tercampur rata diinkubasi (didiamkan) selama 5 hari, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC (selama 5 hari), lalu

ditepungkan menjadi stok, dan siap digunakan dalam fermentasi bahan pakan. Fermentasi Bahan Pakan

Fermentasi kulit kopi dilakukan berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Palinggi (2009) dengan tahapan proses seperti pada Gambar 1. Bahan yang akan difermentasi terlebih dahulu disterilkan dalam autoclave pada suhu 121oC tekanan 1 ATM selama 15 menit, kemudian didinginkan.

Setelah dingin kulit kopi dimasukkan ke dalam baskom plastik. Lalu ditambahkan air steril dengan perbandingan 1 kg kulit kopi : 1 L air. Selanjutnya diaduk rata kemudian ditambahkan 10g mikroba, lalu diaduk rata lagi. Sesudah itu dimasukkan ke dalam nampan plastik dengan ketebalan ± 3 cm lalu ditutup dengan plastik yang sudah dilubang-lubangi kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 4-5 hari. Percobaan ini didisain dengan rancangan acak kelompok, masing-masing 4 kelompok berdasarkan waktu.

Setelah selesai fermentasi, produk yang dihasilkan dikeringkan dan ditepungkan, lalu dianalisis proksimat untuk melihat kelayakannya sebagai bahan pakan ikan. Analisis proksimat dilakukan berdasarkan metode AOAC International (1999): protein kasar dianalisis dengan micro-Kjeldahl, lemak dideterminasi secara gravimetric dengan extraksi chloroform, serat kasar dengan ekstraksi ether, abu dengan pembakaran dalam muffle furnace pada suhu 550ºC selama 24 jam. Peubah komposisi proksimat hasil fermentasi tersebut dianalisis ragam menggunakan rancangan acak kelompok (Steel & Torrie, 1995).

(3)

HASIL DAN BAHASAN

Dari hasil analisis proksimat kulit biji kopi diperoleh kandungan protein kasar kulit biji kopi yang difermentasi meningkat bila dibandingkan dengan tanpa fermentasi. Fermentasi kulit biji kopi menggunakan A. niger, R. oryzae dan T. viride memberikan nilai kandungan protein kasar tidak berbeda nyata (P>0,05) di antara ketiganya tetapi memberikan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan tanpa fermentasi (Tabel 1). Peningkatan kandungan protein juga terjadi pada bungkil kopra yang difermentasi dengan A. niger, S. cereviceae, Rhizopus sp., dan B. Subtilis (Palinggi et.al., 2013). Akmal & Mairizal (2003) melaporkan bahwa proses fermentasi pada bungkil kelapa menggunakan A. niger dapat meningkatkan kandungan protein kasar. Peningkatan kandungan protein terjadi karena biokonversi gula menjadi protein miselium atau protein sel tunggal (Iyayi, 2004) dan adanya kenaikan jumlah massa sel mikroba dan kehilangan bahan kering selama fermentasi berlangsung (Wang et al., 1979). Kandungan lemak kasar kulit biji kopi yang difermentasi mengalami peningkatan dibandingkan dengan tanpa fermentasi. Peningkatan kandungan lemak tertinggi diperoleh pada fermentasi menggunakan T. viride dan A. niger, berbeda nyata (P<0,05) dengan kandungan lemak kasar kulit biji kopi tanpa fermentasi. Peningkatan kandungan lemak ini juga terjadi pada bungkil kopra yang

Gambar 1. Skema fermentasi bahan pakan Kulit biji kopi

Disterilkan dalam autoclave

Didinginkan

Ditambahkan mikroorganisme

Difermentasi (4 hari)

Dikeringkan dalam oven (50oc)

