• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh : ANDREW FREDICKSON F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Oleh : ANDREW FREDICKSON F"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KAJIAN POTENSI ASETAT, NATRIUM BENZOAT, DAN KALIUM SORBAT SEBAGAI PENGAWET PADA TAHU

Oleh :

ANDREW FREDICKSON F24070093

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

STUDY ON THE POTENCY OF ACETATE, SODIUM BENZOATE, AND POTASSIUM SORBATE AS PRESERVATIVES FOR TOFU

Andrew Fredickson and Nugraha Edhi Suyatma

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus,

PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 898 906 8340, e-mail: ren_11_513@yahoo.co.id

ABSTRACT

Tofu is one of Indonesian traditional food which is made from soybeans (Glycine max). Tofu stored in the refrigerator has shelf life for about 2 days and only a half day when it stored at ambient temperature. This is the reason why illegal practice of the using formalin has occured in Indonesia. The objective of this research was to evaluate the capability of sodium benzoate, potassium sorbate, and acetic acid as preservatives for tofu. The expected result is giving an alternative of method in preserving tofu with legal food additive. The concentration of sodium benzoate and potassium sorbate that was used in this research is 40% of ADI. Tofu was divided into five main treatments, tofu that soaked in water, acetic acid, acetic acid-sodium benzoate, acetic acid-potassium sorbate, and acetic acid-sodium benzoate-potassium sorbate. Several tests such as, texture analysis, total plate count (TPC), pH measurement, color measurement, and organoleptic test, were conducted to measure the effectivity of each preservative to prolong the shelf life of tofu. TPC assay showed that all of the combinations of preservatives were effective to reduce the number of microbes. The texture of tofu became soften after soaked in acetic acid and analyzed using Texture Analyzer. The result of texture analysis showed that the combination of acetic acid-sodium benzoate had the softest texture (0.46 N) compared to the other treatments. pH measurement showed that acetic acid had the lowest value (4.16) compared to the other treatments. The result of the research showed that acetic acid 1.5% (v/v) did not have the capacity as preservative for tofu. The use of acetic acid 1.5% (v/v) caused sour taste that made tofu could not be accepted by consumers. However, all of the combination of preservatives showed good effect in preserving tofu when stored at room temperature. Soaking sour tofu in 3% (w/v) salt solution for 3 minutes could increase the acceptance of consumers.

(3)

Andrew Fredickson. F24070093. Kajian Potensi Asetat, Natrium Benzoat, dan Kalium Sorbat Sebagai Pengawet Pada Tahu. Di bawah bimbingan: Nugraha Edhi Suyatma. 2011

RINGKASAN

Tahu adalah salah satu produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kedelai (Glycine

max) yang diolah berdasarkan prinsip penggumpalan protein. Penyimpanan pada suhu rendah (15°C)

hanya dapat mempertahankan kesegaran tahu 1-2 hari. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakkan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, dan kadang-kadang berjamur pada permukaannya. Karena itu banyak penjual tahu yang sengaja menambahkan formalin pada tahunya agar umur simpan tahu bertambah sehingga mereka tidak mengalami kerugian. Tetapi formalin mempunyai dampak buruk bagi kesehatan sehingga tidak bisa dijadikan pengawet untuk tahu. Karena itu diperlukan suatu alternatif cara untuk dapat memperpanjang umur simpan tahu. Salah satu alternatif cara yang ada adalah dengan menggunakan pengawet yang diijinkan. Pengawet yang sering digunakan oleh industri adalah kalium sorbat dan natrium benzoat. Sementara itu, asam organik juga mempunyai potensi sebagai pengawet dan tidak memiliki ADI (Acceptable Daily Intake). Karena alasan-alasan itu, maka ketiga pengawet ini dipilih untuk dikaji potensinya sebagai pengawet tahu.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Penelitian tahap pertama adalah persiapan sampel yang akan diberi perlakuan dengan merendam tahu pada beberapa kombinasi pengawet. Terdapat lima perlakuan di dalam penelitian ini, yaitu tahu yang direndam air, asam asetat, asam asetat-natrium benzoat, asam asetat-kalium sorbat, dan asam asetat-natrium benzoat-kalium sorbat. Penelitian tahap kedua adalah pengujian Angka Lempeng Total pada setiap sampel yang ada dilanjutkan dengan pengujian mutu tahu secara organoleptik dan obyektif menggunakan Chromameter dan Texture

