• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangunan Bertingkat pada Kawasan Pesisir sebagai Pereduksi Run-up Tsunami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bangunan Bertingkat pada Kawasan Pesisir sebagai Pereduksi Run-up Tsunami"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bangunan Bertingkat pada Kawasan Pesisir sebagai Pereduksi Run-up Tsunami

Any Nurhasanah1) Radianta Triatmadja, Nizam, Nur Yuwono2)

1) Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Bandar Lampung 2) Dosen Magister Pengelolaan Bencana Alam Universitas Gadjah Mada

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tsunami yang terjadi di Pantai Pangandaran pada 17 Juli 2006 menghancurkan bangunan yang berada di sepanjang garis pantai. Bangunan semi permanen yang berada pada jarak sekitar 100 m dari garis pantai mengalami kerusakan berat, sedangkan bangunan permanen yang kuat hanya mengalami kerusakan ringan sampai sedang. Jika dibandingkan dengan Tsunami yang terjadi di Aceh, kerusakan yang terjadi di Pantai Pangandaran tidak seberat kerusakan yang terjadi di Aceh. Hal ini disebabkan karena karakteristik gelombang tsunami yang terjadi di Aceh berbeda dengan gelombang tsunami yang terjadi di Pantai Pangandaran. Gelombang tsunami yang terjadi di Pantai Pangandaran skalanya lebih lebih kecil jika dibandingkan dengan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh. Tinggi gelombang tsunami di Pangandaran berkisar 6 meter dengan panjang gelombangn berkisar 500 m, sedangkan tinggi gelombang tsunami yang terjadi di Aceh mencapai 30 m dengan panjang gelombangnya mencapai 2 km.

Bangunan yang berada di kawasan pesisir dapat berfungsi sebagai penahan gelombang tsunami. Bangunan tersebut bukan hanya bangunan pantai seperti tembok laut (sea wall) atau pemecah gelombang (break water), tetapi juga rumah-rumah atau bangunan bertingkat yang berada di pantai tersebut. Pada skala gelombang tsunami yang terjadi di Pantai Pangandaran, bangunan bertingkat mampu menahan gelombang tsunami dan mereduksi tinggi run-up gelombang tsunami. Bangunan bertingkat sehingga bangunan bertingkat mampu melindungi kawasan yang ada di belakangnya. Tinggi, lebar, dan ketebalan bangunan akan mempengaruhi laju gelombang tsunami dan jarak jangkauan yang masuk ke daratan (run-up gelombang tsunami). Faktor lain yang mempengaruhi tinggi run-up gelombang tsunami adalah porositas bangunan, pola letak, kemiringan dasar pantai, panjang gelombang tsunami, dan tinggi gelombang tsunami. Pada penelitian ini akan dibahas tingkat efektifitas bangunan bertingkat dalam mereduksi tinggi run-up gelombang tsunami. 1.2. Maksud dan Tujuan

Penelitian ini dimaksudkan untuk menghitung besarnya pengaruh bangunan bertingkat dalam mereduksi run-up tsunami. Bangunan bertingkat yang kuat diharapkan mampu menahan laju gelombang tsunami, sehingga ketika terjadi tsunami bangunan tersebut mampu melindungi bangunan yang berada di belakangnya, dan orang yang menyelamatkan diri mempunyai jarak tempuh yang lebih pendek ke tempat yang lebih aman, juga waktu yang lebih lama untuk menyelamatkan diri.

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan tsunami telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Nizam, Triatmadja, Nurhasanah (2007) melakukan penelitian simulasi penataan kawasan pesisir dalam rangka mitigasi Tsunami dengan menggunakan model fisik 2D. Penelitian ini

(2)

menggunakan 5 variasi pola tata letak yang menyebar maupun berkelompok dengan posisi sejajar dan bersilangan. Hasil penelitian ini menunjukkan pada model bangunan menyebar teratur menyebar mampu mereduksi run-up tsunami sampai 9.87%, dan pada pola bangunan menyebar zigzag mampu mereduksi run-up tsunami samapai 16.16%, pada model bangunan berkelompok yang disusun simetris mampu mereduksi run-up sampai 12,12%, sedangkan pada model bangunan berkelompok yang disusun zig-zag mampu mereduksi run-up sampai 17,31%.

