• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM PENGANGKUTAN UDARA DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II HUKUM PENGANGKUTAN UDARA DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HUKUM PENGANGKUTAN UDARA DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. SEJARAH PENERBANGAN

Kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang artinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat,Pengangkutan terbagi atas tiga jenis,yaitu : angkutan darat,angkutan laut,dan angkutan udara. Angkutan udara lebih lazim disebut dengan “Penerbangan”,Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara,pesawat udara,Bandar udara,angkutan udara,navigasi penerbangan,keselamatan dan keamanan,lingkungan hidup,serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

Walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut.Pesawat terbang yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali oleh Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) dengan menggunakan pesawat rancangan sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada tahun 1903 di Amerika Serikat. Selain Wright bersaudara, tercatat beberapa penemu pesawat lain yang menemukan pesawat terbang antara lain Samuel F Cody yang melakukan aksinya di lapangan Fanborough, Inggris tahun 1910.

Sedangkan untuk pesawat yang lebih ringan dari udara sudah terbang jauh sebelumnya. Penerbangan pertama kalinya dengan menggunakan balon udara

(2)

panas yang ditemukan seorang berkebangsaaan Perancis bernama Joseph Montgolfier dan Etiene Montgolfier terjadi pada tahun 1782, kemudian disempurnakan seorang Jerman yang bernama Ferdinand von Zeppelin dengan memodifikasi balon berbentuk cerutu yang digunakan untuk membawa penumpang dan barang pada tahun 1900.

Pada tahun tahun berikutnya balon Zeppelin mengusai pengangkutan udara sampai musibah kapal Zeppelin pada perjalanan trans-Atlantik di New Jersey 1936 yang menandai berakhirnya era Zeppelin meskipun masih dipakai menjelang Perang Dunia II. Setelah zaman Wright, pesawat terbang banyak mengalami modifikasi baik dari rancang bangun, bentuk dan mesin pesawat untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara.

a. Sejarah pembuatan pesawat terbang di Indonesia dimulai pada pra kemerdekaan Indonesia,

1. Pesawat Terbang Pra Kemerdekaan Indonesia :

Sejak legenda pewayangan berkembang dalam bagian hidup kebudayaan dan masyarakat Indonesia serta munculnya figur Gatotkaca dalam kisah Bratayuda yang dikarang Mpu Sedah serta figur Hanoman dalam kisah Ramayana adalah personifikasi pemikiran manusia Indonesia untuk bisa terbang. Tampaknya keinginan ini terus terpupuk dalam jiwa dan batin manusia Indonesia sesuai dengan perkembangan jamanya. Jaman Pemerintah kolonial Belanda tidak mempunyai program perancangan pesawat udara, namun telah melakukan serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, serta evaluasi teknis dan keselamatan untuk pesawat yang dioperasikan di kawasan tropis, Indonesia.

(3)

1914 : Pendirian Bagian Uji Terbang di Surabaya dengan tugas meneliti prestasi terbang pesawat udara untuk daerah tropis.

1922 : Orang Indonesia sudah terlibat memodifikasi sebuah pesawat yang dilakukan di sebuah rumah di daerah Cikapundung sekarang.

1930 : Pembangunan Bagian Pembuatan Pesawat Udara di Sukamiskin yang memproduksi pesawat-pesawat buatan Canada AVRO-AL, dengan modifikasi badan dibuat dari tripleks lokal. Pabrik ini kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir (kini Lanud Husein Sastranegara).

1937 : Pada periode itu di bengkel milik pribadi minat membuat pesawat terbang berkembang. delapan tahun sebelum kemerdekaan atas permintaan seorang pengusaha, serta hasil rancangan LW. Walraven dan MV. Patist putera-putera Indonesia yang dipelopori Tossin membuat pesawat terbang di salah satu bengkel di Jl. Pasirkaliki Bandung dengan nama PK.KKH.

Pesawat ini sempat menggegerkan dunia penerbangan waktu itu karena kemampuannya terbang ke Belanda dan daratan Cina pergi pulang yang diterbang pilot berkebangsaan Perancis, A. Duval.

1938 : atas permintaan LW. Walraven dan MV. Patist - perancang PK.KKH - dibuat lagi pesawat lebih kecil di bengkel Jl. Kebon Kawung, Bandung.

2. Pesawat Terbang Pasca Perang Kemerdekaan

1945 : Makin terbuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan impiannya membuat pesawat terbang sesuai dengan rencana dan keinginan sendiri. Kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas akan selalu memerlukan perhubungan udara secara mutlak sudah mulai tumbuh sejak waktu itu, baik untuk kelancaran pemerintahan, pembangunan ekonomi dan

(4)

pertahanan keamanan.Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kedirgantaraan yang utama adalah sebagai bagian untuk memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dalam bentuk memodifikasi pesawat yang ada untuk misi-misi tempur.

Oktober 1945 Tokoh pada massa ini adalah Agustinus Adisutjipto, yang merancang dan menguji terbangkan dan menerbangkan dalam pertempuran yang sesungguhnya. Pesawat Cureng/Nishikoren peninggalan Jepang yang dimodifikasi menjadi versi serang darat. Penerbangan pertamanya bulan oktober di atas kota kecil Tasikmalaya.

1946 : di Yogyakarta dibentuk Biro Rencana dan Konstruksi pada TRI-Udara. Dengan dipelopori Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan J. Sumarsono dibuka sebuah bengkel di bekas gudang kapuk di Magetan dekat Madiun. Dari bahan-bahan sederhana dibuat beberapa pesawat layang jenis Zogling, NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider).Pembuatan pesawat ini tidak terlepas dari tangan-tangan Tossin, Akhmad, dkk. Pesawat-pesawat yang dibuat enam buah ini dimanfaatkan untuk mengembangkan minat dirgantara serta dipergunakan untuk memperkenalkan dunia penerbangan kepada calon penerbang yang saat itu akan diberangkatkan ke India guna mengikuti pendidikan dan latihan.