Analyzer serta pengukuran pH. Target dari penelitian ini adalah mengawetkan tahu selama 4 hari pada

suhu ruang. Pengukuran setiap uji dihentikan apabila sampel sudah tidak dapat diterima secara organoleptik oleh konsumen. Setelah penelitian berjalan, didapatkan hasil bahwa tahu kontrol sudah tidak dapat diterima oleh konsumen pada hari ketiga.

Pengukuran Angka Lempeng Total pada penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pengawet asam asetat-natrium benzoat adalah pengawet yang paling efektif dalam mengurangi jumlah mikroba pada tahu, yaitu sebanyak 5.6 x 106 cfu/g. Namun secara statistik, jumlah tersebut tidak berbeda signifikan dengan pengawet lainnya pada hari keempat. Pada pengukuran tekstur menggunakan

Texture Analyzer menunjukkan bahwa tekstur tahu yang diredam dengan asam asetat mengalami

pelunakan. Nilai tekstur yang paling rendah didapat dari sampel yang direndam dengan asam asetat dan natrium benzoat yaitu 0.46 N. Nilai pH terendah dihasilkan oleh sampel yang direndam asam asetat yaitu 4.16. Pada uji organoleptik yang dilakukan, pengawet asam asetat maupun pengawet lain yang dikombinasikan dengan asam asetat mampu mempertahankan aroma dan warna tahu sampai hari ke-4. Akan tetapi dari segi tekstur, pengawet yang dikombinasikan membuat tekstur tahu menjadi lunak. Panelis berpendapat bahwa tahu yang direndam dengan asam asetat maupun yang direndam dengan kombinasi pengawet lainnya membuat tekstur tahu menjadi lunak. Untuk karateristik mutu warna tahu, terdapat penurunan warna putih tahu kontrol pada hari ketiga karena tahu sudah ditumbuhi kapang dan munculnya lendir. Dalam penelitian ini, juga dilakukan pengujian terhadap karakteristik mutu rasa tahu goreng dimana didapatkan data bahwa penambahan asam asetat untuk mengawetkan tahu dapat memberikan rasa asam yang mempengaruhi penerimaan konsumen. Rasa asam yang sama juga muncul pada penggunaan kombinasi pengawet natrium benzoat, kalium sorbat, dan asam asetat. Perendaman tahu yang asam dengan larutan garam 3% dapat meningkatkan penerimaan panelis terhadap tahu karena dapat mengurangi rasa asam.

(4)

KAJIAN POTENSI ASETAT, NATRIUM BENZOAT, DAN KALIUM SORBAT SEBAGAI PENGAWET PADA TAHU

Oleh :

ANDREW FREDICKSON F24070093

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Pembimbing,

(Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP., DEA) NIP. 19701220 199512 1 001

Judul Skripsi : Kajian Potensi Asetat, Natrium Benzoat, dan Kalium Sorbat Sebagai Pengawet Tahu

Nama : Andrew Fredickson

NRP : F24070093

Menyetujui:

Mengetahui:

Plt. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si) NIP. 19610802 198703 2 002

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Potensi Asetat, Natrium Benzoat, dan Kalium Sorbat Sebagai Pengawet Pada Tahu adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 18 Agustus 2011 Yang membuat pernyataan,

Andrew Fredickson F24070093

(7)

© Hak cipta milik Andrew Fredickson, 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1989. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Endro Leotama dan Lily Tanzil. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2001 di SD Bunda Hati Kudus, Jakarta kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Bunda Hati Kudus, Jakarta hingga tahun 2004. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Bunda Hati Kudus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2007.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, di antaranya menjadi pengurus Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB, anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti LCTIP XVI , Retreat Komkes tahun 2009, dan LCTIP XVII. Beberapa prestasi yang diraih penulis selama pendidikan di IPB adalah penerima beasiswa Tanoto Foundation dan Omar Foundation, juara kedua Chemical Product Design Competition 2011, juara kedua

Indonesian Food Bowl Quiz 2011, dan 50 karya ilmiah terbaik pada SINNOVA. Penulis juga pernah

menjadi asisten mata kuliah Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan pada tahun 2011. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Potensi Asetat, Natrium Benzoat, dan Kalium Sorbat Sebagai Pengawet Tahu” di bawah bimbingan Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP., DEA.

