• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Teori pengambilan keputusan klasik atau rasional mengasumsikan bahwa manajer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Teori pengambilan keputusan klasik atau rasional mengasumsikan bahwa manajer"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Teori pengambilan keputusan klasik atau rasional mengasumsikan bahwa manajer berperilaku untuk memaksimalkan profitabilitas perusahaan (Horowitz 2005). Manajer melanjutkan proyek yang diproyeksikan menguntungkan dan menghentikan proyek tersebut jika tidak menguntungkan perusahaan. Keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan sebuah proyek pada umumnya didasarkan pada alat evaluasi yang mengutamakan profitabilitas perusahaan, misalnya IRR, NPV, dan indeks profitabilitas. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa manajer cenderung untuk mengambil keputusan secara tidak rasional (Bazerman dan Moore 2009; Chong dan Suryawati 2010). Dalam hal ini, manajer cenderung untuk melanjutkan proyek walaupun proyek tersebut tidak menguntungkan untuk perusahaan. Perilaku ini dikenal dengan eskalasi komitmen.

Eskalasi komitmen merupakan tendensi pengambil keputusan untuk bertahan atau meningkatkan komitmennya pada serangkaian tindakan yang gagal (Brockner 1992; Schaumberg dan Wiltermuth 2014). Eskalasi komitmen ini sering terjadi pada individu yang telah berkomitmen pada suatu tindakan tertentu. Eskalasi komitmen merupakan kajian yang telah ada sejak tiga dekade yang lalu (Denison 2009; Slessman dkk. 2012). Walaupun kajian ini telah lama ada, tetapi penelitian di bidang eskalasi komitmen juga terus berkembang karena penggalian teori yang dapat menjelaskan eskalasi komitmen secara komprehensif sehingga eskalasi komitmen merupakan topik yang menarik untuk diteliti (Brockner 1992; Slessman dkk. 2012). Tak hanya itu, eskalasi komitmen diduga merupakan perilaku yang menonjol dari berbagai kontroversi atau keputusan organisasi yang gagal sehingga penelitian pada kajian ini masih terus berkembang (Slessman dkk. 2012). Contohnya seperti yang diungkapkan oleh Government Accountability Office yang menyebutkan bahwa pemerintah

(2)

2

Amerika Serikat memberi bantuan yang awalnya sebesar $85 miliar meningkat menjadi $172 miliar kepada perusahaan jasa keuangan AIG yang menunjukkan tanda-tanda eskalasi sesuai (Government Accountability Office 2009). Tanda-tanda eskalasi ini didasarkan pada penilaian GAO yang mengindikasikan ketidakpastian yang tinggi kemampuan AIG untuk mengembalikan dana pemerintah. Contoh lainnya adalah kasus “Big Dig” sebuah proyek pengerjaan jalan terumit sepanjang sejarah Amerika Serikat. Proyek yang direncanakan mulai pada tahun 1982 dengan nilai proyek $2,4 miliar selesai pada tahun 2007 dengan biaya yang membengkak hingga lebih dari $14 miliar (Hofherr 2015).

Dalam literatur akuntansi manajemen, teori pembenaran diri (self-justification theory) digunakan sebagai teori utama untuk menjelaskan perilaku eskalasi komitmen (McNamara dkk. 2002; Cheng dkk. 2003; Sivanathan dkk. 2008; Cheng dkk. 2009; Slessman dkk. 2012; Steinkühler dkk. 2014). Teori pembenaran diri ini menyatakan bahwa individu sebagai pembuat keputusan cenderung melakukan eskalasi komitmen sebagai upaya untuk membenarkan tindakan awal yang telah dilakukan. Hal ini disebabkan keinginan individu menjaga nama baik (face-saving) dan keengganan untuk mengakui ketidakberhasilan sumber daya yang dialokasikan (Staw 1981; Brockner 1992). Teori ini menjelaskan eskalasi komitmen lebih komprehensif karena teori ini mampu menjelaskan perilaku eskalasi komitmen dari awal pengambilan keputusan yang menyebabkan adanya tanggung jawab atas keputusan awal.

Staw membagi pembenaran (justification) menjadi dua bagian, yaitu pembenaran internal dan eksternal (internal and external justification). Pembenaran internal utamanya mempertimbangkan pembenaran sebagai proses intraindividu, konflik nilai dalam diri mereka. Pembenaran eksternal terjadi ketika individu menghadapi tantangan eksternal atau evaluasi, individu termotivasi untuk membuktikan kepada orang lain bahwa mereka tidak salah dalam keputusan sebelumnya.

