• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Mengenai Perdagangan Internasional

a. Pengertian Perdagangan Internasional

Transaksi ekspor-impor adalah transaksi perdagangan internasional (international trade) yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang bertempat di negara yang berbeda (Roselyne Hutabarat, 1991:1).

Menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian ekspor juga dijumpai dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor146/MPP/IV/99 tanggal 22 April 1999 tentang Ketentuan Umum di bidang Ekspor, sedangkan pengertian impor menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean dengan memenuhi ketentuan yang berlaku (Pasal 1 angka 13 dan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan).

Kegiatan ekspor impor merupakan jual beli yang dilakukan secara internasional, artinya dilakukan antar negara. Menurut Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, jual beli merupakan suatu perbuatan hukum antara pihak penjual di satu pihak dengan pihak pembeli di lain pihak mengenai suatu barang. Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan

(2)

sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. (Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001:9)

Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi. (Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001:10)

Perdagangan internasional adalah proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing negara. Adapun motifnya adalah memperoleh manfaat perdagangan atau gains off trade (Huala Adolf, 2011:1). Perdagangan merupakan kegiatan ekonomi yang sangat penting saat ini, maka tidak ada negara-negara di dunia yang tidak terlibat di dalam perdagangan baik perdagangan antar regional, antar kawasan ataupun antar negara. Pengertian perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar sukarela dan saling menguntungkan. (Huala Adolf, 2011:1)

Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat (Huala Adolf, 2011:3). Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Walaupun perkembangan bidang hukum berjalan dengan cepat, namun ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum perdagangan internasional. Hingga sekarang ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain berbeda yaitu (Huala Adolf, 2011:3) :

1) Definisi menurut Schmitthoff

(3)

yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya perdata. Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara. Definisi diatas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Dalam definisinya, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya. 2) Defnisi menurut M. Rafiqul Islam

Dalam upayanya memberi batasan atau defnisi hukum perdagangan internasional, M. Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan. Adanya keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan, beliau mendefinisikan hukum perdagangan dan keuangan sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma, dan praktik yang menciptakan suatu pengaturan untuk transaksi-transaksi perdagangan internasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.

3) Definisi menurut Michelle Sanson

Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengertian kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional. Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik dan hukum perdagangan internasional privat. Hukum internasional publik adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antarnegara. Sementara itu hukum internasional privat adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan di negara-negara yang berbeda.

(4)

Booysen, sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. Oleh karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum, termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan jarang tepat. Oleh karena itu, dalam upayanya memberi definisi tersebut, Hercules Booysen hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut Hercules Booysen ada tiga unsur, yakni sebagai berikut (Huala Adolf., 2011:4) :

a) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional.

b) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).

c) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan-aturan hukum nasional ini, aturan-aturan-aturan-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional.

Sesuai dengan definisi diatas, Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain (“Perdagangan Internasional” dalam

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/perdagangan-internasional-akuntansi-internasional/, diakses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 20.12 WIB) :

(5)

b) Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara ke negara lainnya melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.

c) Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan dan sebagainya.

Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan Gross Domestic Product (GDP). Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. (Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001:20)

Menurut Sadono Sukirno perdagangan internasional memiliki banyak manfaat diantaranya (Amir M.S., 2002:14) :

a) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya yaitu kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

b) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi

Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.

(6)

Terkadang para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.

d) Transfer teknologi modern

Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

b. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perdagangan Internasional

Setiap negara mempunyai peraturan serta sistem perdagangan yang berbeda-beda. Mereka yang terlibat dalam transaksi ekspor impor tersebut baik eksportir dan importir atau pihak yang terlibat baik langsung ataupun tidak sangat perlu mengikuti perkembangan peraturan serta sistem perdagangan luar negeri baik yang dilakukan di setiap negara tujuan ekspor. Dalam transaksi perdagangan ekspor, eksportir berhubungan dengan berbagai instansi/lembaga yang menunjang terlaksananya kegiatan ekspor. Namun lembaga-lembaga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor tersebut terkadang belum seluruhnya dikenal atau bahkan dimanfaatkan di Indonesia. Terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan ekspor-impor yaitu (“Hukum Perdagangan Internasional” dalam http://www.jct-indonesia.com/2010/05/hukum-perdagangan-internasional.html/, diakses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 21.13 WIB) :

1) Eksportir (pihak yang melakukan penjualan atau pengiriman barang) 2) Importir (pihak yang melakukan pembelian atau penerimaan barang) 3) Pembuat barang ekspor (kalau produksi ekspor tidak dilakukan sendiri) 4) Export Merchant House (yang membeli barang dari perusahaan pembuat barang dan mengkhususkan diri dalam perdagangan dengan negara-negara tertentu yang membutuhkan barang-barang tersebut)

(7)

5) Confirming House (yang bertindak sebagai perantara pembuat barang diluar negeri dan importir dalam negeri biasanya bertanggungjawab atas pengapalan barang-barang dan pembayaran pada penjual)

6) Buying Agent (bertindak sebagai agen untuk satu atau lebih pembeli tertentu diluar negeri)

7) Trading House (badan usaha yang mengumpulkan barang-barang keperluan untuk diekspor dan diimpor)