(9)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak habis-habisnya penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan yang luar biasa yang telah memberikan berkat, pertolongan, kesempatan dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang dilaksanakan dari bulan Februari 2011 di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Orang tua penulis, Papi, Mami, dan Karstein, atas cinta, doa, nasihat, dukungan yang tiada hentinya kepada penulis. Always always love you.

2. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP., DEA. selaku dosen pembimbing atas waktu, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa ITP.

3. Dr. Slamet Budijanto, STP., MAgr. dan Antung Sima Firlieyanti, STP., MSc. atas kesediannya menjadi dosen penguji dan atas masukan yang diberikan.

4. Tanoto Foundation dan Omar Foundation yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi di IPB.

5. Tim panelis sangat terlatih yang sudah membantu penulis dalam melakukan penelitian: Khafid, Riffi, Dimas, Ci Stella, Kak Manik, Mei, Mba Mus, Irsyad, Eci, Lukman, Esti, Kak Sarah. 6. Mba Ari, Bu Sari, Mba Cici, Mas Andi, Mas Wahyu, Mba Devy, Mas Zaki, Pak Taufik, Bu

Antin, Pak Eddy, Mas Aldi, Pak Rojak, Bu Sri.

7. Seluruh teman – teman Komkes, terima kasih sudah menjadi teman sepelayanan penulis. JLU 8. ITP 44 atas segala kebersamaannya: Ricen, Reggie, Trancy, Melia, Septi, Kanov, Angga,

Belinda, Amelia, Kenny, Tiara, Eliana, Bertha, Mita, Amel, Marki, Lisa, Imel, Nipu, Dhina, Suriah, Ale, Kurnia, Puji, Indri, Alm. Rina, Rosy. Terima kasih kepada semua anak ITP 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Nae seonbae: Mario, Martin, Desonk, Nina, Kak Landes, Dial, Stefanus, Harry.

10. ITP 44 Basketball Team: Eddy, Daniel, Andri, Iman, Ronald, Chandra, Arief. It’s fun to play with u guys XD

11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi. Thanks to all people that

I couldn’t mention here.

Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua yang membaca. Saran yang membangun sangat diharapkan penulis dari para pembaca sekalian.

Bogor, 18 Agustus 2011

(10)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN PENELITIAN ... 2 C. MANFAAT PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. TAHU ... 3

B. NATRIUM BENZOAT ... 5

C. KALIUM SORBAT ... 6

D. ASAM ASETAT ... 7

III. BAHAN DAN METODE ... 10

A. BAHAN DAN ALAT ... 10

B. METODE PENELITIAN ... 10

1. Penelitian Tahap Pertama: Persiapan Sampel ... 11

2. Penelitian Tahap Kedua: Analisis Umur Simpan ... 11

C. METODE ANALISIS ... 11

1. Angka Lempeng Total ... 11

2. Pengukuran Tekstur ... 12

3. Pengukuran Warna ... 12

4. Pengukuran Derajat Keasaman... 12

5. Uji Organoleptik ... 12

6. Analisis Data ... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

A. Angka Lempeng Total... 14

B. Pengukuran Tekstur ... 16

C. Pengukuran Warna ... 17

D. Pengukuran pH ... 19

E. Uji Organoleptik ... 20

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 26

A. SIMPULAN ... 26

B. SARAN ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(11)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia tahu (Direktorat Gizi Depkes RI 1981) ... 3

Tabel 2. Syarat mutu tahu (SNI 01-3142-1998) ... 4

Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat (Buckle et al. 1987) ... 6

Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat (Buckle et al. 1987) ... 7

Tabel 5. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dimakan per hari (Doores 1993) ... 7

Tabel 6. Solubilitas, ADI, konsentrasi maksimum asam organik (ICMSF 1980) ... 9

Tabel 7. Hasil uji Angka Lempeng Total tahu dengan berbagai pengawet ... 14

Tabel 8. Hasil pengujian warna tahu dengan menggunakan Chromameter ... 17

(12)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur kimia asam benzoat ... 5

Gambar 2. Struktur kimia asam sorbat ... 6

Gambar 3. Struktur kimia asam asetat ... 8

Gambar 4. Diagram alir penelitian ... 10

Gambar 5. Grafik hasil pengukuran gel strength ... 17

Gambar 6. Grafik hasil pengukuran pH ... 19

Gambar 7. Grafik hasil uji organoleptik aroma tahu ... 22

Gambar 8. Grafik hasil uji organoleptik tekstur tahu... 22

Gambar 9. Grafik hasil uji organoleptik warna tahu ... 23

Gambar 10. Grafik hasil uji organoleptik tekstur tahu goreng... 24

Gambar 11. Grafik hasil uji organoleptik warna tahu goreng ... 24

(13)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil pengukuran Gel Strength dengan Texture Analyzer ... 32

Lampiran 2. Hasil pengujian pH tahu dengan menggunakan pH meter ... 32

Lampiran 3. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada uji ALT tahu hari pertama ... 32

Lampiran 4. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada uji ALT tahu hari kedua ... 33

Lampiran 5. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada uji ALT tahu hari ketiga ... 34

Lampiran 6. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada uji ALT tahu hari keempat ... 34

Lampiran 7. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada pengukuran tekstur dengan Texture Analyzer ... 35

Lampiran 8. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada derajat L ... 36

Lampiran 9. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada pengukuran pH ... 36

Lampiran 10. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu aroma tahu hari pertama ... 37

Lampiran 11. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu tekstur tahu hari pertama ... 38

Lampiran 12. Hasil ANOVA pada mutu warna tahu hari pertama ... 38

Lampiran 13. Hasil ANOVA pada mutu aroma tahu hari kedua ... 39

Lampiran 14. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu tekstur tahu hari kedua ... 39

Lampiran 15. Hasil ANOVA pada mutu warna tahu hari kedua ... 40

Lampiran 16. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu aroma tahu hari ketiga ... 40

Lampiran 17. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu tekstur tahu hari ketiga ... 41

Lampiran 18. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu warna tahu hari ketiga ... 41

Lampiran 19. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada mutu aroma tahu hari keempat ... 42

Lampiran 20. Hasil ANOVA pada mutu tekstur tahu hari keempat ... 43

Lampiran 21. Hasil ANOVA pada mutu warna tahu hari keempat ... 43

Lampiran 22. Hasil ANOVA pada mutu tekstur tahu goreng hari pertama ... 43

Lampiran 23. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada warna tahu goreng hari pertama ... 44

Lampiran 24. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada rasa tahu goreng hari pertama ... 44

Lampiran 25. Hasil ANOVA pada mutu tekstur tahu goreng hari kedua ... 45

Lampiran 26. Hasil ANOVA pada mutu warna tahu goreng hari kedua ... 45

Lampiran 27. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada rasa tahu goreng hari kedua ... 46

Lampiran 28. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada tekstur tahu goreng hari ketiga ... 46

Lampiran 29. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada warna tahu goreng hari ketiga ... 47

Lampiran 30. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada rasa tahu goreng hari ketiga ... 48

Lampiran 31. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada tekstur tahu goreng hari keempat .. 48

Lampiran 32. Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada warna tahu goreng hari keempat ... 49

