• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU DI PEDESAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU DI PEDESAAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

Dr. MADRIKAN M.SI Widyaiswara LPMP Jawa Timur Jl Ketintang Wiyata Pos Box 1 IKIP Sby

Surabaya. HP 081331132870

ABSTRAK

Usaha mewujudkan profesionalisme guru banyak dilakukan mulai dari LPTK, sekolah, institusi kedinasan, maupun dari lembaga-lembaga kediklatan dan organisasi kependidikan/sosial. Fenomena rendahnya profesionalisme guru di tengah berbagai pihak sedang berusaha meningkatkan profesionalisme tersebut merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi dunia pendidikan, apalagi dikaitkan guru di pedesaan.

Penghambat profesionlisme guru terkait dengan gaji belum mampu memenuhi kebutuhan, kerja sambilan di luar tugas profesi, rendahnya tingkat perubahan dan sulitnya penyesuaian guru terhadap tuntutan paradigma pendidikan. Rencana kerja dan rencana anggaran sekolah kurang mendukung pengembangan potensi, kreativitas, inovasi guru, dan rendahnya dukungan terhadap pengembangan sumber daya guru di sekolah.

Pelaksanaan supervisi kelas dan klinis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah kurang terencana dengan baik, keterbatasan sarana-prasarana sekolah, kurangnya media dan alat peraga pembelajaran serta rendahnya komitmen guru terhadap perubahan. Peningkatan kompetensi guru melalui KKG dan gugus kurang terprogram dengan baik, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pihak terkait kurang dilakukan secara terencana dan terprogram, kurang didahului identifikasi pengetahuan dan skill guru, kurang ada pemetaan permasalahan dan penyusunan tujuan penyelenggaraan diklat yang berorientasi pada kebutuhan guru di lapangan, program tindaklanjut tidak sampai menyentuh guru sekolah dasar di pedesaan.

(2)

PENDAHULUAN

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah daerah pedesaan, usaha meningkatkan profesionalisme guru sudah banyak dilakukan, namun berdasarkan hasil-hasil penelitian menunjukkan profesionalisme guru di sekolah pedesaan masih rendah. Sebagaimana penelitian Kusnanto (2006) kompetensi guru perlu diperbaiki. Hasil penelitian Mufathonah (2006) profesionalisme guru rendah. Sementara hasil tes Balitbang Depdiknas (2004) menunjukkan guru sekolah dasar layak mengajar hanya 50,7%, sedangkan hasil tes calon guru (1999) menunjukkan penguasaan materi rata-rata kurang dari 40%. Hasil portofolio guru (2006) mengungkapkan 44,85% peserta uji sertifikasi tidak lulus. Guenther dan Weible (1983) dalam penelitiannya menunjukkan pendidikan di sekolah pedesaan rendah. Hal demikian disebabkan faktor; 1) guru pedesaan dibingkai perkotaan, 2) guru banyak depresi menghadapi kenyataan pedesaan tidak sesuai yang diharapkan, 3) karakteristik pendidikan di sekolah pedesaan sudah banyak teridentifikasi dan didokumentasi tetapi diabaikan, 4) ahli-ahli pendidikan lebih memperhatikan sekolah di perkotaan.

Keahlian, guru memiliki kemampuan, mahir, pandai, dan paham sekali tentang khasana keilmuan yang di persaratkan mencerminkan standar tertentu sebagai landasan dalam memainkan

(3)

peran profesi sebagai guru. Kemahiran pandai, trampil, cekatan, terlatih melaksanakan peran profesi, memiliki skill sehingga seluruh aktivitas interaksi, tindakan dalam memainkan peran profesi dapat terukur sesuai standar yang telah ditentukan. Kecakapan berarti guru mampu, dapat, pandai, cekatan, sanggup melakukan peran profesi sesuai standar yang dipersaratkan. Sedangkan kualifikasi akademik merupakan ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.

