• Tidak ada hasil yang ditemukan

Case Tumor Mediastinum Dan Sindrom Vena Cava

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Case Tumor Mediastinum Dan Sindrom Vena Cava"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Kasus

TUMOR MEDIASTINUM DAN SINDROM VENA CAVA

Oleh: Yayuk Suzena (04114705005) Darmawati Sahafi (04114705049) Pembimbing: dr. Zen Ahmad, Sp.PD K-P Oponen Wajib:

1. Dwi Atika Sari 12. Shiva

2. Hilwa 13. Shoba

3. Dian Afida 14. Randy

4. Alfi Fadilah 15. David Akbar F

5. Baskara Batista 16. Rince Nurmala S

6. Rudini E 17. Desi Ratnasari

7. Nia Wahyuni 18. Helza Adella

8. Nurul Fajriah W.U 19. Erinnah YP

9. Rahman Setiawan 20. Rahmat Fajri

10. Febriana Qolbi 21. Edvans

11. Shafira Sepriana

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Tumor Mediastinum dan Sindrom Vena Cava. Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Zen Ahmad, Sp.PD K-P selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini.

Penulisan juga mengucapan terima kasih kepada residen-residen, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, Juni 2013

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

Tumor Mediastinum dan Sindrom Vena Cava

Oleh:

Yayuk Suzena (04114705005) Darmawati Sahafi (04114705049)

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 10 Juni - 19 Agustus 2013.

Palembang, Juni 2013

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di mediastinum yaitu rongga imaginer di antara paru kiri dan kanan. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah besar, trakea, timus, kelenjar getah bening dan jaringan ikat. Ada beberapa versi pembagian mediastinum yaitu mediastinum dibagi atas 4 bagian, yaitu mediastinum superior, anterior, medial dan posterior.1

Jenis tumor mediastinum sering berkaitan dengan lokasi tumor dan umur penderita. Pada anak-anak tumor mediastinum yang sering ditemukan berlokasi di mediastinum posterior dan jenisnya tumor saraf. Sedangkan pada orang dewasa lokasi tumor banyak ditemukan di mediastinum anterior dengan jenis limfoma atau timoma.2 Dari data RS Persahabatan tahun 1970 – 1990 telah dilakukan operasi tumor

mediastinum sebanyak 137 penderita, dengan jenis teratoma 44 kasus (32,1%), timoma 33 (24%) dan tumor saraf 11 kasus (8%). Dari 103 penderita tumor mediastinum, timoma ditemukan pada 57,1% kasus, tumor sel germinal 30%, limfoma, tumor tiroid dan karsinoid masing-masing 4,2%.3 Bacha dkk dari Perancis,

melakukan pembedahan terhadap 89 pasien tumor mediastinum dan terdiri dari 35 kasus timoma invasif, 12 karsinoma timik, 17 sel germinal, 16 limfoma, 3 tumor saraf, 3 karsinoma tiroid, 2 radiation induced sarcoma dan 1 kasus mesotelioma mediastinum.

Penelitian retrospektif dari tahun 1973 sampai dengan 1995 di New Mexico, USA mendapatkan 219 pasien tumor mediastinum ganas yang diidentifikasi dari 110.284 pasien penyakit keganasan primer, jenis terbanyak adalah limfoma 55%, sel germinal 16%, timoma 14%, sarkoma 5%, neurogenik 3% dan jenis lainnya 7%.4

Berdasarkan gender ditemukan perbedaan yang bermakna. Sembilan puluh empat persen tumor sel germinal adalah laki-laki, 66% tumor saraf berjenis kelamin perempuan, sedangkan jenis tumor lainnya 58% ditemukan pada laki-laki.

(5)

Berdasarkan umur, penderita limfoma dan timoma ditemukan pada penderita umur dekade ke-5, tumor saraf pada dekade pertama, sedangkan sel germinal ditemukan pada umur dekade ke-2 sampai ke-4.5

Evaluasi selama 25 tahun terhadap 124 pasien tumor mediastinum didapatkan umur tengah pasien adalah 35 tahun. Pasien yang datang dengan keluhan 66% dan 90% dari kasus adalah tumor ganas dengan jenis terbanyak timoma yaitu 38 dari 124 (31%), sel germinal 29/124 (23%), limfoma 24/124 (19%) dan tumor saraf 15/124 (12%). Empat puluh tujuh kasus dari 91 kasus mengalami kekambuhan (recurrence) setelah reseksi komplet atau respons terhadap terapi, dengan masa tengah kekambuhan 10 bulan.6 Marshal menganalisis 24 kasus tumor mediastinum yang

dibedah di RS Persahabatan tahun 2000 – 2001, mendapatkan laki-laki lebih banyak daripada perempuan (70,8% dan 29,2%) dengan jenis terbanyak adalah timoma, 50% dari 24 penderita.7 Timoma merupakan kasus terbanyak di mediastinum anterior,

sedangkan limfoma dan tumor saraf biasanya pada mediastinum medial dan posterior.8,9

Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Indonesian Journal of Internal Medicine terdapat 201 kasus tumor ini dalam 10 tahun dari tahun 2000 sampai 2009. Walaupun kejadian tumor ini tidak terlalu banyak, tetapi penyakit ini perlu diwaspadai oleh masyarakat. Sebagian besar tumor mediastinum tumbuh dengan lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar, disertai keluhan dan tanda penekanan tumor terhadap organ sekitarnya. Kematian pada tumor mediastinum yang dirawat berhubungan dengan keadaan kegawatdaruratan seperti sindrom vena kava superior dan efusi pleura masif, serta keadaan sepsis. Selain itu, untuk menegakkan diagnosis penyakit ini masih sangat sulit. Oleh karena itu, seorang dokter umum harus dapat memahami dengan baik tentang perjalanan penyakit ini. Laporan kasus ini mengangkat tema tentang tumor mediastinum dan sindrom vena cava yang diharapkan dapat menambah informasi dan dapat digunakan selanjutnya sebagai bahan diskusi.

(6)

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI

• Nama : Hirdi Fiter

• Umur : 29 tahun

• Jenis kelamin : Laki - laki

• Alamat : Jalan Nyiur Sayak Semidang aji Batu Raja.

• Status : Menikah

• Pekerjaan : Wiraswasta

• Agama : Islam

• MRS : 19 Juni 2013

II. ANAMNESIS

Tanggal 19 Juni 2013, diberikan oleh penderita (os).

Keluhan utama

Sesak nafas sejak ± 6 bulan SMRS

Riwayat perjalanan penyakit

± 6 bulan SMRS, os mengeluh timbul benjolan di leher sebelah kiri, deman (+) naik turun batuk (+) sejak 1 bulan yang lalu, sesak nafas (+), sesak dipengaruhi aktifitas, pasien mengaku sesak berkurang saat istrahat. Terbangun tiba-tiba karna sesak (-), mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+). Os lalu berobat ke dokter bedah di batu raja tetapi tidak ada perubahan.

± 4 bulan SMRS os mengaku sering demam, batu kering (+), badan terasa pegal-pegal (+), sesak nafas (+), badan terasa lemas dan mudah lelah (+), os kemudian pindah berobat kepengobatan tradisional tetapi tidak ada perubahan.

(7)

± 6 minggu SMRS demam tidak hilang-hilang, sesak nafas (+), badan terasa lemah, nafsu makan menurun, os lalu berobat ke SpPD dan dirasakan ada sedikit perubahan dan os disarankan berobat ke poliklinik penyakit dalam RSMH Palembang dan disarankan untuk dikemoterapi.