1948 : Berhasil dibuat pesawat terbang bermotor dengan mempergunakan mesin motor Harley Davidson diberi tanda WEL-X hasil rancangan Wiweko Soepono dan kemudian dikenal dengan register RI-X. Era ini ditandai dengan munculnya berbagai club aeromodeling, yang menghasilkan perintis teknologi dirgantara, yaitu Nurtanio Pringgoadisurjo.

(5)

1948 : Pesawat rancangan Wi-weko Soepono diberi tanda WEL-X yang dibuat pada tahun 1948, dengan menggunakan mesin Harley Davidson Kemudian kegiatan ini terhenti karena pecahnya pemberontakan Madiun dan agresi Belanda. Setelah Belanda meninggalkan Indonesia usaha di atas dilanjutkan kembali di Bandung di lapangan terbang Andir - kemudian dinamakan Husein Sastranegara.

1953 : kegiatan ini diberi wadah dengan nama Seksi Percobaan. Beranggotakan 15 personil, Seksi Percobaan langsung di bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.

1 Agustus 1954 : Berdasarkan rancangan Nurtanio, berhasil diterbangkan prototip "Si Kumbang", sebuah pesawat serba logam bertempat duduk tunggal yang dibuat sesuai dengan kondisi negara pada waktu itu. Pesawat ini dibuat tiga buah.Si Kumbang, sebuah pesawat serba logam bertempat duduk tunggal rancangan Nurtanio Pringgoadisuryo yang diterbangkan pada Agustus 1954. 24 April 1957 Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi Sub Depot Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan berdasar Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara No. 68.

1958 : berhasil diterbangkan prototip pesawat latih dasar "Belalang 89" yang ketika diproduksi menjadi Belalang 90. Pesawat yang diproduksi sebanyak lima unit ini dipergunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat.

Di tahun yang sama berhasil diterbangkan pesawat oleh raga "Kunang 25". Filosofinya untuk menanamkan semangat kedirgantaraan sehingga diharapkan

(6)

dapat mendorong generasi baru yang berminat terhadap pembuatan pesawat terbang.

3. Pendirian Industri Pesawat Terbang di Indonesia

1 Agustus 1960 : Sesuai dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus 1960 dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP. Lembaga yang diresmikan pada 16 Desember 1961 ini bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi penerbangan di Indonesia.

1960 : Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang (LAPIP) didirikan.

1961 : LAPIP mewakili pemerintah Indonesia dan CEKOP mewakili pemerintah Polandia mengadakan kontrak kerjasama untuk membangun pabrik pesawat terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan pabrik , pelatihan karyawan serta produksi di bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga, lebih dikenal Gelatik. Pesawat yang diproduksi 44 unit ini kemudian digunakan untuk dukungan pertanian, angkut ringan dan aero club.

1962 : Pendirian bIdang Studi Teknik Penerbangan di ITB

1963 : Pembentukan DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia).

Maret 1965: Proyek KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang) dimulai. Proyek ini bekerjasama dengan Fokker, KOPELAPIP tak lain merupakan proyek pesawat terbang komersial.

1965 : melalui SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) - yang intinya LAPIP - serta PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari.

(7)

Maret 1966 : Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka LAPIP menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul.

1962 : berdasar SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie.

Kedua tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar negeri (Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun 1951. Usaha-usaha mendirikan industri pesawat terbang memang sudah disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini berlangsung hingga tahun 1954. Dilanjutkan tahun 1954 - 1958 dikirim pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958 - 1962 ke Cekoslowakia dan Rusia.Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.

(8)

4. Perintisan Pesawat Terbang di Indonesia

Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN berdiri, yaitu : ada orang-orang yang sejak lama bercita-cita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; ada orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun industri pesawat terbang; adanya orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat terbang; adanya orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional maupun internasional; serta adanya kemauan pemerintah.Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.

25 Juni 1936 : Awalnya seorang pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, Bacharudin Jusuf Habibie. Ia menimba pendidikan di Perguruan Tinggi Teknik Aachen, jurusan Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian bekerja di sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.

1964 : Menjelang mencapai gelar doktor, ia berkehendak kembali ke tanah air untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia. Tetapi pimpinan KOPELAPIP menyarankan Habibie untuk menggali pengalaman lebih banyak, karena belum ada wadah industri pesawat terbang. Tahun 1966 ketika Menteri Luar Negeri, Adam Malik berkunjung ke Jerman beliau meminta Habibie, menemuinya dan ikut memikirkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia. Menyadari bahwa usaha pendirian industry tersebut tidak bisa dilakukan sendiri., maka dengan tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil untuk suatu

(9)

saat bekerja pada pembangunan industri pesawat terbang di Indonesia yang masih dalam angan-angan. Habibie segera berinisiatif membentuk sebuah tim.

Awal 1970 : Dari upaya tersebut berhasil dibentuk sebuah tim sukarela yang kemudian berangkat ke Jerman untuk bekerja dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi di industri pesawat terbang Jerman tempat Habibie bekerja. tim ini mulai bekerja di HFB/MBB untuk melaksanakan awal rencana tersebut. Pada saat bersamaan usaha serupa dirintis oleh Pertamina selaku agen pembangunan. Kemajuan dan keberhasilan Pertamina yang pesat di tahun 1970 an memberi fungsi ganda kepada perusahaan ini, yaitu sebagai pengelola industri minyak negara sekaligus sebagai agen pembangunan nasional. Dengan kapasitas itu Pertamina membangun industri baja Krakatau Steel. Dalam kapasitas itu, Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (alm) memikirkan cara mengalihkan teknologi dari negara maju ke Indonesia secara konsepsional yang berkerangka nasional. Alih teknologi harus dilakukan secara teratur, tegasnya.