Made Ardante dan Triatmadja (2006) meneliti tentang pengaruh tembok laut terhadap tinggi runup tsunami dengan menggunakan model fisik. Pemodelan tembok laut dibuat 3 variasi lebar tembok laut, yaitu tembok laut sepanjang garis pantai, tembok laut dengan poroustas 25%, dan tembok laut dengan porousitas 50%. Variasi penempatan tembok laut ada 3 macam, yaitu posisi pertama di bibir pantai dan posisi kedua dan ketiga 100 cm, 200 cm dari bibir pantai. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa pada porousitas 25% dan 50% memberikan reduksi run up tsunami sebesar 8,7% dan 10,1%, sedangkan pada porousitas 0% memberikan besaran reduksi run up sebesar 15%.

Triatmadja dan Mujibul (2006), melakukan penelitian model fisik tentang run-up tsunami akibat adanya tembok laut berporous. Pada penelitian ini dikaji tentang pengaruh faktor porositas dalam menahan gelombang tsunami pada tembok laut. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah, untuk tembok berporous 40% memberikan reduksi run-up 3% sampai 5%, sedangkan pada tembok berporous 60% memberikan reduksi run-up 2% sampai 4,8%,

Nizam (2005) melakukan kajian awal atas pengaruh tata letak bangunan pada besarnya gaya tsunami dan mendapatkan bahwa kumpulan bangunan dapat mereduksi gaya gelombang hingga kurang dari 30% terhadap keadaan bangunan tunggal.

Nizam (2005) juga melakukan kajian pengaruh tata letak bangunan pada besarnya gaya dan karakteristik hidrodinamika tsunami melalui model numerik Computational Fluid Dynamic (CFD). Triatmadja, dan Karuniadi (2003) meneliti manfaat hutan bakau sebagai pelindung pantai terhadap

Run-up Tsunami. Hasil penelitian yang didapat adalah jarak horisontal dan vertikal run-up tsunami

yang tereduksi akibat adanya hutan bakau. 2.2. Landasan Teori

Persamaan dalam perhitungan panjang gelombang merupakan hasil penurunan dari teori gelombang Airy. Secara matematis persamaan panjang gelombang dapat ditulis menjadi :

L h gT L 2 tanh 2 2  (1) dengan: L = panjang gelombang (m) T = periode gelombang (detik) g = kecepatan gravitasi (m/detik2)

h = kedalaman laut (m)

Dan persamaan cepat rambat gelombang adalah:

L h gT C 2 tanh 2  (2) dengan:

C = cepat rambat gelombang (m/detik)

Apabila kedalaman relatif h/L lebih besar dari 0,5 (pada laut dalam) nilai tanh (2πh/L) = 1, sehingga persamaan 1 menjadi:

(3)

2 2

gT

L  (3)

dan persamaan 2 menjadi :

2

gT

C  (4)

Di laut dangkal, pada saat kedalaman relatif h/L < 0,05 nilai tanh(2πh/L)  2πh/L sehingga persamaan 1 menjadi :

T gh

L . (5)

dan persamaan 2 menjadi :

gh

C  (6)

Sehingga di laut dangkal, cepat rambat gelombang hanya dipengaruhi oleh kedalaman air (h). Karakteristik Gelombang Tsunami

Gelombang tsunami merupakan gelombang panjang. Sifatnya sebagai gelombang panjang maka kecepatan jalar energi sama dengan kecepatan jalar gelombang. Dengan demikian tinggi gelombang cenderung tidak menurun bahkan mungkin bertambah karena proses shoaling. Oleh karenanya gelombang tsunami yang terjadi jauh di tengah laut tetap berbahaya bagi pantai yang akan diserangnya.

Gelombang tsunami menjalar dengan kecepatan C  gh, cepat rambat gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut. Semakin besar kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Kecepatan gelombang berkurang ketika menjauhi pusat gempa dan kedalaman laut yang dangkal. Tsunami yang terjadi di laut dalam selama penjalarannya ke pantai atau laut yang lebih dangkal akan teramplifikasi karena adanya efek shoaling. Fluk energi tsunami yang masuk ke suatu titik seimbang dengan fluk energi yang keluar dari titik tersebut tanpa adanya kehilangan energi atau adanya tambahan energi.

