k
i
The Philosophy of Science and Belief in God
Edisi Pertama, Hak Cipta © 1964 Lois A. Zeller dan Elizabeth Clark George Edisi Kedua Hak Cipta © 1996 John W. Robbins
Menjadi Bagian Modern Philosophy Hak Cipta © 2008 John W. Robbins Edisi ini, Hak Cipta © 2012 Laura K. Juodaitis
Diterbitkan oleh The Trinity Foundation
Post Office Box 68 Unicoi, Tennessee 37692 www.trinityfoundation.org
Dengan ijin resmi diterjemahkan (tidak eksklusif) dan disebarkan oleh Ma Kuru Paijo.
Filsafat Sains dan Kepercayaan Akan Tuhan
Edisi Pertama, Hak Cipta © 2013 Ma Kuru Paijo
Diterbitkan dan disebarkan dalam bentuk Buku Elektronik oleh Ma Kuru Dilarang keras untuk menyebarkan terjemahan ini dalam bentuk apapun kecuali
D
AFTARI
SIDAFTAR ISI IV
KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA VI
PENDAHULUAN 1
1. JAMAN KUNO DAN GERAK & PERUBAHAN (MOTION) 1
PARADOKS ZENO 1
AJARAN HERAKLITUS TENTANG PERUBAHAN YANG TERUS-‐MENERUS 5
ARISTOTELIANISME 7
2. SAINS NEWTON 17
KELEMAHAN DALAM TEORI ARISTOTEL 18
SIR ISAAC NEWTON (1642-‐1727) 21
PLANET DAN KOMET 23
GRAVITASI 26
PENJELASAN 28
FILSAFAT MEKANISTIK 31
KEBENARAN MUTLAK DAN FINAL 42
KRITIKAN TERHADAP FILSAFAT MEKANISME 44
3. ABAD KEDUA PULUH 51
RUNTUHNYA MEKANISME 51
OPERASIONALISME 58
EKSPRESI SKPETISISME 64
KEBERATAN TERHADAP OPERASIONALISME 67
KESIMPULAN 72
4. BATAS-‐BATAS DAN MANFAAT SAINS 77
SAINS SEBAGAI PANGGILAN 77
APA ITU SAINS? 79
METODE EKSPERIMENTAL 82
SAINS DAN KEKRISTENAN 86
NILAI SAINS 88
INDEX 91
v
K
ATAP
ENGANTARE
DISIB
AHASAI
NDONESIADalam pengembaraan saya seputar dunia Kristen, sekitar tahun 2005 saya pertama kali mendengar tentang Gordon H. Clark – salah satu (kalau tidak dapat dikatakan satu-‐satunya) filsuf kristen terkemuka abad ke-‐20 dari kalangan gereja-‐gereja berteologi reformed di Amerika. Namun baru pada tahun 2010 saya benar-‐benar pertama kali membaca tulisannya yang utuh. Sebelumnya saya hanya membaca kutipan-‐kutipan artikelnya atau tulisan orang yang sedikit banyak mengikuti pemikirannya.
Hal penting yang menjadikan saya tertarik dengan tulisan/pemikiran Clark adalah penegasannya akan pentingnya logika dan bukti yang dia kemukakan untuk mendukung penegasan tersebut. Dengan latar belakang pendidikan saya yang menikmati pendidikan rata-‐rata di Indonesia dimana berpikir kritis tidak merupakan sebuah kebiasaan yang ditanamkan, maka mendapati tulisan seperti karya Clark ini seperti menemukan mata air di tengah-‐tengah padang gurun. Selama bertahun-‐tahun saya tidak melihat pentingnya logika bagi kehidupan manusia maupun filsafat. Bahkan pada satu saat saya sempat sangat menikmati karya seorang tokoh Kristen yang berpandangan bahwa logika bukanlah sebuah keharusan. Menyangkut filsafat saya ingat pernah mengatakan kepada seseorang “Filsafat sebenarnya adalah upaya memperumit hal yang sebenarnya sangat sederhana.” Dengan pola berpikir seperti itu saya ditelan oleh berbagai macam filsafat yang saya tidak sadari dan saya tidak ketahui. Bahkan pada tingkatan tertentu saya begitu bingung karena saya berpandangan bahwa sains membawa kebenaran mutlak – sehingga tidak mungkin salah1. Dengan mindset seperti itu, sadar atau tanpa sadar saya mempelajari berbagai teori sains (lama dan baru) yang saling bertentangan dan saya terpaksa harus merasa diri sangat bodoh karena saya tidak dapat merekonsiliasi pertentangan yang ada. Membaca buku ini sungguh sesuatu yang mencerahkan karena dalam buku ini saya melihat bagaimana penting dan tidak terelakannya filsafat dalam sains. Keduanya bahkan mungkin tidak dapat dibedakan secara pasti atau kalaupun bisa dibedakan, keduanya tak terpisahkan. Setelah membaca buku ini saya sadar bahwa bahkan tidak mungkin ada fakta yang bebas teori. Melalui buku ini juga saya belajar bahwa sebuah teori tidak harus benar untuk membawa manfaat manusia dan tidak ada jaminan bahwa teori sains yang sekarang pasti benar. Di dalam sains ada teori-‐teori yang saling bertentangan satu dengan yang lain tetapi yang sama-‐sama memiliki kegunaan praktis. Memahami filsafat sains seperti ini menjadikan saya memiliki pikiran yang terbuka untuk berteori dan menerima teori orang lain hanya sebagai sebuah kerangka yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah praktis – bukan kebenaran mutlak. “Hanya dengan menyangkali sains sebagai sesuatu yang kognitif kita dapat menjustifikasi penggunaan teori-‐teori yang saling bertentangan,” tulis Clark.
