• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GERAKAN BURUH PABRIK GULA TANJUNG TIRTO. A. Latar Belakang Pemogokan Buruh di Pabrik Gula Tanjung Tirto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III GERAKAN BURUH PABRIK GULA TANJUNG TIRTO. A. Latar Belakang Pemogokan Buruh di Pabrik Gula Tanjung Tirto"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

GERAKAN BURUH PABRIK GULA TANJUNG TIRTO

A. Latar Belakang Pemogokan Buruh di Pabrik Gula Tanjung Tirto Kelaparan

Perang Dunia I (1914-1918) meskipun tidak meluas ke seluruh Asia, tetapi akhirnya terasa di seluruh dunia. Faktor-faktor produksi seperti barang, tenaga kerja, dan modal digunakan untuk kepentingan perang. Perang memusnakan faktor-faktor produksi dalam jumlah yang semakin lama semakin besar. Akibatnya, barang-barang produksi untuk kebutuhan sehari-hari menjadi berkurang. Oleh karena itu, terjadi depresi ekonomi. Sesuai dengan hukum ekonomi pasar maka apabila jumlah penawaran semakin berkurang dibandingkan dengan jumlah permintaan, harga akan terus menerus mengalami kenaikan. Produksi Eropa seperti tekstil dan obat-obatan menjadi mahal. Akibatnya perindustrian gula muncul di Jawa akibat perdagangan bebas yang diterapkan pemerintah kolonial.1

Pada musim paceklik petani menjual beras dengan harga yang tinggi . Petani dan pedagang agar dapat memperoleh produk-produk Eropa, terpaksa menaikan barang-barangnya. Dengan demikian, harganya turut naik meskipun bukan hasil produksi Eropa. Inflansi terjadi makin lama semakin tinggi, terutama pada akhir dan dua tahun setelah Perang Dunia I untuk memperoleh keuntungan. Pedagang tidak akan menjual beras dengan harga

1 Khoduri, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad

Industri Gula,(Jakarta: LP3ES, 2005), hlm.28

(2)

jual sebelumnya, karena tidak berani menanggung resiko rugi. Ada kemungkinan bila menjual dengan harga yang sama, ia tidak akan memperoleh beras di pasar dengan harga yang lebih rendah. Pedagang dan petani kaya cenderung menyimpan beras pada musim panen dan kemudian menjual dengan harga tinggi di musim paceklik. Dengan cara demikian, dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu, meskipun dalam musim panen, beras di pasaran tetap terbatas jumlahnya dan harganya juga tinggi.2

Pada masa panen petani kecil terpaksa menjual berasnya dengan harga murah (tidak untuk mencari keuntungan) kepada pedagang, karena perlu uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan untuk membayar hutang. Petani kecil dalam masa paceklik terpaksa berhutang dan menggadaikan barang-barangnya. Tidak sedikit untuk menyiasati kelangkaan beras tersebut mengurangi porsi makan nasi, menggantinya dengan ubi-ubian bahkan untuk mempertahankan hidup penduduk terpaksa makan bonggol pisang.3 Akan tetapi, kelak bila petani mengalami kegagalan panen akan membeli beras dengan harga yang mahal. Ketidak puasan ini berangsur-angsur berkembang menjadi perasaan marah dan dendam kepada pemerintah. Dengan demikian, maka yang dapat memetik keuntungan pada saat terjadi depresi ekonomi

2 Sartono Kartodirjo, Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia,

(Yogyakarta: Aditya Media), 1991, hlm. 67.

3 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia, Jilid IV, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

(3)

adalah para pedagang pemilik modal. Petani kecil dan buruh semakin menderita. Beban mereka semakin hari semakin bertambah tanpa adanya bentuk perhatian oleh pemerintah kolonial.

Bentuk usaha mengatasi kekurangan beras, Gubernur Jendral membeli beras dari Siam, Burma, dan Vietnam. Selanjutnya, beras dijual kepada rakyat dengan harga lebih rendah daripada harga beras di dalam negeri. Namun, harga beras terus mengalami kenaikan melewati kemampuan daya beli masyarakat dari lapisan ekonomi paling bawah. Harga beras dari luar negeri terus mengalami kenaikan sesuai dengan laju inflasi yang melanda seluruh dunia pada masa itu. Pemerintah selanjutnya melakukan pengaturan tentang penjulalan, pembelian, dan pembagian beras kepada penduduk yang pelaksanaannya diatur oleh Residen. Kebijakan itu diambil sehubungan dengan laporan direktur Pertanian, Sibingan Mulder yang menyatakan bahwa produksi beras di dalam negeri sebenarnya cukup, hanya saja perlu penggunaan yang teratur untuk menghindari pemborosan. Namun yang terjadi sesungguhnya pada waktu itu, terutama setelah memasuki tahun 1919, krisis ekonomi semakin parah.4 Sejak tahun 1914 sampai tahun 1918 harga beras telah mengalami kenaikan 50%, tetapi setelah memasuki tahun 1920 mencapai 350% dan kenaikan minimal harga bahan makanan antara tahun 1914 sampai 1920 adalah 200%. Akan tetapi, bahan makanan untuk bangsa

4

(4)

Barat, tingkat kenaikan harga sangat rendah. Tepung terigu relatif stabil harganya. Roti selama jangka waktu enam tahun naik kurang dari 50%.5

Pembentukan harga beras dipengaruhi sekali oleh campur tangan pemerintah di pasaran pada tahun 1912, 1913, dan 1919-1922 sesudah perang dunia I. Panen padi yang jelek terjadi pada tahun-tahun 1901, 1902, dan 1912, sedangkan panen yang baik terjadi pada tahun 1919 dan 1940. Sejak tahun 1916 produksi beras maupun produksi bahan makanan semakin meningkat.6

Perebutan Saluran Irigasi

Waktu antara panen dan pengerjaan tanah kembali dibeberapa daerah irigasi, rata-rata hanya sepekan dan dimana-mana pun tidak pernah lebih dari sebulan. Pada daerah pertanian dengan waktu istirahat yang begitu pendek, dalam satu tahun rata-rata terjadi lebih dari tiga kali panen. Keadaan ini, petani melakukan penanaman selang berupa palawija seperti petani-petani kebun di westland (sebuah wilayah di belanda selatan). Pada situasi tertentu dengan cerdik mereka menggunakan kesempatan yang diberikan untuk irigasi, seperti pada tanaman palawija.7

5

R.E Elson, Javanese Peasant and The Colonial Sugar Industry:

Impact and Change in an East Java Residency 1830-1940, (Singapore:

Oxford University Press), 1984.

