• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI KONDILOMA AKUMINATA MENGGUNAKAN KOH 5% DAN 10%

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERAPI KONDILOMA AKUMINATA MENGGUNAKAN KOH 5% DAN 10%"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

TERAPI KONDILOMA AKUMINATA MENGGUNAKAN KOH 5% DAN 10%

Calvin Santosa, Vina Mery Giovani, AAGP Wiraguna

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK Pendahuluan

Kondiloma akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papilloma

Virus (HPV). Transmisi dari HPV terutama melalui hubungan seksual dan risiko lebih tinggi ditemukan

pada kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) dan biseksual. Penggunaan Kalium hidroksida (KOH) sebagai salah satu modalitas terapi kondiloma akuminata telah dilaporkan. Tujuan pelaporan kasus ini untuk memberikan alternatif terapi KA dengan KOH.

Kasus

Kasus 1: Laki-laki heteroseksual usia 55 tahun datang dengan keluhan adanya benjolan di kelamin sejak 6 bulan yang lalu. Pada pasien diberikan terapi KOH 5% setiap malam hari dan pada pengamatan hari ke-7 pasca terapi didapatkan sedikit perbaikan dan pada pengamatan minggu ke-3 didapatkan lesi lama masih ada dan tumbuh lesi baru.

Kasus 2: Laki-laki LSL usia 25 tahun datang dengan keluhan timbul benjolan disekitar anus sejak 2 bulan yang lalu. Pada awalnya pasien diberikan terapi dengan tutul asam trikloroasetat 80% setiap minggu. Pada pengamatan bulan pertama didapatkan lesi baru disekitar lesi lama yang kemudian diterapi dengan KOH 10% dan lesi menghilang dalam waktu 2 minggu.

Pembahasan

Tatalaksana KA bertujuan untuk menghilangkan lesi tetapi modalitas terapi KA yang tersedia masih memberikan tingkat rekurensi yang tinggi. Mekanisme KOH adalah menimbulkan efek keratolitik serta menginduksi respon inflamasi yang dapat menghilangkan lesi KA. Efektivitas KOH 10% didapatkan lebih tinggi dibandingkan KOH 5% tetapi menyebabkan efek samping berupa iritasi yang lebih berat. Larutan KOH mampu memberikan tingkat kesembuhan yang sama dengan modalitas lain seperti laser CO2 serta kombinasi 5-fluorourasil dan asam salisilat 10%.

(4)

THERAPY OF CONDYLOMA ACUMINATA USING KOH 5% AND 10% SOLUTION

Calvin Santosa, Vina Mery Giovani, AAGP Wiraguna

Dermatovenereology Department

Faculty of Medicine Udayana University/ Sanglah General Public Hospital Denpasar

ABSTRACT Introduction

Condyloma acuminata (CA) is a sexual transmitted infection caused by Human Papilloma Virus (HPV). Transmission of HPV mainly through sexual intercourse and the risk is higher on men who have sex with men (MSM) and bisexual group. The use of Potassium Hydroxide (KOH) as the treatment modality for CA has been reported. The objective of this case report is to provide alternative therapy for CA using KOH solution.

Cases

Case 1: A 55-year old heterosexual male presented with bumps on genital area since 6 months ago. The patient was treated using KOH 5% every night and on 7th day after initial treatment improvement was shown however on the 3rd week follow-up old lesion still persist accompanied with new lesions. Case 2: A 25-year old MSM male presented with bumps on anal area since 2 months ago. At the beginning the patient was treated using thrichloroacetic acid (TCA) 80% every week. On the first month of follow-up, new lesions were found around the old lesion and was given KOH 10% as therapy. The new lesions were cleared within 2 weeks.

Discussion

Treatment of CA is to remove the lesion however the treatment modalities still gives out a high recurrence rate. Mechanism of KOH is through keratolytic effect and induction of inflammation response to remove the CA lesion. The effectiveness of KOH 10% was higher than KOH 5% with more irritation. KOH solution gives clearance rate similar to other modalities like CO2 laser and combination of 5-fluorouracil and salicylic acid 10%.