8) Consignment Agent (bertindak sebagai agen penjual diluar negeri) 9) Factor (Lembaga yang setuju untuk membeli piutang dagang/

barang-barang ekspor yang dipunyai eksportir untuk kemudian ditagih kepada importir/ pembeli)

10) Bank termasuk didalamnya lembaga-lembaga yang menangani kegiatan ekspor seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia 11) Freight Forwarder, Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL)/ Ekspedisi

Muatan Kapal Udara (EMKU) yaitu pengangkut barang (cargo) yang bertugas mengangkut barang dari tempat eksportir ke pelabuhan laut/ ke pelabuhan udara

12) Maskapai Pelayaran/ Perkapalan (Menerima barang-barang dagang dari shipper/eksportir/freight forwarder dan mengatur pengangkutan barang-barang tersebut serta menerbitkan bill of lading (B/L) atau surat bukti muat barang)

13) Asuransi (yaitu yang mengasuransikan barang-barang yang dikapalkan sesuai nilai yang disyaratkan, yang mengeluarkan sertifikat/ polis asuransi untuk menutupi resiko yang dikehendaki serta yang menyelesaikan tagihan/ tuntutan kerugian-kerugian bila ada)

14) Bea Cukai (bagi eksportir bertindak sebagai pihak yang meneliti dokumen serta pembayaran pajak dan memberikan izin barang untuk dimuat dikapal, bagi importir bertindak sebagai agen dan akan memberikan izin untuk pelepasan barang-barang bilamana dokumen B/L atau di Indonesia PPUD, menunjukan telah dilakukan pembayaran) 15) Kedutaan/ Konsulat yang berada diluar negeri

(8)

16) Surveyor/ Pemeriksa (yang ditunjuk oleh pemerintah yang berwenang dalam pemeriksaan mutu, jumlah barang dan lain sebagainya serta memeriksa barang-barang ekspor tertentu dinegara tempat tibanya barang dengan penerbitan surat laporan pemeriksaaan (LKP) dan memeriksa kebenaran barang-barang impor dinegara asal impor barang).

Terdapat beberapa subjek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subjek hukum disini adalah (Huala Adolf, 2011:56) :

1) Para pelaku dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan

2) Para pelaku dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.

Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, subjek hukum yang masuk dalam kualifikasi hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional, individu dan bank (Huala Adolf, 2011:57). Uraian berikut ini akan menganalisis lebih lanjut subjek-subyek hukum ini, yaitu: 1) Negara

Negara merupakan subjek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Pertama, ia satu-satunya subjek hukum yang memiliki kedaulatan. Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentuk organisasi (perdagangan) internasional di dunia, misalnya World Trade Organization (WTO), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan lain-lain. Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan diantara mereka. Keempat, negara berperan juga

(9)

sebagai subjek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. (Huala Adolf, 2011:57)

2) Organisasi Perdagangan Internasional

Ada 2 (dua) organisasi perdagangan internasional yang dikenal selama ini yaitu: (Huala Adolf, 2011:58)

a) Organisasi Internasional Antar Pemerintah (Publik)

Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan peran yang signifikan yang dibentuk oleh dua atau lebih negara guna mencapai tujuan bersama. Dari segi hukum perdagangan internasional, organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator. Dalam kapasitasnya ini, organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat rekomendasi dan guidelines. Diantara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan internasional dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). UNCITRAL dan UNCTAD adalah organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan internasional (Huala Adolf, 2011:58).

b) Organisasi Internasional Nonpemerintah

Non-Gouvernment Organization (NGO) internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau asosiasi dagang. Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of Commerce), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai bidang hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits (UCP) (Huala Adolf,

(10)

2011:58-59). c) Individu

Individu adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Individulah yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu. Individu akan terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum nasional yang dibuat oleh negaranya. Oleh karena itu, individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada aturan hukum perdagangan internasional). Apabila individu merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya terganggu atau dirugikan, yang dapat dilakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk mengajukan klaim terhadap negara yang merugikannya (Huala Adolf, 2011:59-60).

Mekanisme seperti ini misalnya tampak pada General Agreement on Tarriff and Trade (GATT)/ World Trade Organization (WTO). Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu dapat mempertahankan hak-haknya berdasarkan suatu perjanjian internasional. Subjek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah perusahaan multinasional dan bank (Huala Adolf, 2011:61).

Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui sebagai subjek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Selain perusahaan multinasional, ada pula bank. Faktor-faktor yang membuat bank ini penting adalah pertama, peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci yang apabila tanpa bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan. Kedua, bank menjembatani antara penjual dan

(11)

pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya disini adalah dalam memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli. Ketiga, bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam perdagangan internasional khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional. Salah satu instrumen hukum yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional. Misalnya adalah terbentuknya kredit berdokumen yang disebut documentary credit. (Huala Adolf, 2011:61)

2. Tinjauan Mengenai Surat Berharga

Istilah surat yang mempunyai harga atau nilai merupakan terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "Papier Van Waarde". Terhadap surat yang mempunyai harga, Abdulkadir Muhammad memberikan pendapatnya sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2013:l 5) :

Surat ini diterbitkan bukan sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang, melainkan sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas apa yang tersebut di dalamnya. Surat ini juga tidak dapat diperjualbelikan karena tujuan penerbitannya bukan untuk diperjualbelikan, bukan untuk pembayaran.