Riwayat penyakit dahulu:

 Riwayat asma (+) sejak umur 15 tahun, os berobat tradisional  Riwayat darah tinggi (-)

 Riwayat batuk lama (-)  Riwayat kencing manis (-)

Riwayat kebiasaan:

 Riwayat merokok (-)

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup Pernafasan : 22 x/menit, torakoabdominal, reguler Suhu : 36,50 C

Berat badan : kg Tinggi badan : 172 cm IMT : kg/m2

(8)

Keadaan spesifik Kulit

Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit tidak ada, terdapat venektasi pada badan, sianosis tidak ada, scar tidak ada, keringat ada, pucat pada telapak tangan dan kaki tidak ada, pertumbuhan rambut normal.

KGB

Pembesaran KGB (+) pada regio colli sinistra ukuran 4x5 dan 2x2, nyeritekan (-). Tidak ada pembesaran KGB pada daerah submandibula, aksila, dan inguinal serta tidak ada nyeri penekanan.

Kepala

Normocephaly. Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, dan deformasi tidak ada.

Mata

Eksoftalmus dan endoftalmus tidak ada, edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat tidak ada, sklera ikterik tidak ada, pupil isokor, reflek cahaya normal, pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung

Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak ada.

Telinga

Tophi tidak ada, nyeri tekan processus mastoideus tidak ada, pendengaran baik.

Mulut

Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah tidak ada, atrofi papil tidak ada, gusi berdarah tidak ada, stomatitis tidak ada, rhagaden tidak ada, bau pernapasan khas

(9)

tidak ada, faring tidak ada kelainan, bibir pecah-pecah tidak ada, sariawan pada bibir tidak ada.

Leher

Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH20, pembesaran KGB (+) regio

ciolli sinistra ukuran 4x3dan 2x2, kaku kuduk tidak ada.

Dada

Bentuk dada tidak simetris, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok tidak ada, krepitasi tidak ada. Barrel chest tidak ada. Sela iga melebar tidak ada, terdapat venektasi.

Paru-paru I : P: P:

A:

Statis dan dinamis simetris kanan-kiri

Stem fremitus paru kanan menurun, paru kiri normal

Redup pada paru kanan mulai dari ICS III kebawah dan sonor pada paru kiri.

Vesikuler (+) normal pada paru kiri. Vesikuler (+) normal pada paru kanan. Ronkhi (-). Wheezing (-).

Jantung I : P: P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat Iktus kordis tidak teraba

Batas jantung atas  ICS II, batas jantung kanan  Lines sternalis dextra, batas jantung kiri sulit dinilai

HR = 80 x/menit, murmur (-), gallop (-)

Perut I : P:

Datar, tidak terlihat jaringan parut

(10)

P: A:

teraba, shifting dullness (-), nyeritekan epigastrium (-). Timpani

Bising usus (+) normal

Alat kelamin : tidak diperiksa

Extremitas atas :

Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi tidak ada, edema tidak ada, jaringan parut tidak ada, pigmentasi normal, akral hangat, turgor kembali cepat,

clubbing finger tidak ada.

Extremitas bawah :

Eutoni, atrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi tidak ada, edema pretibial tidak ada, piting edema tidak ada, jaringan parut tidak ada, pigmentasi normal, akral hangat, turgor kembali cepat, clubbing finger tidak ada.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG RADIOLOGI

Rontgen toraks PA (7 Juni 2013), didapatkan :  Mediastinum kanan tampak melebar  Arcus aorta normal

 Cor normal

 Parenkim paru normal. Kesan : Massa Mediastinum

(11)

Darah Rutin (712,5 Juni 2013) :

1) Hemoglobin : 12,5g/dl ( N: 14-16 g/dl ) 2) Hematokrit : 37 vol% ( N: 37-43 vol% )

3) Trombosit : 367000/mm3 ( N: 200000-500000/ mm³ ) 4) Leukosit : 5000 /mm3 ( N: 5000-10000/ mm³ ) 5) LED : 15mm/jam ( N: 29 mm/jam)

6) Diff. Count : - Basofil : 0% (N: 0-1) - Eosinofil : 1% (N: 1-3) - Batang : 0% (N: 2-6) - Segmen : 57% (N: 50-70) - Limfosit : 34% (N: 20-40) - Monosit : 0% (N: 2-8) Kimia Klinik: 1) BSS : 56mg/dl 2) Uric acid : 3,8mg/dl (N: 3,5-7,1 mg/dl) 3) SGOT : 79U/I (<40) 4) SGPT : 69U/I (<41) 5) Natrium : 341mmol/l (N: 135-155) 6) Kalium : 4,0mmol/l (N: 3,5-5,5) V. DIAGNOSIS KERJA

Susp. Tumor Mediastinum dan Sindroma Vena Cava Superior

VI. PENATALAKSANAAN Non farmakologis :  Istirahat

 Diet NB  O2 3 L/menit

(12)

Farmakologis :

 IVFD RL gtt X/menit (mikro) di tungkai  Inj. Furosemid 1x1 amp

 Inj. Dexametason 3x1 amp  OBH syr 3x1 c

 Omeprazole tab 1x20mg  Vit B1B6B12 3x1

 Rencana kemoterapi CHOP

VII. RENCANA PEMERIKSAAN Bronkoskopi

CT-Scan thorax dengan kontras TTB

Bone Survey

VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia

(13)

PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP 20 Juni 2013

S Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+)

O

Keadaan umum

• Kesadaran : Compos mentis • Tekanan darah : 110/60 mmHg • Nadi : 82/menit • RR : 24x/menit • Temperatur : 36,6ºC

Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-)

Leher :JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (+)regio colli

sinistra Paru-paru I : P: P: A:

Statis dan dinamis simetris kanan-kiri

Stem fremitus paru kanan menurun, paru kiri normal

Redup pada paru kanan mulai dari ICS III kebawah dan sonor pada paru kiri.

Vesikuler (+) normal pada paru kiri. Vesikuler (+) normal pada paru kanan. Ronkhi (-). Wheezing (-).

Jantung I : P: P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat Iktus kordis tidak teraba

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan  Lines sternalis dextra, batas jantung kiri sulit dinilai

(14)

Perut I : P:

P: A:

Datar, tidak terlihat jaringan parut, terdapat venektasi

Lemas, nyeri tekan (-) di epigastrium, Hepar yeraba 3 JBAC dan Lien tidak teraba, shifting dullness (-).

Timpani

Bising usus (+) normal

Alat kelamin : tidak diperiksa Extremitas : edema pretibial

-/-A Susp. Tumor mediastinum dengan sindroma vena cava superior.

P  Istirahat  O2 3 L/menit  Diet NB TKTP  IVFD RL gtt XX/menit  Vit. B1B6B12 3x1 tab

BAB III

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumor Mediastinum

2.1.1 Definisi

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di mediastinum yaitu rongga imaginer di antara paru kiri dan kanan. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah besar, trakea, timus, kelenjar getah bening dan jaringan ikat.1

Sebagian besar adalah akibat metastasis dari tempat lain (yang paling sering karsinoma bronkogenik), kemudian limfoma, sebagian kecil lagi tumor neurogenik, teratoma, timoma dan lipoma. Tumor neurogenik adalah tumor primer mediastinum yang tersering (±19%), biasanya terletak di mediastinum posterior dekat lekukan paravertebra, neurogenik tumorini umumnya bersifat jinak antara lain neurofibroma, neurolemmoma, schwannomadan ganglioneuroma.sebagian ganas yaituneurogenik sarkoma. Biasanya tak menyebabkan gejala apapun, bila ada nyeri biasanya tumor berasal dari saraf interkosta atau bila masa besar tidak menimbulkan sesak dan bisa mengikis tulang.10

2.1.2 Jenis-Jenis Tumor Mediastinum

Tumor mediastinum di bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan bagian dari mediastinum yaitu : mediastinum superior, anterior, medial dan posterior.