(3)

3

Peneliti memasukkan tekanan pengaruh sosial (social influence pressure) sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku eskalasi komitmen. Hal ini didasarkan pada pernyataan Staw (1981) menyebutkan bahwa dorongan untuk melakukan pembenaran eksternal lebih kuat dibandingkan dengan dorongan untuk melakukan pembenaran internal. Pembenaran eksternal lebih kuat pengaruhnya pada individu dibandingkan pembenaran internal karena individu sangat peduli terhadap bagaimana mereka terlihat di mata orang lain, terutama pada individu yang secara karakteristik mempunyai pengendalian diri dan kesadaran diri publik yang tinggi. Tekanan pengaruh sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembenaran eksternal (Street dan Street 2006; Beshears dan Milkman 2011; Slessman dkk. 2012; Lowell 2012).

Literatur eskalasi komitmen telah membahas pengaruh social influence pressure terhadap perilaku eskalasi komitmen walaupun masih sedikit yang mengujinya secara empiris (Slessman dkk. 2012). Penelitian empiris dalam literatur akuntansi telah menjelaskan bahwa tekanan pengaruh sosial telah diteliti dapat mengarahkan individu pada perilaku yang disfungsional (Ponemon 1992; Dezoort dan Lord 1994; DeZoort dan Lord 1997; Lord dan Dezoort 2001; Davis dkk. 2006; Chong dan Syarifuddin 2010b; Chong dan Syarifuddin 2010a; Clayton 2010). Brehm dan Kassin (1990) dalam DeZoort dan Lord (1997) mendeskripsikan tekanan pengaruh sosial terdiri atas tiga tipe, tekanan kepatuhan (obedience pressure), tekanan kesesuaian (dalam penelitian Ponemon (1992) tekanan kesesuaian disebut peer pressure yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ini), dan tekanan ketaatan (compliance pressure).

Peneliti hanya memasukkan peer pressure dalam penelitian ini. Kajian obedience pressure menyatakan bahwa ketika individu mengalami obedience pressure mengurangi tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukan individu sedangkan kajian eskalasi komitmen menyatakan rasa tanggung jawab merupakan argumen yang mendasari individu

(4)

4

melakukan eskalasi komitmen. Oleh karena itu, peneliti tidak memasukkan obedience pressure dalam penelitian ini.

Peer pressure dapat mempengaruhi perilaku individu. Menurut Bandura (1977) individu cenderung melihat perilaku orang lain untuk membentuk dasar model perilaku mereka sendiri. Dalam kaitannya dengan eskalasi komitmen, individu yang melihat rekan sekerjanya berhasil dalam sebuah proyek menjadikannya sebagai dasar dalam menjalankan proyek. Ketika hasil proyek yang didapatkannya berbeda dengan yang diharapkan, individu melakukan eskalasi komitmen agar menciptakan kesesuaian dengan dasar yang telah diciptakannya.

Beberapa penelitian terdahulu telah memberikan alternatif sistem pengendalian untuk mengurangi perilaku kecenderungan manajer melakukan eskalasi komitmen. Penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Ghosh (1997), Chong dan Suryawati (2010), Helmayunita (2012), Dewi dan Supriyadi (2012), dan Buxton dan Rivers (2014) memberikan alternatif adanya monitoring control sebagai upaya untuk mengurangi kecenderungan manajer melakukan eskalasi komitmen. Penelitian Cheng dkk. (2003) mengusulkan metode hurdle rates untuk strategi deeskalasi. Penelitian mereka menguji tiga tingkatan hurdle rates, no hurdle rates, self-set hurdle rates, dan organization-set hurdle rates. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa self-set hurdle rates dapat menjadi mekanisme pengendalian perilaku eskalasi komitmen karena dengan menentukan sendiri hurdle rates dapat meningkatkan komitmen manajer pada hurdles rates sebagai tolak ukur evaluasi profitabiltas proyek sehingga manajer cenderung untuk menghentikan proyek ketika profitabilitas perusahaan menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Dutta (2003) menyatakan bahwa eskalasi komitmen dapat direduksi dengan sistem pemberian kompensasi, kontrak bonus residual-income-based jika retensi manajerial tidak parah dan option-income-based jika masalah retensi manajerial parah.