Kemudian setelah membahas mengenai surat yang berharga sekarang sampailah pada pembahasan mengenai surat berharga. Istilah surat berharga yang telah umum dipakai ini merupakan terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "Waarde Papier". Terhadap surat berharga ini Abdulkadir Muhammad memberikan pendapatnya sebagai berikut: (Abdulkadir Muhammad, 2013:4)

Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa pembayaran sejumlah uang, tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alai bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga atau

(12)

pemyataan sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut.

Purwosutjipto memberikan pendapatnya bahwa, "surat yang berharga adalah surat bukti tuntutan utang yang sukar diperjualbelikan". Kemudian dilanjutkan dengan, "surat berharga itu surat bukti tuntutan uang, pembawa hak dan mudah dijualbelikan.” Dari dua pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan surat yang mempunyai harga adalah surat yang diterbitkan bukan sebagai alat pembayaran melainkan sekedar alat bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas apa yang tersebut di dalamnya dan surat tersebut tidak untuk diperjualbelikan (Abdulkadir Muhammad, 2013:5).

Berdasar pada batasan tentang surat berharga yang diberikan oleh pendapat Sarjana tersebut di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan surat berharga adalah surat yang mempunyai sifat seperti uang tunai sehingga dapat digunakan sebagai alat pembayaran, dapat dipindahtangankan, diperjualbelikan dan surat tersebut merupakan alat bukti untuk menagih pembayaran sejumlah uang bagi pemegangnya. Dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran, berarti surat tersebut dapat dipindahtangankan oleh pemegangnya setiap saat apabila dikehendaki.

Sifat dapat dipindahtangankan dari surat berharga dapat diketahui dari klausul yang dibubuhkan dalam surat itu sehingga dapat dipindahtangankan, sedangkan surat berharga sebagai pembawa hak berarti untuk memperoleh pembayaran pemegang yang bersangkutan harus menyerahkan dan menunjukkan suratnya. Apabila surat tersebut hilang atau musnah maka pemegang akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pembayaran bahkan sangat tidak mungkin untuk memperoleh pembayaran. Dengan mempunyai sifat seperti uang tunai itulah yang dapat membedakan surat berharga dengan surat lainnya. Sifat seperti uang tunai ini terletak pada nilai yang terkandung di dalamnya. Jadi surat itu mempunyai nilai uang artinya antara nilai yang tercantum dalam surat itu senilai atau sama dengan nilai penerbitan dasarnya.

(13)

Oleh karena itu surat berharga tidak hanya dapat ditukarkan dengan uang tunai melainkan dapat juga digunakan sebagai alat pembayaran.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa surat berharga mempunyai tiga ciri utama sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut :

a. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang).

b. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah dan sederhana).

c. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).

Tujuan penerbitan surat berharga ialah sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang (Abdulkadir Muhammad, 2013:4). Jadi apabila suatu surat telah memenuhi tiga ciri tersebut, maka surat itu dapat digolongkan sebagai surat berharga. Dan dalam kenyataannya memanglah demikian bahwa untuk dapat dikatakan sebagai surat berharga haruslah dipenuhi ciri-ciri tersebut di atas. Karena hal ini sesuai dengan ciriciri surat berharga yang ditetapkan dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Surat berharga sebagai uang giral telah mendapat pengaturannya secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Buku I titel 6 dan 7 yang di dalamnya meliputi :

a. Wesel diatur dalam Buku I titel keenam dari bagian pertama sampai dengan bagian kedua belas.

b. Surat sanggup diatur di dalam Buku I titel keenam bagian ketiga belas. c. Cek diatur di dalam Buku I titel ketujuh dalam bagian pertama sampai

dengan bagian kesepuluh.

d. Kwitansi-kwitansi dan Promes atas tunjuk diatur di dalam Buku I titel ketujuh dalam bagian kesebelas.

Selain surat berharga sebagaimana tersebut di atas, masih ada jenis alat pembayaran yang dapat dikategorikan sebagai surat berharga yang pengaturannya di luar KUHD yaitu Bilyet Giro. Sebagai alat pembayaran Giral Bilyet Giro diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SERI) No. 4/670 UPPB/Pb.B.BI.24 Januari 1972 yang sudah disempumakan dengan surat

(14)

keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 28/32/Kep/Dir dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 2 8/321UPG masing-masing tanggal 4 Juli 1995.

Kehidupan sehari-hari sering menemukan adanya suatu transaksi dalam kegiatan perdagangan, baik transaksi dalam jumlah yang besar maupun kecil dan transaksi-transaksi perdagangan tersebut selalu melibatkan adanya pembayaran sejumlah uang. Dengan mengadakan transaksi akhimya menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik di antara para pihak yang terlibat di dalamnya. Misalnya pihak yang satu berhak atas suatu prestasi yang berupa penyerahan barang sedangkan pihak lainnya berhak atas pembayaran. Pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan barang dan pihak lainnya berkewajiban untuk melakukan pembayaran.