6

Pieter Creutzberg dan J.T.M. Van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi

Indonesia, terj.Kustiniyati Mochtar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987),

hlm. 120.

7 Egbert de Vries, Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, terj.Sayogyo,

(5)

Curah hujan tidak teratur dan tidak dapat memenuhi kebutuhan irigasi. Pada tahun 1916-1917 meskipun curah hujan dengan debit air yang cukup, tetapi hujan terlambat sehingga praktis petani tidak dapat menanami sawahnya. Daerah di Yogyakarta setelah petani menerima kembali tanahnya pada bulan Mei dari pabrik gula, ternyata hujan baru turun enam bulan berikutnya yaitu pada bulan Januari 1917, kemudian pada tahun 1917-1918 hujan terjadi terus menerus sepanjang tahun, tetapi debit airnya sangat kecil. Berkurangnya curah hujan ini terjadi di seluruh Jawa. Wilayah Yogyakarta curah hujan pada tahun 1918 hanya mencapai 563 mm3. Jumlah ini hampir mendekati seperempat dari debit curah hujan pada tahun sebelumnya. Pada daerah Jombang pada pekerbunan tebu Sumobito juga mengalami penurunan secara drastis. Hujan tahun 1918 tidak lebih dari separo hujan tahun 1917.8Namun, setelah tahun 1919 kondisi curah hujan normal kembali. Adapun data tentang curah hujan itu adalah sebagai berikut :

Tabel. 08

Curah Hujan di Yogyakarta Tahun 1915-1919

Tahun Gesikan dan Maguwo di Yogyakarta 1915 1.500 1916 2.302 1917 2.204 1918 563 1919 -

Sumber: Verslaag over het Derinde Boekjaar 1918, Gevestigd te

s’Gravenhage, hlm. 9.

8

Verslaag over het Derinde Boekjaar 1918, Gevestigd te s’Gravenhage, hlm.9.

(6)

Penurunan debit air hujan menimbulkan konflik-konflik antara petani dan pabrik gula yang semakin meningkat yang bersumber dari masalah pembagian air. Pengusaha pabrik tidak cemas akan hal itu, karena mereka bisa menyewa tanah dari petani dengan mudah dimana saja. Perkebunan tebu biasanya dibuka dengan menyewa sawah penduduk yang memiliki sistem irigasi yang baik. Jadi, sawah petani yang ditanami padi berdampingan dengan perkebunan tebu. Memang pada waktu itu telah terdapat peraturan tentang pembagian air.9 Siang untuk perkebunan dan malam untuk petani. Pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore, air digunakan untuk mengairi kebun tebu. Pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi air digunakan untuk mengairi tanaman penduduk.10 Praktek batas antar siang dan malam tidak begitu jelas dalam prakteknya. Realita menunjukkan penduduk baru diberi kesempatan mengairi sawahnya, bila kebutuan air perkebunan tebu telah tercukupi. Petani tidak berani menuntut pembagian air yang adil sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena aparat desa yang dibantu polisi biasanya membela kepentingan perkebunan. Penanaman padi dan perkebunan tebu praktis berada di bawah koordinasi pekebunan tebu. Akibatnya, areal sawah petani kekurangan air dan mengalami kekeringan. Setiap hari petani mengalami kejadian seperti itu. Hal ini menjadikan hasil padi merosot, bahkan sering kali mengalami kegagalan.

9

Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 59.

10

Lihat Lampiran 04, Arsip puro pakualaman No. 1253, Yogyakarta:

(7)

Harga Sewa Tanah yang Rendah dari Pabrik Gula

Kehadiran usaha-usaha Barat di bidang perkebunan menambah berat perekonomian petani pemilik tanah. Perkebunan Barat biasanya menyewa tanah milik petani dengan kontrak jangka panjang. Wilayah Vorstenlanden sejak tahun 1891 kontrak berlaku selama 30 tahun, sedangkan untuk daerah luar Vorstenlanden sejak tahun 1870 berlaku selama 25 tahun. Jadi, untuk daerah Vorstenlanden kontrak pertama akan berakhir pada taun 1895 dan kontrak sewa tanah berikutnya akan berakhir pada tahun 1920. Menjelang masa akhir kontrak sewa tanah telah mendorong bagi timbulnya gerakan yang menuntut hak atas milik tanah dan perjanjian yang lebih adil.

Kontrak sewa tanah oleh perkebunan dibuat dengan prinsip bahwa harga sewa tanah sama dengan hasil tanah, bila ditanami petani sendiri berupa beras dikurangi dengan nilai kerja yang diperlukan untuk menanam padi. Harga sewa tanah meskipun telah beberapa kali mengalami penyesuaian, tetapi tidak sebanding dengan laju inflansi yang terjadi, terutama menjelang akhir Perang Dunia I. Mencapai puncaknya pada tahun 1917 dan 1920 mengakibatkan kehidupan ekonomi penduduk sangat rendah.11 Perlu ditambahkan bahwa situasi perang sangat mengurangi transportasi dan produksi barang impor, dengan sendirinya persediaan berkurang dan harga naik. Keadaan ini masih berlaku sampai perang selesai sehingga pada

11 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah indonesia, (Jakarta:

(8)

tahun pasca-perang Hindia Belanda dalam keadaan rugi dalam soal nilai tukar barang.12