(5)

PENDAHULUAN

Kondiloma akuminata (KA) merupakan salah satu infeksi menular seksual yang sering datang ke praktik klinik sehari-hari. Infeksi ini disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) terutama oleh HPV tipe 6 dan 11. Kondisi neoplasia intraepitel dan squamous cell carcinoma (SCC) lebih dikaitkan dengan HPV tipe 16, 18, 31 dan 33.1,2

Pada umumnya HPV ditularkan melalui hubungan seksual baik secara genito-genital, oro- genital maupun ano-genital. Permukaan mukosa lebih tipis dibandingkan pada kulit sehingga inokulasi virus lebih mudah. Pada kasus dimana penyebaran terjadi tanpa riwayat hubungan seksual, pada umumnya akibat abrasi pada permukaan kulit. Kondiloma akuminata secara epidemiologi dapat menyerang semua ras dan jenis kelamin, akan tetapi didapatkan risiko yang lebih tinggi pada kelompok laki-laki homoseksual dan biseksual.3 Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mendapatkan 79 juta kasus HPV di seluruh dunia yang diyakini jumlahnya akan meningkat setiap tahunnya.4 Dari penelitian di Indonesia dari 12 Rumah Sakit Pendidikan dari tahun 2007-2011, KA menjadi salah satu penyakit tersering yang ditemukan di poliklinik kulit dan kelamin. Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tahun 2015 didapatkan 92 kasus baru dimana 50 terjadi pada laki-laki dan 42 kasus pada perempuan.5

Sampai saat ini terapi dari KA masih menjadi masalah bagi dokter dan pasien dimana dengan tingkat rekurensi yang masih cukup tinggi serta efek samping terapi yang sering kali dikeluhkan pasien. Saat ini belum didapatkan terapi antivirus spesifik yang dapat menyembuhkan KA secara penuh. Modalitas terapi yang tersedia saat ini antara lain agen destruktif, antiproliferasi serta imunomodulator. Pemilihan terapi berdasar atas jumlah lesi, ukuran, lokasi, biaya serta efek samping terapi. Terapi yang umum digunakan adalah asam trikloroasetat, podofilin, podofilotoksin serta elektrokauterisasi. Rata-rata tingkat kesembuhan yang diberikan oleh agen-agen tersebut sekitar 45- 80%. 6,7

Beberapa penelitian mendapatkan ternyata kalium hidroksida (KOH) memiliki kemampuan untuk terapi KA dan moluskum kontagiosum. Pada sebuah penelitian yang dibandingkan dengan modalitas yang tersedia saat ini memberikan efektifitas yang kurang lebih serupa. Pada perbandingan antara penggunaan KOH dan krioterapi sebagai terapi KA, didapatkan efek samping berupa nyeri dan hipopigmentasi pasca terapi yang lebih rendah pada penggunaan KOH.6,8

Berikut akan dilaporkan kasus kondiloma akuminata pada genital seseorang laki-laki heteroseksual yang diterapi dengan KOH 5% serta kondiloma akuminata pada perianal seorang laki - laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL). Kedua kasus ini dilaporkan untuk memahami penggunaan KOH 5% dan 10% sebagai terapi alternatif kondiloma akuminata.

KASUS

Kasus pertama seorang laki-laki berusia 55 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, status sudah menikah, dengan nomor catatan medis 17.00.18.34 datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tanggal 13 Januari 2017 dengan keluhan utama berupa benjolan di daerah kelamin.

Pasien datang dengan keluhan utama muncul benjolan di daerah kelamin sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu. Pasien mengaku bahwa awalnya timbul hanya sedikit dan kecil, akan tetapi semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar ke daerah sekitarnya. Pasien tidak mengeluhkan adanya gatal pada kelamin maupun nyeri pada benjolan tersebut. Keluhan nyeri saat buang air kecil disangkal. Benjolan serupa di bagian anus disangkal pasien.

Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan ini sebelumnya. Riwayat penyakit infeksi menular seksual lainnya seperti timbul bintil berair yang nyeri, luka atau lecet pada kelamin serta kencing nanah disangkal. Keluhan penurunan berat badan, batuk-batuk lama atau diare berkepanjangan disangkal pasien. Riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, keganasan, asma dan penggunaan obat-obat imunosupresan seperti kemoterapi dan kortikosteroid jangka panjang disangkal pasien. Riwayat pengobatan, pasien belum pernah mendapat pengobatan untuk keluhannya saat ini. Riwayat alergi obat disangkal pasien. Riwayat keluhan serupa pada keluarga dan lingkungan disangkal pasien.

Riwayat sosial pasien adalah seorang polisi di daerah Tabanan. Pasien saat ini sudah menikah selama 30 tahun dengan 2 anak. Pasien berhubungan seksual pertama kali pada usia 23 tahun dengan seorang perempuan. Aktivitas seksualnya berupa hubungan genitogenital tanpa kondom. Pasien memiliki riwayat berhubungan dengan perempuan penjaja seks komersial (PSK) sebelumnya secara genitogenital dan oral seks dengan dan tanpa kondom. Pasien memiliki riwayat hubungan seksual dengan perempuan teman pasien sejak 8 bulan yang lalu secara genitogenital dan oral seksual tanpa kondom. Hubungan ini berlangsung sampai 3 bulan yang lalu dan menurut pasien, teman perempuan pasien tidak memiliki keluhan yang serupa maupun keluhan lain pada daerah

(6)

kelaminnya. Menurut pasien saat ini hanya berhubungan seksual dengan istri pasien secara genitogenital tanpa kondom, dengan hubungan seksual terakhir dilakukan 2 minggu yang lalu. Riwayat hubungan seksual dengan sesama jenis disangkal pasien. Keluhan pada istri pasien tidak diketahui pasien. Riwayat merokok, konsumsi alkohol, penggunaan narkotika dan obat -obatan terlarang disangkal pasien.

Pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dan status present dalam batas normal. Pada status venereologis didapatkan pada lokasi korpus penis berupa papul multipel sewarna kulit, dengan permukaan halus dan licin, berbentuk bulat hingga geografika dengan ukuran diameter 0.2 cm hingga

x 0.5 cm, tersebar diskret. Pada pemeriksaan acetowhite didapatkan hasil yang positif. (Gambar 1-2)

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis kondiloma akuminata dengan penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian tutul larutan kalium hidroksida (KOH) 5% pada lesi kondiloma akuminata setiap hari yang dilakukan oleh pasien sendiri pada malam hari sebelum tidur. Pasien disarankan untuk dilakukan skrining terhadap HIV di bagian voluntary

counseling and testing (VCT) RSUP Sanglah akant tetapi pasien menolak. Pasien diberikan

komunikasi, informasi dan edukasi. Pasien disarankan untuk kontrol setiap minggu untuk melihat perbaikan lesi dan keluhan saat pemberian terapi serta hindari hubungan seksual baik dengan atau tanpa kondom selama masih didapatkan lesi. Pasien juga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan pada istri pasien dengan riwayat hubungan seksual saat sudah didapatkan lesi

Pada pengamatan hari ke-7 didapatkan perbaikan minimal pada lesi (Gambar 3) sedangkan pada pengamatan hari ke-21 didapatkan lesi lama masih ada dan didapatkan juga lesi baru (Gambar 4-6).

Kasus kedua seorang laki-laki berusia 25 tahun, suku Jawa, warga negara Indonesia, status belum menikah, dengan nomor catatan medis 16.04.53.50 datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar pada tanggal 20 Oktober 2016 dengan keluhan utama berupa benjolan disekitar anus.

Pasien datang dengan keluhan utama muncul benjolan di sekitar anus sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Awalnya berukuran kecil, namun semakin lama semakin membesar dan bertambah banyak. Benjolan tersebut tidak disertai dengan keluhan gatal, nyeri atau berdarah. Keluhan nyeri saat buang air besar disangkal. Benjolan di bagian tubuh yang lain disangkal.

Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya + 1 tahun yang lalu, dan pasien berobat ke dokter spesialis kulit diberikan terapi tutul podofilin. Riwayat penyakit infeksi menular seksual lainnya seperti bintil berair, luka atau lecet pada kelamin dan kencing nanah disangkal. Riwayat penurunan berat badan, batuk lama serta diare disangkal. Pasien juga menyangkal memiliki riwayat penyakit seperti jantung, diabetes melitus, hipertensi, keganasan, penggunaan obat kemoterapi dan kortikosteroid dalam jangka panjang. Riwayat pengobatan, pasien belum pernah mendapat pengobatan untuk keluhannya saat ini. Riwayat pengolesan minyak tradisional disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat penyakit dalam keluarga dikatakan tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan keluhan serupa.

Riwayat sosial pasien adalah seorang pengajar Bahasa Indonesia di daerah Ubud. Pasien belum pernah menikah dan saat ini tinggal sendiri. Pasien berhubungan seksual pertama kali 4 tahun yang lalu dengan seorang perempuan. Aktivitas seksualnya berupa hubungan genitogenital dan oral seksual, tanpa kondom. Pasien menjalani hubungan tetap saat itu selama 1 tahun. Setelah putus hubungan dengan pacar perempuan, 2 tahun yang lalu pasien berkenalan dengan seorang laki -laki di sebuah tempat hiburan malam di Yogyakarta, pasien kemudian menjalani hubungan selama + 6 bulan. Aktivitas seksual dengan pacar laki-laki berupa anal seks dan oral seks, tanpa menggunakan kondom, saat aktivitas seksual pasien dapat berlaku sebagai insertif maupun reseptif. Riwayat

multipartner seksual pada pasangannya tidak diketahui. Pasien kemudian pindah ke Bali sejak 1

tahun yang lalu. Selama di Bali, pasien sempat menjalin hubungan dengan beberapa laki -laki, melakukan aktivitas seksual anal dan oral tanpa kondom. Aktivitas seksual terakhir pasien sekitar 5 bulan yang lalu dengan salah satu teman laki-lakinya tanpa menggunakan kondom. Keluhan yang sama pada teman laki-lakinya tidak diketahui, saat ini pasien sudah tidak pernah berhubungan seksual lagi dan tidak memiliki pasangan tetap. Riwayat merokok, konsumsi alkohol, penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang disangkal oleh pasien.

Pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dan status present dalam batas normal.Pada status venereologis, lokasi di perianal didapatkan papul multipel sewarna kulit, bent uk bulat oval ukuran diameter 0,1 - 0,3 cm, hingga 0,2 x 0,5 cm – 0,5 x 1 cm dengan permukaan verukosa yang memberikan hasil positif pada pemeriksaan acetowhite (Gambar 7).

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis kondiloma akuminata dengan penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian tutul asam trikloroasetat (TCA) 80% pada

(7)

lesi kondiloma akuminata setiap minggu. Pasien diberikan komunikasi, informasi dan edukasi. Pasien disarankan untuk kontrol setiap minggu untuk melihat perbaikan lesi dan keluhan saat pemberian terapi serta hindari hubungan seksual baik dengan atau tanpa kondom selama masih didapatkan lesi. Pada pengamatan bulan pertama didapatkan lesi baru disekitar lesi lama dan diberikan terapi tutul KOH 10% setiap malam yang diaplikasikan oleh pasien sendiri. Pada pengamatan 2 minggu setelahnya didapatkan menghilangnya lesi baru yang diberikan tutul KOH 10% tanpa didapatkan efek samping.

PEMBAHASAN

Kondiloma akuminata adalah penyakit infeksi menular seksual yang paling sering didapatkan di masyarakat dimana di Amerika Serikat sendiri diestimasi didapatkan 500,000 hingga 1 juta kasus baru setiap tahunnya.9 Kondiloma akuminata disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) yang dapat menimbulkan lesi subklinis dalam waktu yang lama atau dapat berkembang menjadi massa besar yang menetap untuk waktu yang lama.1 Kebanyakan dari infeksi baru terjadi pada dewasa muda usia 15 sampai 24 tahun dengan 75% risiko untuk tertular virus dan timbul lesi KA apabila berhubungan seksual dengan orang yang terinfeksi dengan HPV. Faktor risiko lain adalah hubungan seksual tanpa kondom, penggunaan kontrasepsi oral, riwayat infeksi menular seksual, merokok dan imunosupresi.10

