• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia bahkan sampai meninggalpun manusia masih membutuhkan tanah. Kebutuhan manusia terhadap tanah untuk pembangunan dan pemukiman dewasa ini semakin meningkat dengan pesat, sedangkan keberadaanya semakin terbatas menyebabkan peranan tanah dalam kehidupan manusia semakin penting. Hal ini disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah.

Sebagai Negara yang sedang membangun, Indonesia mempunyai masalah yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, persediaan pangan, papan, lingkungan, energi serta pertumbuhan penduduk yang cepat di wilayah perkotaan. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan pemukiman menjadi semakin tinggi. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi di wilayah perkotaan perlu adanya pembangunan sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kesejahteraan masyarakat di wilayah kota. Pembangunan yang dilaksanakan tersebut akan membawa implikasi yang luas terhadap tanah yang terkait dengan administrasi pertanahan, aspek pajak atas tanah dan pengelolaan tata guna tanah itu sendiri.

Peran pemerintah dalam mengelola sumber daya tanah sangat diperlukan, tidak hanya terbatas pada ketersediaan kelembagaan tanah tetapi juga memerlukan upaya untuk menyempurnakan mekanisme yang dapat nengalokasikan sumber daya tanah agar tanah dapat dimanfaatkan secara lebih sejahtera, adil dan merata

Indonesia termasuk salah satu Negara Asia yang intervensi pemerintah terhadap masalah tanah lemah. Namun demikian, Indonesia telah membuat kebijakan untuk pembangunan tanah perkotaan, antara lain: guided land development, tukar menukat lahan, konsolidasi tanah (land consolidation), dan penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah (Mezenes dalam Sudjito, 1999).

Sebagai salah satu wilayah Kabupaten yang merupakan jalur utama yang menghubungkan Kota Surakarta dengan Kabupaten Ngawi yang didukung oleh sarana transportasi yang memadai, maka Kabupaten Sragen telah mengalami

(2)

2 perkembangan yang cukup pesat terutama di sektor industri dan perumahan. Dalam hal pertumbuhan penduduk, Kabupaten Sragen mengalami peningkatan yang cukup pesat. Laju pertumbuhan penduduk tiap tahun cenderung mangalami peningkatan dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang cukup sinifikan.

Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Sragen berada di bagian timur Provinsi Jawa Tengah terletak diantara 110 45 s.d. 111 10 Bujur Timur serta 7 15 s.d. 7 30 Lintang Selatan, dengan luas wilayah 941,55 Km2 atau 94.155 Ha. Kabupaten Sragen dilalui oleh jalur jalan arteri primer yang menghubungkan Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur. Secara administrasi Kabupaten Sragen terbagi menjadi 20 kecamatan, 8 kelurahan dan 200 desa. Secara fisiologis, wilayah Kabupaten Sragen terbagi atas 40.037,93 Ha (42,52%) untuk lahan basah (sawah) dan 54.117,88 Ha (57,48%) untuk lahan kering. Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan ketinggian rata-rata 109 meter diatas permukaan laut. Sragen mempunyai iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara 19o - 31 º C. Curah hujan rata-rata di bawah 3000 mm per tahun dengan hari hujan di bawah 150 hari per tahun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik sampai dengan akhir tahun 2012 jumlah penduduk di Kabupaten Sragen mencapai 891.832 jiwa dan sampai dengan akhir tahun 2013 mencapai 894.211 jiwa, mengalami kenaikan 0,27% atau sebesar 2.379 jiwa.

Jika dilihat dari piramida penduduk, kelompok usia produktif lebih besar dibandingkan penduduk kelompok usia tidak produktif. Dengan demikian, maka kebutuhan akan lahan untuk pemukiman semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan adanya pemanfaatan lahan pertanian, yaitu akan memicu terjadinya konversi lahan pertanian ke kegiatan non pertanian. Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan seperti pemukiman memaksa alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian dengan segala konsekuensinya (Sumardjono, 2008).

Pengkaplingan tanah yang merupakan alih fungsi (konversi) dari lahan pertanian telah banyak dilaksanakan dibeberapa wilayah di Kabupaten Sragen oleh badan hukum swasta maupun perorangan. Pengkaplingan tanah merupakan suatu

(3)

3 usaha yang berkaitan dengan penyediaan tanah yang digunakan untuk pemukiman dalam proses pembangunan tanah. Kelurahan Plumbungan yang berada di wilayah Kecamatan Karangmalang adalah daerah pengkaplingan tanah terluas di Kabupaten Sragen. Daerah ini merupakan salah satu daerah pengembangan pemukiman sehingga banyak mengalami perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian.

