• Tidak ada hasil yang ditemukan

Production and the rate of decomposition of Mangrove leaf litter in Los island Tanjungpinang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Production and the rate of decomposition of Mangrove leaf litter in Los island Tanjungpinang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Production and the rate of decomposition of Mangrove leaf litter in Los island

Tanjungpinang

Horas Galaxy

Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, glxy.lg@gmail.com Arief Pratomo

Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH sea_a_reef@hotmail.com Dony Apdillah

Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, donyapdillah@gmail.com ABSTRACT

This study aims to determine the contribution of mangrove forests productivity on the surrounding environment . This study was conducted in February 2013 - May 2013 . The litter production was calculated in 1 x 1 M2 . Time mangrove litter retrieval was done in 15 days for 5 times, so that totaly were 75 days. Components mangrove observed is leaves weight which was taken from litter bag 15 x 10 cm . 10 grams mangroves leaves was dried at temperature 60 ° C for 2 X 24 hours up to constain weight. put the dried leaves in a litter bag and tied under the tree . Extraction was carried out once in 15 days for 45 days, measured using gram/m2/day unit . Average daily production Mangrove leaf litter in the station I was 3.0465267 gram/m2/days, at station II 4.8896428 gram/m2/days, and 3.2784398 gram/m2/days at the station III, as well as the total average was 3.738203 gram/m2/days. The most Depreciation Mangrove leaf litter dry weight found in Station III , and the lowest was at station II . The total average depreciation dry weight of leaf litter was 0.13225 grams /day or 1.3225 % /day .

(2)

2

Produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los Kota

Tanjungpinang

Horas Galaxy

Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, glxy.lg@gmail.com Arief Pratomo

Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH sea_a_reef@hotmail.com Dony Apdillah

Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, donyapdillah@gmail.com ABSTRAK

Penelitian tentang “Produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi hutan mangrove pada produktifitas lingkungan sekitarnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 – Mei 2013. Cara menghitung produksi adalah Litter-trap yang berukuran 1 X 1 m

2

. Waktu pengambilan serasah mangrove dilakukan 15 hari sekali sebanyak 5 kali pengambilan selama 75 hari. Komponen mangrove yaitu daun, beratnya di timbang. Untuk penghitungan laju dekomposisi menggunakan litter bag berukuran 15 x 10 cm. Daun mangrove seberat 10 gram yang sudah dikeringkan pada suhu 60 °C sampai berat konstan atau 2 X 24 jam, dimasukkan ke dalam litter bag lalu diikat di bawah pohon mangrove. Pengambilannya dilakukan 15 hari sekali dengan lama pengambilan 45 hari, di timbang dengan menggunakan satuan gram/m

2

/hari. Rata – rata produksi serasah daun Mangrove perhari adalah 3,0465267 gram/m2/hari pada stasiun I, 4,8896428 gram/m2/hari pada stasiun II, dan 3,2784398 gram/m2/hari pada stasiun III, serta rata – rata totalnya adalah 3,738203 gram/m2/hari. Penyusutan bobot kering serasah daun Mangrove terbesar terdapat pada Stasiun III, dan yang terendah terdapat pada Stasiun II. Rata – rata total penyusutan bobot kering serasah daun perhari sebesar 0,13225 gram/hari atau 1,3225 %/hari.

(3)

3

Produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los Kota

Tanjungpinang

Horas Galaxy

Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, glxy.lg@gmail.com Arief Pratomo

Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH sea_a_reef@hotmail.com Dony Apdillah

Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, donyapdillah@gmail.com

I. PENDAHULUAN

Hutan Mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang tumbuh secara alami, jenis mangrove yang ditemukan ada 27 jenis dari 14 Family (Affandi, 2012). Menurut hasil penelitian Affandi, (2012) menyimpulkan bahwa keanekaragaman jenis Mangrove di Pulau Los tergolong sedang dengan nilai index rata rata 2,091005 dan tingkat kerapatan Mangrove juga tergolong sedang dengan tingkat kerapatan rata rata sebesar 1359 pohon/Ha dan secara umum ditempati rhizophora apiculata baik pada tingkat pohon, anakan, maupun semaian. Pulau Los juga merupakan pulau yang tidak ada aktivitas di sekitar daratannya. Namun jika di lihat disekitar perairannya maka akan ditemukan sekitar 4 buah usaha budidaya laut berupa KJA atau keramba jaring apung, yang semuanya berada pada sekitar kawasan perairan hutan mangrove, hal ini disebabkan karena mangrove dikenal sebagai sumber bahan organik bagi ekosistem laut dan estuari yang menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik, bahan organik yang berupa daun, batang dapat jatuh ke air

selanjutnya masuk ke dalam sistem estuari dan menjadi dasar bagi jaring – jaring makanan kompleks. unsur hara yang dihasilkan hutan mangrove menjadi penyokong untuk budidaya KJA, dan sangat mungkin untuk ditingkatkan lagi, dan perlu dilakukan pengkajian mengenai serasah, pada daun mangrove khususnya.