Run Up Tsunami

Menurut Triatmadja (2002), Run up gelombang (Ru) adalah naiknya permukaan air ke lereng pantai atau bangunan. Besarnya run-up bergantung pada bentuk dan kekasaran muka lereng, kedalaman air, kemiringan dasar laut dan karakteristik gelombang. Karena banyaknya variabel yang berpengaruh, besarnya run-up sulit ditentukan secara analitis. Satu pendekatan, hasil penelitian Irribaren di laboratorium, Ru dihitung dari DWL secara grafis dalam ekspresi bilangan non dimensi

Ru/H. Ru/H merupakan fungsi dari bilangan Irribaren (Ir), yaitu: L H Ir / tan  (7)

dengan  = kemiringan bangunan, H = tinggi gelombang, dan L = panjang gelombang.

Gambar 1 menunjukkan hubungan antara Ru/H dengan bilangan Irribaren untuk bidang miring dengan permukaan halus dan impermeabel. Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk bidang miring dengan permukaan halus dan impermeabel, nilai run up tertinggi didapat pada nilai Irribaren berkisar pada angka 3.

(4)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 1 2 3 4 5 6 7 Irribaren Number R u /H

Gambar 1. Hubungan Runup dengan bilangan irribaren untuk tipe sisi miring dengan permukaan halus dan impermeabel

Kaplan mendapatkan dari eksperimen laboratorium tinggi run-up tsunami pada sebuah kemiringan impermeable yang halus dengan menggunakan gelombang soliter dengan kecuraman gelombang ekivalen H/L pada orde 10-2 sampai 10-3. Kaplan memilih karakteristik gelombang di atas

dengan mempertimbangkan pengamatan tsunami di hawai pada tahun 1946 dan 1952. Priode tsunami di atas diperhitungkan kira-kira 15 menit. Dihasilkan hubungan empris:

Untuk kemiringan pantai 1/30: 316 . 0 381 , 0         L H H R (8)

Untuk kemiringan pantai 1/60: 315 . 0 206 . 0         L H H R (9)

Dimana R adalah tinggi run-up diatas still water level.

Berdasarkan penyelesaian Langrangian, Shuto menganalisa tinggi run-up pada gelombang panjang pada kemiringan seragam, tan , dihubungkan dengan dasar horisontal.

2 1 2 1 2 0 4 4                      L l J L l J H R (10)

Gambar 2 menunjukkan kurva teori shuto dan data laboratorium yang ditampilkan Kaplan, Iwasaki, dkk, dan Kishi, dan Hanai. Pada gambar tersebut terlihat bahwa grafik yang dihasilkan oleh Kaplan menunjukkan run up tertinggi dengan nilai H/L berkisar pada 35-1, kemudian run up semakin

mengecil nilainya, sebanding dengan mengecilnya nilai H/L. Sedangkan grafik yang dihasilkan oleh Kishi dan Hanai, run up maksimum berada pada saat nilai H/L mencapai 50-1 kemudian berbanding

lurus dengan H/L, nilai run up semakin berkurang. Menurut Shuto, nilai run up tertinggi pada saat H/L berada pada kisaran nilai 10-2 dengan grafik berupa kurva.

(5)

Gambar 2. Hubungan R/H dengan H/L (Horikawa, 1978)

3. METODOLOGI 3.1. Simulasi Model

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan simulasi model fisik di laboratorium. Simulasi ini dimulai dengan menggunakan model dua dimensi dengan 2 variasi pola tata letak bangunan, 2 variasi tinggi bangunan, dengan masing-masing 3 variasi tinggi tsunami. Skala model dibuat 1 : 100 tanpa distorsi. Simulasi model dilakukan dalam saluran gelombang berdinding kaca, dengan pembangkit gelombang tsunami model dam-break. Untuk setiap kondisi tsunami yang disimulasikan dilakukan pengamatan terhadap hidrodinamika aliran dengan melakukan pengukuran terhadap

run-up tsunami pada masing-masing model, dan waktu tempuh jarak terjauh.