Profesionalisme guru sekolah dasar di pedesaan lebih bersifat objektif normatif, dilakukaan kajian permasalahan sesuai perspektif makro berangkat dari proses pemikiran deduksi; bertolak dari teori sosial yang umum dijabarkan ke dalam proposisi-proposisi, melalui paradigma fakta. Selain itu, profesionalisme juga bersifat mikro berangkat dari pola pemikiran induksi bertolak dari sesuatu yang khusus ke sesuatu yang umum, dari data ke teori dengan paradigma definisi sosial.

Paradigma fakta sosial melihat profesionalisme, tindakan guru sekolah dasar di pedesaan dalam menjalankan peran profesi dianggap sebagai barang sesuatu (thing) dan menjadi objek penyelidikan, tidak bisa dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia (Durkheim).

(4)

Pemahaman teori fungsionalis struktural melihat profesionalisme merupakan sesuatu yang objektif normatif dan fungsional terhadap guru sekolah dasar di pedesaan dalam menjalankan peran dan tugas profesinya. Namun demikian, tidak semua tindakan guru fungsional, banyak dari tindakan guru tersebut kurang profesional.

Merton (1940) menjelaskan ”...tidak semua tindakan yang memenuhi persyaratan itu fungsional, tetapi tidak sedikit dari tindakan tersebut yang memiliki konsekuensi bersifat disfunsi atau memperkecil penyesuaian terhadap sistem itu sendiri... .” (Johnson, 1986, 147).

Secara mikro, profesionalisme guru sekolah dasar di pedesaan dipahami melalui perspektif definisi sosial dengan melihat tindakan sosial antar hubungan sosial guru sampai kepada penjelasan kausal dilakukan melalui metode penafsiran dan pemahaman (Interpretative Understanding). Weber mengenal dengan istilah “Verstehen” mempelajari perilaku (behavior) dan interprestasi tindakan guru, memahami motif dari tindakan guru sekolah dasar di pedesaan dengan mengembangkan perspektif teori aksi melihat interaksi dan tindakan dalam menjalankan peran profesi merupakan perilaku yang sesungguhnya dari guru, untuk dapat melaksanakan peran secara profesional diperlukan pemahaman terhadap interaksi dan tindakan guru itu sendiri. Parson melalui konsep “voluntarisme” menunjukkan kemampuan guru melakukan tindakan dengan menetapkan cara/alat

(5)

dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam usahanya mencapai tujuan yang akan dicapai. Guru merupakan pelaku aktif, kreatif serta memiliki kemampuan menilai dari alternatif tindakan. Guru memiliki kemauan bebas dalam memilih alternatif tindakan (Ritzer, 1992 : 57). Pandangan Parson tentang Voluntarisme mampu mendorong upaya-upaya guru lebih aktif, kreatif, inovatif dalam memberdayakan peran dirinya menjadi guru profesional.

Untuk memahami perilaku guru perlu memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran guru. Perhatian terarah pada intersubjektif dengan pemusatan terhadap dunia kehidupan sehari-hari/life word (Schutz (1899-1959). Profesionalisme dilihat dari penafsiran, pemahaman, pemaknahan interaksi, tindakan guru sekolah dasar, untuk itu perlunya pernyataan, perhatian pada kenyataan penting dan sikap wajar terhadap interaksi dan tindakan-tindakan guru sekolah dasar di pedesaan dalam melaksanakan peran profesinya.

Perspektif pilihan rasional, melihat tindakan dilakukan jika penghargaan yang didapat lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Friedman & Hechter (1988) menjelaskan tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan sesuai tingkatan pilihan aktor. Dengan demikian upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme merupakan tindakan dari serangkaian atau berbagai pilihan tindakan yang dilakukan guru dengan asumsi dasar guru mempunyai informasi yang cukup untuk membuat pilihan diantara berbagai peluang

(6)

tindakan yang terbuka. Coleman (1989) melihat tindakan perorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan/tindakan itu ditentukan oleh nilai/pilihan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, guru memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau memusatkan keinginan dan kebutuhan guru itu sendiri. Untuk melihat dorongan dan kesungguhan guru meningkatkan profesionalisme dikembangkan teori motivasi (McClelland,1962) melalui “n-Ach”, dorongan dari dalam diri untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan sebagai upaya mencapai tujuan. Untuk mencapai prestasi tinggi diperlukan cara meningkatkan situasi sekarang ke arah yang lebih baik. Dan perspektif Maslow (1943) dalam Usman (2007) melalui kebutuhan fisiologis sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri, agar dapat melaksanakan peran dan tugasnya secara lebih profesional.