1 Lebih tepatnya (saat itu) saya berani mengatakan bahwa teori sains jaman pra sains moderen (seperti jaman Yunani Kuno)
adalah teori yang mutlak salah. Namun setelah jaman itu maka teori sains yang satu dengan teori sains yang lain saling mendukung satu dengan yang lain dan tidak mungkin ada teori-‐teori tersebut yang salah.
vii Buku ini lebih merupakan sebuah sketsa filsafat sains. Buku ini tidak membahas falsifikasionisme, falsifikasionisme mutakhir, teori sains anarkis, pendekatan Bayesian, eksperimentalisme baru, perdebatan realism dan anti realism, dll. Namun yang dibahas di sini sangat mendasar sehingga menurut saya akan mempermudah pemahaman tentang hal-‐hal yang belum dibahas tersebut.
Semoga buku ini memberi sumbangan bagi pelaku atau orang yang tertarik dengan sains dan filsafat, khususnya orang Kristen karena buku ini ditulis seorang yang dapat dikatakan sebagai salah seorang (kalau bukan satu-‐satunya) filsuf Kristen besar abad ke-‐20.
Kupang, 4 Desember 2013 Ma Kuru Paijo
P
ENDAHULUANBanyak ilmuwan dan beberapa filsuf telah menggunakan kesimpulan ilmiah/sains untuk menyerang agama. Beberapa di antaranya menyangkali kemungkinan adanya mukjizat tetapi tidak menyangkali keberadaan Tuhan. Sementara itu yang lain sudah sepenuhnya bersifat naturalistik dan sama sekali menyangkali adanya Tuhan.
David Hume, misalya, menyangkali adanya mukjizat dan Tuhan. Dia melancarkan serangan habis-‐habisan terhadap mukjizat dan membandingkan kisah Perjanjian Baru tentang kebangkitan Kristus dengan desas-‐desus candaan bahwa Ratu Elizabeth bangkit dari kematian. Hume juga tidak meninggalkan ruang bagi Tuhan dengan mengusulkan sebuah kosmologi dimana alam semesta tidak dipandang sebagai sebuah ciptaan ilahi dengan sejarah yang berhingga tetapi sebagai sayur yang kekal. Hume adalah seorang filsuf dan para filsuf yang mendasari teorinya pada kesimpulan-‐kesimpulan ilmiah tidak dapat diabaikan. Namun untuk menilai mereka secara memadai, adalah bijaksana untuk pertama-‐tama menilai sains dan ilmuwan yang terlibat dalam sains.
Teori-‐teori dari berbagai ilmuwan mendukung pandangan Hume. Karena penolakan akan mukjizat begitu sering [terdengar] dan tersebar luas, maka hanya satu contoh penolakan yang akan dikutip di bagian ini. Austin Farrer, dalam serangannya terhadap kekristenan yang ortodoks, menyatakan bahwa secara ilmiah merupakan sebuah
keharusan (dimiringkan pada tulisan asli) untuk menolak percaya bahwa matahari
berhenti untuk Yosua.2 Namun demikian, masalah antara teisme dan ateisme lebih daripada sekedar masalah mukjizat. Beberapa contoh akan dibahas di sini untuk mengantisipasi pembicaraan yang lebih rinci nanti. Dari apa yang dianggap sebagai kesimpulan ilmiah La Mettrie bahwa tidak ada jiwa/roh, Baron d’Holbach menyimpulkan bahwa tidak ada Allah. Beberapa tahun kemudian Cabanis mendukung penyangkalan akan jiwa/roh dengan mengidentikkan pemikiran sebagai sekresi otak. Ilmuwan Jerman bernama Büchner menyangkali bahwa pemikiran adalah sekresi, namun mengidentikkannya sebagai gerak atau perubahan dalam otak, dan menekankan ateismenya dengan lebih tegas lagi. Tulisnya: “Kalau ada tiga orang yang belajar tentang alam, maka dua di antaranya pasti ateis.” Tulisan ini akan membahas bagaimana sains sampai pada posisi ini.
Para teolog yang membalas serangan ini berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Ketika seorang ilmuwan atau seorang filsuf berargumen membantah agama, dia tidak perlu tahu banyak tentang agama. Namun ketika seorang teolog membahas tentang sains, dia harus mengetahui cukup banyak tentang sains. Si ilmuwan dapat lolos dan membahas tentang agama seandainyapun dia hanya mengetahui bahwa orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Roh tak bertubuh. Namun sang teolog diharuskan untuk membahas tentang ruang, waktu, gerak dan
2 perubahan, energi, elektrodinamika, sistem tata surya, teori quantum, teori relativitas, dan lain-‐lain.