Dari pelaksanaan usaha pengkaplingan tanah yang telah banyak dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum swasta inilah kemudian muncul permasalahan. Banyak tanah kaplingan merupakan konversi dari tanah pertanian tersebut justru menghilangkan nilai manfaat dari tanah itu sendiri karena tidak dipergunakan dan dimaanfaatkan sesuai dengan peruntukannya oleh pemilik tanah tersebut. Oleh karena itu, banyak tanah kapling yang merupakan sumber daya tanah yang sampai saat ini masih berupa tanah kosong, tidak dikelola dan dimanfaatkan oleh pemiliknya dan dibiarkan seperti tanah terlantar. Pembangunannya terkesan lambat dan lama, padahal sebelumnya merupakan lahan pertanian yang produktif.

I. 2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dihasilkan perumusan masalah yaitu :

1. Faktor apa yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya, bahkan cenderung membiarkan tanahnya terlantar.

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari pembiaran tanah terhadap pembangunan tanah di Kabupaten Sragen?

3. Sejauh mana pengkaplingan tanah tersebut telah memenuhi manfaat sesuai dengan sistem administrasi pertanahan yang baik?

I. 3. Pembatasan Masalah

Dalam pembangunan tanah terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan (Hubacek dan Vazquez dalam Prijono, 2009), yaitu faktor fisik, faktor institusi yang berupa „rules of the game’ (peraturan) dan faktor ekonomi yang membentuk terwujudnya penggunaan tanah sekarang. Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi permasalahan yang ada dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

(4)

4 1. Faktor Fisik, yang meliputi kuantitas bidang-bidang tanah kapling yang disediakan untuk pemukiman di Kelurahan Plumbungan termasuk status hak dan jenis penggunaannya serta kesesuaiannya terhadap kebijakan tata ruang Kabupaten Sragen.

2. Faktor Institusi, kesesuaian terhadap peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku, seperti perijinan tentang Perubahan Penggunaan Tanah dan tentang Tata Guna Tanah.

3. Faktor Ekonomi, sikap dan/atau alasan pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya.

I. 4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan tidak dibangunnya tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah, implikasi pembiaran tanah kapling terhadap pembangunan tanah dan memberi saran sebagai kontribusi terhadap kebijakan pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman di Kabupaten Sragen.

I. 5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat dipergunakan sebagai masukan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Sragen dan Pemerintah Kabupaten Sragen serta instansi yang terkait dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pengkaplingan tanah. 2. Dapat digunakan didalam ilmu pengetahuan sebagai referensi di bidang

administrasi pertanahan.

I. 6. Tinjauan Pustaka

Setiawan (2008) meneliti mengenai alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen. Studi implementasinya adalah mengkaji mengenai alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian tersebut apakah telah sesuai dengan tata guna tanah dan tata ruang pemerintah daerah setempat atau belum.

(5)

5 Efendi (2008) dalam penelitiannya menganalisis perubahan penggunaan tanah terhadap rencana umum tata ruang Kota Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang Tahun 2002-2011. Penelitian menggunakan analisis spasial overlay secara time series berupa peta penggunaan tanah kawasan berbasis ijin perubahan penggunaan tanah faktualtahun 2002-2007 skala 1:10.000 untuk mengetahui arah gerak perubahan penggunaan tanah persawahan dan perumahan, kesesuaian perubahan penggunaan tanah dengan RUTRK Kecamatan Mertoyudan Tahun 2002-2011 serta mengidentifikasi penyebab perubahan penggunaan tanah.

Setiadi (2007) dalam penelitiannya mengkaji tentang perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui perkembangan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Umbulharjo, meliputi kecenderungan perubahan penggunaan lahan serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga hasilnya dapat dijadikan pedoman untuk antisipasi pengendalian pembangunan kota.

Rohmadiani (2008) melakukan penelitian tentang Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Jalur Pantura Kecamatan Pemanukan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani dari aspek struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan pertanian, dan migrasi. Sasaran yang dicapai meliputi: (1) teridentifikasinya karakteristik perubahan guna lahan di wilayah studi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan guna lahan, (2) teridentifikasinya dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani dalam perspektif makro (skala wilayah) dan mikro (skala rumah tangga petani).

Sudjito (1999) dalam penelitiannya mengulas tentang kajian yuridis administratif program konsolidasi tanah perkotaan di Ungaran. Studi implementasinya adalah mengkaji efek maupun dampak program konsolidasi tanah perkotaan terhadap penataan lingkungan, kelancaran suplai tanah dan efisiensi penggunaan tanah.

Semantara penelitian yang akan dilakukan secara spesifik mengkaji tentang faktor-faktor yang menyebabkan tanah kapling banyak yang tidak dibangun dan dibiarkan terlantar oleh pemiliknya serta implikasinya terhadap pembangunan tanah

(6)

6 di Kabupaten Sragen. Dari analisis tersebut akan dapat diambil kesimpulan dan memberikan saran terhadap kebijakan pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman di Kabupaten Sragen.