Salah satu proses yang terjadi pada ekosistem Mangrove yang memberikan kontribusi paling besar terhadap kesuburan perairan adalah proses dekomposisi atau penghancuran serasah mangrove. Penghancuran serasah merupakan bagian dari tahap proses dekomposisi, yang dapat menghasilkan bahan organik yang penting dalam rantai makanan, memberikan kesuburan dan produktivitas perairan disekitarnya. Mengingat di sekitar wilayah ekosistem mangrove ini terdapat budidaya laut yang potensial untuk ditingkatkan dan menyadari pentingnya peranan serasah terhadap ekosistem perairan pantai serta masih terbatasnya informasi yang ada khususnya di Pulau Los, karena penelitian

(4)

4

mengenai produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di pulau Los belum pernah dilakukan, maka perlu dihitung berapa laju produksi dan dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los, dan perlu diketahui juga bahwa hanya serasah daun saja yang dikaji dalam penelitian ini. Tujuan di penelitian ini adalah untuk Mengetahui produksi serasah daun Mangrove dan Mengetahui laju dekomposisi serasah daun mangrove. Penelitian ini dapat bermanfaat nantinya sebagai informasi bagi para stakeholder dan yang membutuhkan. Dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Hutan mangrove yang sering kali disebut hutan bakau atau mangal adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Komunitas ini umumnya tumbuh dan berkembang pada daerah intertidal dan subratidal yang cukup mendapat air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Menurut Nybakken dalam Indriani, (2008), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan subtropis, mulai dari 25 °LU sampai 25 °LS. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang. Bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan mengeluarkan

akarnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk, estuari, laguna, dan pantai terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang.

2.1. Produktivitas Serasah Mangrove Serasah adalah sisa organik dari tanaman dan hewan yang ditemukan baik di permukaan tanah atau di dalam mineral tanah itu sendiri. Serasah daun merupakan 70% dari total serasah di permukaan tanah (waring dan Schlesinger dalam Wibisana, 2004). Daun daun mangrove yang jatuh didefinisikan sebagai berat materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu (Chapman, dalam handayani, 2004). Produksi serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin) (Brown, dalam Indriani, 2008). Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya diatas lantai hutan atau kebun. Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan ranting yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Variasi produktivitas Serasah antara lain ditentukan

(5)

5

oleh musim, jenis pohon, kerapatan, perbedaan temperature udrara siang dan malam, kekurangan unsur hara dan serangan hama penyakit (Alrasjid, dalam Wibisana, 2004). Faktor iklim dan jarak dari garis pantai juga akan mempengaruhi produktivitas serasah (Khairijon, dalam Wibisana, 2004).

2.2. Dekomposisi Serasah Mangrove Hutan Mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat tinggi, tetapi hanya kurang lebih 10% dari produksinya dapat langsung dimakan oleh herbivora, sisanya masuk ke dalam ekosistem dalam bentuk detritus. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagian detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun Mangrove yang gugur sepanjang tahun, dan melalui aktivitas mikroba decomposer dan hewan hewan pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel partikel halus (Odum dan Heald dalam Mahmudi, et all 2008). Selanjutnya, detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang terdapat di ekosistem hutan mangrove dan estuaria. Partikel partikel organik tersebut menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivora seperti udang, kepiting dan sejumlah ikan (Mahmudi et all, 2008).

Ada beberapa definisi yang dikemukakan tentang dekomposisi antara lain dekomposisi didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara

gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika (handayani, 2004). Sedangkan Smith dalam Handayani, (2004) menerangkan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses pragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa organik. Proses dekomposisi bukan saja di lakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen agen fisika. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran/pragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai (scavenger) terhadap hewan hewan mati atau oleh hewan hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel partikel organic hasil proses pragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanise enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul molekul organik kompleks seperi protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Menurut Hardjowigeno dalam Indriani, (2008).