Ada hal lain lagi yang para teolog harus ketahui yaitu satu hal yang lebih penting. Di samping sejumlah informasi khusus seperti rincian yang baru disebutkan di atas, si teolog harus memiliki gambaran tentang sains secara keseluruhan. Dia harus memiliki filsafat sains tertentu, yaitu, dia harus memahami apa itu sains. Tentu saja dia tidak dapat membandingkan atau menghubungkan agama dengan sains kecuali dia memahami tentang keduanya. Hal ini juga seharusnya berlaku bagi para ilmuwan. Mungkin benar si ilmuwan bisa mengeritik walaupun pengetahuannya tentang agama hanya sedikit, tetapi dia harus memahami apa itu sains. Banyak ilmuwan yang memiliki informasi teknis yang rinci tentang elektrodinamika dan teori quantum, tetapi mereka tidak memiliki gambaran menyeluruh – bukan hanya terhadap teologi – tetapi juga terhadap sains. Walaupun tampaknya aneh, tetapi seorang seniman terkenal seringkali hanya memiliki sedikit pemahaman tentang apa itu seni. Demikian juga seorang bisa saja merupakan pakar keilmuan tertentu tetapi tidak paham apa sebenarnya sains. Namun argumen apapun yang mendukung atau menentang agama, atau argumen apapun yang diklaim mendapatkan dukungan ilmiah, lebih bergantung pada implikasi filosofis sains bukan informasi rinci sains. Orang harus menempatkan sainsnya ke dalam sebuah filsafat yang bersifat umum. Orang harus mempertimbangkan jangkauan dan keterbatasan sains. Orang harus mengetahui apa sebenarnya sains. Karena itu, bagian terbesar dari buku ini akan mencoba menjelaskan apakah sains itu, disertai upaya untuk menelusuri sejarah sains mulai dari konstruksi teistiknya sampai ke posisi anti-‐religiusnya saat ini. Dengan demikian, pembahasan ini merupakan sebuah sketsa filsafat sains. Baik para ilmuwan maupun para teolog diajak untuk mengikuti argumen yang disajikan. Penulis tidak berasumsi bahwa sang ilmuwan akan lebih tidak senang [terhadap pembahasan ini] daripada sang teolog. Filsafat sains bukanlah pembahasan yang sempit dan tidak penting. Demikian juga agama. Tetapi bagi mereka yang belum mendalami filsafat, sains, atau agama, akan dikemukakan alasan lain – yaitu alasan awal yang mungkin merupakan alasan superfisial – untuk mendorong mereka memberikan perhatian penuh.
Peradaban kita dan ketergantungannya pada telepon dan televisi, mobil dan pesawat jet, perdagangan moderen dan komputer, dipenuhi dengan sains. Pemikiran kontemporer yaitu pemikiran non-‐ilmuwan dan non-‐teolog, banyak kali didasarkan pada pandangan ilmiah tentang dunia. Metode ilmiah dikatakan sebagai pandangan yang terbaik, bahkan satu-‐satunya metode untuk menyelesaikan masalah apapun, sehingga dalam setiap perdebatan, adalah sains dan bukan teologi yang menjadi hakim. Karena secara alamiah orang yang memiliki rasa ingin tahu dan cerdas berkeinginan memahami jamannya, maka dalam konteks ini, dia harus memberikan perhatian yang berkelanjutan kepada sains.
Ini tidak mudah. Sains kontemporer sangat rumit. Namun bukanlah kerumitan atau akumulasi informasi rinci yang tak terhingga banyaknya; atau kerumintan matematika tingkat tinggi, atau bahkan peralatan mahal yang mengirim manusia ke luar angkasa yang merupakan kesulitan terbesar dan terpenting. Hal yang paling sederhana justeru merupakan hal yang paling sulit. Tidak ada yang lebih sulit daripada fenomena sederhana seperti sebuah kelereng bergulir dari satu sisi meja ke sisi yang lain. Adalah salah seorang ilmuwan terbaik jaman moderen yang dibingungkan oleh fakta bahwa ketika seorang memungut satu batang pensil pada ujungnya yang satu, maka ujung yang lain juga ikut.
Masalah-‐masalah sederhana ini merupakan masalah mendasar sehingga sebenarnya merupakan masalah lama dan sudah digumuli manusia pada jaman-‐jaman sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa suprastruktur sains di setiap jaman tergantung pada bagaimana orang menjelaskan sebuah kelereng bergulir atau sebuah batu jatuh. Karena itu monograf ini akan membagi sejarah sains menjadi tiga bab sesuai dengan tiga era ilmiah yang terutama ditandai oleh pandangannya terhadap bagaimana benda bergerak.
Pertama, akan dibahas “Jaman Kuno dan Motion3.” Motion yaitu fakta yang jelas bahwa benda bergerak dan berubah, merupakan fenomena ilmiah yang paling mendasar dan paling universal. Studi tentang gerak dan perubahan telah dimulai di Yunani dua ribu lima ratus tahun lalu. Karena pemikiran yang muncul kemudian menyombongkan superioritasnya walaupun sebenarnya secara relatif tidak menyumbang solusi yang berarti terhadap kesulitan utama [terkait gerak dan perubahan], maka argumen yang dikemukakan akan tetap mempertahankan bentuk kunonya.