I. 7. Landasan Teori

Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam pemecahan masalah yang ada dalam penelitian ini.

I. 7. 1. Penatagunaan Tanah

Istilah tata guna tanah juga dikenal dengan dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria (Mertokusumo, dkk, 1998). Oleh karena itu, istilah yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:

1. Tata Guna Tanah (land use planning) 2. Tata Guna Air (water use planning)

3. Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)

Ada beberapa definisi tentang tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:

a. Tata Guna Tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.

(http://www.pengurusantanah.net/pengertian-tata-guna-tanah.html)

b. Tata Guna Tanah adalah kegiatan penataan,penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.

(http://www.pengurusantanah.net/pengertian-tata-guna-tanah.html)

c. Tata Guna Tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan

(7)

7 swadaya masyarakat sesuai dengan daftar skala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tertib penggunaan tanah, sedangakan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.

(http://www.pengurusantanah.net/pengertian-tata-guna-tanah.html) Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:

1. Adanya serangkaian kegiatan

Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaannya.

2. Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana

Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah: lestari, optimal, serasi, dan seimbang.

3. Adanya tujuan yang hendak dicapai

Ialah untuk tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.

d. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui peraturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangakan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orangan, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

(8)

8 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 TAhun 1960 pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alamiah maupun buatan manusia.penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.

I.7.1.1. Asas-asas Tata Guna Tanah.Perencanaan tata agrarian harus didasarkan pada tiga prinsip (Sumarto, 2010):

1. Prinsip Penggunaan Aneka (Principle of Multiple Use). Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agrarian dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.

2. Prinsip Penggunaan Maksimum (Principle of Maximum Production). Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agrarian diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.

3. Prinsip Penggunaan Optimum (Principle of Optimum Use). Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agrarian dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan atau mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.

Kebijakan tata guna tanah yang telah dan akan ditempuh dalam penyediaan tanah menggunakan dua asas yaitu ATLAS dan LOSS (Sumarto, 2010):

1. ATLAS

a. Aman (dari penyerobotan, penjarahan, dikuasai dan diduduki oleh pihak lain, dari sengketa batas dengan tetangga dan ketidakpastian hak atas tanah).

b. Tertib (tertib penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka meningkatkan tertibpemeliharaan tanah dan lingkungan hidup).

(9)

9 d. Asri (bidang tanah teratur dan tertata, tersedia fasilitas social dan umum

yang memadai, tersedia taman dan tempat bermain).

e. Sehat (untuk daerah perkotaan, dicapai bila tertib lingkungan, criminal, pertanahan dan pencemaran).

2. LOSS

a. Lestari (penggunaan tanah yang berkesinambungan antar generasi tanpa merusak sumberdaya alam berdasarkan kesesuaian tanah).

b. Optimal (penggunaan tanah yang dapat memberikan keuntungan paling maksimal yaitu dengan produktivitas tinggi, mencegah tanah rusak dan terlantar serta mencegah penggunaan tanah yang kenaikan hasilnya semakin tinggi).

c. Serasi (penggunaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta sesuai dan serasi dengan adat dan budaya setempat). d. Seimbang (untuk daerah pedesaan, penggunaan tanah dengan

keanekaragaman yang tinggi dan mencegah monokultur untuk menjamin kestabilan masukan energi dan mencegah usaha monopoli, baik pada satu daerah maupun antar daerah).

I.7.1.2. Tujuan Penatagunaan Tanah. Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu:

1. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat. Maksudnya setiap kegiatan memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemempuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemempuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.

2. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.

Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akhirnya akan timbul kerusakan tanah.

3. Mengusahakan adanya pengendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah. Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari

(10)

10 konflik kepentingan akibat penggunaan tanah. Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat.

4. Jaminan kepastian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan.

Berdasarkan ketentuan PP No. 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah tujuan dari Penatagunaan Tanah adalah pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah bertujuan untuk:

a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW

b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW

c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah.

d. Menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.

Tujuan diatas selanjutnya harus menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Menurut Pasal 22 PP No. 16 Tahun 2004, dalam rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan yang meliputi:

1. Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah: a. Pengumpulan dan pengolahan data penguasaan, penggunaan, dan

pemanfaan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah serta data pendukung.

b. Penyajian data berupa peta dan informasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah serta data pendukung.

c. Penyediaan dan pelayanan data berupa peta dan informasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah serta data pendukung.

2. Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan:

(11)

11 a. Penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada

RTRW

b. Penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah pada RTRW

c. Penyajian dan penetapan prioritas ketersediaan tanah pada RTRW

3. Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, dilakukan malalui:

a. Penataan kembali b. Upaya kemitraan

c. Penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada negara atau pihak lain dengan pengganti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I.7.2. Tanah Kapling

Tanah kapling sering disebut juga tanah matang atau tanah siap bangun. Menurut Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition memberikan pengertian mengenai kapling dan kapling tanah matang, sebagai berikut:

1. Kapling diartikan sebagai bagian tanah yang dipetak-petakkan dengan ukuran tertentu (biasanya dipersiapkan untuk bangunan, kapling siap bangun)

2. Kapling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan.

(12)

12 Ada 6 bentuk tanah kapling yang biasanya ada di kawasan perumahan, seperti terlihat pada gambar I.1 dibawah ini:

Gambar.I.1. Bentuk Tanah Kapling 1. Tipe A, Tipe Jalan Buntu

Sesuai dengan namanya, tipe tanah kapling ini terletak diujung jalan buntu.Tipe ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:

Kelebihan:

a. Bagian depan kapling yang sempit sangat baik jika dilihat dari sisi keamanan dan lebih tenang dan damai

b. Memiliki bagian belakang yang melebar c. Sangat cocok untuk lokasi tempat tinggal. Kekurangan:

a. Memiliki area yang sempit untuk parkir di depan rumah b. Halaman rumahnya sempit

(13)

13 2. Tipe B, Tipe Interior

Jenis kapling ini paling umum dalam sebuah perumahan. Terletak di tengah deretan kapling dalam satu blok. Tipe ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:

Kelebihan:

a. Dari sisi keamanan lebih terjaga karena memiliki satu akses pintu masuk b. Tidak terlalu berisik dan lebih private

Kekurangan:

a. Untuk tempat tinggal, sirkulasi udara harus diperhatikan b. Hanya memiliki satu arah pandang

3. Tipe C, Tipe Persimpangan

Tipe ini sering dikenal dengan istilah “tusuk sate”. Kapling seperti ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak dimiliki kapling tipe lain, antata lain:

Kelebihan:

a. Memiliki pandangan yang luas di muka rumah

b. Sangat cocok dijadikan sebagai lokasi komersial, karena terlihat dari jauh Kekurangan:

a. Penghuni akan sering terganggu oleh lampu kendaraan yang melintas saat malam hari dan kurang aman jika dilihat dari sisi keamanan

b. Kurang cocok untuk dijadikan tempat tinggal

4. Tipe D, Tipe Sudut atau Hoek

Sebagian orang menghindari tipe ini, tetapi sebagian justru mencari kapling tipe ini karena tipe ini mempunyai tanah yang yang lebih luas. Tipe ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:

Kelebihan:

a. Memiliki dua muka (pintu masuk)

b. Cocok untuk tempat tinggal karena sirkulasi udara yang baik dan halaman yang luas

(14)

14 Kekurangan:

a. Memerlukan biaya perawatan yang tinggi

b. Suasana cenderung berisik jika berada dipersimpangan jalan

5. Tipe E, Tipe Kunci

Tipe kapling ini terletak di tengah-tengah kapling yang lain, sehingga dari atas terlihat seperti mengunci kapling-kapling di sekelilingnya. Tipe ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:

Kelebihan:

a. Bentuk kapling ini memanjang ke belakang b. Memiliki area parkir yang luas

c. Dari sisi keamanan lebih terjaga karena memiliki satu akses pintu masuk d. Tidak terlalu berisik

Kekurangan:

a. Untuk tempat tinggal, sirkulasi udara harus diperhatikan b. Hanya memiliki satu arah pandang

6. Tipe F, Tipe Bendera

Disebut tipe bendera karena kapling ini berbentuk huruf “L”. bentuk ini jarang ditemukan dalam sebuah perumahan. Tipe ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:

Kelebihan:

a. Keamanan lebih terjamin, karena pintu masuk mudah diawasi dan posisi kapling tersembunyi

Kekurangan:

a. Tidak memiliki akses langsung ke jalan utama b. Tidak disarankan sebagai lokasi komersial

I.7.3. Pengkaplingan Tanah Untuk Pemukiman Berdasarkan Tata Guna Tanah Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebagai tempat berpijak dan menggantungkan kehidupan selama manusia bernafas hingga akhir hayatnya. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan

(15)

15 memberdayakan tanahnya. Dari pengertian ini berarti fungsi tanah bagi manusia sangatlah penting dalam konteks ruang yaitu sebagai faktor produksi dan juga sebagai tempat manusia melangsungkan dan menyelenggarakan kehidupannya. Hal ini yang menyebutkan bahwa tanah dapat dianggap sebagain ruang dan permukaan dimana kehidupan itu berada yang meliputi ruang dibawah permukaan dimana mineral ditemukan dan ditambang, ruang dimana manusia hidup sehari-hari, dan ruang diatasnya (Subaryono, 1999).

Pengertian tanah berarti bumi atau earth, bisa juga berarti benua, daratan, negeri, tanah air, atau wilayah, sedangkan dalam pengertian lahan adalah tanah pertanian atau tanah untuk rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa lahan berarti tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya sudah ada pemiliknya, (Jayadinata 1999).