Analisa proksimat

Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit biji kopi

A.    niger R. oryzae T. viride

Protein kasar 6,48b ± 0,35 8,34a ± 1,25 8,92a ± 1,64 8,67a ± 1,59 Lemak kasar 1,47b ± 1,37 2,63a ± 1,03 2,03ab ± 1,38 2,65a ± 1,50 Serat kasar 50,26a ± 2,74 48,94a ± 1,26 50,38a ± 1,39 45,87a ± 6,03 Abu 11,25b ± 2,70 11,65b ± 3,03 13,62a ± 2,07 11,61b ± 2,30 BETN 30,55ab ± 2,73 28,45ab ± 5,22 25,05b ± 3,48 31,20a ± 10,68 Analisis

proksimat Tanpa fermentasi

Fermentasi

(4)

difermentasi dengan A. niger, S. cereviceae dan B. subtilis (Palinggi et al., 2013). Hal yang sama terjadi pula pada dedak halus yang difermentasi dengan A.niger dan R. oryzae (Rahma, 1996; Palinggi, 2009). Peningkatan ini disebabkan adanya kandungan lemak kasar yang dihasilkan oleh massa sel mikroba yang tumbuh dan berkembang biak pada media selama fermentasi (Ganjar, 1983). Gutierrez et al. (2005) melaporkan bahwa selama proses dekomposisi, komponen lemak mengalami degradasi tetapi ditemukan kembali senyawa lemak baru.

Kandungan serat kasar kulit kopi fermentasi relatif mengalami penurunan dibanding dengan tanpa fermentasi, walaupun dari hasil uji statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Penurunan kandungan serat kasar dapat terjadi karena proses dekomposisi komponen serat oleh kapang. Serat kasar sebagian besar berasal dari sel dinding tanaman dan mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Satiawiharja (1984) menurunnya serat kasar dalam bahan fermentasi dapat disebabkan oleh tercernanya bagian dari serat kasar oleh mikroba. Hal ini didukung oleh pendapat Winarno & Fardiaz (1979) yang menyatakan proses fermentasi menyebabkan terjadinya pemecahan oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan-bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Judoamidjojo et al. (1992) mengemukakan senyawa karbohidrat komplek seperti pati, selulosa, pektin, lignoselulosa, dan serat umumnya dapat digunakan sebagai sumber C dan sumber energi medium fermentasi, secara biologis senyawa karbohidrat komplek dapat diubah menjadi glukosa, maltosa, etanol, dektrin dan asam-asam organik yang bernilai ekonomis tinggi.

Kandungan abu dalam kulit biji kopi yang difermentasi cenderung meningkat. Peningkatan tertinggi diperoleh pada fermentasi dengan R. orizae berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya. Hal yang sama terjadi pula pada bungkil kopra yang difermentasi dengan A. niger, S. cereviceae dan Rhizopus sp. (Palinggi et al., 2013). Perubahan kandungan abu substrat selama proses fermentasi disebabkan oleh perubahan bahan organik yang terjadi selama proses biokonversi (Haddadin et al., 2009). Fardiaz (1988) menyatakan bahwa peningkatan kadar abu selama fermentasi disebabkan oleh bertambahnya masa sel tubuh kapang dan terjadinya peningkatan konsentrasi didalam produk karena perubahan-perubahan bahan organik akibat proses biokonversi yang menghasilkan H2O dan CO2.

Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) ditentukan melalui pengurangan bahan kering dengan seluruh komponen nutrien substrat. Nilai BETN sangat bergantung pada kandungan nutrien lain. Kandungan BETN tertinggi diperoleh pada kulit biji kopi yang difermentasi dengan T. viride dan berbeda nyata (P<0,05) dengan kulit biji kopi yang difermentasi dengan R. orizae tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kulit biji kopi tanpa fermentasi dan yang difermentasi dengan A. Niger. Perubahan kandungan BETN dapat terjadi karena perombakan karbohidrat struktural, terutama hemiselulosa menjadi bahan mudah larut. Hemiselulosa dirombak menjadi monomer gula dan asam asetat (Sanchez 2009). KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini diperoleh kulit biji kopi yang difermentasi dengan A. niger, R. orizae dan T. viride dapat meningkatkan kandungan protein kasar, lemak kasar dan kadar abu kulit biji kopi serta cenderung menurunkan serat kasar dan BETN

DAFTAR ACUAN

Akmal dan Mairizal. 2003. Pengaruh penggunaan bungkil kelapa hasil fermentasi dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition October 2003. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 342-346

Anonim, 2005. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan Asal Limbah Pertanian. Laporan tahunan. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati. 5 hal.