PEMBAHASAN

1. Deskripsi profesionalisme guru di pedesaan

Profesionalisme guru sekolah dasar di pedesaan merupakan kegiatan pelaksanaan peran dan tugas didasarkan keahlian, kemahiran, kecakapan berstandar mutu, dan atas dasar perilaku aktif, kreatif, pemahaman, penafsiran, pilihan tindakan, serta motivasi berprestasi dan pemenuhan kebutuhan guru itu sendiri.

(7)

2. Faktor penghambat profesionlisme guru sekolah dasar di pedesaan

Penghambat profesionlisme guru sekolah dasar di pedesaan terkait dengan gaji belum mampu memenuhi kebutuhan, kerja sambilan di luar tugas profesi, rendahnya tingkat perubahan dan sulitnya penyesuaian guru terhadap tuntutan paradigma pendidikan. Rencana kerja dan rencana anggaran sekolah kurang mendukung pengembangan potensi, kreativitas, inovasi guru dan rendahnya dukungan terhadap pengembangan sumber daya guru di sekolah. Pelaksanaan supervisi kelas dan klinis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah kurang terprogram dengan baik, keterbatasan sarana-prasarana sekolah, kurangnya media dan alat peraga pembelajaran serta rendahnya komitmen guru terhadap perubahan. Peningkatan kompetensi guru melalui KKG dan gugus kurang terprogram secara baik, demikian juga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kurang dilakukan secara terencana dan terprogram, kurang didahului dengan melakukan identifikasi pengetahuan dan skill guru, tidak ada pemetaan permasalahan dan penyusunan tujuan penyelenggaraan diklat yang berorientasi pada kebutuhan guru di lapangan. Kurang adanya program tindaklanjut hingga menyentuh guru sekolah dasar di pedesaan.

(8)

3. Disfungsi dan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Di Pedesaan

Indikator profesionalisme guru sesuatu yang memberi petunjuk bahwa profesi guru dilakukan secara profesional, indikator meliputi kualifikasi akademik, kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kompetensi kepribadian, makin fungsional indikator makin tinggi profesionalisme guru sekolah dasar di pedesaan. Namun belum semua indikator profesionalisme mampu diadaptasi guru, banyak peran guru sekolah dasar di pedesaan belum mencerminkan indikator ideal profesionalisme, hal demikian dikenal dengan disfungsi.

Disfungsi terjadi pada kualifikasi akademik D2, pembuatan materi ajar kurang memperhatikan kompetensi dasar, indikator, tujuan, dan karakteristik siswa. Buku siswa menjadi satu-satunya sumber belajar, refleksi jarang dilakukan, penggunaan strategi pembelajaran kurang ke arah active learning. Guru kurang memahami sistem penilaian berbasis kelas terutama terkait dengan bentuk dan tujuan penilaian, butir-butir soal, tujuan analisis soal dan tindak lanjut hasil penilaian, kurangnya pengembangan profesi terutama pembuatan karya tulis ilmiah. Hasil diklat kurang dapat merubah cara mmengajar guru, tingkat lomba dan keikutsertaan dalam forum ilmiah belum dapat menunjukkan tingginya kompetensi guru. Keanggotaan sebagai pengurus organisasi kependidikan maupun sosial dan tugas tambahan kurang dapat mendorong peningkatan kompetensi. Hal senada juga terjadi pada tingkat

(9)

kreativitas dan inovasi serta kerja tim belum terlaksana secara optimal.