Kedua, selanjutnya akan dibahas [pandangan] mekanisme moderen. Pandangan ini merupakan [pandangan] fisika empiriko-‐matematis yang dimulai oleh Galileo dan dikembangkan tanpa adanya gebrakan yang serius sampai permulaan abad kedua puluh. Karena figur Sir Isaac Newton yang dominan pada jaman ini, maka sains jaman ini disebut “Sains Newton” atau “Sains Newtonian.”
Ketiga, sejumlah eksperimen yang membingungkan dilakukan pada akhir abad ini4. Perubahan dalam teori ilmiah yang diawali oleh eksperimen-‐eksperimen ini terbukti lebih revolusioner dibanding perkiraan semula. Kemajuan-‐kemajuan terakhir membuat para ilmuwan terkejut. Segala sesuatu berubah menjadi kocar-‐kacir dan tidak teratur sehingga kita tergoda untuk memberi judul “Kebingungan Kontemporer” pada bagian ketiga. Namun untuk tidak menakut-‐nakuti mereka yang pemalu dan agar tidak terlebih dahulu memberikan penilaian tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi, maka bagian tersebut diberi judul yang tidak menakutkan yaitu, “Abad Kedua Puluh.”
3 [Catatan Penterjemah: Penterjemah kesulitan menemukan padanan kata motion dalam bahasa Indonesia. Kata ini memiliki
makna gerak dan perubahan].
1.
J
AMANK
UNO DANG
ERAK&
P
ERUBAHAN(M
OTION)
Sains, atau setidaknya bab pertama buku ini, dimulai dengan studi mengenai gerak dan perubahan (motion). Seandainya tidak ada gerak dan perubahan, maka tidak akan ada sains. Fisika bisa tetap ada tanpa adanya listrik, dan zoologi tidak secara mutlak membutuhkan kupu-‐kupu. Namun keduanya tidak akan ada tanpa gerak dan perubahan (motion). Baik dalam fisika maupun zoologi, fenomena yang dipelajari masing-‐masing bisa merupakan penyebab atau akibat dari gerak dan perubahan, atau malah gerak dan perubahan itu sendiri.
Gerak atau perubahan merupakan bagian yang paling familiar dari pengalaman kita. Tanaman bertumbuh dan planet berputar. Hampir tidak ada yang lebih sederhana daripada sebatang pensil atau sebuah bola menggelinding di atas meja dan akhirnya jatuh. Namun demikian hampir tidak ada yang lebih sulit dijelaskan dari pada keduanya. Sebagian besar orang mengasumsikan bahwa gerak dan perubahan itu memang hal yang lumrah dan tidak pernah berpikir tentangnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa fenomena tersebut harus dijelaskan. Mereka gagal untuk memahami bahwa gerak dan perubahan memunculkan masalah. Tujuan pertama dari bagian ini adalah mengangkat kesulitan-‐kesulitan tersebut. Sama seperti seorang anak yang diantar ayahnya untuk berkeliling dengan menggunakan mobil dan mulai bertanya-‐tanya bagaimana mobil bekerja serta mulai belajar tentang prinsip-‐prinsip pembakaran dalam mesin, demikian juga mahasiswa, ilmuwan, dan para teolog harusnya berhenti menganggap gerak dan perubahan sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya dan mulai memahami bahwa gerak dan perubahan membawa teka-‐teki tersendiri.
P
ARADOKSZ
ENOSalah satu teka-‐teki tersebut dibungkus dengan ketrampilan sastra tinggi dan dikemukakan oleh seorang filsuf Yunani Kuno bernama Zeno dari Elea (sekitar 450 SM). Cerita yang dikisahkannya begitu baiknya sehingga realitas intelektualnya tersembunyi di balik menariknya kisah tersebut. Cerita tersebut adalah cerita tentang pertandingan lari terkenal antara Achilles dan seekor kura-‐kura.
Salah satu fabel Aesop mengisahkan seekor kura-‐kura yang memenangkan sebuah pertandingan lari dengan seekor kuda jantan karena si kuda tertidur akibat terlalu percaya diri. Namun kisah Zeno jauh lebih baik dari kisah Aesop. Si kura-‐kura murni menang karena kecerdasan. Si kura-‐kura menantang Achilles untuk beradu dalam sebuah pertandingan lari. Persyaratan perlombaan yang digunakannyalah yang menunjukkan kecerdasannya. Persyaratannya sederhana: si kura-‐kura dibiarkan berlari terlebih dahulu sampai jarak tertentu, dan Achilles tidak dapat dianggap sebagai pemenang kecuali dia melewati si kura-‐kura. Persyaratan yang sangat sederhana. Saat pistol Zeno berbunyi, pertandingan lari yang paling terkenal sepanjang
2 sejarah tersebut dimulai. Achilles yang kecepatan larinya sangat melegenda itu tiba pada tempat dimana si kura-‐kura telah tiba sebelumnya. Namun si kura-‐kura tidak berada di sana lagi. Pada saat itu, si kura-‐kura sudah maju walaupun lambat. Pasti lambat, namun dia terus maju. Tidak seperti cerita Aesop – karena ketika belum mendahului si kura-‐kura – Achilles tidak berhenti untuk tidur siang. Dia terus berlari. Ketika si Achilles yang kecepatan larinya melegenda itu sampai pada titik dimana kura-‐kura berada sebelumnya, si kura-‐kura jelas tidak berada di sana lagi. Pada waktu itu, walaupun tidak jauh, dia telah maju lagi. Memang tidak jauh, tetapi dia terus maju. Achilles masih tetap tidak sama dengan kuda jantan dalam kisah Aesop karena dia terus berlari. Ketika si Achilles yang kecepatan larinya melegenda itu sampai pada titik dimana kura-‐kura berada sebelumnya, si kura-‐kura jelas tidak berada di sana lagi. Pada waktu itu, walaupun tidak jauh, dia telah maju lagi. Memang tidak jauh, tetapi dia terus maju. Cerita ini terus bertambah panjang walaupun si Achilles tidak berhenti untuk tidur siang. Inti dari kisah ini adalah setiap kali Achilles tiba di tempat dimana si kura-‐kura sebelumnya berada, si kura-‐kura tidak lagi berada di sana. Karena hal ini terjadi terus-‐menerus, maka si Achilles yang kecepatannya melegenda itu tidak pernah bisa melewati si kura-‐kura dari Elea.