Anthoni, N.2009. Komoditas Kopi. http://202.158.10.70/indonesia/eriview-pdf/JHCN54009710. pdf [23 Maret 2010]

AOAC International. 1999. Official Methods of Analysis, 16th edn. Association of Official Analytical Chemists International, Gaithersberg, Maryland, USA. 1141 pp.

Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 186 hal.

(5)

Ganjar, I. 1983. Pemanfaatan ampas tape ketan. Departemen Kesehatan. Jakarta. Dalam Halid, I. 1991. Perubahan nilai nutrisi onggok yang diperkaya nitrogen bukan protein selama proses fermentasi dengan biakan kapang. Tesis Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal. Gutierrez A., Rio JC del, M.J. Martinez-Inigo, M.J. Martinez and A.T. Martinez. 2005. Production of new

unsaturated lipids during wood decay by ligninolytic basidiomycetes. Appl. Environ. Microbiol. 68:1344-1350.

Haddadin M.S.Y., J. Haddadin, O.I. Arabiyat and B. Hattar. 2009. Biological conversion of olive pomace into compost by using Trichoderma harzianum and Phanerochaete chrysosporium. Bioresour. Technol. 100:4773–4782

Iyayi, E.A. 2004. Changes in the cellulose, sugar and crude protein contents of agro-industrial by-products fermented with Aspergillus niger, Aspergillus flavus and Penicillium sp. Afr. J. Biotechnol. 3:186-188. Judoamidjojo, R.M., E.G. Sa‘id dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.,

IPB. Dirjen Dikti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 88 hal.

Palinggi, N.N. 2009. Penambahan Aspergillus niger dalam dedak halus sebagai bahan pakan pada pembesaran ikan kerapu bebek. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Sekolah Tinggi Perikanan.7 hal.

Palinggi, N. N., Usman, Kamaruddin dan Laining, A. 2013. Perbaikan mutu bungkil kopra melalui bioprosessing (fermentasi) untuk bahan pakan ikan bandeng. Hasil penelitian yang disajikan pada Forum Inovasi Teknologi, 3-4 September 2013. Solo, Jawa Tengah. 13 hal.

Rahma, S.N. 1996. Evaluasi kandungan zat makanan dedak halus yang difermentasi dengan Aspergillus niger, Aspergillus oryzae dan Rhizopus oryzae. Sripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 51 hal.

Sanchez C. 2009. Lignocellulosic residues: biodegration and bioconversion by fungi. Biotechnol. Advan. 27:185-194.

Satiawiharja, B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 109 hal..

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Alih bahasa: Bambang Sumantri. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. 748 hal.

Wang, D.I.C., C.L. Coney, A.L. Damain, P. Dunnil, A.F. Humherey and M.D. Lily. 1979. Fermentation and enzymes Technology. John Wiley and Sons. New York. 86 pp.

(6)
(7)

PENERAPAN TEKNOLOGI PAKAN DAN RATIO INDUK PADA PRODUKSI

TELUR IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DI SUMATERA BARAT

Muhammad Sulhi

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1, Bogor 16154

E-mail: sulhi29@yahoo.com

ABSTRAK

Kegiatan penerapan teknologi pakan pada produksi telur ikan gurame telah dilakukan di kolam pembudidaya daerah Lubuk Buaya Padang dengan tujuan untuk menerapkan teknologi intensif pada tahapan pemijahan ikan gurame melalui perbaikan manajemen pakan berkualitas dan teknik pemijahan. Wadah yang digunakan berupa kolam tanah ukuran 2x3x1 m dengan kedalaman air 70-80 cm. Ikan uji yang digunakan adalah induk ikan gurame strain bastar dengan ukuran 2-2,5 kg/ekor. Perlakuan yang diberikan pada kegiatan ini yaitu A Pemeliharaan induk menggunakan pakan dengan kandungan protein 24-26% dan ratio jantan betina 1:1 merupakan perlakuan yang umumnya dilakukan pembudidaya Lubuk Buaya dalam memproduksi telur ikan gurame ,sedang perlakuan B menggunakan pakan dengan kandungan protein 30-32% dan ratio jantan betina 1:3.merupakan teknik produksi telur hasil kegiatan riset BPPBAT. Parameter yang diamati terdiri dari interval pemijahan dan produksi telur/induk. Hasil pengamatan selama 6 bulan diperoleh data bahwa intensitas pemijahan dan produksi telur terbaik diperoleh pada perlakuan B dengan intensitas pemijahan 3 kali dan produksi telur antara antara 27.187 butir sampai 27.929 butir jauh lebih tinggi dari perlakuan pembudidaya yang hanya menghasilkan telur antara 4.478 butir sampai 5.437 butir.