Sudah lazim di dalam persewaan tanah selalu dicari penyewa yang berani membayar sewa paling tinggi dan biasanya mereka itu adalah orang-orang Belanda dan Cina, sehingga mereka disebut bekel putih.13 Cara yang dipakai dalam memperoleh akses ke sawah, industri gula swasta di Jawa dapat mengadakan kontrak sewa selama 21 ½ tahun dengan desa. Selanjutnya, oleh perusahaan gula 1/3 desa akan ditanami dengan tebu selama 18 bulan. Pada akhir periode, tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya dan perusahaan akan menanam tebu di 1/3 tanah desa lainnya. Sistem demikian membawa implikasi serius bagi petani, ketika lahan sawah dikembalikan kepada pemiliknya. Banyak permasalahan yang ditemui petani seperti hilangnya kontur-kontur asli, pematang, dan banyaknya lubang yang masih dipenuhi dengan sisa batang maupun akar tebu. Hal itu membuat petani menderita, karena mereka harus memperbaiki tanah yang rusak untuk ditanam kembali. Industri tak mau bertanggung jawab dan menutup mata karena mereka tahu para petani dibawah kekusaannya. Usaha yang dilakukan para petani untuk memperbaiki kerusakan lahan hanya tersedia waktu yang singkat bagi petani, sebelum musim barat tiba meyusul selesainya panen palawija. Sebagai akibatnya penyiapan lahan tergesa-gesa, sehingga tidak

12 Sartono Kartodirdjo, Joko Suryo, op.cit., hlm. 101. 13

Suhartono W. Pranoto, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di

Perdesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991),

(9)

siap untuk menanam padi.14Ditahun 1917 jumlah tanah yang ditanami tebu di Jawa mencapai 225.500 bau. Jika diambil 20% dari tanah-tanah ini untuk ditanami padi, maka tanah yang ditanami padi adalah 45.100 bau pada tahun ini sebagai berikut:

Tabel. 09

Tabel Hasil Pertanian pada Tahun 1918

Jenis Tanaman Hasil pertanian/ bau Harga/pikul

Padi 8-9 pikul f10

Palawija 1 pikul f30

Gula 1 pikul f250

Sumber: Sinar Djawa, 8 April 1918.

Tabel diatas dapat menunjukkan, bahwa tanah-tanah yang ditanami padi (45.100) memberi hasil 15 pikul per bau hasilnya 750.000 pikul. Dari hasil 750.000 pikul itu petani mendapat 375.000 pikul (bagi hasil). Harga 1 pikul padi adalah f 10,maka jumlahnya f 3.750.000. Apabila ditanami palawija yang harganya f 30 maka dari 45.100 bau adalah f 1.353.000, sedangkan jika ditanami gula yang harganya f 250 maka dari 45.100 bau akan menghasilkan f 11.275.000.15 Hasil dari perhitungan ini, maka pemerintah Kolonial lebih baik menanam tebu daripada komoditas tanaman lainnya.

Tanah yang terdapat di Yogyakarta harga maksimum seluas satu bau bila disewa pabrik gula adalah f 75, dan paling rendah f 30, untuk jangka

14 Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial

Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 79.

15

(10)

waktu 18 bulan.16 Bila sawah ditanami petani sendiri maka hasilnya sebagai berikut: petani dapat panen tiga kali setiap tahun, yaitu dua kali panen palawija (kacang dan kedelai) dan satu kali panen padi. Panen pertama dapat berupa kacang tanah yang berumur tiga bulan, panen kedua berupa padi yang berumur kira-kira 100 hari, dan panen ketiga berupa kedelai yang berumur 3 bulan.

Pada daerah Vorstenlanden, tanah adalah milik raja atau patuh. Petani tidak mendapat uang sewa tanah, tetapi dikenai beban kerja wajib di perkebunan, meskipun tidak seluruhnya. Maksudnya, ada sebagian dari pekerjaan di perkebunan yang diupahkan. Upah kerja bagi buruh tani selama 1 ½ tahun antara f 75 sampai f 100. Jadi, selama satu tahun petani minimal menerima upah f 50. Namun, andai kata, tanah dikerjakan sendiri dan irigasi cukup baik, maka petani dalam jangka waktu satu tahun dapat panen tiga kali. 17

Tabel. 10

Hasil Panen Sawah dari Petani Pabrik Gula

Jenis tanaman Umur panen Harga/pikul

Kedelai 100 hari f8

Kacang tanah 70 hari f100

Padi 100 hari f10

Sumber: Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 67.

16

Sri Diponegoro, Djogjakarta, 2 September 1918.

17

(11)

Jadi dapat disimpulkan, bahwa perhitungan hasil sawah selama 1 ½ tahun adalah: 1) Panen kacang kedelai f 96, 2) Dua kali panen kacang tanah f 200, dan 3) Panen padi yang selanjutnya dijadikan beras f 180. Hasil seluruhnya adalah f 476.

Wilayah di Yogyakarta, pemilik tanah tidak mengerjakan tanahnya sendiri. Tanah dikerjakan orang lain dengan sistem bagi hasil. Jadi petani pemilik tanah dan buruh penggarap sawah masing-masing menerima f 238, untuk selama 1 ½ tahun. Akan tetapi, sawah disewa pabrik gula dan ditanami tebu dalam waktu 1 ½ tahun menghasilkan paling banyak f.100. Jadi, dengan menyewakan tanah kepada pabrik, petani dan buruh penggarap telah rugi paling sedikit f 238, dikurangi f 100, yaitu f 138. Sebaliknya bila sawah dikerjakan sendiri oleh petani akan memberi keuntungan f 476, dikurangi ongkos buruh f.80, yaitu f.396.