4. Usaha Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah dasar Di Pedesaan

Usaha menjadi guru profesional tidak sepenuhnya ditentukan kaidah dan nilai terstandar, tetapi juga ditentukan kebebasan guru bertindak dalam dunia sosialnya. tindakan guru lebih tertarik pada sesuatu terkandung dalam pemikiran, stimulus, dan respon sebagai hasil tindakan kreatif. Usaha peningkatan profesionalisme merupakan tindakan yang memiliki arti subjektif, oleh karena itu sikap maupun tindakan guru yang dapat di integrasikan maupun yang tidak dapat di integrasikan ke dalam nilai dan kaidah standar guru profesional merupakan tindakan guru itu sendiri. Setiap usaha peningkatan profesionalisme, guru terlibat dalam pengambilan keputuan subjektif, tindakan dilakukan atas pilihan guru itu sendiri, jika pilihan tersebut lebih ke arah disfungsi berarti guru melihat apa yang dilakukan sepadan dengan apa yang dia terima. Denan demikian perilaku guru digerakkan atas dasar pertimbangan biaya (cost) dan ganjaran (reward).

Tindakan guru meningkatkan profesionalisme merupakan pilihan tindakan, ditentukan atas suatu pilihan memuaskan keinginan, manakala keinginan seperti peningkatan gaji, kesejahteraan hidup, promosi jabatan, peran-peran tambahan, budaya sekolah yang dapat

(10)

menciptakan berkembangnya inovasi, kreativitas tidak diperoleh, maka disfungsi akan terjadi. Dalam konteks ini guru memilih perilaku dan tindakan lebih memuaskan dirinya termasuk perilaku disfungsi.

Usaha peningkatan profesionalisme merupakan kegiatan guru sekolah dasar di pedesaan meningkatkan kemampuan kinerja atas dasar keahlian, kompetensi, kemahiran, kecakapan mencerminkan standar mutu. Serangkaian usaha telah dilakukan, mengikuti tindak lanjut pendidikan, keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan, seminar, workshop, semiloka, forum ilmiah, pelaksanaan supervisi kelas oleh kepala sekolah dan pengawas, keikutsertaan dalam pengembangan kurikulum tingkat satuan sekolah, memperoleh tugas tambahan, pengembangan profesi dengan pembuatan karya tulis ilmiah, dan partisipasi guru dalam kegiatan sekolah. Keikutsertaan dalam kepengurusan organisasi kependidikan dan sosial, ikut aktif menjadi anggota dan pengurus KKG dan gugus sebagai organisasi profesi guru sekolah dasar di pedesaan. Namun usaha tersebut di atas kurang berdampak terhadap meningkatnya kompetensi guru sekolah dasar di pedesaan.

(11)

PENUTUP Kesimpulan

Faktor penghambat profesionlisme guru sekolah dasar di pedesaan terkait dengan gaji belum mampu memenuhi kebutuhan, kerja sambilan di luar tugas profesi, rendahnya tingkat perubahan dan sulitnya penyesuaian guru terhadap tuntutan paradigma pendidikan. Rencana kerja dan rencana anggaran sekolah kurang mendukung pengembangan potensi, kreativitas, inovasi guru, dan rendahnya dukungan terhadap pengembangan sumber daya guru di sekolah. Supervisi kelas dan klinis kurang terencana dengan baik, keterbatasan sarana-prasarana sekolah, kurangnya media dan alat peraga pembelajaran serta rendahnya komitmen guru terhadap perubahan. Peningkatan kompetensi guru melalui KKG dan gugus kurang terprogram secara baik, demikian juga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kurang dilakukan terencana dan terprogram, kurang didahului dengan melakukan identifikasi pengetahuan dan skill guru, tidak ada pemetaan permasalahan dan penyusunan tujuan penyelenggaraan diklat yang berorientasi pada kebutuhan guru di lapangan. Kurang adanya program tindaklanjut sampai menyentuh guru sekolah dasar di pedesaan.