Desember 1973 : terjadi pertemuan antara Ibnu Sutowo dan BJ. Habibie di Dusseldorf - Jerman. Ibnu Sutowo menjelaskan secara panjang lebar pembangunan Indonesia, Pertamina dan cita-cita membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Dari pertemuan tersebut BJ. Habibie ditunjuk sebagai penasehat Direktur Utama Pertamina dan kembali ke Indonesia secepatnya. Januari 1974 : Langkah pasti ke arah mewujudkan rencana itu telah diambil. Di Pertamina dibentuk divisi baru yang berurusan dengan teknologi maju dan teknologi penerbangan.

26 Januari 1974 : Tepat dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, BJ. Habibie diminta menghadap Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Presiden

(10)

mengangkat Habibie sebagai penasehat Presiden di bidang teknologi. Pertemuan tersebut merupakan hari permulaan misi Habibie secara resmi. Melalui pertemuan-pertemuan tersebut di atas melahirkan Divisi Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) yang kemudian menjadi cikal bakal BPPT. Dan berdasarkan Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur Pertamina dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang.

September 1974 : Pertamina - Divisi Advanced Technology menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB - Jerman dan CASA - Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.

5. Pendirian

Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya - dengan nama Industri Pesawat Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta - timbul permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang berakibat pula pada keberadaan Divisi ATTP, proyek serta programnya - industri pesawat terbang. Akan tetapi karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana guna pembangunan dan mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita VI, Presiden menetapkan untuk meneruskan pembangunan industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.

April 1975 Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu : - aset Pertamina, Divisi ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri pesawat terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI - sebagai modal dasar pendirian industri pesawat terbang Indonesia.

(11)

Penggabungan aset LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi Tjahjadi selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an.Dengan modal ini diharapkan tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu menjawab tantangan jaman.

28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan.

23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.

Desember 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.

IPTN berpandangan bahwa alih teknologi harus berjalan secara integral dan lengkap mencakup hardware, software serta brainware yang berintikan pada faktor manusia. Yaitu manusia yang berkeinginan, berkemampuan dan berpen- dirian dalam ilmu, teori dan keahlian untuk melaksanakannya dalam bentuk kerja.

(12)

Berpijak pada hal itu IPTN menerapkan filosofi transformasi teknologi "BERMULA DI AKHIR, BERAKHIR DI AWAL".

Suatu falsafah yang menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap dalam suatu proses yang integral dengan berpijak pada kebutuhan obyektif Indonesia. Melalui falsafah ini teknologi dapat dikuasai secara utuh menyeluruh tidak semata-mata materinya, tetapi juga kemampuan dan keahliannya. Selain itu filosofi ini memegang prinsip terbuka, yaitu membuka diri terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai negara lain. Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat pesawat terbang tidak harus dari komponen dulu, tapi langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk pesawat jadi), kemudian mundur lewat tahap dan fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih teknologi terbagi dalam : Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi,

• Tahap integrasi teknologi,

• Tahap pengembangan teknologi,

• Tahap penelitian dasar

Sasaran tahap pertama, adalah penguasaan kemampuan manufacturing, sekaligus memilih dan menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri yang hasil penjualannya dimanfaatkan menambah kemampuan berusaha perusahaan. Di sinilah dikenal metode "progressif manufacturing program". Tahap kedua dimaksudkan untuk menguasai kemampuan rancangbangun sekaligus manufacturing. Tahap ketiga, dimaksudkan meningkatkan kemampuan rancangbangun secara mandiri. Sedang tahap keempat dimaksudkan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul.

(13)

6. Nama Baru Industri Penerbangan Indonesia

Selama 24 tahun IPTN relatif berhasil melakukan transformasi teknologi, sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal disain, pengembangan, serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang. IPTN meredifinisi diri ke dalam "DIRGANTARA 2000" dengan melakukan orientasi bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk itu IPTN melaksanakan program retsrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, serta penataan kembali sumber daya manusia yang menfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis. Kini dalam masa "survive" IPTN mencoba menjual segala kemampuannya di area engineering - dengan menawarkan jasa disain sampai pengujian -, manufacturing part, komponen serta tolls pesawat terbang dan non-pesawat terbang, serta jasa pelayanan purna jual.

24 Agustus 2000 : Seiring dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT. DIRGANTARA INDONESIA atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid, 24 Agustus 2000 di Bandung.

B. KEBIJAKAN BARU ANGKUTAN UDARA NASIONAL

BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 2009 Menurut Prof. Dr. PPC Haanappel,4

4

Mc Gill University,Montreal,Canada, kebijakan angkutan udara tergantung dari ideology politik Negara yang bersangkutan. Di Negara-negara yang ideologinya sosialis semua kegiatan yang merupakan pelayanan umum seperti listrik, air minum, irigasi, komunikasi, telegraf, telepon, televise, radio, bahan bakar minyak (BBM), gas bumi, angkutan

(14)

darat, kereta api, laut, maupun angkutan udara dikuasai oleh Negara. Penguasaan, pengaturan dan penyelenggaraan kegiatan yang menyangkut pelayanan umum biasanya dilakukan oleh Negara dengan monopoli seperti pelayanan telepon, listrik, air minum, irigasi, komunikasi, telegraf, telepon, televise, radio, bahan bakar minyak (BBM), gas bumi, angkutan darat, kereta api, laut, maupun angkutan udaradiselenggarakan oleh satu penyelenggara pelayanan dalam satu Negara atau provinsi atau oligopoly yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara dalam satu negara atau provinsi untuk menjamin stabilitas tersedianya jasa pelayanan umum tersebut. Angkutan udara yang merupakan salah satu pelayanan umum juga dikuasai, diatur, dan diselenggaoleh Negara.