Upah Buruh yang Rendah

Upah adalah hak pekerja maupun buruh yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Pendapatan petani di Jawa merupakan tolak ukur tingkat upah yang dapat dipercaya. Orang dapat mengatakan bahwa sistem bagi-hasil kurang lebih separuh dari pendapatan sosial merupakan upah kerja. Pembagian pendapatan sosial terdiri atas 10% pajak, 47% upah dan 43% hasil bersih. Secara kasar dapat dikatakan setengah pendapatan

(12)

petani di Jawa yaitu f 125 atas upah kerja selama satu tahun. Jumlah ini diperkirakan sama dengan buruh harian.18

Akibat depresi ekonomi di akhir Perang Dunia I adalah penduduk bumiputra, terutama petani kecil dan buruh merasakan dampak yang sangat besar bagi kelangsungan kehidupan mereka. Golongan yang paling menderita itu dalam jumlah ribuan bahkan mungkin jutaan orang bersedia bekerja apa saja agar dapat menyambung hidup, meskipun dibayar dengan upah yang sangat rendah. Situasi yang melanda para petani maupun buruh membuat mereka harus bekerja lebih keras, karena itu depresi ekonomi juga ditandai dengan permintaan yang melimpah atas lapangan kerja oleh penduduk bumiputra. Sebaliknya buruh Eropa setelah Perang Dunia I di Indonesia semakin berkurang. Mereka lebih suka bekerja di Eropa. Buruh Eropa itu mau bekerja di Indonesia bila mendapat upah yang tinggi. Akibatnya, jurang pemisah di bidang ekonomi antara buruh Eropa dan buruh bumiputra semakin lebar. Jurang pemisah itu semakin dipertegas oleh kebijakan pengusaha gula yang rasialis. Perkembangan ini merupakan faktor pencetus bagi konflik-konflik antara buruh bumiputra dan pengusaha industri gula. Keengganan pengusaha untuk memperbaiki upah buruh bumiputra telah mendorong bagi timbulnya aktivitas gerakan sekelompok buruh bumiputra yang masing-masing anggotanya memiliki loyalitas yang tinggi pada perhimpunan.19

18 Egbert de Vries, Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 6.

19

(13)

Wabah Penyakit

Beras atau padi merupakan satu-satunya produk terpenting bagi petani, sehingga menempati posisi yang strategis bagi perkembangan ekonomi petani. Sebagian besar penduduk bumiputra pada waktu itu (dalam tahun 1910-an) adalah petani yang bercocok tanam padi. Kebijakan ekonomi pemerintah dengan menentukan harga maksimal pembelian padi petani dan menentukkan jumlah maksimal padi yang boleh disimpan sangat merugikan petani. Tingkat harga yang ditentukan pemerintah lebih rendah dari harga pasar. Petani telah kehilangan hak untuk memperoleh keuntungan, bahkan bila telah kehabisan padi akan membeli beras dengan harga yang lebih tinggi. Kebijakan ini menutup peluang bagi pencapaian kesejahteraan petani. Selain itu, kebijakan pemerintah untuk memonopoli pembelian dan penjualan padi (beras) mempersempit kemungkinan terjadinya mobilitas sosial berupa perkembangan kelas menengah pedesaan yaitu pedagang bumiputra. Pencabutan hak untuk memperoleh keuntungan dari produksi padi berarti mempertahankan penduduk bumiputra pada tingkat ekonomi subtitensi.20

Sebaliknya kebijakan ekonomi pemerintah sangat menguntungkan pengusaha gula. Luas area perkebunan tebu dipertahankan, sehingga keuntungan pabrik gula tetap besar. Hal ini berbeda, bila areal sawah padi yang diperluas dengan cara mengurangi areal perkebunan tebu sudah tentu mengancam kelangsungan hidup industri gula. Harga beras yang relatif

20 D. H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis, terj.Atmosudirdjo,

(14)

rendah bagi pengusaha gula merupakan keuntungan karena dapat dipergunakan sebagai dasar utama penolakan tuntutan kenaikan upah buruh. Sebab upah buruh harus memenuhi standard upah minimum yaitu tingkat harga minimum beras yang diperlukan untuk menyambung hidupnya setiap hari.

Sikap kebijakan pemerintah dalam usaha melindungi industri gula akhirnya menjadi bencana bagi penduduk bumiputra. Kekurangan beras yang sudah mulai dirasakan pada tahun 1917 pada tahun-tahun berikutnya menjadi semakin drastis. Pada pertengahan tahun 1918 seseorang untuk memperoleh beras harus antri. Antrian beli beras terjadi di seluruh kota di Jawa. Penduduk dari kelas ekonomi bawah yaitu buruh dan petani kecil mengatasi kekurangan beras dengan mengurangi makan nasi, memperbanyak makan palawija dan sayur-sayuran bahkan untuk mempertahankan hidup penduduk terpaksa memakan bonggol pisang. Kebanyakan buruh dan petani kecil harus makan satu kali sehari.

Penduduk kekurangan gizi, sehingga kekebalan terhadap penyakit menurun. Wabah berbagai penyakit merajalela seperi beri-beri, TBC, dan influensa yang menyebabkan jutaan orang meninggal dunia. Influensa pada saat itu merupakan penyakit yang baru dikenal di Hindia-Belanda. Penyakit ini menyebar dengan cepat di wilayah Hindia-Belanda, karena tidak adanya penanganan secara tepat dan cepat. Kondisi paling parah terdapat di Vorstenlanden. Hal ini mungkin saja terjadi karena banyaknya para buruh yang bekerja tidak sehat karena tuntunan dari pemerintah kolonial yang berat

(15)

serta jam kerja yang padat tidak diimbangi dengan adanya jaminan kesehatan dari pengusaha. Para dokter Jawa melaporkan bahwa angka kematian di Karisidenan Yogyakarta pada kuartal pertama tahun 1919 mencapai 25.956 jiwa. Pada waktu itu penduduk Yogyakarta berjumlah 1.313. 486 orang. Kuartal kedua menunjukkan tahun 1919 jumlah kematian menurun hampir setengah dari jumlah kematian pada kuartal sebelumnya.21 Pada beberapa wilayah afdeling Yogyakarta data kematian tersebut dapat ditunjukan sebagai berikut:

Tabel. 11

Data Kematian Kuartal Pertama Tahun 1919

Afdeeling Jumlah Penduduk Angka Kematian

Yogyakarta 755.472 10.623

Kulonprogo 281.216 5.436

Gunung Kidul 276.798 9.897

Sumber: Sri Mataram, “Angka Kematian Karisidenan Yogyakarta, Djogjakarta”, 4 September 1919.