(14)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tahu adalah salah satu produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kedelai (Glycine max) yang diolah berdasarkan prinsip penggumpalan protein. Berbeda dengan tempe yang asli dari Indonesia, tahu berasal dari Cina, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan penggumpal sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Tahu merupakan High Perishable Food (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Penyimpanan pada suhu rendah (15°C) hanya dapat mempertahankan kesegaran tahu 1-2 hari (No et al. 1977). Hasil penelitian Prastawa et al. (1980), menunjukkan bahwa tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air hanya bertahan sekitar 10 jam. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakkan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, dan kadang-kadang berjamur pada permukaannya (Prastawa et al. 1980). Di Indonesia, tahu dicampur dengan formalin oleh pedagang yang tidak bertanggung jawab dengan alasan agar tidak merugi. Tanpa formalin, tahu akan cepat rusak sehingga menanggung banyak kerugian bagi pembuatnya. Karena itu para pembuat tahu menambahkan tahu dengan formalin agar tahu tidak cepat rusak. Mekanisme formaldehid sebagai pengawet diduga bergabung dengan asam amino bebas dari protoplasma sel atau mengkoagulasikan protein (Cahyadi, 2006). Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut. Tahu yang ditambahkan formalin dapat awet sampai dengan 7 hari (Keliat 2010).

Formalin bukan merupakan zat pengawet untuk makanan, tetapi disalahgunakan untuk pengawetan industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Badan POM setempat. Produsen sering kali tidak tahu kalau penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan tidaklah tepat karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan bagi konsumen yang memakannya. Menurut MFL (2004), 5-30 ppm formaldehida menyebabkan kerusakan kronis paru-paru dan pada konsentrasi diatas 100 ppm dapat menyebabkan kematian

Penggunaan formalin pada produk tahu sudah berlangsung lama, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Mena (1994) yang menunjukkan bahwa tahu yang beredar di pasar tradisional Jakarta, 70% mengandung formalin dengan kadar berkisar antara 4.08-85.96 ppm. Untajana et al (1996) memberitahukan bahwa hampir semua jenis tahu di Kotamadya Bogor juga menggunakan pengawet formalin. Selain itu di kota Tangerang, dari 20 industri yang diteliti, diketahui bahwa seluruh tahu mengandung formalin (Tresniani 2003). Badan Pengawas Obat dan Makanan mengungkapkan formalin banyak digunakan pada mie basah, tahu, dan ikan. Data FPKM (Forum Peduli Kesehatan Masyarakat) menyebutkan, 97% dari keseluruhan 455 unit produsen tahu di wilayah Jabodetabek masih menggunakan formalin sebagai pengawet. (detikHealth 2009). Karena adanya masalah ini, perlu diteliti apakah ada pengawet yang diijinkan yang mampu memperpanjang umur simpan tahu sehingga para penjual tahu tidak lagi menggunakan formalin pada tahunya. Penelitian tentang pengawet pada tahu sudah banyak dilakukan, namun belum ada yang memberikan hasil memuaskan sehingga jumlah penggunaan

(15)

2

formalin pada tahu tidak berkurang secara signifikan. Hal ini menunjukkan adanya masalah pada pengawet yang sudah diteliti sehingga masih belum bisa digunakan oleh pedagang tahu, karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pengawet-pengawet yang sudah ditemukan agar dapat diketahui potensinya dalam mengawetkan tahu dan dapat diapliaksikan langsung oleh para pedagang tahu. Penelitian ini bertujuan (1) Mengevaluasi potensi pengawet asam asetat, natrium benzoat, dan kalium sorbat dalam memperpanjang umur simpan tahu, (2) Mengetahui kombinasi optimum pengawet tahu tanpa melebihi batas pemakaian dan dapat diterima konsumen.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi asetat, natrium benzoat, dan kalium sorbat sebagai pengawet pada tahu melalui analisis Angka Lempeng Total, uji organoleptik, pengukuran pH, pengukuran warna dengan Chromameter dan uji tekstur dengan Texture Analyzer. Selain itu penelitian ini juga bertujuan ingin mengetahui kombinasi pengawet yang optimum dalam mengawetkan tahu.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat memberikan alternatif cara bagi industri tahu di Indonesia untuk memperpanjang umur simpan tahu dengan pengawet yang diijinkan. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan industri dan pedagang tahu tidak lagi menggunakan zat berbahaya seperti formalin untuk mengawetkan tahu.