Di bidang angkutan udara seperti di Uni Soviet angkutan udara dilakukan oleh Administrasi Penerbangan Sipil, sedangkan di China angkutan udara diselenggarakan oleh Pejabat Penerbangan Sipil China, Singapura oleh Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS). Baik di Uni Soviet maupun China merupakan pegawai negeri sipil (civil servant). Pelaksanaan angkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah (state owned enterprise) atau oleh badan pemerintah swasta dengan pengaturan yang sangat ketat oleh badan pemerintah atau departemen atau kementerian5

Berbeda dengan negara-negara yang ideologinya sosialis, di negara-negara yang menganur ideology liberal, penyelenggaraan angkutan udara internasional sepenuhnya dilakukan oleh swasta. Di Amerika Serikat tidak ada perusahaan . Dengan demikian, di negara-negara sosialis regulator maupun operator dilakukan oleh pemerintah.

(15)

penerbangan yang dimiliki penerbangan milik swasta (privately-owned), tetapi dalam waktu yang bersamaan diawasi oleh Civil Aeronautic Board (CAB)6

Di Indonesia pada saat orde lama, ideology politiknya cenderung sosialis, karena itu penyelenggaraan angkutan udara dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan milik negara (state owned enterprise) masing-masing Garuda Indonesian Airways

sebagai regulator, sebuah badan independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Di negara-negara yang menganut ideology gabungan antara sosialisasi dengan liberal (neo-liberal) seperti Canada, Inggris, dan Singapura, penyelenggaraan angkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangaan milik pemerintah (state owned enterprise) berdampingan dengan perusahaan penerbangan milik swasta (privately owned enterprise). Angkutan udara di Canada dilakukan oleh Air Canada milik pemerintah di samping Vanadian Pacific Airlines milik swasta (privately owned enterprise), sedangkan di Inggris angkutan udara internasional dengan British Caledonia Airways milik swasta (privately owned enterprise) dan di Singapura dilakukan oleh Singapore Airline (milik pemerintah) dan Silk Air milik swasta. Baik di Canada, Inggris maupun di Singapura terdapat semi-pejabat penerbangan sipil, masing-masing Canadian Transport Commission (CTC), sedangkan di Inggris terdapat Civil Aviation Authority (CAA), di Singapura oleh Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS) yang mempunyai wewenang mengatur masalah ekonomi angkutan udara dalam kapasitasnya sebagai regulator.

7

6

Dalam rangka deregulasi, CAB di Amerika Serikat dihapuskan.

yang didirikan berdasarkan akte notaries Raden Kadiman

(16)

Nomor 137 tanggal 31 Maret 1950 dan Merpati Nusantara Airlines8 yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1962 sebagai supplementer9

Berdasarkan ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966

. Merpati Nusantara Airlines ditugaskan untuk melakukan penerbangan daerah dan penerbangan serba guna Garuda Indonesia Airways ditugaskan melayani rute nusantara (trunk line), sedangkan regulasi dilakukan oleh pejabat Departemen Perhubungan Udara. Semua tariff, penggunaan jenis pesawat udara jet atau propeller, rute dan jejaring penerbangan diatur dan diawasi dengan ketat oleh Menteri Perhubungan Udara. Pada saat orde lama tidak ada perusahaan penerbangan milik swasta (privately owned anterprise), perusahaan penerbangan hanya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah (state owned enterprise) karena itu tidak ada persaingan antarperusahaan penerbangan, tetapi pada saat orde baru, mulai meninggalkan ideology sosialis dan menuju ideology neo-liberal yang merupakan gabungan antara sosialis dengan liberal.

10

, lahirlah Undan-Undang Nomor 1 Tahun 196711

tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara (PN) Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways” menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)

8

Merpati Nusantara Airlines yang semula Perusahaan Negara (PN) diubah menjadi “Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1971 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara (PN) Perhubungan Udara Daerah dan Penerbangan Serba Guna” Merpati Nusantara” menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

9

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1962 tentang Pendirian Perusahaan Negara Perhubungan Udara Daerah dan Penerbangan Serba Guna “Merpati Nusantara”

10

Ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan

, ideology politik Negara Republik Indonesia semakin jelas kecenderungannya kea rah neo-liberal yang merupakan gabungan antara ideology politik sosialis seperti dianut oleh Amerika Serikat dengan ideology politik sosialis yang merupakan gabungan antara liberal dengan sosialis

(17)

tersebut pemerintah mengeluarkan surat keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK13/S/197112 sehingga lahirlah perusahaan-perusahaan penerbangan pemerintah (state owned enterprise) di samping perusahaan milik pemerintah (state owned enterprise). Perusahaan penerbangan milik pemerintah masing-masing Garuda

Indonesia Airways13 sebagaimana disebutkan di atas, yang melayani rute

nusantara (trunk lines) dan Merpati Nusantara Airlines14 yang melayani rute pengumpan (feeder lines) berdampingan perusahaan penerbangan milik swasta masing-masing AOA Zamrud Aviation yang berpangkalan induk di Denpasar, Bouraq Airlines yang berpangkalan induk di Balikpapan, Mandala Airlines yang berpangkalan induk di Surabaya dan Seulawah Air Service berpangkalan induk di Palembang15, sebagai pelengkap (supplementer) penerbangan nasional. Indonesian Air Transport dan Sempati Airlines. Pada saat itu penerbangan komersial terdiri dari penerbangan teratur (scheduled airlines), penerbangan tidak teratur (non-sheduled airlines)16

Semula Garuda Indonesian Airways berfungsi sebagai perusahaan penerbangan utama (main carrier), sedangkan perusahaan penerbangan swasta sebagai pelengkap, disamping itu Garuda Indonesian Airways juga berfungsi sebagai price leadership atau menjadi pedoman dalam penarigan angkutan udara

, penerbangan suplementer dan penerbangan untuk kegiatan keudaraan (aerial work).

12

Surat Keputusan Nomor SK 13/S/1971 tanggal 18 Januari 1971 tentang Syarat-syarat dan Ketentuan Mengenai Penggunaan Pesawat Terbang Secara Komersial di Indonesia.