III. METODE PENELITIAN

(6)

6

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2013 dan stasiun penelitian berada pada ekosistem mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang.

Analisis data produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Sumber; Google Earth, 2013 (modifikasi).

Tabel I. Koordinat transek tiap stasiun Stasiun Transek Koordinat

1 I N: 000 54’ 129” E: 1040 28’ 349” II N: 000 57’ 315” E: 1040 24’ 287” 2 I N: 000 57’ 423” E: 1040 24’ 469” II N: 000 57’ 455” E: 1040 24’ 484” 3 I N: 000 57’ 521” E: 1040 24’ 558” II N: 000 57’ 575” E: 1040 24’ 592”

3.2. Alat dan Bahan

Tabel 2. Parameter dan alat yang digunakan dalam penelitian:

Alat dan Bahan Kegunaan Satuan Keterangan

Termometer Mengukur suhu 0C In situ

HandRefraktometer Mengukur Salinitas 0/00 In situ

pH Meter Mengukur pH Air In situ

Timbangan digital

ketelitian 0,0001

Menimbang Serasah Gram Ex situ

GPS Menentukan koordinat In situ

Litter trap Menampung Serasah 1 x 1 m In situ

Litter bag Kantong Dekomposisi Serasah 15 x 10 cm, mesh size 0,5 cm

In situ

Kantong Plastik Wadah produksi Serasah In/Ex Situ

Tali Rafia Pemasangan transek, plot, dan

pengikat

M In situ

Alat tulis Menulis data In/Ex situ

Kamera Dokumentasi In/Ex situ

(7)

7

3.3. Metode Kerja

Penentuan lokasi stasiun dengan cara observasi langsung dan ditetapkan secara acak dikarenakan lokasi yang homogen , berdasarkan keterwakilan ekosistem mangrove di pulau los, Pemasangan Transek dan pemasangan jaring penampung serasah (litter trap) dilakukan setelah menetapkan titik koordinat.

3.3.1. Rancangan litter trap dan litter bag Litter trap adalah alat atau wadah untuk menampung guguran serasah dari pohon Mangrove, dalam penelitian ini litter trap berbentuk persegi empat terbuat dari jaring berbahan nylon ukuran 1x1 m dengan mesh size 0,5 cm, dilengkapi dengan tali pengikat disetiap sudutnya dan pemberat dari batu ditengahnya.

Gambar 3. Litter trap

Sedangkan litter bag adalah alat atau wadah bagi sampel dekomposisi daun mangrove, terbuat dari jaring berukuran 15 x 10 cm dengan mesh size 0,5 cm yang diikatkan pada akar Mangrove dilantai hutan.

Gambar 2. Litter bag

3.3.2. Prosedur Pengukuran Produksi Serasah

Metode yang umum digunakan untuk pengambilan produksi serasah adalah metode litter-trap (Jaring penampung serasah) (Brown, 1984) dalam Indriani (2008). Pengambilan contoh serasah mangrove (daun) menggunakan jaring yang berukuran (1 X 1) m

2

, jaring dibentangkan di bawah pohon mangrove. Pengambilan contoh serasah selama 2 bulan dengan rentang waktu 15 hari sekali sebanyak 4 x. Hal ini dianggap bahwa daun mangrove dari awal tumbuh sampai tua dan gugur selama 15 hari. Mangrove yang tertampung jaring dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu diberi label, setelah itu dibawa ke laboratorium untuk ditimbang (ketelitian 0,001gram) produksi serasah dengan satuan gram/m

2

/15 hari.

3.3.3. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah.

Dekomposisi pada penelitian ini didefinisikan secara fisik, serasah yang hancur yang berukuran ≤ 0,5 cm, yang

(8)

8

terlepas dari litter bag pada saat terendam atau pencucian. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah menggunakan litter bag, (Indriani, 2008).