KATA KUNCI: gurame, induk, kandungan protein, ratio jantan betina

PENDAHULUAN

Ikan gurame (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu dari 15 jenis komoditi perikanan yang ditujukan untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani serta untuk pemenuhan sasaran peningkatan gizi masyarakat. Ikan gurame mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena selain banyak disukai juga mempunyai harga yang relatif lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Ikan gurame telah dikenal cukup jauh dari daerah asalnya yaitu Indonesia dikarenakan oleh nilainya yang tinggi sebagai sumber makanan ( Shedd,1983) . Perkembangan budidaya ikan saat ini telah mencapai tahapan intensif, namun pada prakteknya banyak sekali masalah yang harus dihadapi, salah satu diantaranya adalah masalah pakan. Jenis ikan ini mudah dipelihara dalam wadah budidaya terkontrol dan cepat menyesuaikan diri terhadap pemberian pakan buatan (Handayani, 1997).

Ikan gurame bersifat omnivora, menyukai air yang tergenang, dan tergolong kedalam golongan ikan ikan dataran rendah dan tingkat kematian ikan ini sepanjang diusahakan secara intensif, relatif cukup rendah. Jenis ikan ini mudah dipelihara dalam wadah budidaya terkontrol dan cepat menyesuaikan diri terhadap pemberian pakan buatan.

Makanan (pakan) berfungsi sebagai sumber energi dan materi bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Menurut Elliot (1979) Pakan mempengaruhi laju pertumbuhan, produksi, kesehatan, kelangsungan hidup (sintasan), dan reproduksi ikan. Lannan et al. (1983) mengatakan bahwa dalam upaya untuk meningkatkan produksi ada 3 aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu pemupukan, padat penebaran dan pakan tambahan.

Produksi benih ikan gurame di tingkat pembudidaya umumnya masih rendah dan jauh dari memenuhi tingginya permintaan benih untuk mencukupi kebutuhan pembudidaya pada tahapan pembesaran. Rendahnya produksi benih ini umumnya diakibatkan oleh di samping teknik produksi yang belum dilakukan secara tepat, juga aplikasi pakan buatan pada pemeliharaan induk untuk memproduksi telur umumnya belum dilakukan.

(8)

Teknik pemijahan induk gurame yang umum dilakukan pembudidaya masih belum menerapkan teknologi yang mengarah kepada peningkatan produksi benih, pembudidaya beranggapan bahwa dalam melakukan pemijahan induk ikan gurame, pemberian pakan buatan pada pemeliharaan induk merupakan hal yang “tabu”. Pembudidaya pada tahapan ini hanya memberikan hijauan sebagai pakan tambahan. Pembudidaya beranggapan bahwa jika diberikan pakan buatan akan berdampak pada membusuknya telur dalam sarang yang berakibat tingkat derajat tetas relatif rendah.