Serangkaian usaha peningkatan profesionalisme dilakukan, mengikuti tindak lanjut pendidikan, keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan, seminar, workshop, semiloka, forum ilmiah, pelaksanaan supervisi kelas, keikutsertaan pengembangan kurikulum

(12)

tingkat satuan pendjdjkan, memperoleh tugas tambahan, karya tulis ilmiah, dan partisipasi guru dalam kegiatan sekolah. Aktif menjadi anggota dan pengurus KKG/gugus sebagai organisasi profesi guru sekolah dasar di pedesaan. Namun profesionalisme guru sekolah dasar di pedesaan nampak pada posisi sedang. Untuk itu diperlukan model dan skenario secara efektif berdampak terjadinya perubahan ke arah kemajuan kinerja dan proses pembelajaran di sekolah.

Saran – saran

1. Gugus/KKG sebagai wadah guru sekolah dasar di pedesaan, perlu melakukan kegiatan dengan program peningkatan kompetensi guru secara terukur agar kegiatan gugus/KKG tersebut dapat terlaksana secara efektif.

2. Guru hendaknya meningkatkan pola pikir kritis dengan cara mampu melihat fakta, fenomena, issue yang terjadi kemudian menanyakan pada diri sendiri mengapa hal itu terjadi, bagaimana kejadiannya, apa dampaknya dan bagaimana solusi yang bisa ditawarkan, memiliki disiplin diri, memiliki gambaran tentang masa depan, serta membangun kerja sama untuk mencapai tujuan sehingga diperoleh guru yang memiliki tingkat profesionalitas tinggi.

3. Guru di pedesaan hendaknya dapat meningkatkan kompetensi terstandar melalui model dan skenario training dan the learning

(13)

organization secara intend dan berkesinambungan agar dapt melaksanakan peran dan tugas dapat dilakukan lebih profesional. 4. Guru di pedesaan hendaknya memiliki komitmen diri melakukan

perubahan proses pembelajaran ke arah learning proses seiring pengetahuan dan ketrampilan yang diterima, agar hasil pendidikan dan pelatihan yang diperoleh berdampak dalam peningkatan kualitas proses pendidikan di sekolah.

5. Kepala sekolah perlu menumbuhkan motivasi berprestasi pada guru agar guru tersebut mampu mendorong dirinya sendiri terus meningkatkan kompetensi agar dapat melaksanakan tugas profesi secara terstandar.

6. Kepala sekolah/pengawas perlunya menggunakan pedoman observasi saat melakukan supervisi teknis sehingga mampu memotret perilaku guru saat penyelenggaraan proses pembelajaran di kelas, sehingga mampu menemukan kekurangan, kelemahan, dan memberikan solusi secara tepat.

7. KKG/gugus dapat meningkatkan profesionalisme guru sekolah dasar di pedesaan melalui model dan skenario training secara intend dan berkesinambungan agar dapt melaksanakan peran dan tugas dapat dilakukan lebih profesional.

8. Penyelenggaraan on the job maupun off the job training oleh gugus/KKG hendaknya didahului identifikasi pengetahuan dan ketrampilan guru, melakukan pemetaan permasalahan, merumuskan tujuan yang akan dicapai, menetapkan proses

(14)

pemikiran untuk melihat keberhasilan, lebih terukur dan menetapkan struktur program yang tepat sehingga penyelenggaraan training dapat memenuhi kebutuhan guru di lapangan secara tepat.

9. Perlunya kepala sekolah membuat rencana kerja sekolah memuat kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong tumbuh berkembangnya kreatifitas dan inovasi guru, agar profesionalisme guru dapat di tingkatkan.

10. Untuk dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran diharapkan guru sekolah dasar di pedesaan dapat menggunakan strategi pembelajaran bekualitas. Misalnya, Pakem, Kooperatif Learning, dan strategi pembelajaran berkualitas lainnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adiningsih. 2002. Kualitas & Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat (online), http://www.pikiranrakyat.com.

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milinium Ketiga, Suara

Pembaharuan (Online)

http://www.suarapembaharuan.com/News.