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 14 ayat 1 telah memberikan konsep dasar tentang penatagunaan tanah :

“… Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :

a. untuk keperluan Negara

b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa

c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan

d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu

e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Rencana umum tersebut selanjutnya dispesifikasi oleh masing-masing pemerintah daerah berdasar keadaan daerahnya. Dengan ketentuan yang demikian, maka antar daerah yang satu dengan yang lain dapat berbeda-beda pengaturan tata guna tanahnya. Selain dipengaruhi oleh keadaan tanahnya, perubahan penatagunaan tanah juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan ekonomi dan sosial. Untuk mengontrol perubahan penatagunaan tanah dengan cara pengaturan tentang fatwa tata guna tanah. Pada masa pemerintahan Orde Lama, diatur oleh Peraturan Direktur

(16)

16 Jenderal Agraria Nomor 2 Tahun 1968 tentang Fatwa Tata Guna Tanah kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1978 tentang Fatwa Tata Guna Tanah.

Fatwa ini merupakan penilaian teknis objektif dan merupakan salah satu banah pertimbangan dalam mengusulkan penyelesaian permohonan suatu hak atas tanah dan pemberian izin perubahan penggunaan lahan. Isinya terdiri dari keadaan penggunaan tanahnya, kemampuan tanah, persediaan air, kemungkinan pengaruhnya terhadap daerah sekitarnya, rencana induk dan denah perusahaan, aspek sosial ekonomi penggarapan tanah dan aspek asas-asas tata guna tanah.

Selain untuk kemakmuran rakyat, penatagunaan tanah juga harus memperhatikan kewajiban pemeliharaan tanah dalam arti menjaga dan menambah kesuburannya, serta mencegah dari kerusakan sesuai dalam UUPA dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dan pada perkembangannya pengaturan tentang penatagunaan tanah ini diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 yang diterbitkan pada tanggal 10 Mei 2004.

Selanjutnya, ditentukan dalam pasal 6 bahwa penatagunaan tanah meliputi seluruh tanah baik itu tanah yang sudah dihaki perorangan atau oleh Badan Hukum, tanah negara maupun tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat. Terhadap semua tanah tersebut dilakukan penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah terhadap RTRW dengan mempertimbangkan kebijakan penatagunaan tanah, hak-hak pemilik tanah, investasi pembangunan sarana dan prasarana dan evaluasi tanah. Dalam hal ini peran serta masyarakat sangan berpengaruh dalam penyesuaian ini, tetapi ketentuan mengenai peran serta masyarakat belum diatur.

Semakin pesatnya pembangunan diberbagai sektor, menyebabkan perubahan penatagunaan tanah sering dilakukan, terutama dengan mengikuti perkembangan dan kepentingan usaha. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tanah-tanah pertanian di perkotaan, di pinggiran kota maupun yang di pedesaan yang pada umumnya pertanian merupakan mata pencarian pokok penduduknya yang beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, perindustrian, tempat rekreasi, pertokoan, real estateatau penggunaan selain pertanian lainnya.

(17)

17 I.7.4. Administrasi Pertanahan

Istilah Administrasi Pertanahan digunakan untuk murujuk pada proses merekam dan menyebarkan informasi tentang kepemilikan, nilai dan penggunaan tanah dan sumber daya yang terkait. Proses tersebut meliputi penentuan (sering dikenal dengan “adjudikasi”) hak dan atribut lainnya dari tanah, survey dan penyediaan informasi yang relevan guna mendukung pasar tanah (Anonim, 1996).

Administrasi pertanahan berkaitan dengan empat komoditas yaitu kepemilikan, nilai, penggunaan dan pembangunan tanah yang keseluruhannya dalam konteks pengelolaan sumber daya tanah. Sebuah sistem administrasi pertanahan yang baik akan menghasilkan manfaat yang baik walaupun tidak dapat diukur secara langsung. Manfaat-manfaat ini antara lain (Anonim, 1996):

1. Menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah.

Dalam pendaftaran tanah harus memasukkan informasi tanah dan menyediakan identifikasi formal kepemilikan tanah yang sah. Register publik harus mengandung semua informasi yuridis hak-hak atas tanah dan pemilik tanah untuk menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah.

2. Dukungan untuk perpajakan tanah dan properti.

Catatan tanah yang baik akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengenaan pajak tanah dan properti dengan mengidentifikasi pemilik tanah dan menyediakan informasi pasar tanah yang lebih baik.

3. Memberikan keamanan kredit.

Kepastian kepemilikan dan pengetahuan dari semua hak atas tanah harus memberikan kepercayaan bagi bank dan lembaga keuangan lain untuk menyediakan dana sehingga pemilik tanah dapat berinvestasi di atas tanah mereka. Penggadaian tanah adalah salah satu cara mendapatkan modal untuk investasi. Pemilik tanah kemudian dapat membangun atau memperbaiki infrastruktur atau metode pengelolaan tanah, misalnya dengan memperkenalkan teknik dan teknologi pertanian baru.