Sampai saat ini didapatkan kurang lebih 120 subtipe HPV dengan 40 diantaranya mampu untuk menginfeksi traktus anogenital. Subtipe ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu risiko rendah, risiko intermediat dan risiko tinggi berdasarkan kemampuan untuk memicu displasia intraepitelial. Kelompok yang termasuk subtipe risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 yang jarang menimbulkan kanker serviks, akan tetapi kelompok subtipe ini bertanggung jawab atas 90% kasus kondiloma akuminata. Subtipe yang termasuk ke kelompok dengan risiko intermediat adalah HPV tipe 31, 33, 45, 51, 52, 56, 58 dan 59 yang didapatkan hubungan dengan keganasan skuamosa akan tetapi jarang menyebabkan squamous cell carcinoma (SCC) serviks. Subtipe yang termasuk ke kelompok risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18 yang sangat berhubungan dengan displasia servikal.11

Masa inkubasi dari KA biasanya berkisar antara 3 minggu hingga 8 bulan, akan tetapi dapat hingga 18 bulan. Permukaan mukosa dengan keratin yang lebih tipis membuat daerah mukosa lebih rentan untuk virus berinokulasi dari mikroabrasi akibat berhubungan seksual. Replikasi dari virus terbatas pada sampai lapisan sel basal kulit dimana virus dapat menembus epitel kulit dan mukosa untuk menginfeksi keratinosit basal. Bagian mukosa yang dapat terlibat antara lain vulva, vagina, serviks dan daerah perianal untuk perempuan serta korpus penis, skrotum, periuretra dan perianal pada laki-laki. Daerah yang terinfeksi akan didapatkan proliferasi dari DNA virus yang secara klinis tampak sebagai papul atau plak dengan permukaan verukosa.12

Lesi KA umumnya tampak sebagai papul dengan diameter 2-5 mm dan dapat berkonfluen menjadi lesi yang lebih besar hingga beberapa sentimeter. Kondiloma akuminata dapat timbul dalam 4 bentuk, yaitu: 1) bentuk akuminata, dengan gambaran klinis menyerupai kembang kol, 2) bentuk papular, berupa papul berbentuk kubah, sewarna daging, dengan permukaan halus dan licin, 3) bentuk keratotik yang memiliki lapisan tebal pada permukaan yang menyerupai veruka vulgaris atau keratosis seboroik, dan 4) bentuk papul datar yang tampak sebagai makula atau dengan sedikit peninggian.1,2

Diagnosis dari KA dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang cukup khas. Pada lesi-lesi yang meragukan, pemeriksaan acetowhite menggunakan asam asetat 3-5% dapat dilakukan. Pemeriksaan ini akan membuat bentukan lesi menjadi lebih jelas dengan perubahan warna lesi menjadi putih pada daerah yang terinfeksi HPV. Biopsi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis dimana didapatkan gambaran papilomatosis, akantosis, dengan rete ridges yang memanjang dan menebal disertai parakeratosis dan keratinosit besar berinti piknotik dikelilingi halo perinuklear yang disebut koilosit. Umumnya biopsy hanya dilakukan untuk lesi yang meragukan, lesi yang tidak memberikan respon terapi atau lesi yang memburuk selama pemberian terapi.13,14,15

Tatalaksana dari KA bertujuan untuk menghilangkan lesi yang tampak secara klinis. Kondiloma akuminata yang tidak diberikan pengobatan dapat mengalami regresi secara spontan, menetap maupun bertambah besar atau bertambah banyak jumlahnya. Rekurensi masih me njadi masalah utama dalam terapi KA. Modalitas yang tersedia saat ini masih memberikan tingkat rekurensi yang cukup tinggi. Terapi dari KA dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu terapi yang dilakukan oleh pasien sendiri dan terapi yang diberikan oleh dokter. Terapi yang termasuk dalam kelompok yang dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri antara lain imiquimod 5%, Podofiloks 0.5% dan Sinekatekin 15%. Kelompok ini memiliki tingkat kesembuhan sekitar 37 hingga 77% dengan tingkat rekurensi antara 4 hingga 33%. Sedangkan kelompok yang termasuk ke dalam kelompok yang diberikan oleh dokter antara lain krioterapi, elektrokauter, pofodilin 25%, eksisi bedah dan asam trikloroasetat. Kelompok ini memiliki tingkat kesembuhan yang lebih tinggi yaitu 62 hingga 96% dengan