Pengukuran contoh laju dekomposisi diawali dengan pengeringan daun mangrove pada temperatur 60 °C selama 2 hari dimana serasah diperkirakan sudah kering, sebanyak 10 gram daun kering mangrove dimasukkan kedalam litter bag dgn mesh size 0,5 cm dan diletakan di bawah pohon mangrove yang masih di pengaruhi pasang surut (ketergenangan). Rentang waktu pengambilan 15 hari sekali sebanyak 3 kali dalam waktu 1,5 bulan. Litter bag dibawa ke laboratorium, daun dibersihkan dari lumpur maupun kotoran, dikeringkan pada temperatur 105 °C selama 2 hari dan ditimbang. Hasil untuk mengetahui penguraian yaitu berat kering awal dikurangi berat kering akhir.

3.3.4. Perhitungan produksi serasah. Serasah mangrove yang jatuh ke jaring nylon berukuran (1 X 1) m

2

kemudian dimasukkan ke kantong plastik. Pisahkan komponen daun, ranting, dan bunga-buah. Kemudian ditimbang dengan ketelitian timbangan 0,001 gram. Hasil dari pengukuran dihitung dengan satuan gram/m

2 /hari.

3.3.5. Perhitungan laju dekomposisi serasah.

Perhitungan presentase laju dekomposisi mangrove per hari menggunakan rumus Bonruang, dalam Indriani 2008)

dimana: Y = Presentase serasah daun yang mengalami dekomposisi .

BA = Berat awal Penimbangan (gram) . BK = Berat akhir penimbangan (gram). Untuk mendapatkan nilai presentase kecepatan dekomposisi serasah daun per hari:

dimana: X = Persentase kecepatan dekomposisi serasah daun per hari .

D = Lama pengamatan (hari).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Lingkungan Perairan

Tabel. 3. Hasil pengukuran parameter perairan.

Derajat keasaman (pH) adalah jumlah ion hidrogen yang terdapat dalam larutan. Berdasarkan hasil pengukuran pH,

Stasiun Ulangan pH Suhu (0C) Salinitas ‰ 1 1 8,73 30,6 32 2 8,58 30,3 32 3 8,29 27,6 32 Rata-rata 8,54 29,5 32 2 1 8,25 30,4 30 2 8,25 30,3 30 3 8,30 27 30 Rata-rata 8,27 29,24 30 3 1 8,26 30,1 29 2 8,27 30 29 3 8,25 27 29 Rata-rata 8,26 29,04 29

(9)

9

didapat rata-rata nilai pH perairan Pulau Los berkisar diantara 8,26 – 8,54. Nilai tersebut menunjukkan nilai basa yang normal untuk permukaan perairan Indonesia (Aksornkoae dalam Indriani 2008). Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 8,73, sedangkan yang terendah berada pada stasiun III yaitu 8,26. Nilai pH yang tidak jauh berbeda namun berada di atas 8 pada seluruh stasiun menyebabkan mikroorganisme pada tiap stasiun berkembang secara optimal dan sangat produktif. Pulau Los masih terpengaruh dari daratan yang disekitarnya.

Dari hasil pengukuran suhu menunjukkan suhu yang tergolong optimum pada tiap stasiun dengan kisaran rata-rata 29,04 – 29,24 0C. Hal ini disebabkan pada saat pengukuran cuaca cerah berawan, dan Pulau Los berada pada daerah terbuka sehingga intensitas cahaya yang diterima cukup tinggi. Menurut Soenardjo dalam Indriani (2008) suhu optimum untuk bakteri berkisar 27 0C – 36 0C. Kisaran tersebut sangat baik untuk proses penguraian dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme. Berdasarkan hasil penelitian, temperatur suhu yang diperoleh masih berada dalam kisaran yang baik untuk proses dekomposisi.

Salinitas juga merupakan faktor lingkungan yang menentukan perkembangan hutan Mangrove. Nilai hasil pengukuran salinitas berada pada kisaran rata-rata 29 – 32 ‰. Salinitas terbesar berada pada pada stasiun I dan Salinitas terendah berada pada stasiun III. Nilai salinitas yang bervariasi

diduga karena daerah pada lokasi stasiun I berada pada ujung Pulau, sedangkan daerah dilokasi stasiun III berdekatan dengan senggarang yang diduga masukan air tawarnya cukup tinggi.