(16)

a. Teratodermoid

Umumnya terdapat di mediastinum anterior, ±13% dari semua tumor mediastinum. Sering pada dewasa muda, bisa terdiri atas kista dermoid jinak serta teratoma ganas dan seminoma. Secara histologis mirip dengan tumor testis atau ovarium. Kadar β-human chorionic qonadotropin dan alfa feto protein biasanya meningkat 10-20% berkembang menjadi ganas ada asosiasi dengan sindrom klinefilter. Foto dada menampakan garis-garis kalsifikasi pada tepi kista tulang dan gigi pengobatannya harus dengan eksisi.

b. Timoma

Biasa terdapat di mediastinumsuperior dan anterior, merupakan tumor ±12% mediastinum primer. Lebih kurang seperempatnya merupakan ganas tapi jarang bermetastasis. Gejala meastenia gravis timbul pada kurang lebih 50% pada pasian dengan timoma, namun sebagian besar pasien meastenia gravis tidak mempunyai tumor kelenjar timoma. Pada posisi terlentang, tumor ini dapat menekan trakea sehingga menimbulkan sesak nafas.pada CT-scan jelas

(17)

menunjukan massa berbatas jelas terkadang dengan kalsifikasi dan terapinya adalah dengan eksisi.timoma ganas bersifat radiosensitif.

c. Lipoma

Sebagian besar tumbuh di mediastinum superior anterior.dengan CT- scan mudah untuk di deteksi.

d. Limfadenopati

Tumbuh di mediastinum anterior medius. Biasanya disebabkan oleh tuberkulosis, sarkoidosis, limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, metastasis kanker paru.

e. Tiroid

Retrosternal tiroid pada usia diatas 50 tahun terjadi ±6% dari seluruh massa mediastinal.

2.1.3 Penegakan Diagnosis

Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat dilakukan foto toraks untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan dengan ukuran dan invasi atau kompresi terhadap organ sekitar, misalnya sesak napas berat, sindrom vena kava superior (SVKS) dan gangguan menelan. Tidak jarang pasien datang dengan kegawatan napas, kardiovaskuler atau saluran cerna. Bila pasien datang dengan kegawatan yang mengancam jiwa, maka prosedur diagnostik dapat ditunda. Sementara itu diberikan terapi dan/atau tindakan untuk mengatasi kegawatan, bila telah memungkinkan prosedur diagnostik dilakukan. Gambar 2 memperlihatkan prosedur diagnostik pasien tumor mediastinum dengan kegawatan, berdasarkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Sedangkan gambar 3 memperlihatkan prosedur diagnostik yang dilakukan dalam usaha

(18)

Gambar 2. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum dengan kegawatan Keterangan : SVKS = Sindrom vena kava superior

(19)

Gambar 3. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum tanpa kegawatan. Keterangan :

PA = posteroanterior, BJH = biopsi jarum halus, KGB = kelenjar getah bening, USG= ultrasonografi, MRI= magnetic resonance imaging, TTB = transtorakal biopsi, VATS = Video assisted thoracoscopy system.

Anamnesis dan pemeriksan fisis yang cermat akan menemukan keluhan yang khas serta gejala dan tanda yang kadang spesifik untuk jenis tumor mediastinum tertentu. Tetapi keluhan umum seperti demam, berat badan turun, pembesaran kelenjar getah bening, mengi dan stridor dapat ditemukan pada hampir semua jenis. Ketelitian dan evidence base penyakit di Indonesia dapat

(20)

menuntun dokter ke arah diagnostik yang mendekati kebenaran, misalnya pasien usia muda dengan klinis sesuai untuk infeksi paru barangkali limfoma dapat disingkirkan. Keluhan sesak yang makin lama semakin hebat pada anak sering menjadi gejala untuk tumor saraf, pasien usia dewasa dengan keluhan miastenia gravis adalah khas untuk timoma. Foto toraks polos posteroanterior (PA) sering tidak dapat mendeteksi tumor yang kecil karena superposisi dengan organ lain yang ada di mediastinum.

Jika tumor sangat besar kadang juga menjadi sulit menentukan lokasi asal tumor, sedangkan foto toraks PA dan lateral pada tumor dengan ukuran sedang dapat menunjukkan lokasi tumor di mediastinum. CT Scan adalah alat diagnostik bantu yang bukan hanya dapat mendeteksi lokasi tumor tetapi dapat memperkirakan jenis tumor tersebut. Untuk timoma gambaran makroskopik tumor melalui CT Scan juga dibutuhkan untuk penentuan staging penyakit. Teratoma dipastikan bila ditemukan massa dengan berbagai jenis jaringan di dalamnya. Pemeriksaan imaging lain, seperti ekokardiografi, esofagografi dan MRI kadang dibutuhkan bukan hanya untuk diagnostik tetapi juga penatalaksanaan yang akan diberikan.

Bronkoskopi tidak dianjurkan untuk pengambilan bahan pemeriksaan jenis histopatologik sel tumor tetapi dilakukan untuk melihat kelainan intrabronkus yang biasanya terlihat pada tumor paru, sedangkan pada tumor mediastinum biasanya melihat stenosis akibat kompresi. Untuk semua penderita yang akan mengalami pembedahan bronkoskopi dapat membantu ahli bedah untuk memperkirakan lokasi dan luas tindakan yang akan dilakukan. Untuk mendapatkan jenis sel tumor sebaiknya dipilih teknik yang sederhana, murah dan aman. Biopsi jarum halus (BJH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) pada massa superfisial adalah tindakan pilihan pertama.

Sitologi cairan pleura dan biopsi pleura dilakukan bila ditemukan efusi pleura. Biopsi transtorakal (TTB) tanpa tuntunan fluoroskopi dapat dilakukan bila ukuran tumor besar dan lokasinya tidak berisi banyak pembuluh darah.

(21)

Kelemahan teknik ini adalah apabila jaringan tumor terdiri dari berbagai jaringan seperti pada teratoma sering mendapatkan negatif palsu. Biopsi transtorakal dengan tuntunan fluoroskopi atau CT Scan dapat menurunkan risiko terjadi komplikasi seperti pneumotoraks, perdarahan dan false negative. Jika perlu, tindakan invasif harus dilakukan, torakotomi eksplorasi dapat dilakukan untuk mencari jenis sel tumor.

Penilaian keuntungan dan kerugian tindakan FNAB atau mediastinoskopi masih diperdebatkan.12,13 Kelompok yang setuju FNAB mengatakan teknik itu

merupakan tindakan yang sederhana, murah dan aman dan tidak membutuhkan anestesi umum pada saat tindakan. Teknik Percutaneneous core needle biopsy (PCNB) untuk tumor mediastinum memiliki sensitiviti 91,9% dan spesifisiti 90,3% dengan komplikasi pneumotoraks 11% dan hemoptisis 1,6% dari 70 pasien.14 Meskipun tumor marker tidak memberikan arti tetapi untuk tumor sel

germinal pemeriksaan kadar beta-HCG dan alfa-fetoprotein dilakukan untuk membedakan seminoma atau bukan.