Sampai di sini sebagian besar orang akan tertawa mendengar cerita ini dan mereka memilih mengalihkan pembicaraan. Siapa yang begitu bodoh untuk menjelaskan teka-‐teki ini, pikir mereka. Tetapi pertanyaan sebenarnya adalah siapa yang cukup pandai menjelaskan teka-‐teki ini? Walaupun dua ribu tahun telah lewat sejak Zeno mengemukakan kisah ini, tidak ada solusi yang secara universal dianggap telah menyelesaikan masalah yang diangkat Zeno. Satu dari jawaban superfisial yang pernah dikemukakan adalah dengan cara mengukur sejauh mana Achilles berlari dalam 10 menit (jawabannya mudah yaitu sepuluh mil) dan mengukur sejauh mana si kura-‐kura merangkak dalam jangka waktu yang sama (yaitu sekitar tiga puluh meter). Perhitungan mendasar seperti ini menunjukkan bahwa, jika si kura-‐kura sudah mendahului Achilles sejauh empat puluh atau enam puluh meter, maka Achilles dengan mudah mendahului si kura-‐kura. Penyelesaian ini superfisial dan Zeno tidak menerimanya, karena penyelesaian ini mengasumsikan sebuah faktor yang tidak diakui sebagai benar oleh Zeno. Tentu saja jika Achilles dapat berlari selama 10 menit, maka dia dapat dengan mudah mendahului teman kita si kura-‐kura yang lambat tetapi sabar itu. Tetapi kecemerlangan si kura-‐kura dalam menentukan persyaratan awal pertandingan lari ini bergantung pada fakta bahwa Zeno tidak bersedia mengakui bahwa Achilles dapat berlari selama sepuluh menit. Bahkan dia tidak bersedia mengakui bahwa Achilles dapat berlari sama sekali.
Dengan menghilangkan kata-‐kata berbunga-‐bunganya, hal yang dikemukakan Zeno sebenarnya langsung pada sasaran. Coba renungkan kelereng yang menggelinding dari satu ujung meja ke ujung yang lain. Atau kalau anda mau sedikit ilmiah, coba renungkan sebuah atom yang bergerak dari titik tertentu ke titik lain dalam ruang. Sebelum benda yang bergerak itu mencapai titik akhir, pasti dia harus terlebih dahulu melewati setengah dari jarak antara titik awal dengan titik tujuan karena tidak
mungkin si benda mencapai titik akhir tanpa melewati titik tengah. Namun agar mencapai titik tengah ini, si benda harus terlebih dahulu melewati seperempat jarak antara titik awal dan titik tujuan. Agar mencapai titik seperempat jarak antara titik awal dan titik tujuan ini, si benda harus terlebih dahulu bergerak melewati titik satu per delapan, satu per enam belas, dan seterusnya dari jarak tersebut. Namun demikian, frase “dan seterusnya,” merupakan rangkaian yang tidak terhingga dan hasilnya adalah benda yang bergerak tersebut harus melewati rangkaian yang tak terhingga sebelum mulai bergerak. Namun karena rangkaian tidak terhingga tersebut merupakan rangkaian yang tidak dapat selesai, maka tidak terelakkan bahwa sebuah kelereng atau satu atom tidak pernah bisa mulai bergerak. Gerak dan perubahan bukanlah sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, Achilles tidak pernah mampu melewati si kura-‐kura.
Reaksi pertama dari pemikiran Amerika yang sehat, yaitu pikiran yang tidak pernah cukup tertarik dengan aktivitas intelektual dan masih berada dalam kekacauan yang tidak berdisiplin, adalah menganggap semua itu sebagai omong kosong. Mereka akan berkata bahwa tentu saja gerak dan perubahan adalah sesuatu yang mungkin terjadi! Mengapa harus khawatir tentang itu? Namun ada alasan yang baik untuk khawatir. Mobil juga bergerak, bukan? Setidaknya benar bahwa kalau ada cacat dalam argumen Zeno, maka mobil bergerak. Adalah orang Amerika yang tidak intelek itu yang akan berpikir bahwa merupakan sesuatu yang bernilai untuk mempelajari mesin pembakaran internal. Jika teknik permobilan pada akhirnya akan membutuhkan pengetahuan tentang matematika, maka orang tidak boleh terantuk pada studi tentang gerak dan perubahan (atom bergerak, bukan?) hanya karena studi tentang gerakan melibatkan logika dan rangkaian tidak terhingga.