(16)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TAHU

Tahu merupakan produk kedelai non-fermentasi yang disukai dan digemari di Indonesia seperti halnya tempe, kecap, dan tauco. Tahu adalah salah satu produk olahan kedelai yang berasal dari daratan Cina. Pembuatan tahu dan susu kedelai ditemukan oleh Liu An pada zaman pemerintahan Dinasti Han, kira-kira 164 tahun sebelum Masehi (Shurtleff dan Aoyagi 2001)

Kata tahu berasal dari bahasa Cina yaitu tao-hu, teu-hu/tokwa. Kata tao/teu berarti kacang untuk membuat tahu, orang menggunakan kacang kedelai kuning (putih) yang disebut wong-teu (wong = kuning). Hu/kwa itu artinya rusak, lumat, hancur, menjadi bubur. Kedua istilah itu digabungkan menjadi tahu. Pengertian tahu adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur (Kastyanto 1999).

Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycne species) dengan prinsip pengendapan protein, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan (SNI 1998). Sedangkan menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), tahu adalah gumpalan protein dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal (whey) dengan cara pengepresan.

Tahu terdiri dari berbagai jenis, yaitu tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu cina, tahu keras, dan tahu kori (Sarwono dan Saragih 2003). Perbedaan dari berbagai jenis tahu tersebut ialah pada proses pengolahannya dan jenis penggumpal yang digunakan.

Komposisi zat gizi dalam tahu cukup baik. Tahu mempunyai kadar protein sebesar 8-12%, sedangkan mutu proteinnya yang dinyatakan sebagai NPU sebesar 65% (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Tahu juga mempunyai daya cerna yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan pencernaan (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Komposisi kimia pada tahu dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan syarat mutu tahu berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-3142-1998 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi kimia dalam 100 g tahu (Direktorat Gizi Depkes RI 1981)

Komposisi Satuan Jumlah

Energi Kal 68 Air g 84.8 Protein g 7.8 Lemak g 4.6 Karbohidrat g 1.6 Kalsium mg 124.0 Fosfor mg 63.0 Besi mg 0.8 Vitamin B1 mg 0.06

(17)

4

Tabel 2. Syarat mutu tahu (SNI 01-3142-1998)

Parameter Satuan Persyaratan

Bau - Normal tahu

Rasa - Normal tahu

Warna - Putih normal atau kuning normal

Penampakan - Normal tidak berlendir dan tidak berjamur

Cemaran Mikroba :

Eschericia coli APM/g maks. 10

Salmonella /25g Negatif

Proses Pengolahan Tahu dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu pembuatan susu kedelai dan koagulasi atau penggumpalan protein susu kedelai sehingga dihasilkan curd yang kemudian dipres dan dicetak menjadi tahu (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Berikut ini dijelaskan tahapan proses pembuatan tahu.

a) Pencucian dan Perendaman

Kedelai dicuci berulang kali dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan debu dan kotoran dari kacang kedelai. Proses selanjutnya dilakukan perendaman yang bertujuan untuk melunakkan struktur selulernya sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan. Biasanya kedelai direndam dalam air sebanyak 3 kali berat sampai bobot menjadi sekitar 2.2 kali bobot kedelai kering. Lama perendaman kedelai antara 8-12 jam (Shurtleff dan Aoyagi 2001).