4. Mengembangkan dan memantau pasar tanah. 5. Perlindungan tanah oleh negara.

(18)

18 Di banyak negara sengketa atas tanah dan batas-batasnya menimbulkan gugatan hukum dan serinmg menyebabkan kerusakan. Sengketa tanah akan mengurangi kecenderungan investor untuk mengembangkan tanah. Oleh karena itu proses pendaftaran hak harus dapat mencegah timbulnya perselisihan di masa depan.

7. Memfasilitasi upaya landreform.

Catatan detail mengenai kepemilikan dan penggunaan tanah secara efisien dapat digunakan sebagai data dalam pelaksanaan konsolodasi maupun redistribusi tanah kepada yang tidak memiliki tanah.

8. Meningkatkan perencanaan perkotaan dan pembangunan infrastruktur.

Sebuah system administrasi tanah yang baik harus memungkinkan integrasi antara catatan kepemilikan tanah, nilai tanah dan penggunaan lahan dengan data sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam mendukung perencanaan fisik. 9. Mendukung pengelolaan lingkungan.

Multi catatan yang berhubung dengan kadaster harus digunakan untuk merekam kawasan konservasi. Kadaster dapat digunakan dalam penyusunan penilaian dampak lingkungan dan konsekuensi dalam memonitor pembangunan dan proyek-proyek konstruksi.

10. Menghasilkan data statistik.

Dengan memantau kepemilikan, nilai, penggunaan dan pembangunan tanah, akan terkumpul data kepemilikan, nilai, penggunaan dan pembangunan tanah sebagai dukungan data dalam pengambilan keputusan terhapad manajemen dan perencanaan strategis program-program pembangunan.

I.7.5. Sistem Administrasi Pertanahan

Hampir semua negara harus berurusan dengan pengelolaan tanah. Mereka harus berurusan dengan empat fungsi yaitu kepemilikan tanah, nilai tanah, penggunaan tanah, dan pembangunan tanah. Masing-,masing negara yang berbeda akan menempatkan berbagai penekanan pada empat fungsi tersebut tergantung pada dasar budaya dan tingkat pembangunan ekonomi negara mereka, (Enemark , 2009).

Sistem Administrasi Pertanahan merupakan infrastruktur yang penting untuk memfasilitasi pelaksanaan kebijakan pertanahan di negara maju dan berkembang.

(19)

19 Sistem Administrasi Pertanahan berkaitan dengan sosial, hukum, ekonomi dan kerangka teknis bagi pengelola tanah dan administrator dalam beroperasi. Sistem ini mendukung pasar tanah yang efisien berkaitan dengan administrasi pertanahan sebagai sumber daya alam untuk menjamin pembangunan berkelanjutan (Enemark, 2009). Pendekatan global system administrasi pertanahan modern ditunjukkan pada gambar 1 dibawah ini:

Gambar I.2. Prespektif Global Administrasi Pertanahan (Enemark, 2009)

Sistem Administrasi Pertanahan modern yang dirancang seperti yang dijelaskan pada gambar 1 akan memberikan sebuah dasar infrastruktur dan mendorong integrasi dari empat fungsi (Enemark, 2009):

a. Kepemilikan Tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk menjamin akses terhadap tanah dan menciptakan komoditas di atas tanah,

Pembangunan Berkelanjutan Ekonomi, Sosial, dan

Lingkungan

Pasar Tanah yang Efisien Manajemen Penggunaan Tanah yang Efisien

Kepemilikan Tanah Penggunaan Tanah Penilaian Tanah Pengembangan Tanah Hak Penguasaan Tanah, Hak Jaminan dan kepastian Hukum Estimasi Nilai Tanah, Pengumpulan Pajak Tanah Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang, Pengawasan Penggunaan Tanah Perencanaan Kontruksi dan Peraturan Pelaksanaan

Infrastruktur Informasi Pertanahan Data Set Area Terbangun dan

(20)

20 alokasi, rekaman dan keamanan, survey pemetaan kadaster dan hukum untuk menentukan batas-batas persil, menciptakan properti baru atau mengubah sifat-sifat yang ada, pengalihan harta atau penggunaan dari satu pihak ke yang lain melalui penjualan, sewa atau keamanan kredit, pengelolaan dan ajudikasi dan sengketa mengenai hak atas tanah dan batas-batas persil tanah. b. Penilaian Tanah :proses dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penilaian

nilai tanah dan properti, perhitungan dan pengumpulan pendapatan melalui perpajakan, dan manajemen dan ajudikasi atas penilaian tanah dan sengketa perpajakan.

c. Penggunaan Tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk mengontrol penggunaan lahan melalui penerapan perencanaan kebijakan dan peraturan penggunaan lahan serta pengelolaan dan ajudikasi konflik penggunaan lahan.

d. Pengembangan Tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk membangun prasarana fisik baru, pelaksanaan perencanaan pembangunan, akuisisi tanah publik, pengambilalihan, perubahan pemanfaatan lahan melalui pemberian perizinan pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman dan distribusi biaya pembangunan.