Perkembangan dalam perdagangan, timbul bermacam-macam cara orang dalam merealisasikan pembayaran transaksinya. Transaksi ini bermacam-macam cara orang dalam merealisasikan pembayaran transaksinya. Transaksi ini bermacam-macam dan dapat terjadi dari berbagai kemungkinan, tergantung pada perjanjian yang terjadi di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Dan pada waktu perjanjian terjadi para pihak bersepakat bahwa dalam merealisasikan pembayaran transaksinya pihak yang berkewajiban melakukan pembayaran dapat membayar dengan tidak menggunakan uang tunai melainkan dengan alai pembayaran lain yang berupa Surat Berharga.

Adanya surat berharga, pemegang dapat menuntut prestasinya yang berupa pembayaran sejumlah uang kepada pihak ketiga yang namanya disebut di dalam surat berharga sesuai dengan isi perjanjiannya. Pihak ketiga disini adalah pihak yang sebelumnya tidak mempunyai hubungan hukum dengan penerbit surat berharga. Karena dalam suasana perdagangan tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan perjanjian dengan beberapa orang, sehingga secara singkat perbuatan penerbitan Surat Berharga adalah pembayaran cara lain dari biasanya sebagai pemenuhan isi perjanjian, yaitu perjanjian yang terjadi sebelumnya di antara para pihak, perjanjian mana menimbulkan kewajiban untuk membayar sejumlah uang. Perjanjian di antara

(15)

para pihak inilah yang menjadi dasar penerbitan surat berharga. Dengan kata lain perjanjian adalah perikatan yang menjadi dasar terbitnya Surat Berharga yang disebut perikatan dasar (Onderliggende Verhounding) (Abdulkadir Muhammad, 2013:9).

Hal ini berarti bahwa nilai dari perikatan dasar tersebut dijelmakan dalam nilai surat berharga yang ditandatangani dan kemudian diterbitkannya akta atau surat yang senilai dengan perikatan dasarnya itulah yang menjadi alat bukti atau syarat mutlak bagi pemegangnya untuk mewujudkan hak tagihnya yang berupa pembayaran kepada orang yang namanya tercantum di dalam surat tersebut. Jadi yang menjadi isi perikatan dasar penerbitan Surat Berharga adalah berupa perintah/sanggup atas pembayaran sejumlah uang.

Menurut bentuknya surat berharga tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu (Abdulkadir Muhammad, 2013:9):

a. Surat sanggup membayar atau janji membayar, b. Surat perintah membayar, dan

c. Surat pembebasan utang.

3. Tinjauan Mengenai Documentary Credit atau Letter of Credit (L/C)

Documentary Credit atau Letter of Credit (L/C) atau Surat Hutang (yang selanjutnya dalam pembahasan akan disebut dengan L/C) adalah suatu dokumen keuangan yang dikeluarkan oleh bank yang menyatakan komitmennya kepada seseorang (pemasok/eksportir/penjual) untuk mebayarkan sejumlah uang tertentu atas nama pembeli atau importir dengan ketentuan pemasok, eksportir atau penjual memenuhi persyaratan dari kondisi tertentu. Istilah formal L/C disebut documentary letters of credit karena bank menangani transaksi berkaitan dengan dokumen sebagai lawanan dari barang. L/C adalah metode yang yang sangat umum dipakai dalam pembayaran internasional, karena resiko dan transaksi ditanggung bersama antara pembeli dan penjual. (Kamus Lengkap Perdagangan Internasional. (Jakarta: Direktorat Jendral Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jakarta))

(16)

Menurut Amir M. S., Documentary Credit adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan bahwa eksportir penerima Documentary Credit diberi hak oleh importir untuk menarik wesel (surat perintah untuk melunasi utang) atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang dapat disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk mengekseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat itu. (Amir MS, 2001:1)

Documentary Credit memerintahkan kelengkapan dokumen-dokumen yang diperlukan yang harus dipenuhi Beneficiary dalam suatu perangkat dokumen-dokumen yang disebut Shipping Documents, umumnya meliputi: Invoive, Packing list, Certficate of Origin, Inspection Certificate, Insurance Certificate, Export Licence, dan Transport Document. Sedangkan Bills of Exchange (Draft) merupakan surat tagihan yang dikecualikan dari Shipping Documents. Menurut Documentary Credit terdapat beberapa dokumen yang seringkali disebutkan sehubungan dengan penggunaan Documentary Credit yaitu Bill of Exchange dan Bill of Lading. Bill of Exchange Adalah suatu perintah untuk membayar tanpa syarat yang ditandatangani oleh seseorang (drawer) biasanya pembeli dan ditujukan kepada (biasanya) bank (sebagai drawee), yang menginstruksikan drawee untuk membayar sejumlah uang kepada orang lain (payee) biasanya penjual, berdasarkan permintaan dengan waktu yang ditetapkan. (Kamus Lengkap Perdagangan Internasional melalui http://www.kemendag.go.id diakses pada tanggal 6 Desember 2015 pukul 23.00 WIB)

Definisi dari Bill of Lading adalah dokumen perjalanan barang, yang dikeluarkan oleh perusahaan pengangkatan kepada pengirim, yang ditandatangani oleh kapten kapal, perwakilannya atau pemilik kapal, yang menyatakan bukti penerimaan barang, sebagai kontrak pengangkutan dan persetujuan mengirim barang ke pelabuhan yang ditetapkan serta penyerahan

(17)

barang tersebut kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian B/L adalah sekaligus sebagai tanda terima barang dan kontrak pengiriman barang. a. Macam-Macam Documentary Credit/ L/C

Documentary Credit secara garis besar terbagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu:

1) Revocable L/C

Revocable L/C adalah jenis L/C yang dapat diubah atau dibatalkan secara sepihak, dan

2) Irrevocable L/C

Irrevocable L/C adalah jenis L/C yang tidak dapat diubah atau dibatalkan secara sepihak.