b) Penggilingan

Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan lalu digiling dengan disertai penambahan air kira-kira 1-1.5 kali berat kedelai basah (berat setelah direndam). Tujuan penggilingan adalah untuk memperkecil ukuran partikel sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan memberikan fasilitas untuk melakukan ekstraksi susu kedelai (Shurtleff dan Aoyagi 2001)

c) Pemasakan

Kedelai yang telah digiling kemudian dimasak. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), pemasakan ini dimaksudkan untuk menginaktifasi trypsin inhibitor, meningkatkan nilai gizi dan kualitas kedelai, mengurangi rasa mentah dan beany pada susu kedelai, menambah keawetan produk akhir, dan merubah sifat protein kacang kedelai sehingga mudah dikoagulasikan. Pemasakan dilakukan pada suhu 100°C selama 10-15 menit (Sarwono dan Saragih 2003). Pada saat pemasakan bubur kedelai ditambahkan air untuk memperoleh rendemen yang baik. Penggunaan jumlah air dalam pemasakan perlu diperhatikan, dimana air yang terlalu sedikit akan menyebabkan sari kedelai yang terekstrak juga sedikit. Sedangkan bila air yang digunakan terlalu banyak, akan membuat energi dan waktu untuk ekstraksi sari kedelai semakin besar. Perbandingan berat kedelai kering dan air yang baik adalah sebesar 1:10 (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Selama proses pemasakan dilakukan pengadukan secara kontinyu untuk mencegah terjadinya kegosongan.

d) Penyaringan dan Ekstraksi Susu Kedelai

Bubur kedelai disaring dengan penyaring yang umum digunakan oleh para pembuat tahu, yaitu kain blacu berwarna putih. Hasil penyaringan ini adalah ekstrak susu kedelai, sedangkan ampas akan tertinggal dalam kain penyaring. Untuk mendapatkan sari kedelai yang lebih banyak, ampas dapat dicuci kemudian disaring kembali.

(18)

5

e) Penggumpalan

Setelah penyaringan adalah pengendapan susu kedelai dengan menambahkan penggumpal. Proses penggumpalan protein susu kedelai ini merupakan tahapan yang paling menentukan sifat fisik dan organoleptik dari tahu yang dihasilkan yakni jenis dan jumlah penggumpal serta suhu susu kedelai pada saat penggumpalan (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Penggumpalan dilakukan pada saat suhu susu kedelai berkisar antara 70-90°C (Sarwono dan Saragih 2003)

Ada beberapa jenis penggumpal yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu. Perbedaan penggumpal akan menghasilkan tahu dengan jenis dan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, dalam pembuatan tahu putih di Indonesia, pengrajin tahu lebih banyak menggunakan air tahu (whey) yang telah didiamkan semalam sebagai penggumpal. Sedangkan untuk jenis tahu lainnya, seperti tahu sutra, biasa digunakan GDL (Glucone Delta Lactone) sebagai penggumpal (Sarwono dan Saragih 2003). Selama proses penggumpalan perlu dilakukan pengadukan secara perlahan-lahan dengan arah yang tetap. Pengadukan dihentikan jika sudah terbentuk gumpalan.

f) Pemisahan whey

Setelah gumpalan (curd) terbentuk, dilakukan pengendapan hingga gumpalan turun ke bawah. Pengendapan ini bertujuan untuk mempermudah pemisahan cairan dengan curd. Cairan whey kemudian dipisahkan dari endapan agar proses pencetakan dapat dilakukan dengan mudah dan tahu yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik (Sarwono dan Saragih 2003) g) Pencetakan dan Pengepresan

Gumpalan yang terbentuk selanjutnya dicetak dengan memasukkannya ke dalam cetakan yang telah dialasi kain blacu berwarna putih, lalu bagian atas juga ditutup dengan kain serupa dan papan. Diatas papan selanjutnya diletakkan pemberat hingga air tahu menetes habis dan terbentuklah tahu yang sudah tercetak.

B. NATRIUM BENZOAT

Asam benzoat dengan rumus empiris C7H6O2 merupakan padatan berupa kristal putih yang

umum digunakan sebagai antimikroba. Asam benzoat dan garam-garamnya dan derivat-derivatnya adalah suatu kelompok zat pengawet kimia yang sudah digunakan secara luas dan sering digunakan pada makanan yang asam (Winarno 1997).