Hasil penelitian sebelumnya tentang teknik produksi telur ikan gurame yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kebutuhan protein pakan untuk ikan gurame ukuran > 15 cm adalah 28% (SNI, 2009). Sunarno et al. (2012) menambahkan bahwa kandungan protein pakan untuk gurame ukuran induk berkisar antara 32-35%. Ratio induk jantan dan betina pada produksi telur ikan gurame untuk memperoleh hasil yang optimal dan menguntungkan adalah 1 jantan dan 3 betina dengan ukuran induk > 2 kg ( Sulhi et al.,2012)

Melihat kondisi yang terjadi di tingkat pembudidaya, perlu dilakukan penerapan dari teknologi yang telah dihasilkan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar terutama teknologi pemeliharaan pada tahapan pemijahan ikan gurame. Tujuan dari kegiatan ini adalah Penerapan teknologi intensif pada tahapan pemijahan ikan gurame melalui perbaikan teknik pemijahan dan manajemen pakan berkualitas dengan sasaran terjadinya Peningkatan produksi benih gurame secara efektif ,efisien dan menguntungkan ditingkat pembudidaya melalui

BAHAN DAN METODE

Ikan uji yang digunakan adalah induk ikan gurame strain bastar. Lokasi penelitian di pembudidaya daerah Lubuk Buaya Kota Padang. Sumatera Barat. Ukuran induk yang digunakan berkisar 2- 2,5 kg/ ekor. Luasan kolam pemijahan yang digunakan adalah 2x3x1 m dengan ketinggian air sekitar 70-80 cm sebanyak 6 buah. Sisi pematang kolam bagian dalam dibiarkan berumput sebagai tempat menempelkan sarang. Dalam kolam pemijahan ditempatkan meja untuk meletakkan bahan sarang berupa ijuk yang diberikan sebanyak 1 ikat/induk betina. Sebelum ovulasi, umumnya induk jantan dan betina akan membuat sarang dari ijuk yang tersedia untuk ditempelkan di rumput pada dinding pematang. Setelah sarang telah berisi telur dan diangkat untuk ditetaskan, ijuk ditambahkan kembali ke meja sarang yang ada di kolam. Lama pemeliharan 6 bulan. Perlakuan difokuskan pada teknik pemijahan yang dilakukan dalam memproduksi benih gurame sebagai berikut :

Perlakuan A merupakan perlakuan yang umumnya dilakukan pembudidaya Lubuk Buaya yaitu dengan ratio induk jantan dan betina 1:1, kandungan protein pakan buatan yang diberikan berkisar 24-26% dengan jumlah pemberian 1%/hari dan hijauan (sente) diberikan sebanyak 5%/minggu. Perlakuan B merupakan perlakuan yang berdasarkan hasil penelitian terdahulu yaitu dengan ratio induk jantan dan betina 1:3 , kandungan protein pakan buatan yang diberikan berkisar 30-32% dengan jumlah pemberian 1%/hari dan hijauan (sente) diberikan sebanyak 2%/hari. Parameter yang diamati meliputi interval pemijahan yaitu jarak waktu antar pemijahan tiap induk dan jumlah produksi telur

A B

1 Ratio jantan dan betina 1:01 1:03

2 Kandungan protein Pakan Buatan komersial

24-26% 30-32%

3 Jumlah pemberian dan frekuensi 1%/hari 1%/hari

4 Hijauan (daun sente) 5%/minggu 2%/hari

5 Ulangan 3 kali 3 kali

6 Parameter amatan 7 Analisa data

No Uraian Perlakuan

Meliputi interval pemijahan dan jumlah produksi telur

(9)

HASIL DAN BAHASAN

Dari hasil pengamatan selama 6 bulan terhadap proses pemijahan tiap perlakuan diperoleh informasi sebagai berikut :