Variasi pola tata letak dibuat dalam bentuk matriks. Pola tata letak pertama berupa bangunan tunggal yang diletakkan sejajar, sedangkan pola tatak letak kedua berupa pola bangunan yang diletakkan secara berkelompok.Variasi tinggi bangunan dibuat 2 macam, yaitu tinggi bangunan A = 4 cm, dan tinggi bangunan B = 8 cm. Simulasi model disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Simulasi Model

MODEL TINGGI BANGUNAN POLA LETAK TINGGI GELOMBANG

TSUNAMI

Model 1 A Ke-1

3 variasi

Model 2 B Ke-1

Model 3 A Ke-2

Model 4 B (bangunan paling depan)

Ke-2 Model 5 B (kelompok terdepan) Ke-2

(6)

Gambar 3. Pola letak dan tinggi bangunan

Model profil pantai di saluran gelombang dirancang dengan skala 1:100 sama seperti skala model bangunan. Tempat meletakkan dibuat menggunakan triplek dengan ketebalan 1cm, agar

bangunan dapat dipasang dan di lepas.

Gambar 4. Model Profil Pantai

Gambar 5. Model di dalam Saluran Gelombang

Simulasi model dilakukan dengan membangkitkan gelombang tsunami. Gelombang tsunami dibangkitkan dengan cara menarik tali yang dihubungkan melalui katrol untuk mengangkat pintu

Pola 1 Pola 2 4 cm 8 cm 4 cm 4 cm A B Tinggi bangunan Tampak Atas 300 cm 20 cm 500 cm 1:50 1:50 1:5 21,5 17,5 31,5 11,5 57,5 cm Pasir urug 100 Tampak Samping

Tempat model bangunan diletakkan

triplek semen semen batu 877,5 cm katrol Pintu sebagai pembangkit tsunami Tali untuk menarik pintu SWL Model bangunan 1:50 Arah tsunami

(7)

penahan air. Tinggi permukaan di hulu dan di hilir dibuat terdapat beda tinggi (h). Setelah gelombang sampai ke pantai diukur berapa tinggi run-up yang dihasilkan dan berapa lama waktu gelombang menjalar sampai ke pantai. Pencatatan tinggi tsunami dan run-up tsunami dilakukan dengan cara visual melalui rekaman menggunakan handycam.

Parameter-parameter yang diperkirakan mempengaruhi besarnya tinggi run-up tsunami ketika gelombang tsunami menghantam bangunan bertingkat adalah tinggi gelombang tsunami (H), tinggi bagunan (hbang) kedalaman air (h), panjang gelombang (L), kecepatan jalar gelombang (C), Energi

gelombang (E), dan juga tata letak bangunan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan dari masing-masing model (tanpa model dan ada) dianalisis dan dibandingkan satu sama lainnya untuk mengetahui tingkat efektifitas bangunan bertingkat dalam mereduksi gelombang tsunami.

Pengaruh Tinggi Gelombang terhadap Run-up

Tinggi run-up gelombang tsunami sangat dipengaruhi oleh gelombang tsunami. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi gelombang tsunami, energi gelombang yang dihasilkan juga semakin besar, sehingga run-up yang dihasilkan semakin besar.

300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 11.50 12.00 H (m) R u ( m )

Tanpa Model Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5

Gambar 7. Grafik Hubungan antara Tingggi Gelombang Tsunami dan Run-up Tsunami

Run-up tsunami pada model tanpa bangunan lebih besar dibandingkan dengan run-up

pada model dengan yang ada bangunan. Pada pola letak bangunannya menyebar (model 1 dan 2) tinggi run-up yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan pola yang berkelompok (model 3, 4, dan 5). Hal ini disebabkan oleh jumlah porositas pada model 1 dan 2, lebih banyak dibandingkan model 3, 4, dan 5. Pada bangunan yang lebih tinggi, run-up yang dihasilkan lebih rendah Karena bangunan yang lebih tinggi, mampu menahan gelombang tsunami lebih banyak.