13

Surat Keputusan Menteri Perhubungan Udara Nomor T/14/4/4-U tanggal 11 Juli1961 tentang Izin Konsesi PN Garuda Indonesia Airways.

14

Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor S.8/2/5-Mphb tanggal 13 Januari 1969 tentang Route Structure PN Merpati Nusantara Airlines.

15

Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 402/S/70 tanggal 30 Desember 1970 tentang Pangkalan Induk (Home Base) Perusahaan Penerbangan.

16

Istilah lain “penerbangan tidak berjadwal (non-scheduled air service) adalah penerbangan “carter” lihat E.Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter

(18)

sehingga dapat mencegah terjadinya perang tariff yang tidak sehat. Penarifan yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan kekuatan pasar (market forces) di masyarakat, selain itu juga dimungkinkannya kerja sama dengan perusahaan swasta sebagai komplementer, namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan usul Wakil Ketua MPRS, Subchan, kedudukan perusahaan penerbangan milik pemerintah, dalam hal ini Garuda Indonesian Airways dan Merpati Nusantara Airlines, mempunyai kedudukan sama dan sejajar dengan perusahaan penerbangan swasta17

Berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31/U/1970 .

18

17

Fachri Mahmud, Perkembangan Kebijakan Angkutan Udara Indonesia, hlm. 66

18

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31/U/p/1970 tanggal 2 Februari 1970 tentang

lahirlah perusahaan-perusahaan penerbangan umum (general aviation) untuk melayani perusahaan yang usaha pokoknya bukan di bidang jasa angkutan udara seperti perusahaan minyak, perkebunan, perkayuan, Bank Indonesia, misi keagamaan, perkumpulan-perkumpulan penerbangan (aeroclub). Perusahaan penerbangan umum (general aviation) bersifat non-komersial yang hanya untuk melayani kebutuhan sendiri yang dilakukan antara kantor pusat dan tempat-tempat di mana kegiatan usaha berada, hanya boleh mengangkut komisaris, pimpinan, karyawan, pegawai, petugas dan barang-barang peralatan milik badan usaha atau perusahaan yang memiliki pesawat udara tersebut, tidak boleh menyewakan dengan penggantian uang untuk pemakaiannya dengan cara apa pun, kecuali memperoleh izin dari Menteri perhubungan. Kebijakan angkutan udara pada masa orde baru adalah banyak perusahaan penerbangan milik pemerintah berdampingan dengan perusahaan penerbangan milik pemerintah berdampingan dengan perusahaan

(19)

penerbangan milik swasta yang dapat dikatakan bersifat limited multiairlines system, semua rute penerbangan,19 frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara yang digunakan, kapasitas yang disediakan dan tarif yang harus dikenakan kepada penumpang diatur dan diawasi dengan ketat oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan20

Dalam kebijakan angkutan udara orde lama yang bersifat sosialis dan orde baru yang bersifat neo-liberal tersebut semua rute penerbangan, maupun jasa kebandarudaraan, kapasitas tempat duduk yang harus disediakan oleh perusahaan penerbangan diatur dengan ketat oleh Departemen Perhubungan Udara dan Departemen Perhubungan. Pada orde lama rute penerbangan diatur dalam keputusan Menteri Perhubungan Udara Nomor T.14/4/4-U tanggal 11 Juli 1961

.

21

, keputusan Menteri Perhubungan Udara Nomor S 8/2/5-Phb22 yang baik rute-rute yang harus dilayani oleh Merpati Nusantara Airlines, baik rute nusantara (trunk line) maupun rute daerah (regional route) keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK 294/S/197023

19

Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor T 11/1/2-U tentang Tindakan Lanjutan Pengaturan Kembali Rute Penerbangan Perusahaan Penerbangan Swasta ke dan dari Jakarta.

20

Keputusan Menteri Perhubungan No.KM96/PR.303/Phb-84 tentang Penyesuaian Taris Udara Dalam Negeri. Garuda Indonesia Airways berhak mengenakan tariff 15% lebih tinggi dibandingkan dengan tariff yang dikenakan pleh perusahaan penerbangan milik swasta.

21

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor T 14/4/4-U tentang Izin Konsesi PN Garuda Indonesia Airways untuk melakukan Operasi Penerbangan yang mengatur rute Garuda Indonesia Airways yang mengatur rute Garuda Indonesia Airways dari Jakarta ke Medan, Padang, Palembang, Belitung, Teluk Betung, Kotaradja dan Bengkulu.

22

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor S 8/2/5-Phd tentang Route Structure PN Merpati Nusantara Airlines.

23

. Jenis pesawat udara yang digunakan juga diatur oleh Menteri Perhubungan, hanya perusahaan penerbangan Garuda Indonesian Airways yang diizinkan menggunakan pesawat udara bermesin jet, sedangkan perusahaan penerbangan swasta dan Merpati Nusantara Airlines hanya

(20)

diperkenankan menggunakan pesawat udara baling-baling atau turbo propeller. Demikian pula tariff angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah, karena itu dalam masa orde baru tidak ada persaingan yang ketat seperti era reformasi. Tarif penumpang Garuda Indonesian Airways kelas utama yang menggunakan airbus diizinkan 15% lebih tinggi dari tarif normal24, sedangkan tarif penumpang Garuda Indonesian Airways lebih tinggi dibandingkan dengan tarif perusahaan penerbangan swasta25

Pada era reformasi sekarang ini, kebijakan angkutan udara cenderung liberal. Perusahaan penerbangan tumbuh dengan pesat, jumlah perusahaan penerbangan milik pemerintah bersama milik swasta meningkat menjadi 103 dalam tahun 2004. Dengan keluarnya keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 yang disempurnakan dengan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004

.