Apabila dilihat dari tingkat jaminan, maka Documentary Credit terbagi menjadi:

1) Confirmed L/C

Confirmed L/C adalah L/C yang dijamin oleh bank lain sehingga menjadi lebih aman

2) Unconfirmed L/C

Unconfirmed L/C adalah L/C yang tidak dijamin oleh bank lain Apabila dilihat dari jangka waktu dan cara pembayaran, maka Documentary Credit terbagi atas:

1) Sight L/C

Sight L/C adalah L/C yang penyelesaian pembayarannya dilakukan pada saat penyerahan dokumen sesuai dengan syarat dan kondisi L/C disertai dengan sight draft yand ditarik oleh eksportir atas suatu bank 2) Usance/Acceptance L/C

Usance/Acceptance L/C adalah L/C yang pembayarannya dilakukan pada tanggal jatuh tempo yaitu tanggal yang dihitung setelah tanggal pengapalan barang atau tanggal penyerahan draft dan dokumen

Selain itu juga terdapat jenis Documentary Credit yang lain selain yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu:

(18)

Negotiation L/C adalah L/C yang pembayarannya dengan cara membeli wesel dan/atau dokumen-dokumen yang diajukan penerima 2) Deffered Payment L/C

Deffered Payment L/C adalah L/C yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari

3) Transferable L/C

Transferable L/C adalah L/C yang dapat dialihkan 4) Assignment L/C

Assignment L/C adalah L/C yang membolehkan pengalihan hasil pembayaran L/C kepada pihak lain atas permintaan penerima

Kemudian, jenis-jenis Documentary Credit yang ada diluar UCP adalah sebagai berikut:

1) Back to back L/C

Back to back L/C melibatkan satu L/C sebagai pelindung atau pengamanan untuk L/C yang lain yang dinamakan L/C anak. Bentuk dari L/C ini dapat digunakan dalam keadaan dimana penjual menerima irrevocable credit atas namanya yang diatur oleh pembeli dimana penjual harus membeli barang tersebut dari pihak lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini dimungkinkan apabila penjual memiliki keterbatasan keuangan sehingga penjual meminta banknya untuk menerbitkan irevocable credit untuk pihak ketiga tersebut dengan menggunakan L/C yang diterima dari pembeli sebagai jaminan untuk L/C yang kedua (Finance of International Trade, 1990:64).

2) Red Clause L/C

Red Clause L/C biasanya merupakan irrevocable L/C yang memiliki klausul istimewa yang secara tradisional dicetak dengan warna merah (red clause) yang isinya memungkinkan penerima menarik seluruh atau sebagian pembayaran L/C sebelum melakukan pengiriman barang. Jenis L/C ini memungkinkan advising bank untuk meminjamkan uang untuk memastikan keuangan penjual dalam

(19)

pengadaan dan pengiriman barang (Finance of International Trade, 1990:64).

3) Revolving L/C

Revolving L/C adalah L/C yang dipakai ber terteulang-ulang oleh penerima dalam jumlah tertentu selama jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam L/C yang bersangkutan tanpa perlu menerbitkan L/C yang baru atau melakukan perubahan L/C yang bersangkutan.

4. Tinjauan Mengenai ASEAN Economic Community

Pembentukan Association of South East Asian Nations (ASEAN) dilatarbelakangi oleh kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara terhadap ancaman eksternal dan internal di kawasan ini pada tahun 1960-an. Ancaman eksternal adalah semakin kuatnya pengaruh komunisme di kawasan Asia umumnya. Selain itu perang Vietnam pada waktu itu semakin panas. Ancaman internal adalah adanya pertikaian sesama negara di kawasan ini, misalnya konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia.

Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Namun sebelum ASEAN didirikan, berbagai konflik kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara seperti konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia. Dilatarbelakangi oleh hal itu, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlunya dibentuk kerjasama untuk meredakan rasa saling curiga dan membangun rasa saling percaya, serta mendorong kerjasama pembangunan kawasan. Sebelum ASEAN terbentuk pada tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan seperti Association of Southeast Asia (ASA), Malaya, Philipina, Indonesia (MAPHILINDO), South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO), South East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pacific Council (ASPAC). Namun organisasi-organisasi tersebut dianggap

(20)

kurang memadai untuk meningkatkan integrasi kawasan (Menuju ASEAN Economic Community 2015:1-3 diakses melalui http://www.ditjenkpi.kemendag.go.id pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 01.02 WIB).

Untuk mengatasi perseturuan yang sering terjadi di antara negara-negara Asia Tenggara dan membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh, maka lima negara yang merupakan founding fathers. ASEAN (Association South East Asian Nations), yaitu Adam Malik dari Indonesia, Thanat Koman dari Thailand, S. Raja Ratnam dari Singapura, Narsisco Ramos dari Pilipina, dan Tun Abdul Razak dari Malaysia berkumpul pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok menorehkan sejarah di regional Asia Tenggara membangun suatu Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Bangkok. Brunei Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995, Lao PDR dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999.