(5)

5

Literatur akuntansi manajemen menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan suatu alat pengendalian yang dapat memotivasi perilaku individu (Micheli dan Mari 2014). Walaupun sistem pengukuran kinerja dapat memotivasi perilaku individu, sistem ini sulit untuk didesain untuk beberapa aspek kerja (Bourne dkk. 2014). Kesalahan dalam mendesain sistem pengukuran kinerja dapat menghasilkan perilaku yang berkebalikan dari yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan eskalasi komitmen, sistem pengukuran kinerja harus dirancang untuk mengurangi self-justification yang menjadi penyebab individu melakukan eskalasi komitmen pada proyek yang tidak menguntungkan. Bazerman dan Moore (2009) menyatakan bahwa sistem pengendalian sebaiknya dirancang agar manajer dapat mengungkapkan hasil negatif dari keputusan proyek awal yang telah dilakukan sehingga dapat memotivasi manajer untuk membuat keputusan yang terbaik untuk perusahaan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dalam konteks organisasi, pengaruh faktor sosial tidak dapat dielakkan dalam mempengaruhi perilaku individu. Bratton (2004) menjelaskan dalam disertasinya bahwa pengaruh rekan kerja (peer pressure) merupakan faktor utama yang mempengaruhi individu dalam melakukan perilaku etis. Beberapa penelitian empiris juga telah mendukung bahwa peer pressure dapat mempengaruhi perilaku etis dalam bidang akuntansi, seperti penelitian Ponemon (1992) serta Chong dan Syarifuddin (2010a). Pengaruh sosial ini juga telah diungkapkan dapat mempengaruhi eskalasi komitmen (Street dan Street 2006; Lowell 2012; Slessman dkk. 2012) walaupun dalam artikel tersebut tidak menguji secara empiris. Street dan Street (2006) mengungkapkan bahwa tekanan untuk mengikuti nilai orang lain merupakan pengaruh yang lebih kuat untuk melakukan eskalasi komitmen dibandingkan sistem kepercayaan etis seseorang. Lowell (2012) menyatakan bahwa pilihan untuk melakukan eskalasi komitmen mungkin diambil akibat tekanan soaial yang ada.

(6)

6

Penelitian dilaksanakan di Indonesia yang merupakan negara dengan tingkat kolektivitas yang tinggi (The Hofstede Centre, 2015). Peer pressure dalam budaya kolektivisme cenderung lebih kuat karena individu dalam budaya kolektivis cenderung mengambil keputusan dipengaruhi oleh opini kelompok sehingga ketika individu berperilaku menyimpang dari opini kelompok menimbulkan rasa malu (Hofstede, 2011).

Penelitian yang dilakukan Cheng dkk. (2009) menyatakan manajer yang melakukan tinjauan (review) sebagai pengukuran kinerja terhadap proyek yang dilakukan cenderung tidak mengungkapkan hasil negatif dari proyek yang telah dilakukan sehingga kemungkinan eskalasi komitmen dapat terjadi sedangkan pengukuran kinerja merupakan salah satu alat yang digunakan sebagai alat komunikasi (Micheli dan Mari 2014) umpan balik dari hasil investasi proyek. Hal ini disebabkan oleh rasa tanggung jawab yang tinggi sehingga manajer cenderung melakukan justifikasi keberadaan dan keberlanjutan proyek (Cheng dkk. 2009). Oleh karena itu, perusahaan seharusnya memodifikasi sistem pengukuran kinerja yang diberlakukan dalam mengukur kinerja manajer atas proyek yang dilaksanakannya. Penelitian ini menguji apakah sistem pengukuran kinerja berpengaruh terhadap kecenderungan manajer untuk melakukan eskalasi komitmen.

Untuk itu, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah peer pressure berpengaruh terhadap kecenderungan manajer melakukan eskalasi komitmen?

2. Apakah sistem pengukuran kinerja berpengaruh terhadap kecenderungan manajer melakukan eskalasi komitmen?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

(7)

7

1. Pengaruh peer pressure terhadap kecenderungan manajer melakukan eskalasi komitmen.

2. Pengaruh sistem pengukuran kinerja terhadap kecenderungan manajer melakukan eskalasi komitmen.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki kontribusi teoretis dan praktis. Dari segi teoretis, penelitian ini menguji secara empiris self justification theory sebagai dasar utama perilaku eskalasi komitmen seperti yang diungkapkan penelitian-penelitian sebelumnya (Brockner 1992; McNamara dkk. 2002; Sivanathan dkk. 2008; Slessman dkk. 2012; Steinkühler dkk. 2014). Pengujian empiris ini memberikan penjelasan kekuatan self justification theory dalam menjelaskan eskalasi komitmen setelah beberapa penelitian terdahulu memberikan alternatif-alternatif teori yang dapat menjelaskan perilaku eskalasi komitmen (Rutledge dan Karim 1999; Booth dan Schulz 2004; Huang dan Chang 2010). Penjelasan tentang kekuatan self justification theory dalam menjelaskan eskalasi komitmen menjadi hal yang penting karena kebutuhan teori yang komprehensif dalam menjelaskan fenomena ini. Seperti halnya Rutledge dan Karim (1999) serta Booth dan Schulz (2004) yang menjelaskan bahwa teori keagenan tidak secara lengkap menjelaskan eskalasi komitmen karena kurangnya penjelasan teori keagenan ketika diperhadapkan dengan pertimbangan etis individu. Brockner (1992) menjelaskan teori prospek banyak digunakan dalam penelitian untk menjelaskan fenomena eskalasi komitmen, tetapi penjelasan teori prospek merupakan penjabaran untuk mendukung teori pembenaran diri dalam menjelaskan eskalasi komitmen.