2.1.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tumor mediastinum sangat bergantung pada sifat tumor, jinak atau ganas. Tindakan untuk tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah, sedangkan untuk tumor ganas berdasarkan jenisnya. Jenis tumor mediastinum ganas yang paling sering ditemukan adalah timoma (bagian dari tumor kelenjar timus), sel germinal dan tumor saraf. Secara umum terapi untuk tumor mediastinum ganas adalah multimodaliti yaitu bedah, kemoterapi dan radiasi. Beberapa jenis tumor resisten terhadap radiasi dan/atau kemoterapi sehingga bedah menjadi pengobatan pilihan, tetapi banyak jenis lainnya harus mendapatkan tindakan multimodaliti. Kemoradioterapi dapat diberikan sebelum bedah (neoadjuvan) atau sesudah bedah (adjuvan). Pilihan terapi untuk timoma ditentukan oleh staging penyakit saat diagnosis. Untuk tumor sel germinal sangat

(22)

bergantung pada subtipe tumor, tumor saraf dibedakan berdasarkan jaringan yang dominan pada tumor.

I. Timoma

Timoma adalah tumor epitel yang bersifat jinak atau tumor dengan derajat keganasan yang rendah dan ditemukan pada mediastinum anterior. Timoma termasuk jenis tumor yang tumbuh lambat. Sering terjadi invasi lokal ke jaringan sekitar tetapi jarang bermetastasis ke luar toraks. Kebanyakan terjadi setelah usia lebih dari 40 tahun dan jarang dijumpai pada anak dan dewasa muda. Jika pasien datang dengan keluhan maka keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri dada, batuk, sesak atau gejala lain yang berhubungan dengan invasi atau penekanan tumor ke jaringan sekitarnya. Satu atau lebih tanda dari sindrom paratimik sering ditemukan pada pasien timoma, misalnya miastenia gravis, hipogamaglobulinemi dan aplasia sel darah merah.8

Pada penelitian retrospektif terhadap penderita timoma invasif menunjukkan hasil yang sama, nyeri dada, sesak napas dan batuk adalah 3 keluhan utama penderita, sedangkan miastenia gravis ditemukan pada 1 dari 15 penderita.15 Marshal mendapatkan 2 dari 24 kasus prabedah menunjukkan gejala

miastenia gravis.7

Klasifikasi, staging dan penatalaksanaan

Dari gambaran patologi anatomi sulit dibedakan timoma jinak atau ganas. Definisi timoma ganas adalah jika tumor secara mikroskopik (histopatologik) dan makroskopik telah invasif ke luar kapsul atau jaringan sekitarnya. Istilah lain yang digunakan untuk timoma invasif adalah timoma ganas. Ada beberapa klasifikasi untuk timoma, berdasarkan Muller- Hermelink. 16,17 Seperti yang

dapat dilihat pada tabel 1. Klasifikasi histopatologi timoma secara umum dibagi 3 yaitu medular, kortikal dan campuran dan berhubungan dengan tingkat invasinya ke kapsul atau jaringan sekitarnya. Sedangkan sistem staging dan

(23)

penatalaksanaan dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. Sistem staging yang digunakan adalah sistem Masaoka.11,18

Di RS Persahabatan tahun 1992-1995 dari 14 kasus timoma invasif, 5 kasus tipe meduler, 4 kasus kortikal, 4 kasus campuran dan 1 kasus organoid.15

Dari 31 kasus timoma yang dibedah ditemukan yang terbanyak adalah kortikal 16 kasus, meduler 13 kasus dan sisanya tipe campuran. 18 Data tahun

2000-2001, tipe kortikal ditemukan pada 66,7% kasus, medular dan campuran masing masing 16,7% kasus.7 Subtipe histologis timoma terlihat berhubungan dengan

prognosis.18

Masaoka membagi staging berdasarkan penampakan mikroskopis dan makroskopis. Tumor timoma noninvasif masih terbatas pada kelenjar timus dan

(24)

tidak menyebar ke organ lain. Semua sel tumor terdapat atau terbungkus oleh kapsul dan secara mikroskopis tidak terlihat invasi ke kapsul. Jika sel tumor invasi telah mencapai kapsul maka dikategorikan timoma invasif (timoma ganas). Data di RS Persahabatan dari 31 kasus bedah tahun 1992 sampai dengan tahun 1999, 90,3% kasus masuk kategori invasif dan hanya 9,7% kasus yang didiagnosis noninvasif atau stage I.18

Data tahun 2000-2001 dari 12 pasien timoma yang dibedah tidak satupun kasus noninvasif.7

Penatalaksanaan timoma sangat bergantung pada invasif atau tidaknya tumor, staging dan klinis penderita. 8,15,19 Terapi untuk timoma adalah bedah,

tetapi sangat jarang kasus datang pada stage I atau noninvasif maka multimodaliti terapi (bedah, radiasi dan kemoterapi) memberikan hasil lebih baik. Jenis tindakan bedah untuk timoma adalah Extended Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet yaitu mengangkat kelenjar timus beserta jaringan lemak sekitarnya. ETT+ ER yaitu tindakan reseksi komplet, sampai dengan jaringan perikard dan debulking reseksi sebagian yaitu pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Jenis operasi ini sangat bergantung pada staging dan klinis penderita. Reseksi komplet diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur harapan hidup. Di RS Persahabatan dilakukan 14 reseksi komplit pada penderita timoma stage I – III dan 17 debulking untuk semua

(25)

kasus stage IV. Dari 31 kasus itu 20 di antaranya menunjukkan reaksi miastenia. Empat dari 20 penderita itu adalah yang telah menjalani reseksi komplet.20

Radioterapi tidak direkomendasikan untuk timoma yang telah menjalani reseksi komplet tetapi harus diberikan pada timoma invasif atau reseksi sebagian untuk kontrol lokal, seperti yang dilaporkan oleh Mujiantoro dkk.15

Dosis radiasi 3500-5000 cGy. Untuk mencegah terjadi radiation-induced injury pemberian radiasi lebih dari 6000 cGy harus dihindarkan. Penelitian retrospektif multiinstitusi telah dilakukan terhadap 103 pasien timoma yang telah direseksi komplet dan mendapat radiasi pascabedah. Lima puluh dua pasien mendapat radiasi involve field (IF) dan 51 pasien mendapat radiasi whole mediastinal field (WM) dengan atau tanpa booster. Total dosis untuk tumor primer 3000-6100 cGy dengan rerata dosis 4000 cGy. Pasien yang hidup hingga 10 tahun (the 10-years actuarial overall) 81% dan masa bebas penyakit (disease free survival) 79%, 100% pada pasien stage I, 90% pada stage II dan 48% pada stage III. Kasus relaps terjadi pada 17 pasien, tetapi tidak terjadi pada pasien stage I, 10% pada stage II dan 44% pada stage III.21

Kemoterapi diberikan dengan berbagai rejimen tetapi hasil terbaik adalah cisplatin based rejimen. Rejimen yang sering digunakan adalah kombinasi sisplatin, doksorubisin dan siklofosfamid (CAP). Rejimen lain adalah doksorubisin, sisplatin, vinkristin dan siklofosfamid (ADOC). Rejimen yang lebih sederhana yaitu sisplatin dan etoposid (PE) juga memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda. Penelitian terhadap 23 pasien timoma invasif yang mendapat multimodaliti terapi, 11 pasien direseksi kemudian diberi kemoterapi dan/atau radiasi, 12 pasien lain mendapat terapi paliatif dengan kemoterapi dan/atau radiasi. Kemoterapi yang diberikan adalah cisplatin based, umur tahan hidup 5 tahun 43,5% dengan angka tengah tahan hidup 20 bulan. Reseksi mempunyai kemaknaan untuk umur tahan hidup.22

(26)

dissemination) dari sisi yang sama dengan tumor primer, relaps di mediastinum meski lebih sedikit tetapi juga terjadi. Dari sebuah penelitian 8% pasien yang mendapat radiasi IF pascabedah mengalami relaps di mediastinum dan tidak satu kasus pun terjadi pada pasien yang mendapat radiasi WM .21

Peneliti lain juga melaporkan terjadi kekambuhan pada 24 dari 126 pasien timoma yang telah direseksi komplet, 92% terjadi di pleura dan 5% terjadi kekambuhan lokal.23 Untuk kasus kambuh yang penting diingat adalah apakah

pada terapi sebelumnya telah mendapatkan radioterapi full-dose, jika belum radiasi masih dapat dipertimbangkan. Pada kasus yang tidak respons dengan radiasi pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan, sedangkan pemberian kemoterapi untuk kasus relaps masih dalam penelitian.