Interval Pemijahan Tiap Perlakuan Selama 6 Bulan Pemeliharaan

Interval pemijahan selama pengamatan terhadap perlakuan tercantum pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa interval pemijahan pada perlakuan A berlangsung hanya 2 kali selama 6 bulan pemeliharaan sedang perlakuan B berlangsung rata-rata 3 kali pemijahan. Dari interval pemijahan ini, jumlah sarang selama 6 bulan pemeliharaan pada perlakuan A hanya 6 buah sedang pada perlakuan B sebanyak 27 buah. Perbedaan Interval pemijahan dari tiap perlakuan menunjukkan bahwa kualitas pakan terutama kandungan protein pakan buatan sangat berpengaruh terhadap intensitas pemijahan induk gurame. Menurut Halver (2002) & Elliot (1979) mengatakan bahwa pakan induk mempunyai peranan penting bagi pematangan gonad dalam menghasilkan telur dan perkembangan larva dengan kualitas baik. Perbedaan kandungan protein pakan dimana pakan B mengandung protein 30-32% lebih tinggi dibanding kandungan protein pakan A (24%-26%) membuktikan bahwa kandungan protein dalam pakan sangat berpengaruh terhadap interval pemijahan. Kebutuhan kandungan protein pakan ikan gurame untuk ukuran > 15 cm adalah 28% (SNI 7473, 2009). Menurut Sunarno et al. (2012) kandungan protein pakan untuk gurame ukuran induk berkisar antara 32-35%. Kandungan protein pakan pada perlakuan A (22-24%) terbukti kurang memenuhi kebutuhan induk untuk memproduksi telur jika dibandingkan dengan perlakuan B (30-32%). Sunarno et al. (2012) mengatakan bahwa protein merupakan unsur utama yang mutlak ada dalam pakan, fungsi protein salah satunya adalah sebagai bahan enzim yang membantu proses fisiologis dalam tubuh ikan.

Gunadi et al. ( 2010) mengatakan bahwa interval pemijahan dipengaruhi oleh kadar protein yang diterima oleh induk ikan. Induk gurame yang diberi pakan dengan kandungan protein 33% dan 38% mempunyai produksi sarang lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang diberi pakan dengan kandungan protein 14%. Disamping kandungan protein pakan buatan, pemberian daun sente pada perlakuan B yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan A ikut memberikan dampak positip terhadap

Tabel 1. Interval pemijahan tiap perlakuan selama 6 bulan pemeliharaan

Interval Jumlah sarang Interval Jumlah sarang

1 2 kali 2 buah 3 kali 9 buah

2 2 kali 2 buah 3 kali 9 buah

3 2 kali 2 buah 3 kali 9 buah

Ulangan

Perlakuan

A B

(10)

interval pemijahan. Rimpang tanaman sente banyak mengandung pati dan daunnya berpengaruh terhadap peningkatan fertilitas. (www.proseanet.org)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan B memberikan hasil terbaik terhadap interval pemijahan induk gurame dan dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya yang cukup nyata.

Jumlah Produksi Telur Tiap Perlakuan Selama 6 Bulan Pemeliharaan Produksi telur tiap perlakuan selama pengamatan tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi telur dari perlakuan B jauh lebih tinggi dibanding perlakuan A. Pada perlakuan B tiap induk menghasilkan telur antara 3.020,8 butir sampai 3.103,2 butir/sarang sedang perlakuan A hanya menghasilkan telur antara 2.239,0 butir sampai 2.718,5 butir/sarang. Jatmiko (2003) mengatakan bahwa ikan gurame dapat menghasilkan 2000-3000 butir dalam setiap pemijahan pada gurame bastar bahkan 5000-7000 butir pada gurame Blusafir.

Jumlah telur yang dihasilkan tiap kolam selama 6 bulan pemeliharaan untuk perlakuan B antara 27.187 butir sampai 27.929 butir jauh lebih tinggi dari perlakuan A yang hanya menghasilkan telur antara 4.478 butir sampai 5.437 butir. Jumlah telur dalam tiap sarang yang lebih banyak pada perlakuan B dibanding dengan perlakuan A membuktikan bahwa pengaruh pakan baik kandungan protein pakan maupun jumlah pemberian hijauan berdampak positip terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gunadi et al. ( 2010) yang mengatakan bahwa pemberian pakan tambahan dengan kadar protein semakin tinggi kepada induk gurame menghasilkan produksi telur per sarang semakin tinggi.

Pemberian pakan yang berkualitas baik pakan buatan maupun hijauan pada tahapan produksi telur gurame merupakan satu hal yang penting , menurut Tandler et al. (1995) dalam Halver (2002) bahwa Pakan induk mempunyai peranan penting bagi pematangan gonad dalam menghasilkan telur dan perkembangan larva dengan kualitas baik (daya tetas tinggi, tingkat kelangsungan hidup tinggi) .hal ini ditambahkan pula oleh Woynarovich & Horvath, (1980) bahwa defisiensi nutrien esensial terutama asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral menyebabkan perkembangan telur terhambat dan akhirnya terjadi kegagalan ovulasi.