4.2. Produksi Serasah daun Mangrove

Total produksi rata – rata serasah mangrove tertinggi pada stasiun I didapat pada 15 hari ke-4 yaitu dengan berat 66,7066 gr/m2/15 . Produksi serasah daun Mangrove tinggi pada 15 hari ke -4 ini disebabkan oleh faktor cuaca yaitu angin dan hujan dari data yang diperoleh dari BMKG (lampiran), kecepatan angin pada periode 15 hari ke-4 yaitu pada tanggal 6 April sampai dengan 20 April 2013 rata – rata berkisar antara 5 – 10 knot, dan mencapai kecepatan tertinggi pada 9 April dengan kecepatan 37 knot, ini merupakan kecepatan tertinggi pada bulan April, Begitu juga dengan curah hujan yang mencapai curah tertinggi juga pada 9 April yaitu sebesar 176.4 mm. Hal ini sejalan dengan pendapat Brown dalam Lestarina, (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor mekanik yang mempengaruhi produktifitas serasah adalah angin bersama-sama dengan hujan. Data kecepatan angin dan curah hujan periode 15 hari ke 4 pada dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 berikut:

(10)

10

Gambar 4. Kecepatan angin 5 – 19 April 2013 BMKG Tanjungpinang

Gambar 5. Curah hujan 5-19 april 2013 BMKG Tanjungpinang

Selanjutnya total produksi serasah rata-rata tertinggi pada stasiun II didapat pada 15 hari pertama yaitu dengan berat mencapai 81.6500 gr/m2/15 hari. Produksi serasah pada stasiun II tertinggi pada 15 hari pertama, hal ini juga disebabkan oleh faktor cuaca yaitu angin dan hujan, saat pengambilan produksi serasah 15 hari pertama yaitu pada tanggal 5 Maret 2013, berdasarkan data dari BMKG kecepatan angin rata – rata pada hari itu adalah 09 Knot dan kecepatan maksimum mencapai 24 knot (lampiran), ini merupakan kecepatan

angin tertinggi pada bulan maret. Hal ini sejalan dengan pendapat Cuevas dan Sajise dalam Wibisana, (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi serasah. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi serasah tinggi pula. Sedangkan curah hujan mencapai curah tertinngi pada tanggal 19 february. Juga sejalan dengan pendapat Khirijon dalam Wibisana (2004) menyatakan bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim hujan/ pada saat curah hujan tinggi. Kecepatan angin dan curah hujan periode 15 hari pertama dapat dilihat pada gambar 6 dan 7 berikut:

Gambar 6. Kecepatan angin 19 Feb-5 Maret 2013, BMKG Tanjungpinang

Gambar 7. Curah hujan 19 Feb-5 Maret 2013, BMKG Tanjungpinang 0 5 10 15 20 25 30 35 40 05 -Ap r 07 -Ap r 09 -Ap r 11 -Ap r 13 -Ap r 15 -Ap r 17 -Ap r 19 -Ap r kn o t 0 50 100 150 200 05 -Ap r 07 -Ap r 09 -Ap r 11 -Ap r 13 -Ap r 15 -Ap r 17 -Ap r 19 -Ap r mm 0 5 10 15 20 25 30 19 -Fe b 21 -Fe b 23 -Fe b 25 -Fe b 27 -Fe b 01 -Ma r 03 -Ma r 05 -Ma r kn o t 0 5 10 15 20 25 30 35 40 19 -Fe b 21 -Fe b 23 -Fe b 25 -Fe b 27 -Fe b 01 -Ma r 03 -Ma r 05 -Ma r mm

(11)

11

Pada stasiun III, total produksi rata - rata serasah daun mangrove memiliki nilai terbesar berada pada 15 hari ke 2 yaitu dengan berat 72,4225 gr/m2/15 hari. Produksi serasah pada 15 hari ke-2 tinggi disebabkan juga oleh faktor cuaca yaitu angin, karena pada periode 15 hari ke-2 yaitu tanggal 6 Maret – 20 Maret 2013, kecepatan angin berkisar dari 06 – 09 Knot, dan kecepatan tertinggi 20 knot pada tanggal 6 Maret. Begitu juga dengan curah hujan yang mencapai curah tertinggi pada tanggal 17 Maret yaitu sebesar 35.0, ini merupakan curah hujan tertinggi pada bulan Maret. Hal ini sama seperti pada stasiun I. kecepatan angin dan curah hujan pada periode 15 hari ke 2 dapat dilihat pada gambar 8 dan 9 berikut:

Gambar 8. Kecepatan angin 6 – 20 Maret 2013, BMKG Tanjungpinang

Gambar 9. Curah hujan 6 – 20 Maret 2013, BMKG Tanjungpinang

4.3 Laju Dekomposisi

Hasil dan pembahasan penyusutan berat kering serasah daun Mangrove yang terurai per 15 hari disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Rata-rata penyusutan berat

kering

Perubahan bobot kering serasah daun Mangrove mengalami penurunan dengan lamanya penguraian per 15 hari. Penurunan bobot kering daun terbesar terlihat pada stasiun III yaitu pada daerah yang dekat dengan keramba jaring apung disekitarnya. Nilai penyusutan adalah 0 5 10 15 20 25 06 -Ma r 08 -Ma r 10 -Mar 12 -Ma r 14 -Ma r 16 -Ma r 18 -Ma r 20 -Mar kn o t 0 5 10 15 20 25 30 35 40 06 -Mar 08 -Ma r 10 -Ma r 12 -Ma r 14 -Ma r 16 -Ma r 18 -Ma r 20 -Ma r mm St Bobot awal (gram)

Berat Akhir Hari ke

15 30 45 1 10 6.89127 5 6.06645 3.87047 5 2 10 7.295 6.341575 4.7784 3 10 6.52 4.800725 3.38605

(12)

12

3,38605 gram dalam waktu 45 hari dengan bobot yang hilang/terdekomposisi adalah 66,1395 %. Penyusutan bobot kering serasah daun terendah terdapat pada stasiun II sebesar 4,7784 gram dalam waktu 45 hari dengan persentase bobot yang hilang adalah 52,216 %. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan salinitas, lokasi transek dan plot yang tertutup oleh tutupan hutan mangrove yang lebat sehingga cahaya matahari terhalang dan berakibat serasah lebih sering lembab

pada stasiun II. Dan pada stasiun III transek dan plot terletak pada bagian ujung yang tutupan hutannya tidak terlalu lebat sehingga cahaya matahari yang tembus dapat langsung mengeringkan sampel disetiap surut siang hari.

Hasil dan pembahasan rata – rata total penyusutan berat kering serasah daun Mangrove yang terurai hasilnya disajikan pada tabel 10 berikut, sedangkan untuk data mentahnya dapat dilihat di lampiran. Tabel 10. Rata – rata total dekomposisi daun serasah

Dari hasil penimbangan serasah Mangrove setelah 15 hari terjadi penurunan berat yang cukup signifikan karena terdekomposisi seperti yang diperkirakan, terlihat pada tabel diatas bobot yang berkurang sebesar 3,0979083 gram selama 15 hari, hal ini terjadi pada semua stasiun penelitian. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa apapun jenis bakaunya atau bagaimanapun karakteristik substrat dan kondisi perairannya, persentase serasah yang terurai lebih besar pada 15 hari pertama. Hal senada dikemukakan oleh Hodgkiss dan Leung dalam Lestarina, (2011) menjelaskan bahwa aktifitas enzim selulotik fungi (fangal cellulolic enzym)

yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi.

Penguraian atau penyederhanaan kandungan organik daun mangrove yang mudah terjadi ketika serasah gugur dan terperangkap di ekosistem mangrove. Bahan-bahan organik yang terdapat di dalam serasah akan dikonsumsi oleh decomposer. Aktivitas tertinggi dari enzim selulotik fungi terjadi pada awal proses dekomposisi. Dekomposisi serasah daun pada hari ke- 30 dan hari ke-45 tidak jauh berbeda, dengan kisaran bobot yang terurai 0,14208333 – 0,13225 g/hari. Hal ini disebabkan oleh menurunnya bahan-bahan organik dan kandungan nitrogen yang terdapat dalam Hari

ke

Berat kering akhir daun (gram) yang terurai (gram) yang terurai ( % ) Gram per hari % perhari 15 6,9020917 3,0979083 30,979083 0,20658333 2,0658333 30 5,73625 4,26375 42,6375 0,14208333 1,4208333 45 4,0114167 5,9885833 59,885833 0,13225 1,3225

(13)

13

sisa daun. Semakin lama waktu dekomposisi semakin besar yang terurai.