(8)

elektrokauter yang memiliki tingkat kesembuhan yang tertinggi, dengan tingkat rekurensi antara 18 hingga 73% dengan krioterapi yang memiliki tingkat rekurensi tertinggi.16

Kalium hidroksida merupakan alkali kuat yang telah didapatkan efektif dan aman untuk terapi moluskum kontagiosum pada anak-anak. Kalium hidroksida memiliki kemampuan untuk melarutkan keratin yang dapat mempenetrasi ke dalam kulit. Sebuah studi di Brazil mendapatkan bahwa KOH dapat menjadi modalitas terapi yang efektif, aman dan murah untuk KA pada pasien laki-laki.17

Pada penelitian di Sri Lanka membandingkan antara bedah beku dengan KOH 5% dan 10% menunjukkan efektifitas yang serupa sebagai terapi KA, akan tetapi KOH 10% didapatkan lebih efektif dibandingkan dengan KOH 5%. Kalium hidroksida memiliki keuntungan lebih tidak traumatik, menimbulkan nyeri lebih minimal dan dapat dilakukan terapi oleh pasien sendiri. Efikasi yang lebih rendah pada KOH 5% dipercaya disebabkan oleh konsentrasi yang suboptimal, akan tetapi kekurangan dari KOH 10% adalah lebih iritatif jika dibandingkan dengan KOH 5%.18

Sediaan KOH ini juga telah diteliti pada kasus kutil kutil kulit dan didapatkan bahwa KOH 5% memberikan tingkat kesembuhan 80.3% dan KOH 10% memberikan kesembuhan sebesar 82.1 %. Mekanisme dari KOH selain dari efek keratolitik yang manghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus HPV adalah efek iritasi yang menginduksi respon inflamasi yang dapat juga membantu dalam perbaikan lesi kutil kulit. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa pada kelompok yang menggunakan larutan KOH 5% memberikan kerja terapi yang lebih lambat yang baru dicapai pada minggu ke-empat terapi jika dibandingkan dengan larutan KOH 10% yang memberikan resolusi pada minggu ke-dua. Pada penelitian ini didapatkan juga respon terhadap terapi KOH lebih baik pada pasien dengan lesi kulit yang lebih sedikit yang dapat disebabkan oleh imunitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan jumlah lesi yang lebih banyak serta kepatuhan yang lebih tinggi apabila jumlah lesi lebih sedikit. Tingkat rekurensi pada penelitian ini sebesar 5.8% pada kelompok yang menggunakan larutan KOH 5% dan 5.1% pada kelompok KOH 10% yang didapatkan lebih rendah dibandingkan pada penggunaannya pada KA yaitu sebesar 9.3%. Hal ini mungkin d isebabkan oleh 70% dari KA dalam kondisi subklinis atau infeksi laten, sehingga kemungkinan dapat timbul secara klinis bukan karena rekurensi pada lesi tersebut akan tetapi kondisi subklinis yang memang sudah ada.17,19

Pada penelitian lain yang membandingkan antara larutan KOH 10% dengan asam trikloroasetat (TCA) 35% didapatkan bahwa larutan KOH 10% memberikan respon yang lebih baik. Para peneliti juga mendapatkan bahwa pemberian KOH ini memberikan respon yang lebih baik pada kutil kulit dengan ukuran antara 1-5 mm, berjumlah dibawah 10 buah serta telah timbul dibawah 9 bulan lamanya.20