Makanan (pakan) berfungsi sebagai sumber energi dan materi bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Menurut Elliot (1979) Pakan mempengaruhi laju pertumbuhan, produksi, kesehatan, sintasan, dan reproduksi ikan. Pertumbuhan dan pematangan gonad terjadi apabila terdapat kelebihan energi yang diperoleh dari makanan untuk pertumbuhan tubuh. Menurut Wooton (1979) mengatakan bahwa ikan apabila kekurangan energi dapat meningkatkan oosit yang mengalami atresia (Wooton, 1979;). Komposisi bahan pakan pada formulasi pakan induk sangat menentukan terhadap produksi telur yang dihasilkan. Dahlgren (1981) mengatakan bahwa bahwa fekunditas induk ikan antara lain dipengaruhi oleh kandungan protein yang diterimanya, pemberian pakan dengan kadar protein 72% terhadap induk guppy betina meningkatkan fekunditas dan jumlah ovum dibandingkan dengan pemberian pakan dengan kadar protein 53,23 dan 15%. Pada ikan Nila Gunasekera et al. (1996) mengatakan bahwa induk ikan nila yang diberi pakan dengan kadar protein 20% dan 35% menghasilkan telur lebih banyak pada setiap pemijahan dibandingkan dengan induk yang diberi pakan dengan kadar 10%.

Tabel 2. Jumlah produksi telur selama 6 bulan pemeliharaan

Jumlah Rata-rata/induk Jumlah Rata-rata/induk 1 5125 butir 2562,5 butir 27473 butir 3052,5 butir 2 4478 butir 2239,0 butir 27187 butir 3020,8 butir 3 5437 butir 2718,5 butir 27929 butir 3103,2 butir Ulangan

Perlakuan

(11)

Penggunaan Bahan herbal/hijauan dalam pemeliharaan gurame memang sangat dibutuhkan. Daun sente (Alocasia macrorrhiza) dikalangan pembudidaya gurame merupakan daun yang sudah tidak asing lagi, baik untuk kegiatan produksi benih maupun kegiatan pembesaran sampai dengan ukuran konsumsi. Para pembudidaya ikan gurame berasumsi bahwa tanpa penggunaan daun ini baik produksi benih maupun pembesaran tidak akan berhasil dengan baik. Tanaman Sente banyak mengandung saponin, flavonoid dan polifenol yang terdapat pada tangkai dan daun diduga berkhasiat meningkatkan daya tahan ikan terhadap serangan penyakit (www.trubus-online.co.id). Tanaman sente rimpangnya kaya akan pati dan daunnya dapat digunakan untuk meningkatkan fertilitas (www.proseanet.org) KESIMPULAN

Dari pengamatan selama kegiatan berlangsung dapat disimpulkan bahwa Perlakuan B dengan pemberian pakan mengandung protein 30-32% serta ratio induk jantan dan betina 1:3 memberikan dampak positip terhadap peningkatan produksi telur, produktivitas lahan dan pendapatan pembudidaya.

Jumlah telur tiap induk pada perlakuan B berkisar 3020-3103 butir lebih baik dibanding perlakuan A dengan jumlah berkisar 2239-2718 butir.

Pada perlakuan B dengan ratio jantan dan betina 1 :3 menghasilkan telur selama pengamatan antara 27.187 butir sampai 27.929 butir dengan interval pemijahan 3 kali sedang perlakuan A dengan ratio 1:1 menghasilkan telur antara 4.478 butir sampai 5.437 butir dengan Interval pemijahan 2 kali.

DAFTAR ACUAN

Anonim. 2009. Gurame? Tak melulu Sente. www.trubus-online.co.id. Diunduh 20 februari 2014 Anonim. 2009. Detil data Alocasia macrorrhiza . www.proseanet.org. Diunduh 20 februari 2014 Dahlgren, B.T. 1981. Impact of Different Dietary Protein Contents of Fecundity and Fertility in the

Guppy (Poecilia reticulata). Biology of Reproduction. 24: p. 734-746.