Deklarasi tersebut menandai berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations/ASEAN). Masa awal pendirian ASEAN lebih diwarnai oleh upaya-upaya membangun rasa saling percaya (confidence building) antar negara anggota guna mengembangkan kerjasama regional yang bersifat kooperatif namun belum bersifat integratif. Tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah untuk:

a. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsabangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai;

b. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

(21)

c. Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalahmasalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang-bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi;

d. Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi;

e. Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri mereka, memperluas perdagangan dan pengkajian masalahmasalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup rakyat mereka;

f. Memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara; dan

g. Memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk menjajali segala kemungkinan untuk saling bekerjasama secara erat di antara mereka sendiri.

Adapun prinsip utama dalam kerjasama ASEAN, seperti yang terdapat dalam Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC) pada tahun 1976 adalah:

a. Saling menghormati;

b. Kedaulatan dan kebebasan domestik tanpa adanya campur tangan dari luar;

c. Non interference;

d. Penyelesaian perbedaan atau sengketa dengan cara damai; e. Menghindari ancaman dan penggunaaan kekuatan/senjata; dan f. Kerjasama efektif antara anggota.

Sejak terbentuk tahun 1967, ASEAN tetap pada usahanya untuk mengembangkan kerjasamanya hingga menuju pembentukan masyarakat ASEAN ini adalah meningkatkan kerjasama antaranggota di berbagai bidang. Dalam hal kerjasama ekonomi, ASEAN telah merintisnya sejak tahun 1960-an. Namun, pada saat itu kerjasama di bidang ini memang masih sangat

(22)

terbatas. Seiring dengan meningkatnya hubungan antar anggota, kerjasama di bidang ekonomi juga makin erat. Kerjasama–kerjasama tersebut terealisasi dalam program-program seperti; ASEAN Industrial Project Plan pada tahun 1976, Preferential Trading Arrangement atau ASEAN PTA pada tahun 1977, ASEAN Industrial Complementation Scheme tahun 1981, ASEAN Joint Ventures Scheme tahun 1983, dan Enhanced Preferential Trading Arrangement pada tahun 1987. Hal ini diupayakan oleh negara anggota guna menghadapi tantangan globalisasi yang makin keras. Namun, kerjasama bentuk ini tidak memberikan kontribusi yang diharapkan dalam meningkatkan perdagangan intra-ASEAN. Selama sepuluh tahun sejak ditandatanganinya kesepakatan, dari 12.783 jenis barang yang didaftarkan, hanya sebesar 2,7 persen yang diberikan fasilitas PTA (Prabowo, 2005:178).

Pembentukan AFTA pada KTT ASEAN IV didorong oleh kecenderungan negara-negara dalam kawasan yang sama untuk membentuk sebuah integrasi ekonomi yang lebih dalam setelah PTA. Kecenderungan seperti yang diungkapkan oleh Bella Balasa nampak pada kerjasama ekonomi regional seperti Europe Union, ASEAN pun demikian, setelah tahapan ASEAN PTA dicapai, AFTA mulai digagas. Adapun faktor eksternal yang juga turut mendorong ASEAN untuk maju pada langkah pembentukan AFTA adalah ancaman dari pembentukan kerjasama ekonomi regional pada berbagai wilayah di dunia (Prabowo, 2005:197).

Pembentukan AFTA adalah sebuah indikasi bahwa kelompok negara ini (ASEAN) bermaksud untuk merespon kompetisi dan bahkan situasi yang tidak pasti dalam lingkungan ekonomi global. Dalam hal ini, ASEAN sebagai sebuah kelompok negara, berupaya untuk memperkuat posisinya dalam sistem perdagangan global melalui kerjasama yang baik (Prabowo 2005, 198). Selain itu, dengan pembentukan AFTA, ASEAN berharap dapat meningkatkan reputasinya sebagai kelompok kerjasama regional yang paling sukses diantara negara-negara sedang berkembang lainnya (Prabowo, 2005:204).

Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation.

(23)

Kesepakatan tersebut sekaligus menandai dicanangkannya AFTA atau ASEAN Free Trade Area yang mulai berlaku pada tahun berikutnya yaitu 1 Januari 1993. Dalam perkembangannya, pelaksanaan AFTA telah mengalami beberapa kali percepatan. Setelah pada tahun 1995 disepakati Agenda of Greater Economic Integration yang antara lain berisi komitmen untuk mempercepat pemberlakuan AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun, sehingga AFTA akan berlaku pada tahun 2003. Kemudian pada KTT ke-6 ASEAN di Hanoi, para pemimpin ASEAN menetapkan Statement of Bold Measures yang berisi komitmen mereka dalam AFTA, sekaligus menyepakati bahwa AFTA akan berlaku mulai tahun 2002 bagi enam penandatangan CEPT, yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand (ASEAN Selayang Pandang, 2007:47). Latar belakang percepatan AFTA ini pun tak lepas dari situasi eksternal ASEAN. Salah satunya terkait dengan komitmen negara-negara anggota ASEAN yang juga tergabung dalam APEC maupun GATT. Langkah ini diambil dengan harapan bahwa ASEAN akan lebih siap terlebih dahulu dalam menghadapi GATT dan APEC (Low, 1996:199).