Nilai tanah juga dipengaruhi oleh kemungkinan penggunaan tanah masa depan yang ditentukan oleh zonasi, peraturan perencanaan pemanfaatan lahan dan proses pemberian izin. Informasi pertanahan harus diatur untuk menggabungkandata kadastral dan topografi, dan untuk menghubungkan lingkungan binaan (termasuk hukum dan hak atas tanah social) dengan lingkungan alam (termasuk topografi, lingkungan dan isu-isu sumber daya alam). Dengan cara ini informasi pertanahan harus diatur melalui Infrastruktur Data Spasial di tingkat nasional, regional, federal, dan local, berdasarkan kebijakan yang relevan untuk berbagi data, biaya pemulihan, akses data, model data, dan standar.

Manfaat yang timbul dari Sistem Administrasi Pertanahan antara lain jaminan kepemilikan, keamanan penguasaan dan kredit, memfasilitasi transfer tanah dan pasar tanah secara efisien, mendukung pengelolaan asset, dan menyediakan dasar infoemasi dan proses administrasi penilaian yang efisien, perencanaan penggunaan

(21)

21 lahan, pembangunan tanah dan perlindungan lingkungan. Sistem Administrasi Pertanahan dirancang sebagai bentuk tulang punggung masyarakat dan sangat penting bagi pemerintahan yang baik karena memverikan informasi yang rinci dan dasar administrasi pertanahan yang dapat diandalkan.

I.7.6. Pembangunan Tanah

Tanah merupakan sumber utama bagi aktivitas manusia dan sebagai factor asas pengeluaran. Selain menyediakan makanan, tanah menyediakan ruang untuk bangunan komersial dan industri, infrastruktur, perumahan, dan rekreasi (Prijono, 2008). Pembangunan tanah merupakan aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan terhadap pembangunan tanah (Djurdjani, 2009).

Pembangunan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan investasi dalam bentuk modal dan tenaga diatas tanah. Tujuan yang ingin dicapai adalah penggunaan sumber daya tanah yang efisien uang ditunjukkan dengan adanya hasil yang lebih baik (Djurdjani, 2008). Keuntungan lain yang diharapkan dapat diperoleh adalah meningkatkan standart kehidupan bagi masyarakat, pendayagunaan fasilitas perkotaan yang lebih efisien dan keuntungan tidak kelihatan seperti ketenangan hidup, kepuasan budaya, dan stabilitas sosial (Djurdjani, 2009)

Pembangunan tanah yang baik akan meningkatkan perekonomian disuatu wilayah, namun pembangunan tanah yang tidak terarah akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti lingkungan kumuh, tanah kosong (vacant land), dan lingkungan yang tidak beraturan (urban sprawl). Pembangunan tanah merupakan suatu proses yang kompleks karena banyak aktor yang terlibat. Pembangunan tanah yang terjadi murupakan hasil interaksi antar aktor-aktor tersebut (Djurdjani, 2008).

a. Peran Individu (Pemilik tanah, Investor, Pengembang)

Peran pemilik tanah sangat menentukan dalam pembangunan tanah. Ada dua kelompok sikap pemilik tanah terhadap pembangunan tanah, yaitu aktif dan pasif. Pemilik aktif dicirikan dengan keinginan untuk membangun tanah dan mau bekerja sama swasta untuk membangun atau mentransfer tanahnya apabila tidak mampu untuk membangun. Pemilik aktif akan selalu berusaha memaksimalkan nilai tanah dan hasil yang diperoleh dari tanah tersebut melalui pembangunan tanah baik

(22)

22 dilaksanakan sendiri, bekerja sama dengan actor lain atau menyediakan tanahnyauntuk dapat dikembangkan (Djurdjani, 2008).