Prognosis

Banyak faktor yang menentukan prognosis penderita timoma. Masaoka menghitung umur tahan hidup 5 tahun berdasarkan staging penyakit, 92,6% untuk stage I, 85,7% untuk stage II, 69,6% untuk stage III dan 50% untuk stage IV.18 Bambang dkk mendapatkan faktor-faktor yang bermakna mempengaruhi

prognosis penderita timoma pascareseksi di RS. Persahabatan yaitu staging, jenis tindakan, histopatologi dan reaksi miastenia. Dari 31 penderita timoma yang dibedah di RS Persahabatan didapatkan umur tahan hidup untuk tahun I sebesar 58,44%, tahun kedua 43,29%, tahun ketiga sampai dengan tahun kelima 30,9%, sedangkan median survival adalah 16,2 bulan. Penderita dengan reaksi miastenia mempunyai angka tahan hidup 5 tahun (74%) sedangkan yang tidak hanya mempunyai umur tahan hidup 2 tahun (11,8%).19

(27)

Tumor sel germinal terdiri dari tumor seminoma, teratoma dan nonseminoma. Tumor sel germinal di mediastinum lebih jarang ditemukan daripada timoma, lebih sering pada laki-laki dan usia dewasa muda.23,24 Kasus

terbanyak adalah merupakan tumor primer di testis sehingga bila diagnosis adalah tumor sel germinal mediastinum, harus dipastikan bahwa primer di testis telah disingkirkan. Lokasi terbanyak di anterior (superoanterior) mediastinum.8

Secara histologi tumor di mediastinum sama dengan tumor sel germinal di testis dan ovarium. Secara radiologi teratoma tampak bulat dan sering lobulated dan mengandung jaringan lunak dengan elemen cairan dan lemak, kalsifikasi terlihat pada 20-43% kasus. Seminoma tampak sebagai massa besar yang homogen. Penampakan nonseminoma ganas adalah massa heterogen dengan pinggir ireguler yang disebabkan invasi ke jaringan sekitarnya. 25 Untuk membedakan

seminoma dengan nonseminoma digunakan serum marker beta-HCG dan alfa-fetoprotein. Meskipun pada seminoma yang murni konsentrasi beta-HCG terkadang tinggi tetapi alfa-fetoprotein tidak tinggi.

Sedangkan pada nonseminoma konsentrasi kedua marker itu selalu tinggi. Konsentrasi beta-HCG dan alfa-fetoprotein lebih dari 500 mg/ml adalah diagnosis pasti untuk nonseminoma.8,26 Teratoma terdiri dari derivat sel

ektodermal, mesodermal dan endodermal, sehingga sering dijumpai komponen kulit, rambut, tulang rawan atau gigi pada tumor. Teratoma lebih sering pada usia dewasa muda, dengan insidensi yang hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Kira-kira 80% teratoma mempunyai pertumbuhan jinak dan 20% ganas. Subtipe histopatologi tumor sel germinal dapat dilihat pada tabel 4.

(28)

Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan staging penyakit. Bedah adalah terapi pilihan untuk teratoma jinak, teratoma ganas diterapi dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan reseksi setelah kemoterapi. Terapi untuk seminoma tergantung pada apakah masih resectable atau tidak, sedangkan yang nonseminoma diberikan kemoterapi (lihat tabel 5).

Seminoma

Untuk seminoma yang resectable terapi multimodaliti yaitu bedah, radiasi dan kemoterapi memberikan umur tahan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Kriteria resectable adalah tanpa gejala (asimptomatik), massa masih terbatas di mediastinum anterior dan tidak ada metastasis lokal (intratoraks) dan/atau metastasis jauh. Sedangkan untuk kasus yang bermetastasis diberikan kemoterapi. Terapi radiasi atau kemoterapi sebagai pilihan terbaik untuk seminoma masih diperdebatkan. Seminoma sangat radiosensitif, dosis radiasi

(29)

maka reseksi komplet adalah 4500-5000 cGy. Kemoterapi yang diberikan adalah cisplatin based, rejimen yang sering digunakan mengandung vinblastin, bleomisin dan sisplatin. Radioterapi memberikan 65% disease-free survival rate dan untuk membuktikan itu Fizzai dkk.27 Membandingkan 14 pasien seminoma,

9 pasien mendapatkan cisplatin based kemoterapi dan 5 lainnya mendapatkan radiasi tanpa kemoterapi. Ternyata 8 dari 9 (89%) pada kelompok kemoterapi mempunyai long-term disease survivor berbanding 3 dari 5 pasien kelompok radioterapi.

Dari tinjauan kepustakaan dikatakan radioterapi saja tanpa kemoterapi long-term disease survivor adalah 62%. Penelitian internasional yang dilakukan di Amerika dan Eropa, 135 penderita ekstragonal seminoma (51 di antaranya seminoma mediastinum), 77 pasien dapat cisplatin based kemoterapi, 9 pasien radioterapi dan 18 pasien terapi multimodaliti, dalam masa follow-up median 61 bulan (rentang 1-211 bulan), terjadi relaps pada 14% kelompok yang dapat kemoterapi sedangkan pada kelompok radioterapi terjadi relaps 67%.28

Penelitian yang menggunakan 341 pasien seminoma mediastinum mendapatkan bahwa progression-free survival rate lebih rendah secara bermakna pada seminoma yang hanya mendapat radioterapi saja dibandingkan dengan penderita yang mendapat kemoterapi.29

Nonseminoma

Tumor jenis ini jarang ditemukan, bila ditemukan lebih sering pada laki-laki dewasa muda. Cisplatin based kemoterapi adalah terapi untuk golongan ini dan kadang dilakukan operasi pascakemoterapi (postchemoterapy adjuctive surgery). Rejimen yang digunakan sisplatin, bleomisin dan etoposid. Tetapi ada rejimen yang terdiri dari sisplatin dan bleomisin yang diberikan 4 siklus. Untuk menilai manfaat bedah pascakemoterapi, Vuky dkk.30 Melakukan

(30)

nonseminoma (viable tumors) pada 66%, teratoma pada 22% dan jaringan nekrotik pada 12% kasus.

Penelitian terhadap 141 pasien nonseminoma mediastinum yang mendapat cisplatin based kemoterapi dengan atau tanpa bedah, masih hidup hingga tindak lanjut bulan ke 19 (rentang 1–178 bulan) sedangkan untuk kelompok mediastinal seminoma 49 bulan (rentang 4-193 bulan).29 Setelah pemberian

kemoterapi 3-4 siklus dilakukan evaluasi untuk menentukan tindakan selanjutnya, lihat gambar 4.

Teratoma ganas

Rejimen kemoterapi untuk teratoma ganas antara lain sisplatin, vinkristin, bleomisin dan methotrexate, etoposid, daktinomisin dan siklofosfamid.