Penelitian lain membandingkan efikasi larutan KOH 5% dengan laser CO2 untuk lesi KA pada wanita dan didapatkan bahwa pada kedua kelompok memberikan tingkat kesembuhan sebesar 88.9%. Respon pada minggu ketiga merupakan respon terbaik pada kedua kelompok dengan tingkat rekurensi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok KOH. Efek samping yang timbul saat terapi dengan KOH 5% adalah eritema, rasa terbakar, dan erosi, sedangkan pada kelompok yang diterapi dengan laser CO2 adalah hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa larutan KOH 5% memberikan efikasi yang serupa dengan laser CO2 untuk lesi KA pada wanita. Penggunaan KOH 5% memiliki keuntungan lain yaitu dari segi biaya yang lebih murah dan dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri di rumah sehingga meningkatkan kepatuhan terapi.21

Pada sebuah penelitian oleh Isik dkk. yang membandingkan penggunaan larutan KOH 5% dengan kombinasi 5-fluorourasil (5-FU) dan asam salisilat 10% untuk kasus KA pada daerah anogenital mendapatkan efikasi yang serupa pada kedua kelompok. Kesembuhan total didapatkan sebesar 70% pada kelompok dengan KOH 5% dan 76.7% pada kelompok 5-FU+asam salisilat, akan tetapi pada akhir studi minggu ke-12 tingkat kesembuhan pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Efek samping yang timbul pada kedua kelompok tidak banyak berbeda dimana iritasi dan rasa terbakar merupakan keluhan utama pasien. Apabila dilihat dari biaya yang perlu dikeluarkan, KOH 5% memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan 5-FU.22

Prognosis dari pasien dengan KA sangat dipengaruhi oleh tingkat rekurensi yang tinggi meskipun dengan bermacam-macam modalitas terapi. Pada infeksi oleh HPV serotipe 16 dan 18 yang memiliki onkogen E6 dan E7 yang dapat berikatan pada gen supresi tumor dapat menyebabkan kanker pada anogenital. Prevalensi dari infeksi HPV pada kanker penis didapatkan sebesar 42-48%. Pada pasien yang belum dilakukan sirkumsisi terutama pada kondisi fimosis didapatkan higienitas yang buruk yang menyebabkan mengumpulnya smegma, inflamasi kronis dan peningkatan risiko untuk terjadi kanker penis. Sirkumsisi dikatakan dapat menurunkan risiko untuk terinfeksi serotipe HPV yang memiliki onkogen. Faktor risiko untuk berhubungan seksual dengan banyak pasangan juga dapat mempengaruhi prognosis pada pasien penderita KA.23

(9)

DAFTAR PUSTAKA

1. 1. Egelkrout, E.M., Galloway, D.A. The biology of genital human papillomaviruses. Dalam: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill. 2008: 463-488. 2. Gormley, R.H., Kovarik, C.L. Human papilloma virus-related genital disease in the

immunocompromised host: part I. J Am Acad Dermatol. 2012; 66(6): 867.e1-e.17.

3. Blas, M.M., Brown, B., Menacho, L., Alva, I.E. HPV prevalence in multiple anatomical sites among men who have sex with men in Peru. PLos One. 2015; 10(10): 1-9.

4. Centers for Disease Control and Prevention. Prevalence and awareness of HIV infection among men who have sex with men- 21 cities, United States, 2008. MMWR. 2010; 59(37): 1201-28.

5. Anonim. Register pasien poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Januari 2015- Juni 2016.

6. Fathi, R., Tsoukas, M.M. Genital warts and other HPV infections: established and novel therapies. Clinics in Dermatology. 2014; 32: 299-306.

7. Leszczyszyn, J., Lebski, I., Lysenko, L., Hirnle, L., Gerber, H. Anal warts (Condylomata

Acuminata) – current issues and treatment modalities. Adv Clin Exp Med. 2014; 23(2): 307-

11.

8. Camargo, C.L., Belda, J.W., Fagundes, L.J., Romiti, R. A prospective, open, comparative study of 5% potassium hydroxide solution versus cryotherapy in the treatment of genital warts in men. An Bras Dermatol. 2014; 89(2): 236-40.