Untuk total rata-rata laju persentase dekomposisi serasah daun mangrove perhari dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini

Gambar 17. Total rata-rata persentase laju dekomposisi serasah daun Mangrove

Pada grafik garis diatas terlihat rata-rata laju dekomposisi perhari cukup tinggi pada kisaran 15 hari yaitu sebesar 2,0 % perharinya dan perlahan lahan turun menjadi 1,4 % pada hari ke 30 dan 1,3 % pada hari ke 45. Laju dekomposisi tertinggi terjadi pada tahap awal, hal ini diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan organik dan anorganik yang mudah larut (pelindihan) dan juga hadirnya mikroorganisme yang berperan dalam perombakan beberapa zat yang terkandung dalam daun mangrove. Semakin lama waktu proses, semakin turun kecepatan perharinya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Rata – rata Produksi Serasah Daun Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang perhari masing-masing sebesar 3,0465267 gram/m2/hari pada stasiun I, 4,8896428 gram/m2/hari pada stasiun II, dan 3,2784398 gram/m2/hari pada stasiun III, serta rata – rata total produksi Serasah Daun Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang adalah sebesar 3,738203 gram/m2/hari. Faktor iklim seperti angin dan hujan sangat mempengaruhi produksi serasah. 2,0658333 1,4208333 1,3225 0 0,5 1 1,5 2 2,5

15 hari 30 hari 45 hari

(14)

14

Penyusutan bobot kering Serasah Daun Mangrove terbesar terdapat pada Stasiun III, dan yang terendah terdapat pada Stasiun II. Rata – rata total penyusutan bobot kering serasah daun Mangrove di Pulau Los perhari sebesar 0,13225 gram/hari atau 1,3225 %/hari. Penyusutan bobot tertinggi distasiun III diduga disebabkan keterandaman yang cukup sering serta tutupan hutan yang kurang rimbun sehingga intensitas cahaya matahari yang diterima cukup tinggi.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian, dapat disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang laju dekomposisi serasah daun hingga pada jenis dan kandungannya serta peranan penting dekomposer dalam proses dekomposisi.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Z. 2012. Identifikasi dan Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang.

Bengen, D. G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor.

Biodiversitas Volume 9, Nomor 4 Halaman 284 – 28. ISSN: 1412-033X. Oktober 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi Lombok Barat.

Gufran, A. 2003 Laju Penghancuran Serasah Daun Beberapa Jenis

Mangrove di Hutan Mangrove Rembang.

Handayani, T. 2004 Laju Dekomposisi Serasah Mangrove Rhizophora Mucronata Lamk Di Pulau Untung Jawa, Kepulauan seribu, Jakarta. Indriani, Y. 2008 Produksi dan Laju

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Api – api (Avicennia Marina Forssk. Vierh) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Lestarina, M P. 2011. Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten.

Mahmudi, M, Soewardi, K, Kusmana, C, Hardjomidjojo, H, Damar, A. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Kontribusinya Terhadap Nutrien.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Wibisana, T B. 2004 Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur.

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.
Gambar 3. Litter trap
Gambar  5.  Curah  hujan  5-19  april  2013  BMKG Tanjungpinang
Gambar 8. Kecepatan angin 6 – 20 Maret  2013, BMKG Tanjungpinang
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian disimpulkan bahwa: SMK Negeri Jatipuro sudah memiliki Bursa Kerja Khusus (BKK), akan tetapi belum terkelola dengan baik dan belum memiliki media untuk meningkatkan

Berdasarkan hasil pengamatan sikap menghargai pendapat orang lain siklus I pada pembelajaran IPS dapat diketahui bahwa pada saat pelaksanaan siklus I peserta

Lebih lanjut mengenai pola asuh otoriter dapat mengarahkan anak pada perilaku bullying, ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan

Jadi telah dibuat aplikasi manajemen administrasi yang diperuntukkan untuk Laboratorium Politeknik Telkom untuk membangun pengelolaan inventaris dan ruangan seperti pengadaan

Sosial ekonomi menurut Abdulsyani (1994) adalah kedudukan atau posisi sesorang dalam kelompok manusia yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendapatan, tingkat

Pembuatan Buku Standar Singkatan RSCM ini telah melalui proses panjang sejak permintaan Pembuatan Buku Standar Singkatan RSCM ini telah melalui proses panjang sejak permintaan kepada

bahan ajar ini berisi kisah kehidupan Putri Mandalika yang merupakan putri Raja Tonjeng Beru dari Kerajaan Sekar Kuning.. Kami berharap melalui bahan ajar ini

Hasil pembobotan yang telah dibuat didapat prosentase pelaksanaan lebih dari 75% atau termasuk dalam kriteria I (75%-100%) sehingga dapat dikatakan bahwa