(8)

Hubungan antara tinggi dan panjang gelombang (H/L) terhadap run-up dan tinggi tsunami (Ru/H)

Perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang (H/L) berpengaruh besarnya run-up tsunami. Pada panjang gelombang tsunami yang sama, jika tinggi gelombang semakin besar, maka run-up gelombang tsunami akan semakin besar (Gambar 7).

40 45 50 55 60 65 0.0945 0.0950 0.0955 0.0960 0.0965 0.0970 0.0975 d/L R u -x /H

Tanpa Model Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5

Gambar 7. Hubungan antara (H/L) dengan (Ru/H)

Pada gambar di atas terlihat bahwa dalam tinggi dan gelombang yang sama, bahwa model tanpa bangunan memiliki nilai RU/H yang lebih besar dibandingkan dengan model yang ada bangunannya.

Hubungan antara bilangan irribaren (Ir) dengan run up tsunami dan tinggi tsunami (Ru/H)

Bilangan Irribaren digunakan untuk menunjukkan besarnya run-up yang dicapai. Pada waktu gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang tersebut akan naik pada permukaan bangunan. Run-up tergantung pada bentuk dan kekasaran bangunan, kedalaman air, kemiringan dasar pantai, dan karakteristik gelombang. Perhitungan Bilangan irribaren menggunakan persamaan

(7). Hubungan antara bilangan irribaren dengan run-up tsunami pada penelitian ini disajikan pada Gambar 8. 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 1 2 3 4 5 Irribaren Number R u /H Tetrapod Dolos

Sisi Miring Halus dan Impearmeabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5

Gambar 8. Hubungan Bilangan Iribaren terhadap Run-up Gelombang Tsunami

Hubungan antara tinggi bangunan dan tinggi gelombang tsunami (hbang/H) terhadap run-up

dan tinggi tsunami (Ru/H)

Perbandingan antara tinggi bangunan dan tinggi tsunami juga berpengaruh besarnya terhadap

run-up tsunami. Pada tinggi bangunan yang sama, jika tinggi gelombang semakin besar, maka run-run-up

tsunami semakin besar. Pada model tanpa bangunan perbandingan nilai Ru/H-nya tidak dapat dihitung karena tinggi bangunannya tidak ada. Pada pola bangunan menyebar, nilai Ru/H lebih besar jika dibandingkan dengan dengan pola bangunan yang komplek. Semakin besar tinggi bangunan, runup yang dhasilkan semakin kecil. Jika pola menyerbar dibandingkan dengan pola komplek, maka pada pola komplek run-up yang dihasilkan juga semakin kecil (Gambar 9)

(9)

44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 H/hbang R u /H Pola tunggal Pola berkelompok

Gambar 9. Hubungan antara (H/hbang) dengan (Ru/H)

Reduksi Run-up Akibat Adanya Bangunan

Akibat adanya perbedaan tinggi bangunan dengan layout yang berbeda maka run-up yang dihasilkan juga berbeda-beda. Jika dibandingkan dengan run-up yang tanpa model, maka terjadi penurunan run-up pada pemodelan yang ada bangunannya. Pada model 1 yang kerupakan model dengan pola menyebar teratur sejajar (layout 1), reduksi run-up sekitar 9.87% dan model 2 dengan pola yang sama tetapi tinggi bangunannya lebih tinggi reduksi run-up sampai 10.7%. Pada pola model 3 dengan berkelompok yang disusun simetris (layout 2), reduksi run-up reduksi run-up sampai 12.2%, dan pada model 4, dengan layout yang sama tetapi bangunan pada baris depan tingginya ditambah, reduksi runup sampai 14.2%. Pada model 5, dengan layout yang sama dengan model 3 dan 4, tetapi bangunan pada kompleks pertama tingginya sama dengan model 4, tinggi runup mencapai 16.5%. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 1 2 3 4 5 Model Reduksi Run-up (%) 5. KESIMPULAN

1. Pada layout pertama, bangunan yang lebih tinggi mampu mereduksi run-up tsunami lebih besar yaitu sebesar 10.7% dibandingkan dengan bangunan dengan ketinggian separuhnya yaitu 9.87%.