9. Batista, C.S., Atallah, A.N., Saconato, H., da Silva, E.M. 5-FU for genital warts in non- immunocompromised individuals. Cochrane Database Syst Rev. 2010 Apr 14; (4): CD006562. 10. Sanclemente, G., Gill, D.K. Human papillomavirus molecular biology and pathogenesis. J Eur

Acad Dermatol Venereol. 2002; 16(3): 231-40.

11. Lombard, I., Vincent-Salomon, A., Validire, P., Zafrani, B., de la Rochefordiere, A., Clough, K., Favre, M., Pouillart, P., Sastre-Garau, X. Human papillomavirus genotype as a major determinant of cervical cancer. J Clin Oncol. 1998;16(8): 2613-9.

12. Koliopoulos, G., Arbyn, M., Martin-Hirsch, P., Kyrgiou, M., Prendiville, W., Paraskevaidis, E. Diagnostic accuracy of human papillomavirus testing in primary cervical screening: a systematic review and meta-analysis of non-randomized studies. Gynecol Oncol. 2007; 104(1): 232-46.

13. Winer, R.L., Koutsky, L.A. Genital Human Papillomavirus Infection. Dalam: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stam, W.E. Sexually Transmitted Disease, Ed.4 . New York: McGraw Hill. 2008; Vol 1, Bab 28: 490-500.

14. Leonard, B., Kridelka, F., Delbecque, K., Goffin, F., Demoulin, S., Doyen, J., Delvenne, P. A Clinical and Pathological Overview of Vulvar Condyloma Acuminatum, Intraepithelial Neoplasia, and Squamous Cell Carcinoma. BioMed Research International. 2014; 2014: 1-11. 15. Lopez-Diez, E., Perez, S., Inaerrea, A., de la Orden, A., Castro, M., Diz, J.C., Almuster, S.,

Rodriguez, M., Montero, R., Schoch, M.P., Ojea, A. Acetowhite Test for Detection of Papilloma Virus Infection in Men Sexual Partner of Women Diagnosed of High Grade Cervical Lesions. J Womens Health. 2016;5:5.

16. Karnes, J.B., Usatine, R.P. Management of External Genital Warts. Am Fam Physician. 2014; 90(5): 312-318.

17. Louriro, W.R., Cacao, F.M., Belda, J.R., Fagundes, L.J., Mimoti, R. Treatment of genital warts in men with potassiumhydroxide. Br J Dermatology. 2008;158:172-203.

18. Wickremasinghe, N.N.T.M. A comparative study of liquid nitrogen versus potassium hydroxide

in the treatment of common viral warts. SLCD. 2015:1-4.

19. Al-Hamdi, K.I., Al-Rahmani, M.A.A. Evaluation of topical potassium hydroxide solution for treatment of plane warts. Indian J Dermatol. 2012; 57(1): 38-41.

20. Jayaprasad, S., Subramaniyan, R., Devgan, S. Comparative evaluation of topical 10% potassium hydroxide and 30% trichloroacetic acid in the treatment of plane warts. Indian J

Dermatol. 2016; 61(6): 634-639.

21. Asadi, N., Hemmati, E., Namazi, G., Jahromi, M.P., Sarraf, Z., Pazyar, N., Salehi, A. A comparative study of potassium hydroxide versus CO2 laser vaporization in the treatment of female genital warts: A controlled clinical trial. Int J Community Based Nurs Midwifery. 2016; 4(3): 274-282.

22. Isik, S., Koca, R., Sarici, G., Altinyazar, H.C. A comparison of a 5% potassium hydroxide solution with a 5-fluorouracil and salicylic acid combination in the treatment of patients with

(10)

anogenital warts: a randomized, open-label clinical trial. International Journal of Dermatology. 2014; 53: 1145-1150.

23. Morrison, B.F. Risk factors and prevalence of penile cancer. West Indian Med J. 2014; 63(6): 559-560.

(11)

LAMPIRAN

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 3 Gambar 4

(12)

Gambar 7 Gambar 8

(13)

Gambar

Gambar 5  Gambar 6
Gambar 7  Gambar 8

Referensi

Dokumen terkait