(31)

III. Tumor saraf

Tumor saraf dapat tumbuh dari sel saraf disebarang tempat, lebih sering di mediastinum posterior. Tumor itu dapat bersifat jinak atau ganas dan biasanya diklasifikasi berdasarkan jaringan yang membentuknya, dibagi atas neural sheath yang sering bersifat jinak (schwannoma) dan neurofibroma yang paling sering ditemukan. Pada tabel 6 dapat dilihat klasifikasi histologi tumor saraf. Tumor yang bersifat jinak sangat jarang menjadi ganas. Meskipun dikatakan sering pada anak tetapi juga dapat ditemukan pada orang dewasa. Topcu dari Turki menganalisis 60 pasien tumor saraf dan mendapatkan 13 penderita bayi dan anak-anak usia (< 15 tahun), 47 orang dewasa (usia >15 tahun), lebih banyak perempuan (39 orang) dibandingkan laki-laki (21 orang). Hanya 20% (12 dari 60) bersifat ganas.3

Total reseksi adalah terapi pilihan, jika sel bersifat ganas atau reseksi tidak komplet maka radiasi pasca bedah sangat dianjurkan. Pada jenis ganas, misalnya neuroblastoma yang sulit dibedah, kemoterapi dilakukan sebelum pembedahan.

(32)

Komplikasi dari kelainan mediastinum merefleksikan patologi primer yang utama dan hubungan antara struktur anatomik dalam mediastinum tumor atau infeksi dalam mediastinum dapat menimbulkan komplikasi melalui: perluasan dan penyebaran secara langsung, dengan melibatkan struktur-struktur bersebelahan. Empat komplikasi tersering dari penyakit mediastinum adalah, sebagai berikut :

1. Obstruksi trakes 2. Sindrom VCS

3. Invasi vaskular dan catastrophic hemorrhage 4. Ruptur esofagus.

2.2 Sindrom Vena Cava Superior 2.2.1 Definisi

SVCS adalah penekanan terhadap vena cava superior yang sebagian disebabkan oleh karsinoma bronkogenik dan sebagian lagi oleh limfoma. Efek sumbatan karena penekanan atau infiltrasi terhadap vena cava superior oleh massa dibagian superior mediastinum mengakibatkan gejala klinis yang khas berupa pelbaran pembulu vena kolateraldi dada bagian atas, leher, edema muka, konjungtiva dan sakit kepala, serta gangguan penglihatan dan perubahan kesadaran. Penekanan kearah esofagus dan trakea menyebabkan sulit menelan dan gangguan bernafas. Pemeriksaan yang invasif dengan resiko perdarahan seperti bronkoskopi, esofagoskopi, mediastinoskopi untuk melakukan pengambilan jaringan adalah kontraindikasi pada sindrom vena cava. Suatu tindakan diagnostik pengambilan jaringan harus didahului radioterapi atau kemoterapi untuk mengecilkan/ menenangkan dan mengurangi risiko.

2.2.2 Patogenesis

Vena kava superior (VKS) normal berukuran 6-8 cm dengan diameter 1-2 cm. Vena ini terletak di mediastinum anterior, di depan trakea dan di sisi kanan aorta. Vena kava superior membawa aliran darah dari kepala dan leher kembali

(33)

ke atrium kanan. Bagian VKS yang masuk ke rongga perikard sekitar 2-3 cm.30

Pada bagian atas VKS bermuara vena brakiosefalik kanan dan kiri, brakiosefalik kanan menerima aliran darah dari vena subklavia dan jugular interna kanan, sedangkan vena brakiosefalik kiri menerima aliran darah dari vena subklavia dan jugular interna kiri.30,31 Drainase daerah kepala dan leher mempunyai 8 sistem

kolateral vena-vena, diantaranya vena paravertebra, azigos-hemiazigos, mammaria interna, torakal lateral, jugular anterior, tiroidal, timik dan perikardiofrenik.30

Kompresi dari luar terhadap VKS dapat terjadi karena vena ini mempunyai dinding tipis dan tekanan intravaskuler yang rendah. Vena kava superior dikelilingi oleh bagian/struktur kaku sehingga relatif mudah terjadi kompresi. Tekanan intravaskuler yang rendah memudahkan pembentukan trombus, misalnya trombus yang terjadi akibat kateterisasi (catheter-induced thrombus). Obstruksi dan aliran yang lambat menyebabkan tekanan vena meningkat dan inilah yang menyebabkan timbulnya edema interstisial dan aliran darah kolateral membalik (retrograde collateral flow).32

Obstruksi pada vena kava superior atau vena yang berhubungan dengan aliran darah dari kepala dan leher menyebabkan terjadinya SVKS. Obstruksi dapat disebabkan oleh proses dari luar yang menyebabkan terjadinya penekanan (kompresi) terhadap vena tetapi dapat juga terjadi karena proses di dalam vena, misalnya munculnya trombosis. Kasus SVKS akibat proses dari dalam meningkat seiring dengan semakin sering dilakukan intervensi pada vena sentral seperti tindakan kateterisasi.

2.2.3 Etiologi

Penyakit yang paling banyak menyebabkan terjadi SVKS adalah keganasan, tetapi penyakit infeksi seperti sifilis dan tuberculosis juga dapat menjadi penyebab SVKS walaupun jarang.32-35

(34)

 Kanker paru  Limfoma ganas

 Metastasis tumor pada kanker payudara, seminoma testis

 Fibrosis, mediastinitis tuberkulosis, histoplasmosis, dan lain-lain

 Trombosis vena kava, sindrom Behcet’s, polisitemia vera, penggunaan kateter vena, dan lain-lain

 Tumor jinak mediastinum, aneurisma aorta, tumor dermoid, goiter, sarkoidosis.

Evaluasi terhadap 81 pasien SVKS yang dirawat dari tahun 1983 sampai tahun 1996, dari 77 kasus yang didiagnosis kanker 76% di antaranya adalah kanker paru.34 Sebuah penelitian retrospektif mengevaluasi 99 spesimen dari 88

pasien. Hasilnya yaitu 36 limfoma non-Hodgkin’s, 25 kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK), 17 kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK), 5 Hodgkin’s disease, 3 timoma, 1 tumor sel germinal dan 1 lainnya sarkoma.35

2.2.4 Diagnosis

Diagnosis SVKS didasarkan pada klinis dan gambaran radiologis yang menunjukkan kondisi VKS dan vena-vena lain yang tergabung dalam kolateral aliran darah dari kepala dan leher. Rerata munculnya gejala SVKS adalah 48 hari

33 dan 40% pasien hanya dapat bertahan kurang dari 8 hari tanpa terapi dari mulai

terjadi gejala akibat obstruksi itu.35 Peneliti lain melaporkan bahwa rerata lama

diagnostik dari mulai muncul gejala adalah 28 hari.34 Sekali SVKS ditemukan

maka prosedur diagnosis untuk mencari penyakit penyebab harus segera dilakukan. Prosedur diagnosis lain setelah pemeriksaan klinis dan radiologis adalah prosedur untuk keganasan di paru yaitu sputum sitologi, biopsi transtorakal (TTB), biopsi dan lain-lain.36

(35)

Keluhan atau gejala klinis pada SVKS sangat individual, tergantung berat ringan gangguan. Tanda khas untuk SVKS adalah peningkatan gejala disebabkan oleh pertambahan ukuran massa yang bersifat invasif (khusus untuk keganasan). Sesak nafas adalah keluhan yang paling sering, kemudian leher dan lengan bengkak. Pada keadaan berat selain gejala sesak napas yang hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan lengan kanan disertai pelebaran vena-vena subkutan leher dan dada.32,37,38 Keadaan ini kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi

untuk mengatasi keluhan. Berat ringan gejala ini juga dipengaruhi oleh lokasi obstruksi yang terjadi, perluasan proses penyakit penyebab, aliran cabang vena yang tersumbat dan kemampuan vena beradaptasi terhadap perubahan aliran darah.