Satu lagi upaya superfisial untuk menyelesaikan masalah ini bergantung pada upaya menyeimbangkan ketidakberhinggaan pembagian ruang dengan ketidakberhinggaan pembagian waktu. Dengan demikian, jika Achilles harus melewati rangkaian ruang yang tidak terhingga, maka setidaknya dia mempunyai waktu yang tidak terhingga untuk melakukannya. Tentu saja waktu yang tidak terhingga itu cukup lama, sehingga dengan segera dia akan melewati si kura-‐kura. Tetapi penyelesaian seperti ini hanya akan menggandakan masalah. Kesulitan yang ditimbulkan pembagian yang tak terhingga akan sama efektifnya menghambat dimulainya waktu seperti halnya dia menghambat dimulainya gerak. Untuk menghindari kesulitan seperti itu – yaitu satu kesulitan yang sama namun yang diterapkan dua kali – Aristotel (Physics, VIII, 8) berargumen bahwa benda yang dalam keadaan bergerak tidak melewati rangkaian titik yang tak terhingga. Menurut Aristotel, Zeno memperlakukan satu titik yaitu titik tengah sebagai dua. Dia menganggapnya sebagai akhir sekaligus awal gerak dan perubahan. Namun ini hanya terjadi kalau benda yang bergerak tersebut berhenti pada titik ini lalu mulai lagi bergerak. Jika benda tersebut berada dalam gerak dan perubahan yang berkelanjutan, maka tidak ada titik tengah yang teraktualisasi. Titik-‐titik dan pembagian-‐pembagian ini hanyalah potensi dan sebenarnya tidak
4 aktual. Karena itu, walaupun tidak mungkin melewati rangkaian titik aktual yang tak terhingga jumlahnya, namun tidak ada kesulitan untuk melewati rangkaian titik-‐titik potensial [yang tak terhingga].
Jika solusi ini menimbulkan kecurigaan – dan tampaknya ada sesuatu yang aneh dengan penyelesaian ini, bukan? – mungkin paradoks Zeno bukan sebuah omong kosong seperti kita pikirkan ketika pertama kali kita mendengarnya. Mungkin memang gerak dan perubahan merupakan sesuatu yang sulit dipahami.
Ada juga upaya lain untuk menjawab Zeno. Orang mungkin mengajukan protes bahwa karena rangkaian yang tak terhingga tidak mempunyai titik akhir, maka Zeno tidak dapat mengharuskan benda bergerak tersebut untuk mencapai titik akhir sebelum dia mulai bergerak. Dia tidak dapat menegakkan sesuatu yang dia sendiri akui tidak ada sebagai sebuah penghambat gerak dan perubahan. Namun pertanyaannya adalah apakah Zeno mengatakan bahwa ada keharusan untuk mencapai titik akhir? Bukankah paradoksnya tetap akan ada jika seandainya dia hanya mengatakan bahwa gerak dan perubahan tidak mungkin dimulai karena ada banyak titik dalam rangkaian tersebut? Rangkaian itu tentu saja ‘cukup panjang’.
Namun mungkin pendekatan lain akan memungkinkan benda tersebut bergerak. Mari kita andaikan bahwa dalam ruang yang terbatas memang terdapat titik-‐titik yang tak terbatas. Mari kita andaikan bahwa untuk bergerak dari sini ke sana, satu benda harus melewati semua titik itu. Namun mari kita sangkali bahwa benda tersebut harus melewati setiap titik tersebut. Artinya kita mengklaim bahwa Zeno mencampuradukkan semua [titik] yang bersifat kolektif dengan setiap [titik] yang bersifat distributif. Secara salah, dia beranggapan bahwa hal yang berlaku bagi titik-‐titik secara kolektif berlaku juga bagi titik-‐titik secara distributif. Namun ada banyak contoh dimana banyak individu dari satu hal kolektif memiliki ciri yang berbeda dari setiap individu distributif. Setiap paku dalam kotak besar ini dapat dengan mudah diangkat, tetapi sangat sulit mengangkat mereka semua sekaligus. Demikian juga, apa yang berlaku untuk masing-‐masing kasus tidak selamanya berlaku untuk semua kasus secara keseluruhan. Aristotel berargumen bahwa walaupun satu teorema sudah terbukti berlaku bagi setiap jenis segitiga, tetapi itu tidak berarti bahwa teorema itu berlaku bagi semua segitiga secara keseluruhan. Atau contoh lain, setiap elemen dari satu senyawa bisa saja merupakan racun (misalnya NaCl) [ketika berdiri sendiri], tetapi secara keseluruhan keduanya baik untuk dimakan. Karena itu Zeno salah karena dia menegaskan bahwa benda yang bergerak harus melewati setiap titik, sedangkan sebenarnya benda tersebut hanya perlu melewati semuanya.
Apakah solusi ini kelihatan mencurigakan juga? Sebaiknya kita berhati-‐hati karena tidak terlalu banyak solusi di luar sana dan kalau kita tidak memutuskan mana yang akan kita pegang [sebagai benar], maka kita mungkin terpaksa harus menyimpulkan bahwa gerak dan perubahan adalah sesuatu yang tidak memungkinkan. Kalau demikian, bagaimana nasib sains yang malang ini?