26

yang mengatur angkutan udara niaga (commercial airlines) dan bukan niaga (general aviation), jumlah perusahaan penerbangan meningkat lagi dari 103 dalam tahun 2004 menjadi 157 perusahaan penerbangan yang terdiri atas perusahaan penerbangan milik pemerintah, swasta dan penerbangan umum. Mereka bersaing sangat ketat satu terhadap yang lain kurang memerhatikan kepentingan penumpang27

24

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 157/PR.303/Phb-83 tentang Tarif Angkutan Udara Dalam Negeri untuk Kelas Utama Airbus.

25

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 96/PR.303/Phb-84 tentang Penyesuaian Taris Udara Dalam Negeri

26

Selama ini banyak sekali keluhan yang dialami oleh penumpang pesawat udara karena keterlambatan, pembatalan, kecelakaan dan lain-lain yang tiba gilirannya penumpang menjadi korban persaingan yang sangat ketat.

27 Selama ini banyak sekali keluhan yang dialami oleh penumpang pesawat udara karena

. Kebijakan relaksasi demikian memang menguntungkan bagi penumpang, karena masyarakat dapat menikmati jasa angkutan udara, tetapi juga tidak luput dari dampak negatif.

(21)

Dampak negative kebijakan relaksasi angkutan udara yang cenderung kea rah liberal tersebut, perusahaan penerbangan terpaksa bersaing secara keras, mereka saling menurunkan tarif batas bawah, saling memakan antarkawan. Dengan adanya perang tarif tanpa batas bawah tersebut secara tidak langsung mereka saling mematikan perusahaan penerbangan yang lain, di samping terdapat moda angkutan darat, kereta api dan angkutan laut. Akibat kebijakan relaksasi tersebut angkutan darat dari Jakarta ke Medan gulung tikar, lebih jelas lagi kapal laut PELNI yang merupakan angkutan laut milik Bdan Usaha Milik Negara (BUMN) terpaksa diserahkan kepada TNI-Angkatan Laut karenatidak mampu mengoperasikan. Bilamana angkutan dara, kereta api dan laut sudah luluh lantak dan punah, bukan suatu hal yang mustahil akan memakan tetangganya sesama perusahaan penerbangan terutama sekali yang mempunyai modal pas-pasan akan dimakan opleh pemilik modal yang lebih besar yang tiba gilirannya masyarakat akan menjadi korban.

Tampaknya pemerintah menyadari kebijakan relaksasi tersebut kurang menguntungkan, karena itu KM 81 Tahun 2004 disempurnakan dengan peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 200828

28

. Dalam penyempurnaan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 tersebut antara lain disyaratkan untuk memperoleh izin usaha angkutan udara niaga harus mempunyai minimal 2 unit pesawat udara yang dapat mendukung rute yang dilayani berdasarkan KM 81 Tahun 2004, setelah disempurnakan dengan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 yang mensyaratkan untuk, memperoleh izin usaha angkutan udara niaga harus mempunyai 5 unit pesawat udara, 2 unit pesawat

(22)

udara dimiliki, dan 3 unit pesawat udara dapat dikuasai dengan jenis yang dapat mendukung usdhanya untuk angkutan udara niaga berjadwal, sedangkan untuk angkutan udara tidak berjadwal (non-scheduled) minimal mempunyai 3 unit pesawat udara, masing-masing 1 unit pesawat udara dimiliki dan 2 unit pesawat udara dikuasai yang dapat mendukung usahanya. Persyaratan jumlah pesawat udara, khususnya untuk angkutan udara niaga berjadwal (scheduled airlines) sangat diperlukan karena kenyataannya sering terjadi keterlambatan yang disebabkan oleh kekurangan pesawat udara, apalagi pada saat lebaran dengan hari raya natal. Sebagai akibat peraturan Menteri Perhubungan tersebut di atas, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan telah mencabut izin dua puluh tujuh perusahaan penerbangan yang tidak, memenuhi persyaratan beroperasi.

Korban kebijakan relaksisasi tidak hanya dialami oleh angkutan darat, kereta api, dan laut, tetapi juga dialami oleh perusahaan penerbangan. Para pemain lama seperti Seulawah Airways, Bouraq Indonesia Airlines, Sempati Air, Indonesian Air Transport pada masa orde baru juga berguguran karena tidak mampu bersaing dan terpaksa gulung tikar. Dalam perkembangannya, perusahaan penerbangan yang lahir pada era reformasi juga tidak dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan, mereka lahir membawa modal yang tidak memadai, personel kurang profesional, terjadi banyak kecelakaan pesawat udara mereka jatuh bangun yang pada akhirnya masyarakat menjadi korban. Mereka kurang menyadari bahwa bisnis angkutan udara merupakan bisnis yang sangat

(23)

riskan terhadap risiko, sekali kecelakaan yang fatal, perusahaan tersebut langsung bubar29

UURI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak menginginkan kondisi angkutan udara nasional yang alakadarnya, jangan sampai perusahaan penerbangan tidak mempunyai kantor, hal ini pernah penulis teliti, yang akhirnya timbul dan tenggelam yang pada gilirannya masyarakat menjadi korban. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa jiwa UURI No.l Tahun 2009

.

Seperti negara-negara lain, menurut jiwa yang terkandung dalam UURI No.l Tahun 2009, jumlah perusahaan penerbangan tidak perlu banyak, tetapi sangat lemah, lebih baik jumlah perusahaan penerbangan sedikit, tetapi mampu memenuhi kebutuhan angkutan udara untuk mendukung pembangunan nasional, tangguh dapat bersaing pada tataran, nasional, regional maupun global, karena itu UURI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan meletakkan dasar hukum agar perusahaan penerbangan nasional dapat bertahan dan bersaing pada tataran nasional, regional maupun internasional, untuk maksud tersebut UURI No. 1 Tahun 2009 mensyaratkan kepemilikan pesawat udara yang mencukupi, kepemilikan modal yang kuat (capital intensive), adanya bank guarantee, single majority shares, personel yang profesional (kompeten) baik kualitas maupun kuantitas yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi, pengaturan, dan penegakan hukum yang ketat (law enforcement and fully regulated), kepatuhan yang tinggi (highly compliance),penguasaan teknologi tinggi (high technology) meningkatkan budaya keselamatan penerbangan (aviation safety culture), kejujuran dalam pelaksanaan operasional (just culture) dan lain-lain.