Elliot, J.M. 1979. Energetic of freshwater teleost, p. 9-61. dalam P.J. Miller (Ed). Fish phenology adaptive. Acad. Press. Inc. London.

Gunadi, B., Lamanto, & Febrianti, Rita. 2010. Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Dengan Kadar Protein Berbeda Terhadap Jumlah dan Fertilitas Telur Induk Gurame. Pros. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. hlm. 817-822.

Gunasekera, R.M., Shim, K.F & Lam, T.J. 1996. Effect of Dietary Protein Level on Spawning Performance and Amino Acid Composition of Egg of Nile Tilapia. Aquaculture.146: p. 121-134.

Halver, E., John, & Ronald, W. Wardy (Ed). 2002. Fish Nutrition. 3rd Edition. Academic press. Tokyo. p. 822.

Handayani, Sri. 1997. Dosis optimum 3,5,3’ Triyodotironin (T3) dalam pakan untuk pertumbuhan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac). Desertasi. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jatmiko, T. 2003. Analisis Pendapatan Dan Efisiensi Penggunaan Faktor Faktor Produksi Usaha Ikan Gurame. Skripsi. Jur. Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Lannan, J.E., Smitherman, R. Oneal., & george Ichobanoglaus. 1983 . Principles and Practices of Pond

aquaculture. Oregon State University . p. 103-115.

Shedd, J.G. 1983. Aquatic Life. The Sheed Aquarium Society. Chicago. USA.

Sunarno M.T.D., Sulhi, M., Samsudin, Reza., & Heptarina, Deisi. 2012. Petunjuk Teknis Teknologi Pakan Ikan Ekonomis dan Efisien Berbasis Bahan Baku Lokal. IPB Press. hlm. 54.

Wooton, R.J. 1979. Energy cost production and environmental determinant of fecundity in teleost fishes p. 133-159. dalam P.J. Miller (Ed). Fish Phenology, anabolic adaptive in teleost. Acad. Press. Inc. London.

Woynarovich, E., & Horvath, L.1980. The artificial propagation of warmwater fish. A manual for extention FAO, Fishes Technical Paper, No.201: p. 285.

Gambar

Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit biji kopi
Gambar  1. Kolam  pemijahan Gambar  2. Induk  gurame
Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi telur dari perlakuan B jauh lebih tinggi dibanding perlakuan A

Referensi

Dokumen terkait

Himpunan X yang tidak kosong dilengkapi metrik d ditulis ( disebut ruang metrik sedangkan anggota-anggota himpunan X disebut titik-titik pada ruang metrik yang

Belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya seperti yang dijabarkan dalam standar C : secara regular guru berkesempatan secara individu maupun bersama kolega berlatih

Guru memotivasi siswa dengan mengajak siswa berdiskusi tentang manfaat mengetahui luas permukaan balok dalam kehidupan sehari-hari.. Problem statemen (pertanyaan/identifikasi

Objek dalam penelitian ini adalah yang menyangkut dengan permasalahan yang diangkat yaitu pola kaderisasi atau bentuk interaksi yang dilakukan oleh Kiai Wahid

Adapun yang paling dekat yaitu suku kata sa dengan ya dikare- nakan gerakan mulutnya hampir sama sedangkan yang paling jauh yaitu suku kata su dan suku kata ka, sedangkan pada

Dalam cerpen Clara , gaya wacana repetisi yang kadang digabungkan dengan gaya wacana paralelisme maupun antitesis, gaya kalimat perintah dan kalimat tanya, gaya

(2011) melaporkan kepatutan sosial merupakan prediktor kuat dari subjective well-being , karena seseorang akan mendapatkan kepuasan hidup dan mempunyai emosi positif tinggi

- Rumus tersebut diatas, jika didalam unsur duduk itu terkandung juga tandanya (positip atau negatip ). - duduk chronometer mempunyai tanda positip bilamana waktu