A
JARANH
ERAKLITUST
ENTANGP
ERUBAHAN YANGT
ERUS-‐M
ENERUSKarena kita tidak dapat berhenti dan menunggu selama dua ribu tahun lagi untuk menyusun jawaban yang lebih baik bagi [keberatan] Zeno, maka kita harus melanjutkan pembicaraan seolah-‐olah keberatan Zeno tidak pernah ada. Mari kita hilangkan keberatan tersebut dari ingatan kita. Mari kita putuskan untuk tidak memikirkannya sama sekali. Supaya tidak membuang waktu lagi, kita harus mengasumsikan bahwa benda-‐benda atau segala sesuatu bergerak. Salah satu filsuf yang mempelajari gerak dan perubahan, atau filsuf pertama yang menjadikan gerak dan perubahan sebagai obyek studi utamanya menyimpulkan bahwa bukan saja segala sesuatu berada dalam keadaan bergerak, tetapi juga segala sesuatu terus-‐menerus mengalami gerak dan perubahan yang konstan.
Slogan Heraklitus (kira-‐kira 500 SM) adalah, “Segala sesuatu mengalir.” Dia mengumpamakan alam semesta sebagai sebuah sungai dimana air yang baru terus-‐menerus menggantikan air yang sudah lewat. Tidak ada yang diam. Segala sesuatu berubah. Karena itu, orang tidak dapat melangkah masuk ke dalam sungai yang sama dua kali. Jika sungai terdiri dari air, dan air tidak pernah sama, maka sungai tidak pernah sama; sehingga tidak ada seorangpun yang dua kali pernah melangkah masuk ke dalam sungai yang sama. Jika kita berupaya untuk menghindari kesimpulan tersebut dengan menekan ilustrasi ini dan berkata bahwa selain air, sungai memiliki dasar dan tepi, maka Heraklitus akan menjawab bahwa dasar dan tepi sungaipun terus mengalami erosi dan tidak pernah diam. Bahkan kerikil yang paling kecil sekalipun terus-‐menerus berubah. Tidak ada satu apapun yang tetap sama.
Ada alasan lain lagi mengapa orang tidak dapat melangkah masuk ke dalam sungai yang sama dua kali. Bukan hanya sungainya berubah, tetapi orangnya juga berubah. Tidak ada satu aspekpun dari orang tersebut yang tetap sama. Karena itu pada saat dia melangkahkan kakinya ke dalam sungai untuk kedua kalinya, dia bukan orang yang sama lagi.
Walaupun Heraklitus hidup pada jaman Yunani kuno, tetapi universalitas gerak bukanlah satu gagasan yang aneh pada jaman moderen. Dulu atom dianggap sebagai sesuatu yang secara internal stabil dan keras. Namun dengan adanya teknik pembelahan atom, maka muncul pandangan baru bahwa atom itu seperti miniatur tata surya yang bagian-‐bagiannya berputar mengelilingi sebuah inti [atom]. Lebih jauh lagi, sekarang inti atom dan satelit-‐satelitnya tidak dipandang lagi sebagai bulatan padat, tetapi seluruh bagian alam semesta ini dianggap sebagai bidang energi yang terus-‐menerus berdenyut dimana tidak ada satupun yang stabil. Tidak diragukan bahwa para ilmuwan moderen dan filsuf kontemporer berbeda pendapat mengenai jawaban rinci terhadap pertanyaan-‐pertanyaan utamanya. Tetapi setidaknya di jaman kita, gagasan mengenai perubahan universal bukanlah gagasan yang aneh. Karena itu
6 implikasi yang Heraklitus dan para muridnya tarik dari pandangan mereka bahwa segala sesuatu mengalir merupakan hal yang perlu kita selalu ingat.
Adalah Kratylus, murid Heraklitus dan bukan Heraklitus sendiri yang menarik kesimpulan-‐kesimpulan dari pandangan Heraklitus. Ketertarikan utama kita di sini tentu saja terkait dengan analisa dari konsep perubahan universal dan bukan perkembangan historis rincinya. Karena itu pertanyaan yang patut diajukan adalah: Jika segala sesuatu berubah, jika tidak ada satupun yang diam, apa implikasinya? Plato berkomentar pedas bahwa penganut ajaran Heraklitus mempraktekkan prinsipnya melalui pandangan mereka yang terus berubah. Mereka tidak pernah menjawab pertanyaan yang sama dengan cara yang sama dua kali. Pikiran mereka terus mengalir seperti sungai. Namun Kratylus, mampu menghindari celaan Plato. Setiap kali diajukan pertanyaan, apapun pertanyaannya, dia selalu memberikan jawaban yang sama. Namun jawabannya bukan dalam bentuk kata, tetapi lambaian tangan.