Gejala klinis sindrom vena kava superior, yaitu :  Sesak napas (Dyspnea)

 Muka bengkak  Lengan bengkak  Batuk  Ortopnea  Nyeri dada  Sakit kepala

Keluhan yang juga dapat terjadi adalah suara serak, sakit menelan dan sinkop. Sedangkan tanda-tanda fisik yang paling sering ditemukan adalah pembengkakan vena-vena di leher dan lengan dan edema akibat penumpukan cairan di wajah dan lengan.32,36,37

Tanda klinis sindrom vena kava superior, yaitu :  Pelebaran vena leher

 Pletora pada wajah

(36)

 Lengan bengkak  Edema

Tanda klinis yang jarang ditemukan dan biasanya timbul pada keadaan berat adalah sianosis sebagai akibat kurang oksigenisasi, Horner’s syndrome (pupil mengecil, kelopak mata jatuh dan tidak berkeringat di satu sisi wajah) dan paralisis pita suara.37

Gambaran Radiologis

Pada foto toraks polos terlihat bayangan massa di mediastinum superior kanan (90%), adenopati hilus (50%), efusi pleura kanan (25%). Informasi lebih baik dengan menggunakan CT-scan toraks.38 Pada CT-scan toraks kadang-kadang

gambaran opak pada kolateral vena toraks sering diduga sebagai SVKS, tetapi indikator paling baik untuk oklusi (penyempitan) pada VKS adalah jika tampak gambaran opak pada pembuluh darah di daerah subkutan toraks anterior, tampakan seperti itu mempunyai spesifikasi 96%.39

Kemampuan magnetic resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi obstruksi pada vena toraksik juga tinggi yaitu dengan sensitifitas 94% dan spesifisitas 100%.40 Raptopoulus mengidentifikasi 5 kategori (tipe) penekanan

VKS berdasarkan gambaran radiologis pada CT-scan toraks dan dihubungkan dengan berat ringan gejala klinis.41

Kategori penekanan vena kava superior, yaitu :

Tipe IA. Penyempitan sedang dan tanpa aliran kolateral atau tidak terjadi penambahan ukuran vena azigos.

Tipe IB. Penyempitan berat menyebabkan aliran darah balik (retrograde) ke vena azigos.

Tipe II. Obstruksi di atas azygos arch aliran darah balik ke vena torasis, vertebra dan perifer.

(37)

Tipe III. Obstruksi di bawah azygos arch menyebabkan aliran darah balik melalui azygos arch ke vena kava inferior.

Tipe IV. Obstruksi pada azygos arch dengan multipel kolateral perifer sedangkan vena azigos tidak terlihat.

2.2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk penderita dengan SVKS sangat individual, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah :

1. Ada atau tidak kegawatan pada SVKS itu yang apabila tidak dilakukan tindakan segera dapat menyebabkan kematian.

2. Bisa atau tidak melakukan prosedur diagnostik. 3. Cepat atau lambat identifikasi penyakit penyebab. 4. Akurasi penilaian

Jika keadaan umum penderita baik (PS>50) maka harus dilakukan prosedur diagnostik, pada kasus keganasan harus diupayakan tindakan untuk mendapatkan jenis sel kanker. Radioterapi cito dengan dosis 300-1000 cGy segera diberikan, bila telah memungkinkan dilakukan prosedur diagnostic. Terapi selanjutnya tergantung pada diagnosis pasti penyebab penyakit.

Penatalaksanaan ideal untuk mengatasi SVKS adalah terapi definitif penyakit penyebab, kadang diperlukan pengobatan multimodalitas yaitu kemoterapi, radioterapi, bedah, pemasangan stent, trombolisis dan obat jenis lain.36,37

Obat-obatan

Pasien dengan gejala ringan dan telah terbentuk aliran kolateral mungkin tidak membutuhkan pengobatan. Jika lesi di atas vena azygos atau penyumbatan berjalan lambat dan terjadi kompensasi dengan aliran kolateral, cukup waktu

(38)

diagnosis pasti penyebab penyakit. Terapi jangka pendek yang tidak agresif dapat diberikan untuk mengurangi gejala yaitu dengan pemberian kortikosteroid dan diuretik untuk mengurangi edema.

Radiasi

Jika obstruksi terjadi karena keganasan dan tumornya kemoresisten, maka radiasi harus diberikan. Dosis radiasi total sesuai dengan penatalaksanaan keganasan 5000 – 6000 cGy.

Kemoterapi

Kemoterapi adalah terapi pilihan untuk KPKSK dan limfoma. Urban dkk, mendapatkan bahwa radiasi cito sebelum diagnosis atau kemoterapi untuk KPKSK tidak membantu. Kemoterapi juga menjadi pilihan terapi untuk KPKBSK karena SVKS merupakan salah satu faktor yang menentukan staging penyakit lanjut. Kemoterapi juga menjadi pilihan untuk tumor mediastinum jenis nonseminoma karena radioresisten.

Bedah

Intervensi bedah sangat jarang diindikasikan untuk mengatasi masalah yang timbul pada SVKS.

Indikasi relalif intervensi bedah pada sindrom vena kava superior, yaitu :  Oklusi (penyumbatan) kronik dengan gejala klinis sedang sampai berat  Oklusi (penyumbatan) akut dengan gejala klinis berat

 Oklusi (penyumbatan) rekuren dengan gejala klinis berat

(39)

Terapi tambahan untuk pasien SVKS yang disebabkan oleh karena pembentukan trombus adalah trombektomi dengan atau tanpa aktivator plasminogen (TPA) atau agen trombolitik lain seperti streptokinase dan urokinase.

Stent

Pemasangan stent intravena untuk SVKS masih controversial tetapi pernah dilaporkan walaupun jumlah kasus sedikit.

(40)

BAB IV

ANALISA KASUS

(41)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bennisler L. Respiratory system. In: Gray’s anatomy. Williams PL, Bennister L, Berry LH, Collins P, Dyson M, Dussek JE, et al. Editors. 38 th ed, Churchill Livingstone, Edinburgh, 1999.p. 1627-76.

2. Busroh ID. Tumor Mediastinum: tata laksana dan beberapa data. PIT IKABI , Jogjakarta, 4-6 Juli 1991.h. 1-14

3. Hudoyo A, Danna S, Siregar CA, Jusuf A, Yudanarso D. Tumor mediastinum di RSUP Persahabatan (1988-1992). Recent Advances in Respiratory Medicine Simposia. Konperensi Kerja Nasional VII PDPI. Bandung, 1995. 4. Bacha EA, Chapelier AR, Macchiarini P, Fadel E, Dartevelle PG. Surgery for

invasive mediastinal tumors. Ann Thorac Surg 1998; 66(1): 234-9.

5. Temes R, Chavez T, Mapel D, Ketai L, Crowell R, Key C, et al. Primary mediastinal malignancies: finding in 219 patients. West J Med 1999; 170(3): 161-6.

6. Whooley BP, Urschel JD, Antkowiak JG, Takita H. Primary tumors of the mediastinum. J Surg Oncol 1999; 70(2): 95-9.

7. Marshal. Jenis dan distribusi massa mediastinum serta permasalahan operasinya di RS.Persahabatan Jakarta. Tesis program studi ilmu bedah toraks kardiovaskuler Indonesia. Jakarta, 2002.

8. Strollo DC. Primary mediastinal tumors. Part I. Tumor anterior mediastinum. Chest 1997; 112: 511-22.

9. Strollo DC, Rosado-dechristenson Ml, Jett JR. Primary mediastinal tumors. Part II. Tumor of the middle and posterior mediastinum. Chest 1997; 112: 1344-57.

10. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006

(42)

11. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanan Tumor Mediastinum Non-limfoma. PDPI . Jakarta, 2002.

12. Shaham D, Goitein O, Vazquez MF, Libson E, Sherman Y, Henschke CI, et al. Biopsy of mediastinal tumors: needle biopsy versus mediastinoscopy. Pro needle biopsy. Journal of Bronchoscopy 2001; 8 : 132-8.

13. Yang SC. Biopsy of Mediastinal tumors: needle biopsy versus mediastinoscopy. Pro mediastinoscopy. Journal of Bronchoscopy 2001; 8 : 139-43. Greif J, Staroselsky AN, Gernjac M, Schawarz Y, Marmur S, Perisman M, et al. Percutaneous core needle biopsy in the diagnosis of mediastinal tumors. Lung Cancer 1999; 25(3): 169-73.

14. Mujiantoro S, Soewondo W, Busroh IDI, Yunus F, Endardjo S. Penilaian restrospektif pengelolaan timoma invasif di RS. Persahabatan Jakarta Timur. J Respir Indo 1996; 16: 104-8.

15. Marino M, Muller-Hermelink HK. Thymoma and thymic carcinoma: relation of thymoma epithelial cells to the cortical and meddulary differentiation of thymus. Virchows archiv. A pathological Anatomy and histology 1985; 407(2): 119-49.

16. Martinez LQ, Wilkin EW Jr, Choi N. Thymoma: Histologic subclasification is an independent prognostic factor. Cancer 1994; 74(2): 606-17.

17. Masaoka A, Monden Y, Nakahara K, Tanioka T. Follow-up study oh thymomas with special reference to their clinical stages. Cancer 1981; 48(11): 2485-92.

18. Bambang D. Pemantauan angka tahan hidup penderita timoma yang dibedah di RS. Persahabatan dengan tinjauan atas faktor-faktor yang mempengaruhi. Tesis Bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta. 2000.

19. Information from PDQ for health professional. Malignant thymoma. Cancermail from the national cancer institute. University of Bonn, Medical

Center.Available from

(43)

20. Bambang D. Pemantauan angka tahan hidup penderita timoma yang dibedah di RS.

21. Ogawa K, Uno T, Toita T, Onishi H, Yoshida H, Kakinohana Y, et al. Postoperative radiotherapy for patients with completely resected thymoma: a multi-institutional, restrospective review of 103 patients. Cancer 2002; 94(5):1405-13.

22. Froudarakis ME, Tiffet O, Fournal P, Briasoulis E, Karavasilis V, Cuilleret J. Invasive thymoma: a clinical study of 23 cases. Respiration 2001; 68(4): 376-81. Haniuda M, Kondo R, Numanami H, Makiuchi A, Machida E, Amano J. Recurrence of thymoma: clinicopathological features, re-operation, and outcome. J Surg Oncol 2001; 78(3): 183-8.

23. Moran CA, Suster S, Przygodzki RM, Koss MN. Primary germ cell tumors of the mediastinum: II. Mediastinal seminoma a clinicopathologic and immunohistochemical study of 120 cases. Cancer 1997; 80(4): 691-8.

24. Moran CA, Suster S, Koss MN. Primary germ cell tumors of the mediastinum: III. Yolk sac tumor, embryonal carcinoma, choriocarcinoma, and combined nonteratomatous germ cell tumors of the mediastinum, a clinicopathologic and immunohistochemical study of 64 cases. Cancer 1997; 80(4): 699-707.

25. Drevelegas A, Palladas P, Scordalaki A. Mediastinal germ cell tumors: a radiologic-pathologic review. Eur Radiol 2001; 11(10): 1925-32. Roberts JR, Keiser LR. Acquired lesions of the mediastinum: benign and malignant. In: Pulmonary diseases and disorder. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Keiser LR, Senior RM. Editors. 3rdeds. McGraw-Hill. New York. 1998.p.1509-37.

26. Fizazi K, Culine S, Droz JP, Terrier-Lacombe MJ, Theodore C, Wibault P, et al. Initial management of primary mediastinal seminoma: radiotherapy or cisplatin-based chemotherapy? Eur J Cancer 1998; 34(3): 347-52.

(44)

27. Bokemeyer C, Droz JP, Horwich A, Gerl A, Fossa SD, Beyer J, et al. Extragonadal seminoma: an international multicenter analysis of prognostic factors and long term treatment outcome. Cancer 2001; 91(7): 1394-401. 28. Bokemeyer C, Nichols CR, Droz JP, Schmoll HJ, Horwich A, Gerl A, et al.

Extragonadal germ cell tumors of mediastinum and retroperitoneum : results from an international analysis. J Clin Oncol 2002; 20(7): 1864-73.

29. Vuky J, Bains M, Bacik J, Higgins G, Bajorin DF, Mazumdar M. Role of postchemotherapy adjuctive surgery in the management of patients with non-seminoma arising from the mediastinum. J Clin Oncol 2001; 19(3): 682-8. 30. Nesbitt JC. Surgical management of superior vena cava syndrome. In:

Lung cancer principles and practices. Pass HI, Mitchell JB, Johnson DH, Turrisi AT, eds. Philadelphia, Lippincolt-Raven, 1996, p. 673-81.

31. Naidich DP, Zerhouni EA, Siegelman SS, Kohn JP. Mediastinum. In: Computed tomography and magnestic resonance of the thorax, 2nd ed, New York, Raven-Press, 1991.p. 35-148.

32. Beeson MS. Superior Vena Cava Syndrome. Available from URL: http://www.emedicine.com/EMERG/topic561.htm Yelin A, Rosen A, Reichert N. SVCS: the myth – the fact. Am Rev Respir Dis 1990; 141: 1114.

33. Laguna Del Estal P, Gazapo Navarro T, Murillas Angoitti J, Martin Alvarez H, Portero Navio JL, Moya Mir M. Superior vena cava syndrome: a study based on 81 cases (article in Spanish). An Med Interna 1998; 15(9):470-5. (abstract).

34. Porte H, Metois D, Finzi L, Lebuffe G, Guidat A, Conti M, et al. Superior vena cava syndrome of malignant origin. Which surgical procedure for which diagnosis?. Eur J Cardiothorac Surg 2000 Apr;17(4):384-8.

35. Amstrong BA, Perez CA, Simpsom JR. Role of irradiation in management of SVCS. Int J Radiat Oncol Bill Phys 1987; 3: 531.

(45)

36. National Cancer Institute’s Cancer Information. Superior vena cava syndrome. Available from URL: http://www.nci.nih.gov.

37. Cancermail from the national cancer institute. Superior vena cava syndrome. Available from URL: http://www.cancerweb.ncl.ac.uk/cancernet/ 304708.html.

38. Cardiovasculer medicine book. Vena cava superior obstruction. Available from URL: http://www.fpnotebook.com/CV256.htm

39. Trigaux JV, Vam-beers B. Thoracic collateral venous channels: normal and pathologic CT finding. J Compact Assist Tomogr 1990; 143: 731.

40. Hansen ME, Spritzer CE, Wosturan HD. Assening the patency of mediastinal and thoracic inlet vein: value of MR Imaging. AJR 1990; 155: 1177.

41. Raptopoulos V. Computed tomography of the superior vena cava. CRC Crit Rev Diagn Imag 1986; 25: 373.

Gambar

Gambar 2. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum dengan kegawatan      Keterangan :  SVKS = Sindrom vena kava superior
Gambar 3. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum tanpa kegawatan.

Referensi

Dokumen terkait