Kontribusi teoretis lainnya adalah penelitian ini menguji secara empiris pengaruh lingkungan sosial pada eskalasi komitmen sebagai wujud justifikasi eksternal. Dengan menguji salah satu faktor dalam social influence theory, penelitian ini diharapkan memberi

(8)

8

bukti empiris atas pernyataan Staw (1981) yang menyatakan justifikasi eksternal lebih kuat pengaruhnya pada individu dibandingkan justifikasi internal dalam mempengaruhi individu untuk melakukan eskalasi komitmen. Dengan mengambil lokasi penelitian di Indonesia, hal ini dapat memberikan bukti empiris bagaimana pengaruh peer pressure terhadap eskalasi komitmen di negara dengan tingkat kolektivitas yang tinggi setelah penelitian Chong and Syarifuddin (2010a) yang telah menguji pengaruh peer pressure terhadap eskalasi komitmen di negara dengan tingkat kolektivitas yang rendah.

Kontribusi teoretis selanjutnya adalah penelitian ini menguji secara empiris pengaruh sistem pengukuran kinerja terhadap kecenderungan eskalasi komitmen. Dengan menguji pengaruh sistem pengukuran kinerja, penelitian ini diharapkan memberi bukti empiris atas pernyataan Bazerman dan Moore (2009) bahwa sistem pengendalian, termasuk sistem pengukuran kinerja, diharapkan dapat memotivasi manajer untuk mengurangi perilaku eskalasi komitmen. Sistem pengukuran kinerja digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keberhasilan suatu organisasi. Sistem pengukuran kinerja yang baik dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi perusahaan (Micheli dan Mari 2014). Pentingnya sistem pengukuran kinerja sehingga dapat membantu perusahaan dalam mengendalikan proyek yang sedang dilaksanakan perusahaan.

Kedua, penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi praktis mengenai situasi dan upaya untuk mengurangi kecenderungan eskalasi komitmen. Eskalasi komitmen yang muncul sebagai upaya pembenaran diri manajer atas perilaku sebelumnya dapat dipengaruhi oleh perusahaan dengan memperbaiki kebijakan sistem pengukuran kinerja. Dengan sistem pengukuran kinerja yang baik, upaya pembenaran diri manajer dapat dikurangi yang dapat berdampak bagi perilaku eskalasi komitmen. Dengan berkurangnya eskalasi komitmen, perusahaan dapat menyelamatkan sumber daya dari proyek yang tidak menguntungkan.

(9)

9 1.5. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu:

Bab I : Bab ini adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan

Bab II : Bab ini adalah landasan teori dan perumusan hipotesis yang berisi kajian literatur variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini dan acuan perumusan hipotesis.

Bab III : Bab ini adalah metode penelitian yang berisi desain penelitian, prosedur dan protokol eksperiman, partisipan, definisi operasional variabel dan ukuran operasional, uji instrumen, dan uji hipotesis.

Bab IV : Bab ini adalah hasil dan pembahasan penelitian yang berisi cek manipulasi, statistik deskriptif, pengujian hipotesis, dan diskusi hasil penelitian.

Bab V : Bab ini adalah penutup yang berisi simpulan, keterbatasan penelitian, dan saran untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Siswa tidak sekedar menghafal konsep kemudian mengingatnya akan tetapi siswa menemukan sendiri konsep Fisika lalu memahaminya serta mengingatnya Hasil belajar pada

Dengan lain kata, penelitian ini berusaha untuk mencari pemahaman tentang proses perumusan, implementasi dan evaluasi terhadap penerapan strategi supervisi kepala sekolah

Kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga pada Februari 2017 mengalami kenaikan indeks 0,12 persen atau terjadi kenaikan indeks dari 121,52 pada Januari 2017 menjadi 121,67

Pada pengukuran kelembaban tanah dipergunakan juga nilai ukur kelembaban menurut volume khususnya jumlah kelembaban volume 6v (basis kering) yang dinyatakan dalam persamaan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun pelawan dengan dosis 100 mg/ kg BB pada tikus betina setelah melahirkan

Sebagaimana perihal dimaksud dalam tajuk surat di atas, maka Kami, panitia Kejuaraan Karate “SIRKUIT KARATE ANTAR DOJO Se-Jakarta dan Sekitarnya”, meminta kepada