Balitbang, 2002. Peningkatan Profesionalisme & Kesejahteraan Guru. Depdiknas (Online) http://www.diknas.go.id

Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru, Depdiknas. Jakarta.

(15)

Dunathan, A.T. 1980. Teacher Shortage. Big Problem for Small Schools. Phi Delta Kappan, 62,PP.205-206.

Fratoe, F. 1979, 1983. Personal Comminication to P. Helfee. In John Guenther and Tom Weible. Preparing Teachers for Rural Schools. Rural Education. Winter. Vol.1. No. 2

Gal, S. 1993. Teachers and Teaching. Journal of Research in Rural Education, Spring, Vol. 9. No.1

Guenther, J. & Weible, T. 1983. Preparing Teachers for Rural Schools. Rural Education. Winter. Vol. 1, No. 2

Hassan, M. A. 2007. Pengembangan Profesionalisme Guru Di Abad Pengetahuan, Pendidikan Network (Online).

Kanto, S. 2006. Modernisasi & Gerakan Sosial, Universitas Brawijaya. Malang.

Kartawidjaja, T. 2007. Pengaruh Insentif Terhadap Keputusan Kerja dan Kinerja Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri di Kota Batam, Library@Unair.Ac.Id. Universitas Airlangga. Surabaya. Kusnanto, 2006. Pengembangan Model Kompetensi Guru Madrasah

Di Lingkungan Departemen Agama Kota Surabaya. Airlangga University Library. Surabaya.

Mufathonah, 2006. Analisis Pengembangan Profesionalisme Guru, UMM. Malang.

Peraturan Pemerintah RI. No. 19 Tahun 2005. Tentang Standar Nasional Pendidikan. Depdiknas. Jakarta.

(16)

Permendiknas RI. No. 19 Tahun 2007. Stándar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar & Menengah, Depdiknas. Jakarta.

Permendiknas RI. No. 22 Tahun 2006. Standar Isi, Depdiknas. Jakarta.

Permendiknas RI. No. 23 Tahun 2006. Standar Ketuntasan Lulusan, Depdiknas. Jakarta.

Poerwadarminta, S.J.W. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.

Silberman, M. 2002. Active learning. Yapendis. Yogyakarta

Strauss, A., Corbin, J. Basics Of Qualitative Research Graunded Theory Procedures and Techniques. Shodiq, M. Musttaqiem, I. (penerjemah) 2007. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.

Suwarno., So, Y. A. 2000. Perubahan dan Pembangunan. PT Pustaka LP3ES. Jakarta.

Tamim, Djoenaedi., Hermansjah, 2002. Diklat Sebagai Salah Satu Sistem. Lembaga Adinistrasi Negara RI. Jakarta.

Undang-Undang RI. No. 14 Tahun 2005. Guru & Dosen, Depdiknas. Jakarta.

Undang-Undang RI. No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas. Jakarta.

Usman, 2004. Menjadi Guru Profesionalisme, Remaja Rosdkaryo. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Sistem terdiri dari blok sensor DHT11, sensor MQ2, dan flame sensor ke tiga sensor tersebut sebagai input data analog yang di hubungkan ke mikro

Data rerata hasil uji BNT 5% (Tabel 1) bahwa pada pengamatan pertumbuhan vegetatif panjang tanaman kedua perlakuan macam pupuk kandang dan jarak tanam tidak menunjukkan

Beberapa kelompok kecil substansi kelabu yang disebut ganglia atau nuclei basalis terbenam dalam massa substansi putih pada setiap hemisfer otak. Ganglia basalis tersusun dari

Kelemahan Penerapan Discovery Learning: a) Metode ini tidak efisiensi untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk

Wilayah pantai selatan Kabupaten Pamekasan sebagai calon tapak instalasi desalinasi nuklir alternatif menunjukkan litologi yang tersusun atas aluvium berumur Holosen

Di Borobudur (LP 53) dan Kali- duren (Sungai Sileng: LP 54): bagian bawah tersusun oleh perlapisan lempung sangat tebal (lebih dari 6 m) yang bagian bawahnya berumur 3410 tahun (umur