Sedangkan pemilik tanah pasif dicirikan tidak adanya langkah yang diambil untuk membangun atau membawa ke pasar tanah. Pemilik pasif gagal merespon adanya potensi tanah untuk dikembangkan sehingga akan membiarkan tanah seperti apa adanya bahkan menelantarkan tanah tersebut. Pemilik pasif muncul karena beberapa alas an, diantaranya ketidakpastian akan kebutuhan yang akan datang, tidak peduli terhadap potensi tanah, atau berharap meningkatkan harga tanah di masa yang akan datang (Djurdjani, 2008).

b. Peran Pemerintah

Ada dua pendapat mengenai peran pemerintah dalam pembangunan tanah. Pendapat pertama mengatakan bahwa pembangunan tanah tidak perlu campur tangan pemerintah, sepenuhnya diserahkan kepada pasar, seperti halnya disampaikan oleh Penington dalam Buitelaar, 2002 (Djurdjani, 2009). Artinya bahwa penggunaan tanah dan distribusi secara spasial penggunaannya murni hasil interaksi antar actor yang terlibat sebagai bentuk respon masyarakat. Pendapat kedua mengatakan bahwa pasar tanah tidak pernah efisien, sehingga peran pemerintah adalah meningkatkan efisiensi menggunakan rangkaian institusi seperti regulasi, pengenaan pasar ataupun pemberian subsidi. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Rodenburg dan Ron Vreeker (Djurdjani, 2008).

Terdapat tiga kumpulan faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan tanah. Yang pertama adalah faktor fisik, biologi, dan teknik yang meliputi kuantitas, jenis, ketersediaan dan ciri-ciri sumber tanah yang membatasi penggunaan pada kegunaan tertentu. Kedua, institusi yang berupa ”rules of the game” dalam masyarakat yang menetapkan bentuk hubungan antara manusia dengan sumber tanah. Ketiga, kekuatan ekonomi melalui penawaran pemerintah yang membentuk terwujudnya penggunaan tanah sekarang (Prijono, 2009).

Dari ketiga faktor diatas dapat menjelaskan tentang teori tersebut mengandung pengertian umum terhadap tiga komponen yaitu permintaan, penawaran, dan pasaran (Prijono, 2008). Arti dari tiga komponen tersebut menitikberatkan kepada sikap rasional para aktor (economic man) terhadap “memaksimalkan manfaat”, “memaksimalkan keuntungan”, dan “kecakapan peruntukan sumber yang terbatas

(23)

23 untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang terbatas”. Terdapat dua syarat untuk memaksimalkan manfaat atas komoditas yaitu (1) satu kategori keinginan atau pilihan dan (2) jumlah pendapatan yang pasti. Dalam mementukan permintaan komoditas harus ada kemauan dan kemampuan untuk membeli, tanpa itu semua syarat tidak akan terpenuhi (Prijono, 2008). Demikian halnya dengan pembangunan tanah, walaupun ada kemampuan namun tanpa disertai dengan kemauan untuk membangun, maka tidak akan terwujud pembangunan tanah.

I. 7. 7. Analisis Deskriptif

Analisis Deskriptif merupakan bentuk analisis dari data penelitian untuk menguji generalisasi hasil penelitian berdasarkan sampel yang digunakan. Analisis ini berfungsi untuk memberikan gambaran secara umum mengenai data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini dapat dijadikan sebagai sebuah acuan untuk melihat karakteristik data yang diperoleh. Statistik deskriptif hanya berhubungan dengan hal mengurangi atau memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu data atau keadaan atau fenomena. Dengan kata lain, statistik deskriptif berfungsi menerangkan keadaan, gejala atau persoalan (Bhina P, 2007).

I.8. Hipotesis

Adanya ketidaksesuaian fungsi tanah kapling di Kelurahan Plumbungan Kabupaten Sragen kemungkinan disebabkan oleh biaya pembangunan, lokasi tanah yang ternyata kurang strategis, sarana dan prasarana disekitar lokasi tanah kaplingan yang kurang memadai, dan juga kurangnya peran pemerintah dalam mengontrol dan mengawasi terciptanya penggunaan lahan yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Gambar

Gambar I.2. Prespektif Global Administrasi Pertanahan (Enemark, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

(3) Mekanisme pengelolaan Ketetapan Pajak, seperti Tata Cara Pemungutan, Surat Tagihan Pajak, Tata Cara Pembayaran dan Penagihan, Keberatan Banding, Pembetulan,

Nilai kearifan lokal yang terdapat di lokasi penelitian dapat dikelompokkan kepada (a) nilai kearifan lokal yang ada sejak dahulu dan masih berkembang sampai saat

Persepsi nelayan terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di TNK memprioritaskan (1) keseimbangan kesejahteraan dengan kelestarian (Y 4 ); (2)

Berikutnya, Data larik dari sistem akuisisi data yang tersimpan dalam mikroSD selanjutnya pada tahap ke 2dibandingkan dengan hasil keluaran sensor larik yang real

Инспекцијски надзор врши се преко инспектора за заштиту животне средине (у даљем тексту: инспектор) у оквиру делокруга утврђеног

Perbedaan kerapatan populasi telur, pupa dan imago yang ditemukan pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang pada saat buah berukuran ±10 cm diduga karena di lapangan

2 Ibid.. cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam

Alat uji yang digunakan terbuat dari profil baja H 250x250x9x14 dengan panjang 290 cm dan dirancang untuk penggunaan secara horizontal tidak seperti alat uji