Tabel. 12

Data Kematian Kuartal Kedua Tahun 1919

Afdeeling Angka Kematian Angka Kelahiran

Yogyakarta 7.238 4.759

Kulon Progo 2.241 1.255

Gunung Kidul 3.098 1.680

Sumber: Sri Mataram, “Angka Kematian Karisidenan Yogyakarta, Djogjakarta”, 4 September 1919.

21 Sri Mataram, “Angka Kematian Karisidenan Yogyakarta”,

(16)

Beban Kerja Wajib

Peraturan tentang kerja wajib mulai dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1909. Tujuan dikeluarkan aturan ini adalah untuk menjamin agar tenaga kerja yang diperlukan perusahaan perkebunan tersedia setiap saat diperlukan. Jenis pekerjaannya bermacam-macam. Pertama, intiran, yaitu kerja di lahan perkebunan selama 10 jam setiap lapan atau 35 hari. Kedua, jaga malam diperkebunan. Ketiga, gugur gunung, yaitu kerja kolektif tanpa upah untuk kepentingan desa atau perkebunan. Lazimnya gugur gunung digunakan untuk memperbaiki atau memelihara saluran irigasi. Bekel dan penggarap bertanggung jawab atas pemeliharaan saluran irigasi. Warga desa yang bebas dari kerja wajib adalah bekel dan wong numpang atau warga yang tidak memiliki rumah dan tanah.

Petani melakukan kerja wajib dengan upah di perkebunan yang disebut glidig. Penggarap wajib bekerja di perkebunan dengan pengawasan bekel yang melakukan fungsinya sebagai pemimpinnya orang kecil atau

pengarepe wong cilik. Bekel dan penggarap yang melalaikan kerja wajib

akan menerima hukuman berupa kerja wajib tanpa upah selama tiga bulan, hanya mendapatkan makanan ringan saja. Sistem glidig sangat merugikan para penggarap, karena hamper tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan lahan yang menjadi hak mereka. Keadaan inilah yang memicu munculnya sistem penyakapan dimana wong numpang dapat memperoleh lahan garapan dengan sistem maro.

(17)

Kerja wajib di perkebunan yang menyita sebagian besar penggarap sehingga mereka tidak punya waktu untuk menggarap lahannya merupakan berkah bagi wong numpang. Pada daerah desa perkebunan, kuli penggarap, istri, dan anak-anaknya harus dikerahkan ke ladang perkebunan agar terbebas dari hukuman. Sementara itu sistem penyakapan yang lazim disebut sistem

maro dimana seluruh sarana produksi menjadi tanggung jawab penyakap.

Akibat sistem kerja wajib ini, maka para buruh mengeluh karena jam kerja mereka bertambah dan berkurangnya berkumpul bersama keluarga.22 B. Peran Adidarmo dalam Pemogokan Buruh

Adidarmo didirikan oleh sekelompok pemuda yaitu Raden Joyodiwiryo, Raden Sastrowiyono, Raden Muso dan Raden Mas Suryopranoto. Sekelompok pemuda ini menyebut dirinya Tentara Buruh Adidarmo. Pada waktu yang bersamaan tepatnya pada tanggal 4 Agustus 1915 sekelompok pemuda ini menerbitkan majalah Medan Budiman. Medan Budiman memuat keinginan, gagasan, dan ilmu pengetahuan yang meliputi antara lain pengetahuan tentang hukum, pertanian, peternakan, adat istiadat, perdagangan, kerajinan, bahkan peristiwa-peristiwa penting menyangkut kehidupan bermasyarakat seperti perkembangan politik dan ekonomi pada masa itu. Adidarmo memperoleh pengakuan sebagai badan hukum pada bulan Mei 1917.23

22Soegijanto Padmo, “Sejarah Kota dan Ekonomi Perkebunan”,

makalah, Yogyakarta: UGM, 2007.

23

(18)

Adidarmo di bawah pimpinan Suryopranoto menempatkan diri sebagai bangsawan Jawa. Sebagai bangsawan sudah selayaknya memiliki sifat-sifat raja yang berkewajiban melindungi rakyatnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Adidarmo merasa berkewajiban untuk mengangkat derajat penduduk bumiputra, terutama pabrik gula, yaitu golongan yang paling menderita karena eksploitasi ekonomi kapitalis kolonial.24

Jalannya praktek kepemimpinan Medan Budiman dan Adidarmo berada di tangan Joyodiwiryo, seorang anggota Budi Utomo dan pendiri perkumpulan buruh Mardi Kamulya disebuah perkebunan di daerah Klaten. Ia bersifat konservatif dan moderat terhadap pemerintah kolonial dan kapitalis gula. Joyodiwryo lebih mengutamakan keserasian hubungan antara manajer pabrik gula dan pemerintah kolonial pada salah satu pihak dengan penduduk bumi putra. Oleh karena itu, Adidarmo kurang berhasil menarik dukungan massa dan tani. Pada bulan Maret 1916 penerbitan majalah Medan Budiman terhenti. Pada tanggal 4 Juli 1917 Medan Budiman terbit kembali dan kepemimpinannya diambilalih oleh Suryopranoto.25

Kepemimpinan dibawah komando Suryopranoto, Adidarmo mengalami kemajuan yang pesat. Pada pertengahan tahun 1918 Adidarmo telah berkembang menjadi sebuah organisasi yang mapan dalam menjalankan

24

Budiawan, “Anak Bangsawan Bertukar Jalan: Biografi R.M. Suryopranoto”, skripsi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1991), hlm. 35-42.