Mungkin Kratylus konsisten. Mungkin teori tentang gerak dan perubahan universal memustahilkan komunikasi menggunakan bahasa [yang dapat dipahami]. Mari kita pikirkan bersama. Jika sungai terus-‐menerus berubah, dapatkah dia disebut sungai? Ketika kita menyebut sesuatu hal sebagai sungai, atau bahkan awan, maka hal itu haruslah tetap sungai atau awan selama beberapa waktu. Sungai biasanya bertahan lebih lama daripada awan. Namun bahkan ketika sesuatu disebut awan, maka dia harus bertahan cukup lama untuk dikenali dan dinamai demikian. Paling tidak ada satu hal yang tidak berubah. Kalau tidak, maka kita tidak dapat menyebutnya demikian. Namun demikian, tidak berarti bahwa semua aspek dari sungai itu harus tak berubah. Tidak pula berarti bahwa semua aspek dari sungai itu harus tak berubah untuk selama-‐lamanya. Namun kecuali sesuatu (dalam hal ini esensi sebagai sungai) tidak berubah menjadi sesuatu yang lain (bukan sungai), maka nama yang diberikan itu tidak memiliki makna. Karena itu, keniscayaan dari komunikasi yang menggunakan bahasa yang dapat dipahami bergantung pada keberadaan entitas yang tidak berubah untuk waktu yang terhingga, dan sebaliknya teori tentang perubahan universal memustahilkan adanya komunikasi dan pengetahuan.
Dalam Timaeus, Plato memberikan ilustrasi tentang hal ini. Dia memberi contoh seorang pemahat terampil yang sedang membuat patung dari emas. Emas relatif lunak dan dapat dibentuk dengan cepat. Sebagai sebuah ilustrasi kita dapat mempercepat prosesnya demi menekankan hal yang hendak dikatakan di sini. Pemahat tersebut membuat patung Zeus dan salah seorang yang lewat menanyakan kepada anda apa yang sedang dibuat si pemahat. Si pemahat tidak berhenti membentuk emas tersebut ketika bentuk Zeus mulai terbentuk. Dia melanjutkan pekerjaannya dengan kecepatan yang tidak berubah. Sebelum anda menyebutnya Zeus, emas itu tidak berbentuk Zeus
lagi. Mungkin emas tersebut mulai tampak seperti Sokrates, atau centaur5. Jadi setiap kali anda merasa pantas menyebutnya sesuatu, emas itu telah berubah menjadi hal lain. Yang dia buat bukan sesuatu. Bukan apa-‐apa.
Tentu saja orang dapat mengatakan bahwa itu emas. Mungkin bukan Zeus atau centaur, tetapi jelas itu sesuatu dan sesuatu itu adalah emas. Menanggapi pernyataan seperti ini kita harus mengembangkan lebih lanjut implikasi dari cerita tersebut sehingga lebih eksplisit daripada yang dikemukakan Plato. Kita tergoda untuk menyebutnya emas, karena emas tetap tidak berubah selama proses tersebut. Tetapi andaikan bahwa emas itu tidak tetap menjadi emas. Andaikan bahwa selama proses pemahatan itu si emas berubah jadi tanah liat. Andaikan lagi bahwa sesaat setelah hampir menjadi tanah liat, bahan itu berubah lagi menjadi lilin. Dengan keadaan seperti itu, bagaimana anda menjawab pertanyaan, “Apakah itu?” Tidak hanya dia bukan Zeus, tetapi dia juga bukan emas; bukan pula tanah liat; atau lilin; atau apa-‐apa sama sekali. Dengan kata lain, jika sesuatu [terus] berubah, dia tidak ada. Atau secara umum, jika segala sesuatu berubah, maka sesuatupun tidak ada. Perubahan universal berimplikasi ketiadaan dan hal ini berimplikasi bahwa perubahan tidaklah nyata dan realitas tidak berubah.
Sekali lagi ini kedengaran seperti Zeno! Apakah kita telah sekali lagi menunjukkan bahwa gerak dan perubahan merupakan sebuah ketidakmungkinan?
A
RISTOTELIANISMEPuncak dari studi tentang gerak dan perubahan pada jaman kuno adalah karya Aristotel. Sebelum kita membahas bagian yang rumit dari teorinya, jawabannya terhadap Heraklitus akan menjadi titik awal pembahasan kita. Aristotel setuju bahwa jika segala sesuatu selalu berubah, maka sesuatupun tidak ada dan pengetahuan menjadi tidak mungkin. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa pastilah ada sesuatu yang tidak berubah.
Penegasan bahwa ada sesuatu yang tidak berubah, setidaknya untuk periode yang berhingga, tidak hanya tergantung pada keinginan Aristotel untuk mendukung kemungkinan akan adanya pengetahuan, walaupun kemungkinan akan adanya pengetahuan tentu saja tergantung pada adanya sesuatu yang tidak berubah. Tetapi keberadaan sesuatu yang tidak berubah juga secara langsung terkait dengan keniscayaan gerak dan perubahan. Dengan kata lain, agar sesuatu berubah dan bergerak, harus ada hal yang tidak berubah dan bergerak. Situasi dimana gerak terjadi adalah sesuatu yang sedikit rumit. Ketika kita mengungkapkan contoh gerak atau perubahan misalnya, kita berkata bahwa daun berwarna hijau berubah menjadi coklat, atau anak yang tidak berpendidikan menjadi seorang yang berpendidikan, atau
5 [Catatan Penterjemah: Makhluk dalam mitologi Yunani Kuno yang memiliki badan bagian atas berupa manusia dan badan