2. Pada layout kedua, bangunan yang lebih tinggi pada baris pertama mampu mereduksi run-up tsunami sampai 14.2% dibandingkan dengan bangunan dengan ketinggian separuhnya yaitu 12.2%, dan untuk ketinggian bangunan pada satu komplek di baris pertama, bangunan mampu mereduksi run-up sampai 16.5%.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Dean, R.G. and Dalrymple, R.A; 1993; Water Wave Mechanics for Engineers and Scientists; World Scientific Publishing; Singapore

Diposantono, S; Budiman; 2006; Tsunami; Buku Ilmiah Populer, Bogor

Grundy, P.; 2005; Disaster reduction on the coasts of the Indian Ocean; IABSE Conference & Post Tsunami Discussions; 17-24th February

Hinwood, J.; 2005; Design for Tsunamis – Coastal Engineering Considerations, IABSE Conference & Post Tsunami Discussions; 17-24th February

Horikawa, K.; 1978; Coastal Engineering; University of Tokyo Press; Tokyo

Karuniadi, S. U.; 2003; Manfaat Hutan Bakau sebagai Pelindung pantai terhadap Runup Tsunami; Tesis Magister Teknik Sipil UGM tidak dipublikasi; Yogyakarta

Nizam; 2005; Tsunami response & hazard mitigation; National Coastal Hazard Mitigation Workshop; Hotel Bidakara; Jakarta; 2 Mei

Nizam; 2005; Some lessons from Aceh Tsunami – Hydraulics Aspect of Housing Arrangement;

Proceeding International Symposium Disaster Reduction on Coasts; Monash University;

Melbourne; Australia; 14 – 16 November

Nurhasanah, Triatmadja, Nizam; 2008, Pengaruh Pola Tata Letak Bangunan di Kawasan Pesisir terhadap Run-up Tsunami, Prosseding Konteks II, Universitas Atmajaya Yogyakarta, pp.143-152.

Synolakis, C.E.; 2005; Runup and Run Down Generates by Three Dimensional Slidding Masses;

Journal Fluid Mechanics; Cambridge University Press, vol. 536; pp.107-144

Triatmodjo, B.; 2000; Teknik Pantai; Beta offset; Yogyakarta.

Triatmadja, R.; 1993; Numerical and Phisical Studies of Shallow Water Wave with Special Reference

to Landslide Generated Wave and The Method of Characteristics; Thesis of Ph.D Glasslow;

Gambar

Gambar 1. Hubungan Runup dengan bilangan irribaren untuk tipe sisi miring dengan permukaan  halus dan impermeabel
Tabel 1. Simulasi Model
Gambar 4. Model Profil Pantai
Gambar 7. Grafik Hubungan antara Tingggi Gelombang Tsunami dan Run-up Tsunami  Run-up  tsunami  pada  model  tanpa  bangunan  lebih  besar  dibandingkan  dengan  run-up  pada model dengan yang ada bangunan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang konversi lahan pertanian produktif akibat pertumbuhan lahan terbangun di Kota Sumenep bertujuan untuk mengetahui karakteristik perubahan tutupan

Menurut Ilyas (2003) menyatakan bahwa klaim ditangguhkan penyelesaiannya bila klaim persyaratannya belum lengkap dan memerlukan penyelesaian kedua belah pihak.. Contoh berkas

Peran BAnk Dunia dan IMF dalam Perekonomian Indonesia Dulu dan Sekarang.. A, Era Baru Kebijakan

[r]

Data yang telah dikumpulkan akan diolah yang nantinya akan dibahas dalam tugas akhir ini. Adapun pengolahan data yang dilakukan meliputi:.. Perhitungan debit air limbah yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi cadangan karbon pada beberapa kelas umur, dan mengetahui hubungan antara Normalized Difference Vegetation Index ( NDVI ) dengan

Berdasarkan penelitian tingkat kesehatan bank menggunakan metode CAMEL dan RGEC periode 2013-2017 pada BPRS Bandar Lampung, diperoleh hasil bahwa CAMEL berpengaruh

Guru merupakan ujung tombak pengembangan kurikulum sekaligus sebagai faktor kunci dalam keberhasilan suatu kurikulum. efektivitas suatu kurikulum tidak akan tercapai,