Kemudian, pada KTT ASEAN V tahun 1995 di Bangkok, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk mengusung ide “The Greater ASEAN Economic Cooperation”. Melalui konferensi ini, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk mengadakan percepatan dan pendalaman kerjasama ekonomi melalui AFTA. Guna melengkapi kerjasama di bidang perdagangan dalam AFTA, dibentuklah program pelengkapnya yang titik tekan kerjasamanya ada pada bidang jasa dan HAKI. Pada saat ini pula lah dibentuk Industrial Cooperation Scheme (AICO), ASEAN Investment Area (AIA), dan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Kerjasama tahun 1995 tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan informal pada 30 November 1996 yang merancang adanya ASEAN Vision 2020 (Low, 1996:199).

Kerjasama yang terus berkembang tersebut mendatangkan hasil yang nyata. Terbukti antara tahun 1993-1995, ekspor intra-ASEAN tumbuh dari 42,77 juta USD menjadi 68,83 juta USD. Hasil itu merepresentasikan rata-rata

(24)

pertumbuhan sebesar 30,46 persen per tahun, yang secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata 20 persen dari pertumbuhan total ekspor ASEAN (http://www.itcilo.it.htm, diakses pada 4 Desember 2015 pukul 00.37 WIB). Berdasarkan data statistik WTO tahun 2000, tampak adanya peningkatan perdagangan intra-ASEAN dari tahun 1996-2000 yang meningkat dari 86,795 juta USD menjadi 103,548 juta USD untuk ekspor dan 73,504 juta USD menjadi 89,488 juta USD untuk impor (Dwisaputra, 2007:144). Dan ternyata 65 % perdagangan intra-ASEAN merupakan barang-barang manufaktur (Low, 1996:200).

Kerjasama ASEAN memasuki tahap kristalisasi pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 dengan pendeklarasian Bali Concord II yang bertujuan untuk mencapai integrasi penuh ASEAN pada tahun 2020 dalam wadah ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama, yaitu kerjasama politik dan keamanan, kerjasama ekonomi, dan kerjasama sosial budaya. Melalui kerjasama ekonomi, diharapkan akan terjadi penyatuan ekonomi ASEAN dalam bentuk masyarakat ekonomi ASEAN yang ditandai dengan pergerakan arus barang, jasa, investasi, dan modal yang bebas dan tanpa hambatan. Di samping itu, diharapkan juga terjadi pembangunan ekonomi (Low, 1996:174-175).

AFTA merupakan bagian yang penting dan tak terpisahkan dari kerangka ASEAN Economic Community (AEC). AFTA menjadi satu dari delapan kerjasama dalam AEC. AFTA menjadi motor penggerak utama dalam sektor perdagangan ASEAN sekaligus merupakan kerjasama yang paling pesat pertumbuhannya (Asean Selayang Pandang, 2007:44-48). Perkembangan paling aktual mengenai AFTA dalam AEC adalah pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura bulan November 2007. Dalam pertemuan itu telah disepakati adanya ASEAN Charter yang menjadi payung hukum bagi kerjasama yang ada dalam ASEAN (Ratna, 2007:1). Salah satu dari beberapa dokumen yang ditandatangani adalah Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Poin penting terkait dengan kerjasama ekonomi ASEAN dari Piagam ASEAN yang terdiri

(25)

atas 13 bab dan 55 pasal itu adalah membentuk pasar tunggal berbasis produksi yang kompetitif dan terintegrasi secara ekonomi (Ratna, 2007:1).

Adapun alasan yang dapat menjelaskan mengenai pentingnya pembentukan AEC ini adalah: Pertama, munculnya kekuatan ekonomi baru dari negara-negara berkembang yakni Cina dan India yang secara geografis memiliki kedekatan dengan ASEAN. Kedua, dengan semakin berkurangnya hambatan tarif melalui skema CEPT diharapkan perdagangan intra-ASEAN dan arus lalu lintas jasa, investasi, tenaga terampil, dan tenaga kerja antar negara ASEAN akan semakin bebas. Ketiga, dengan cakupan penduduk yang mencapai hampir 600 juta, ASEAN memiliki economic scale yang sangat besar dan menjadi daya tarik pasar yang potensial bagi kekuatan ekonomi di luar kawasan. Keempat, hambatan besar dalam perundingan WTO telah turut menjadikan kerja sama ekonomi regional makin intens (Santikajaya, 2008:4).

AEC Blue Print yang dirancang oleh para menteri ekonomi ASEAN mempunyai tiga karakteristik yang dijadikan landasan bagi implementasi AEC, termasuk juga AFTA. Pertama, memperluas integrasi ekonomi ke semua negara anggota ASEAN melalui tahapan waktu yang jelas. Dalam konteks ini, ASEAN harus bertindak dalam prinsip membuka pasar secara terbuka dengan menempatkan ekonomi yang digerakkan oleh pasar secara konsisten dalam kerangka aturan perjanjian multilateral. Kedua, AEC akan membangun ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal yang berbasiskan produksi dengan mendorong ASEAN menjadi lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme baru untuk memperkuat implementasi poin penting dalam perekonomian, seperti mempercepat integrasi regional dalam sektor yang menjadi prioritas, memfasilitasi pergerakan pelaku bisnis dan pekerja yang memiliki keahlian, memperkuat mekanisme institusional ASEAN. Ketiga, mengacu pada dua karakteristik di atas, empat ciri utama yang perlu diperhatikan dalam upaya pembentukan AEC adalah pasar tunggal dan basis produksi, wilayah ekonomi yang memiliki daya saing tinggi, wilayah dengan perkembangan ekonomi yang setara, dan wilayah yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global (http://www.asean.org, diakses pada 4 Desember pukul 00.21 WIB).