25 Bambang Sukawati, Raja Mogok R.M. Surjopranoto : Sebuah Buku

(19)

program-programnya. Sesuai dengan program-programnya Adidarmo memiliki bagian-bagian seperti: Pendidikan dan Perpustakaan, Agama dan Pertolongan bagi yang memerlukan, Urusan Pertanian, Dinas Kesehatan, Urusan Umum dan Bagian bantuan hukum. Bagian bantuan hukum selalu siap melayani penduduk bumi putra. Pada bagian ini terdapat nama-nama seperti Joyosubrongto, Sumodiharjo, Sastropratomo, Sastropidekso, dan Darmodiharjo. Keterlibatan para bangsawan terutama Suryopranoto sebagai anggota keluarga Paku Alam V memungkinkan bagian bantuan hukum Adidarmo dapat mengatasi kendala-kendala sosial budaya feodal atau lebih dikenal dengan penguasa yang kolot, selalu ingin dihormati atau bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan. Sebelum Adidarmo didirikan, sukar bagi seseorang dari lapisan kelas bawah mendapat pembelaan dari tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu, bantuan dan pertolongan Adidarmo sangat menarik perhatian penduduk bumi putra, sehingga dalam waktu yang singkat anggota Adidarmo berkembang dengan pesat. Pada bulan Oktober 1918 anggotanya telah mencapai 18.000 orang.26 Masuknya menjadi anggota Adidarmo seseorang merasa dilindungi dari tindakan sewenang-wenang.

Perlu diketahui bahwa Suryopranoto, selain menjadi anggota komisaris CSI, juga menjadi pengurus SI Cabang Yogyakarta. Sekolah-sekolah Adidarmo oleh Suryopranoto seringkali dinyatakan sebagai Sekolah-sekolah

(20)

SI. Anggota-anggota SI yang berminat menyekolahkan anaknya dianjurkan pergi ke Yogyakarta.

Gerakan Adidarmo tidak hanya terbatas di Yogyakarta saja. Pada awal tahun 1918 banyak penduduk dari wilayah kabupaten Kebumen datang ke Yogyakarta untuk memperoleh pinjaman uang, pengobatan dan pertolongan karena menjadi korban tindakan sewenang-wenang atau terlibat dalam suatu perkara. Untuk membantu meringankan beban penduduk maka Adidarmo pada bulan Maret 1918 telah membuka cabangnya di Kebumen. Cabang ini juga melayani wilayah Jawa Tengah bagian Barat. Itu berarti Soerjopranoto selaku pemimpin Adhidarmo ikut membantu gerakan perburuhan yang terorganisir.27

Dua bulan berikutnya gerakan Adhidarmo telah sampai ke kabupaten Kebumen hingga Probolinggo(bagian timur Pulau Jawa). Sosroerjo (redaktur Medan Budiman) memprotes pemecatan sewenang-wenang pangreh praja bumi putra yang dilakukan oleh Partai Probolinggo. Protes itu selanjutnya disampaikan dalam rapat yang dihadiri para anggota Adidarmo. Beberapa hari kemudian Adidarmo mengedarkan daftar sumbangan untuk minta derma yang akan disumbangkan kepada penduduk yang sedang mengalami kelaparan.

Medan Budiman yang dalam bulan Oktober 1918 memiliki pelanggan ribuan orang, bagi Adidarmo merupakan media komunikasi antar anggota,

27 Robert van Niel,”The Emergency of The Modern Indonesian Elite”,

a.b. Zahara Deliar Noer, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 189.

(21)

sumber informasi sebagai media organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Setiap anggota dianjurkan berlangganan. Adanya Medan Budiman itu, anggota-anggota Adidarmo yang tinggal jauh di luar kota Yogyakarta dapat mengikuti perkembangan-perkembangan organisasinya.

Sasaran kegiatan Adidarmo tidak terbatas pada penduduk atau pamong praja bumiputra saja. Asisten Residen Gunungkidul, Yogyakarta yaitu H.C. Wiehf telah diadukan oleh bagian bantuan hukum Adidarmo kepada Gubernur Jenderal. Asisten Residen itu merangkap jabatan sebagai Hakim Negeri. Ia selalu memberatkan pidana bagi penduduk bumiputra. Ia diadukan karena telah menghukum penduduk sampai tiga kali. Pertama menghukum terdakwa karena telah menyembelih sapi tanpa izin. Setelah selesai menjalani hukuman, terdakwa dipenjara lagi karena sapi yang dipotong adalah sapi betina (Departemen Pertanian telah mengeluarkan larangan memotong sapi betina). Kemudian setelah masa tahanannya berakhir, terdakwa dihukum penjara lagi karena telah terbukti memakan daging sapi yang dipotong tanpa izin. Padahal sapi itu milik terdakwa sendiri. Akibat Adidarmo itu, akhirnya pada bulan Oktober 1918 H.C. Wiehf dipindah oleh Gubernur Jendral.

Salah satu faktor pendorong bagi peningkatan jumlah anggota dan aktivitas Adidarmo adalah kesulitan ekonomi yang semakin meningkat. Sudah sejak tahun 1917 para pemimpin SI meramalkan bahwa pulau Jawa akan kekurangan beras.28 Dalam bulan Februari 1918 SI Cabang Yogyakarta

28

(22)

mengadakan kongres menuntut kepada pemerintah agar mengurangi tanaman tebu itu selanjutnya akan ditanami padi oleh penduduk untuk menghindarkan penduduk dari bahaya kelaparan. Cokroaminoto dalam kongres mengancam pemerintah akan memerintahkan pemogokan umum bila Gubernur Jendral tidak mengurangi tanaman tebu. Seluruh cabang SI di Jawa dianjurkan mengadakan kongres untuk mendukung kongres di Yogyakarta.29

Pemerintah kolonial bermaksud menyelematkan negara dari kesulitan ekonomi akibat Perang Dunia I. Berbagai cara dilakukan seperti pengelolaan tebu menjadi gula. Pemerintah mengambil keuntungan dari tersedianya peluang bagi mereka untuk membangun sebuah industri. Industri gula pun menjadi tumpuan ekonomi negara, maka pemerintah mengangkat seorang mantan manajer pabrik gula di Jawa, yaitu Sibinga Mulder, dalam tahun 1917 menjadi Direktur Departemen Landbouw, Industri en Handel (Direktur Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan). Sibinga Mulder menjelaskan bahwa pengurangan areal perkebunan tebu akan merugikan perusahaan dan buruh tani di daerah perkebunan. Penanaman tebu jauh lebih menguntungkan daripada ditanami padi.30

Penjelasan Sibinga Mulder dapat mempengaruhi wakil keua CSI, Abdul Muis bahwa pengurangan tanaman tebu akan menimbulkan kesengsaraan buruh di daerah Industri gula. Abdul Muis menyanggah pendapat pimpinan SI Cabang Semarang dan Cokroaminoto, ketua CSI yang

29

Medan Boediman, Juni 1918, hlm. 267.