(24)

menghendaki, tidak perlu banyak perusahaan penerbangan, yang tidak mempunyai kemampuan bersaing di dalam negeri apalagi secara regional maupun global, karena itu UURI No. 1 Tahun 2009 mensyaratkan izin usaha angkutan udara yang berat. Perusahaan penerbangan yang baru disyaratkan untuk menyerahkan bank garanti, memiliki dan menguasai pesawat udara yang memadai sesuai dengan izin usaha angkutan udara berjadwal (scheduled airline), izin usaha angkutan udara tidak berjadwal (non-scheduled airline), borongan khusus semua dimaksudkan untuk meletakkan dasar hukum angkutan udara nasional yang tangguh mampu bersaing secara nasional, regional maupun global. UURI No.l Tahun 2009 ini juga membuka adanya kerja sama antara perusahaan penerbangan nasional satu terhadap yang lain, kerja sama antara badan hukum atau warga negara Indonesia dengan badan hukum asing atau warga negera asing, namun demikian kepemilikan modal harus tunggal (single majority) tetap berada pada badan hukum atau warga negara Indonesia. Persyaratan-persyaratan yang berat tersebut juga dibarengi dengan usaha untuk mempermudah pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur di dalam Cape Town Convention of 2001, yang dijelaskan lebih lanjut.

C. PELAYANAN JASA PENUNJANG KEGIATAN PENERBANGAN Dalam UURI NO. 15 Tahun 1992 pelayanan jasa penunjang angkutan udara belum diatur, namun demikian telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 yang kemudian diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Angkutan Udara, sedangkan dalam RUU Penerbangan, kegiatan usaha penunjang angkutan udara diusulkan dalam Pasal 29. Menurut usul tersebut untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga dapat

(25)

diusahakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara yang berupa kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan angkutan udara niaga atau berupa penjualan jasa angkutan udara atau kapasitas angkutan udara.

Dalam UURI No. 1 Tahun 2009, kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dalam Pasal 131 sampai dengan Pasal 133. Menurut Pasal 131 UURI No. 1 Tahun 2009, untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga, dapat dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara. kegiatan usaha penunjang angkutan udaratersebut dapat berupa kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan angkutan udara niaga seperti sistem reservasi melalui computer (computerized reservation system), pemasaran dan penjualan tiket pesawat atau agen penjualan umum (ticket marketing and selling), pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo (ground handling), dan penyewaan pesawat udara (aircraft leasing), dan lain-lain.

Menurut keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara tersebut terdapat berbagai jenis usaha penunjang kegiatan penerbangan. Usaha- usaha penunjang tersebut antara lain penyediaan hangar pesawat usara, perbengkelan pesawat udara, pergudangan, catering, ramp service, baggage handling, marshalling, aircraft parking, cooling and heating service, loading and unloading services, starting service, safety measures services, exterior and interior aircraft cleaning services, toilet services, water services, cabin equipment services, catering handling services, passengers services, lost and found services, transportation services, cargo and mail services, customs control services, irregularities handling, document handling, physical handling outbond/ inbound, transfer/ transit cargo, post office mail, load control, communications and flight operation

(26)

services, flight preparation services at the airport of derpature, flight preparation services at the different point from the airport of depature,flightoperation monitoring and route flight assistance, flight of operation monitoring and en-route flight assistance, flight operation and post flight activities, flight operation and en-rute re-despatch, flight operation and crew administration, security services, passenger and baggage screening and reconciliation, cargo and post office mail services, additional security services, aircraft maintenance services, routine services, non-routine services, material handling services, parking and hangar space services.

Usaha penunjang pelayanan jasa ramp (Ramp services) merupakan pelayanan jasa penanganan bagasi (Baggage Handling Services), pelayanan jasa pemanduan pesawat udara di darat (Marshalling Services), pelayanan jasa pemarkiran pesawat udara (Colling and HeatingServices), pelayanan jasa komunikasi dari ramp ke flight deck (Ramp to Flight Deck Communication Services), pelayanan jasa pemuatan dan bongkar muat pesawat udara (Loading and Unloading Services), pelayanan jasa penyalaan mesin peasawat udara (Starting Services), pelayanan jasa jaminan keselamatan (Safety Measure Services), pelayanan jasa pembersihan eksterior dan interior pesawat udara (Exterior and Interior Cleaning Services), pelayanan jasa pembersihan dan penyediaan sarana untuk toilet pesawat udara (Toilet Services), pelayanan jasa air minum di pesaat udara (Water Services), pelayanan jasa pengaturan atau pemasangan peralatan di kabin (Cabin Equipment Services) dan pelayanan jasa kegiatan ramp untuk catering (Catering Ramp Handling Services).

(27)

Upaya pelayanan jasa penumpang merupakan pelayanan penumpang kedatangan dan keberangkatan serta transit/ transfer, penanganan kehilangan dan penemuan bagasi (Lost and Found Services), pelayanan jasa transportasi inter-modal, baik dengan kereta api, perjalanan darat atau laut (inter –modal transportation by rail, road or, sea services), sedangkan pelayanan jasa kargo dan surat (Cargo and Mail Services) merupakan pelayanan jasa penyediaan dan pengurusan fasilitas pergudangan, equipment untuk pelayanan kargo dan surat, serta penerimaan dan pengaturan kargo dan pos udara, pelayanan jasa penyiapan dokumen serta pengaturan fisik kargo untuk keperluan pemeriksaan kepabeaan (Customs Control Services), pelayanan jasa tindakan segera untuk irregularities seperti kehilangan dan kerusakan (Irregularities Handling), pelayanan jasa penyiapan dokumen-dokumen penerbangan untuk kargo (Document Handling), pelayanan jasa penerimaan kargo, penumpukan kargo, penimbangan, pengiriman kargo ke pesawat udara, pelayanan pemeriksaan kargo dating terhadap dokumennya, serta pendistributrian kargo dating kepada penerima/consignee (Physical Handling Outbound/Inbound), pelayanan jasa kargo transfer/transit (Transfer/transit Cargo), pelayanan jasa surat kantor pos (Post Office Mail) kegiatan untuk melayani angkutan kargo dari gudang ke pesawat udara atau sebaliknya.