(26)

Negara-negara yang tergabung di dalam AEC ternyata sebagian besar belum memiliki alat pembayaran dalam perdagangan internasional secara universal yang digunakan. Perbedaan jenis mata uang yang merupakan permasalahan dalam pembayarannya menyebabkan tingkat keefektifan pembayaran dalam dunia perdagangan masih sangat rendah. Negara-negara di kawasan ASEAN hampir seluruh anggotanya menggunakan L/C sebagai pembayaran dalam perdagangan internasionalnya. Hanya saja tingkat penggunaan L/C di beberapa negara di ASEAN masih rendah. Selain itu juga belum ada pengaturan yang khusus dan rinci mengenai L/C di negara-negara ASEAN (NTRC Tax Research Journal, 2015:5).

B. Kerangka Pemikiran

Interaksi antar subyek hukum (negara, organisasi internasional,

individu dan bank) untuk memenuhi kebutuhan hidup

Hubungan Perdagangan

Nasional Internasional

(27)

Bagan 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Manusia dengan segala daya dan upaya yang dimilikinya akan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan melakukan hubungan-hubungan yang dianggap perlu seperti hubungan dagang atau bisnis. Dalam perdagangan antar negara, pembeli dan penjual terpisah satu sama lainnya baik secara geografis maupun oleh batas kenegaraan. Begitu juga perbedaan jenis mata uang yang berlaku di tiap negara.

Letter of Credit (L/C) sebagai cara pembayaran

ASEAN Economic Community

Hubungan hukum antar para pihak

Terpisah secara geografis dan terdapat perbedaan jenis mata

uang

Transaksi

Pertimbangan penggunaan L/C sebagai cara pembayaran internasional

(28)

Perdagangan Internasional terjadi karena adanya hubungan antara suatu negara dengan negara lain yaitu negara di luar perbatasannya yang meliputi dua kegiatan pokok yaitu kegiatan ekpor dan impor. Salah satu permasalahan yang sering kali muncul dalam transaksi perdagangan Internasional adalah berkenaan dengan pembayarannya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka diperkenalkanlah metode pembayaran dengan Documentary Credit atau Letter of Credit (L/C).

ASEAN Economic Community (AEC) merupakan sebuah komunitas negara-negara ASEAN yang memberlakukan sistem pasar tunggal yang berarti terbuka dan bebas untuk melakukan perdagangan barang, jasa, investasi, modal maupun tenaga kerja demi mewujudkan ekonomi ASEAN yang terintegrasi. Anggota AEC terdiri dari 10 negara yang tergabung dalam ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand, dan Vietnam. Dengan adanya ASEAN Economic Community ini, penggunaan Letter of Credit (L/C) dapat dijadikan sebagai cara pembayaran dalam perdagangan internasional karena Letter of Credit (L/C) mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu yang dapat menjadi cara pembayaran yang efektif digunakan.

Berbagai macam keadaan dalam perdagangan internasional yang begitu luas tersebut, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai hubungan hukum antar para pihak yang terlibat didalam penerbitan Letter of Credit (L/C), serta pertimbangan Letter of Credit (L/C) sebagai cara pembayaran dalam kerangka ASEAN Economic Community.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini PHMJ GPIB Yahya menginformasikan bahwa GPIB Yahya mulai akan melaksanakan Ibadah Hari Minggu di Gedung Gereja GPIB Yahya mulai besok tanggal 5 Juli 2020 pukul 09.00.

Pengaruh Prior Experience dan Variety Seeking Buying Behaviour Secara Simultan terhadap Brand Switching Behaviour pada Konsumen Skincare Wardah di Kota Bandung .... 171

[r]

Bila suatu percobaan dapat menghasilkan N macam hasil yang berkemungkinan sama dan bila tepat sebanyak n dari hasil berkaitan dengan kejadian A maka probabilitas kejadian A adalah

Oleh karena itu, berikut ini terdapat contoh penggunaan media pembelajaran dalam matematika yaitu Monika (monopoli matematika); Jarimatika, digunakan sebagai media

Impaktor Bertingkat (Cascade Impactor) Impaktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah impaktor bertingkat buatan Andersen, USA yang terdiri dari 9 tingkat dan

Selanjutnya cawan Petri diinkubasi pada suhu ruang dan pengamatan dilakukan terhadap luas koloni jamur patogen, dengan mencatat luas koloni patogen setiap hari untuk

keluarga dengan kejadian miopia pada mahasiswa PSPD angkatan 2010-2012. Tidak terdapat hubungan bermakna anatara lama aktivitas jarak dekat dengan kejadian miopia