30

James R. Rush, Jawa Tempo Doeloe: 650 tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 93.

(23)

berkedudukan di Surabaya. Menurut sumber pertanian rata-rata satu bau areal sawah dapat menghasilkan 12 pikul beras. Biasanya yang separuh untuk pemilik sawah dan sisanya untuk buruh. Bila dijual, satu pikul beras laku f.10, maka untuk 6 pikul akan menghasilkan f.60. Akan tetapi bila ditanami tebu, pabrik gula setiap tahun dari areal tanaman tebu satu bau dapat menyisihkan uang f 250, untuk membayar upah buruh.

Pada tahun 1917 areal tanaman tebu mencapai 225.000 bau. Sesuai dengan laporan dari departemen pertanian yang dikutip Abdul Muis maka andai kata areal tanaman tebu tidak dikurangi 50 persen, tetapi hanya 20 persen maka luas sawahnya 45.000 bau. Bila areal sawah 20 persen ditanami tebu, maka hasilnya adalah 45.00 x f.250 = f 11.275.000. Namun bila ditanami padi, tiap satu bau akan menghasilkan 11 pikul (karena kondisi musiman lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya), meskipun dianggap menghasilkan 750.000 pikul. Jadi bila dijual akan memperoleh f.3.750.000. Dalam waktu setahun sawah setelah ditanami padi masih dapat ditanami tanaman yang lain yaitupalawija, hasilnya tidak lebih dari f.30 tiap bau. Jadi untuk areal 45.000 bau akan menghasilkan f.135.000. Hasil seluruhnya bila tidak ditanami tebu untuksatu tahun adalah f.5.100.000.31

Sehubungan dengan perhitungan itu harian de Locomotief menyebutkan bahwa sikap Sibinga Mulder tidak lebih dari seorang pedagang gula dan tidak mencemirkan seorang pejabat tinggi pemerintah. Selain

31 R.E Elson, Javanese Peasant and The Colonial Sugar Industry:

Impact and Change in an East Java Residency 1830-1940, (Singapore:

(24)

sebagai tanaman manajer pabrik gula Sibinga Mulder juga mantan anggota Twede Kamer yang selalu berusaha membela industri gula. Para pemimpin SI terutama cabang Semarang menyesalkan sikap Abdul Muis yang dapat menerima laporan departemen pertanian. Para pemimpin itu menyangsikan itikad baik Abdul Muis selaku wakil ketua CSI dan berasal dari Sumatera. Penyelesaian akhirnya meningkat menjadi tuntutan agar AbdulMuis mengundurkan diri sebagai wakil ketua CSI. Namun Cokroaminoto yang memiliki pengaruh sangat besar di kalangan anggota SI mempertahankan sikap kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Cokroaminoto yang semula mendukung pengurangan areal perkebunan tebu, berubah mempertahankan kedudukan AbdulMuis dalam CSI. Sikap itu telah mengantarkan Cokroaminoto dan AbdulMuis menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), yang mulai bersidang pada bulan Mei 1918. Volksraad hendak dijadikan batu loncatan, untuk memperjuangkan kepentingan seluruh anggota SI. Kritik dari para pemimpin sayap kiri SI segera timbul berupa kesangsian bahwa Cokroaminoto dan Abdul Muis hanya akan memperjuangkan kepentingan kaum borjuis nasional dan bukan untuk kaum buruh. Demikian juga Adidarmo telah menyangsikan baik kepemimpinan Cokroaminoto maupun ketua SI Cabang Yogyakarta, yang selalu menunjukkan sikap loyal kepada pemerintah dengan sering mencela rapat-rapat ISDV yang berani mengecam kebijakan pemerintah sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.

(25)

Sementara itu ISDV masih kecil, tidak berarti secara politik dan mayoritas anggotanya orang belanda, VSTP (Vereninging van Spoor-en

Tramwegpersoneel) atau serikat buruh kereta api yang berdiri tahun 1908

mengalami transformasi yang mendasar pada tahun-tahun itu dibawah pengaruh sneevliet. Ketika sneevliet pertama kali berhubungan dengan pemimpin pusat VSTP pada pertengahan 1913, anggota VSTP kebanyakan masih orang eropa dan pemimpin pusat masih tetap ditangan propagandis serikat buruh Eropa. Akan tetapi pada awal dekade 1910-an, buruh bumiputra yang terampil dan dapat membaca, seperti operator mesin, kepala stasiun, dan pegawai administrasi. Sehingga akhir 1913 orang bumiputra sejajar dengan anggota Eropa. kemudian Semaoen adalah orang bumi putera pertama yang menjadi propagandis serikat buruh bertemu dengan sneevliet, akhirnya bergabung dengan ISDV dan VSTP karena sikap Sneevliet yang manusiawi dan tulus serta bebas dari mentalitas kolonial belanda. Selama 1914-1916 ISDV tetap menjadi klub debat bagi kaum sosialis belanda, yang terbagi-bagi menurut garis partai dan tanpa pengaruh langsung terhadap pergerakan. Satu-satunya aktivitas politik yang dilakukan pemimpin pusat ISDV adalah mendukung marco ketika ia dituntut oleh persdelicten (tulisan yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah) karena mengorganisir

vergadering(rapat) protes bersama Insulinde dan mendirikan komite

kebebasan pers pada pertengahan 1915.32 Marco adalah seorang mantan

32

Takashi Shiaraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa

(26)

jurnalis Medan priayi, editor sarotomo dan terjun ke dunia pergerakan. Ia menerbitkan Doenia Bergerak dalam surat kabar Inlandsche Journalisten

bond (IJB).