D. PERKEMBANGAN HUKUM PENGANGKUTAN UDARA DI

INDONESIA

Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara efektif dan efesien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang serta jasa,

(28)

mendukung pola distribusi nasional serta mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara.

Jaringan transportasi dapat dibentuk oleh moda transportasi yang terlibat. Masing-masing moda transportasi memiliki karakteristik teknis yang berbeda dan pemanfaatannya disesuaikan dengan kondisi geografis daerah layanan.

Moda transportasi udara mempunyai karakteristik kecepatan yang tinggi dan dapat melakukan penetrasi sampai keseluruh wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi lain.

Perkembangan industri angkutan udara nasional, Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang ada sebagai suatu negara kepulauan. Oleh karena itu, Angkutan udara mempunyai peranan penting dalam memperkokoh kehidupan berpolitik, pengembangan ekonomi, sosial budaya dan keamanan & pertahanan.

Merupakan bagian dari subsistem transportasi udara, kebijakan umum angkutan udara diarahkan untuk mewujudkan terselenggaranya angkutan udara secara selamat, aman, cepat, efisien, teratur, nyaman, dan mampu berperan dalam rangka menunjang dan mendukung sektor- sektor pembangunan lainnya.

Sampai dengan tahun 1990 kebijakan investasi dibidang angkutan udara sifatnya tertutup dan memberikan peluang yang terbatas terhadap para pengusaha. Kondisi ini dikarenakan pemerintah menerapkan dalam pemberian ijin penerbangan untuk angkutan udara niaga selama kurun waktu 5 tahun. Sedangkan

(29)

untuk melayani penerbangan domestik dan internasional diperlukan waktu 16 tahun bagi perusahaan angkutan udara untuk dapat beroperasi.

Pada saat itu dibatasi hanya terdapat 6 perusahaan penerbangan yang memiliki peluang untuk beroperasi, dimana daerah operasi, rute dan kapasitas diatur sangat ketat . Serta ditetapkannya kebijakan tarif tunggal yang memberikan kelonggaran terhadap perusahaan angkutan udara untuk menetapkan tarif lebih rendah 15% sampai dengan 20%, kecuali PT. Garuda Indonesia.

Sedangkan sejak era 1990 sampai dengan era 1999, dimana pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, perkembangan angkutan udara dalam negeri sangat terpuruk. Permintaan jasa angkutan udara sangat menurun drastis. Pemerintah berupaya merangsang usaha angkutan udara dan memacu pertumbuhan penumpang. Diantaranya dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan No.127 Tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 2001, Menteri Perhubungan menerbitkan Keputusan Menteri No. 11 Tahun 2001 yang merubah secara signifikan kebijakan nasional tentang industri angkutan udara. Dengan keputusan tersebut pemerintah merubah jenjang tahapan pemberian ijin yang diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga, yang meliputi daerah operasi, rute dan pengaturan kapasitas yang semakin terbuka. Namun demikian, kebijakan tariff tunggal tetap berlaku dengan mekanisme yang baru dimana mekanisme tersebut terbagi kedalam dua kategori yaitu pesawat jenis jet dan non jet dimana Pemerintah menetapkan tarif dasar dan asosiasi penerbangan (INACA) menetapkan tarif jarak.

(30)

Pada tahun 1999, pemerintah menetapkan kebijakan dasar biaya tariff dasar untuk penerbangan berjadwal, sedangkan INACA sebagai wakil dari perusahaan angkutan udara menetapkan tariff jarak.

Sedangkan pada tahun 2001, tragedi peristiwa pemboman WTC pada tanggal 9 Nopember 2001 cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan serta kondisi di Indonesia. Peristiwa tersebut secara tidal langsung menjadi titik balik perkembangan industri angkutan udara nasional. Pada saat itu banyak pesawat udara yang tidak dioperasikan oleh perusahaan Amerika dan Eropa karena kondisi yang sulit. Melihat kondisi yang ada, pemerintah mulai merelaksasi kebijakan dalam proses pengadaan (import) armada yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan nasional.

Pada tahun 2002 terjadi perubahan kebijakan pertarifan yaitu pemerintah hanya menetapkan tarif dasar dan tarif jarak sehingga wewenang asosiasi penerbangan dalam hal ini INACA dicabut.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam Ordonansi Pengangkutan udara atau biasa dikenal OPU ( Luchvervoer Ordonantie Staatsblat staatsblat 1939 No. 100) dinyatakan bila pengangkut udara tersebut

Pasal 31 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 49 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri... Dalam hal

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 155 Tahun 2016 tentang Batas Usia Pesawat Udara Yang Digunakan Untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga.. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM

Mengubah Lampiran Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 353 Tahun 2016 tentang Rute dan Penyelenggara Angkutan Udara Perintis Untuk Penumpang Serta Penyelenggara Dan Lokasi

Sehingga dapat ditarik kesimpulan pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 18 Tahun 2002 tentang Persyaratan Persyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi Perusahaan Angkutan Udara Niaga Untuk Penerbangan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 174 Tahun 2015 tentang Pembatasan Usia Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment/GSE) dan Kendaraan

Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergundangan, atau badan usaha angkutan udara niaga