Adidarmo menjadi radikal terutama karena pengaruh para pemimpin ISDV. Pada tanggal 20 Maret 1918 ISDV mengadakan rapat di Dagen, Yogyakarta. Baars dalam rapat menjelaskan bahwa seluruh pabrik gula di Jawa adalah milik sekelompok kecil orang yaitu kaum kapitalis. Baars menyatakan kapitalis menyewa tanah-tanah kaum buruh untuk dijadikan perkebunan tebu dengan harga yang murah. Kaum buruh yang menanam, menjaga dan menebang tebu dan selanjutnya mengangkut dan mengolah tebu dalam pabrik sampai menjadi gula. Namun kaum kapitalis yang senantiasa mencari keuntungan besar dengan tidak mengingatkerugian dan kesusahan orang banyak. Kaum buruh yang bekerja keras tetapi hanya diupah sedikit. Baars menyatakan bahwa ISDV sebenarnya tidak menghendaki pabrik gula dihapuskan, tetapi menghendaki pembagian hasil yang lebih adil. Untuk itu ISDV menghendaki pabrik tidak hanya menjadi milik kaum kapitalis, tetapi juga menjadi milik kaum buruh. Kepemilikan bersama akan menjamin pembagian keuntungan perusahaan yang lebih adil. Baars akhirnya menutup pidatonya dengan terlebih dahulu membuka perdebatan di kalangan para hadirin. Ternyata semuanya dapat menerima pendapat Baars.

Rapat diakhiri dengan pemilihan pengurus ISDV Cabang Yogyakarta. R. Gondowijoyo adalah anggota tentara Buruh Adidarmo dan redaktur majalah Medan Budiman terpilih menjadi Presiden ISDV Cabang

(27)

Yogyakarta. Semenjak itu gerakan Adidarmo lebih terarah pada perjuangan mencapai keadilan ekonomi yang ditunjukkan kepada kaum kapitalis pabrik gula.Beberapa minggu berikutnya, Adidarmo melancarkan tuduhan bahwa Ketua SI Cabang Yogyakarta tidak mewakili rakyat didaerahnya. Ketua SI itu dipandang tidak mengerti keadaan dan penderitaan rakyatnya, karena bukan putra asli Yogyakarta. Kritik baru berakhir ketika Suryopranoto mengambil alih jabatan sebagai Ketua SI Cabang Yogyakarta. Perkembangan ini berarti SI, ISDV, dan Adidarmo telah bersatu menjadi kekuatan politis dengan jaringan sosial yang luas. Hal ini menimbulkan optimisme bagi gerakan-gerakan selanjutnya.

Pada bulan Oktober 1918, dalam Kongres Nasional ketiga yang diselenggarakan CSI di Surabaya, Hadisubroto menyampaikan niat Adidarmo hendak menggerakan buruh pabrik gula menentang kaum kapitalis gula, namun niat ini menjadi bahan tertawaan para pemimpin SI terutama Cabang Semarang. Semaun menjelaskan bahwa kemenangan atas kaum kapitalis dapat diperoleh bila kondisi sudah matang, yaitu ketika industrialisasi sudah meluas dan buruh telah sadar dan bersatu di dalam kelasnya. Gerakan yang lebih efektif dimulai dari kota-kota yang merupakan pusat-pusat industri. Suryopranoto pada kesempatan yang lain dalam kongres menjelaskan bahwa kondisi di daerah gula terutama di Yogyakarta, buruh dan tani dalam keadaan yang menyedihkan.33

33 J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan,

(28)

John Kautsky mengidentifikasi bahwa peranan sebagai pemrakarsa utama dalam mengerahkan dukungan rakyat dan mengorganisir suatu pergerakan politik nasionalis banyak dimainkan oleh kaum intelektual yang telah menyerap sejumlah wawasan dan nilai-nilai peradaban Barat melalui pendidikan oleh pemerintah kolonial dan rasa frustasi karena terbatasnya kesempatan politik maupun kesempatan lainnya di dalam rezim kolonial.34

Hal ini mungkin salah satu yang mendorong Suryopranoto terus melakukan propaganda terhadap para buruh untuk memprotes kebijakan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Suryopranoto berkenginan untuk membetuk organisasi buruh yang memperjuangkan nasib kaum pribumi. Keinginan Suryopranoto diwujudkan dengan dibentuknya Personeel Fabriek Bond di wilayah Yogyakarta yang baru benar-benar diakui keberadaannya justru pada tahun 1919 setelah keberhasilannya mengakomodir pemberontakan pabrik gula di Bantul dan salah satunya pabrik gula Tanjung Tirto.35

Sejak itu, ia bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintahan penjajah Belanda untuk selama-lamanya dan memberikan seluruh tenaga dan pikirannya pada perjuangan melawan penjajahan serta menegakkan hak-hak kaum tertindas. Protes Suryopranoto ditandai dengan menyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci dihadapan Residen Belanda. Selama menjadi pemimpin pemogokan Suryopranoto juga berulang kali dipenjarakan pada tahun 1923, 1926, dan 1933.

34 Ibid., hlm. 115.

35

Gambar

Tabel Hasil Pertanian pada Tahun 1918

Referensi

Dokumen terkait

Obtaining this publication The Way We Get By: A Play By Neil LaBute by online in this website could be understood now by checking out the web link page to download.. It will

Dalam pembuatan program ini, batasan permasalahan yang ada adalah sistem yang akan dibuat merupakan sistem informasi perpustakaan yang meliputi pengolahan data anggota,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata rendemen jabon lebih tinggi 47,17% daripada rata-rata rendemen jabon 42.83%.Analisis regresi eksponensial kayu sengon dan kayu

(1) Permohonan legalisir duplikat izin disampaikan kepada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat melalui loket yang telah disediakan sesuai dengan bidang izin

Klub ini menjadi klub pertama Italia dan Eropa Selatan yang berhasil memenangi gelar Piala UEFA (sekarang namanya menjadi Liga Europa) pada 1985, Juventus menjadi satu-satunya

Risiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat perubahan fonem konsonan bahasa Malaysia ke dalam bahasa Indonesia. Fonem /k/ dalam bahasa Malaysia yang terletak di