Asam benzoat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri daripada kapang. Struktur kimia asam benzoat dapat dilihat pada Gambar 1. Pada konsentrasi diatas 25 mg/L, asam yang tidak terurai akan menghambat pertumbuhan kapang (Buckle et al. 1987). Benzoat efektif pada pH 2.5-4.0 (Winarno 1997). Asam benzoat banyak beredar dalam bentuk garam-garamnya seperti natrium benzoat, kalium benzoat, dan amonium benzoat. Garam natrium dan amonium benzoat dapat digunakan, akan tetapi molekul-molekul asam benzoat itu sendiri yang mempunyai kemampuan sebagai antimikroba.

Gambar 1. Struktur kimia asam benzoat.

Sebagai pengawet pada makanan, ada beberapa keuntungan penggunaan asam benzoat yaitu tidak berwarna dan mudah larut dalam produk. Asam benzoat harus digunakan dengan konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan flavor (off-flavor) pada

(19)

6

produk. Kadar penggunaan asam benzoat yang diijinkan adalah 0.1 g/kg untuk makanan lain seperti kecap, minuman ringan, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, dan saus tomat (Departemen Kesehatan RI 1988). Sedangkan menurut SNI (1995), untuk jem, jeli, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, saus tomat dan makanan lainnya, batas penggunaan maksimum asam dan natrium benzoat adalah 1 g/kg. Nilai ADI asam benzoat dan garamnya adalah 0-5 mg/kg bobot badan (JECFA 2000-5). Molekul-molekul yang tidak mengalami disosiasi diduga merupakan komponen yang aktif (Desrosier 1988). Jumlah komponen asam benzoat yang tidak berdisosiasi ini tergantung pada tingkat pH bahan pangan yang bersangkutan. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat

pH Asam Benzoat yang tidak terurai (%)

3 94 4 60 5 13 6 1.5 7 0.15 (Buckle et al. 1987)

C. KALIUM SORBAT

Asam Sorbat (trans, trans-2,4-hexadienoic acid) yang memiliki rumus empiris C6H8O2

merupakan padatan putih berbentuk kristal dan berbau agak asam. Menurut Desrosier (1988), asam sorbat termasuk golongan asam lemak rantai panjang yang tidak jenuh yang efektif sebagai agensia

fungistatis (menghambat pertumbuhan jamur). Secara komersiil, asam sorbat tersedia dalam bentuk

garamnya termasuk kalsium, natrium, dan kalium sorbat. Struktur kimia asam sorbat dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia asam sorbat.

Kalium Sorbat dengan rumus empiris C6H7O2K merupakan garam kalium dari asam sorbat.

Kalium Sorbat lebih umum digunakan daripada asam sorbat karena kelarutannya yang lebih tinggi dalam air daripada asam sorbat (Merck Indeks 1989). Pada suhu ruang, kelarutan asam dan kalsium sorbat hanya 0.16 dan 1.2% (b/v), sedangkan kelarutan kalium sorbat 58.20% (b/v) (HBSEF 2009). Kalium Sorbat akan menjadi asam sorbat begitu terlarut dalam air. Kalium sorbat memiliki 74% aktivitas antimikroba asam sorbat sehingga membutuhkan konsentrasi lebih tinggi untuk mencapai hasil yang sama dengan asam sorbat murni. (Sofos dan Busta 1993).

Secara umum, sorbat dapat menghambat mikroba gram positif, gram negatif, katalase positif, katalase negatif, aerobik, dan anaerobik, mesofilik dan psikrofilik serta bakteri patogen (Sofos dan Busta 1993). Mekanisme penghambatan mikroba oleh asam sorbat adalah mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur α-diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim tersebut (Winarno 1997). Menurut Sofos dan Busta (1993), penghambatan bakteri oleh sorbat yaitu dengan memperpanjang fase adaptasi (lag phase) pertumbuhan mikroba,

(20)

7

dengan pengaruh yang lebih kecil pada laju pertumbuhan. Sorbat pada bakteri pembentuk spora mempengaruhi germinasi spora, pertumbuhan dan atau pemisahan sel vegetatif. Jumlah kebutuhan asam sorbat untuk pengawetan suatu produk tergantung dari beberapa faktor termasuk komposisi produk (pH, Aw), jumlah kontaminasi awal, pengemas atau suhu penyimpanan. Sebagai pengawet, asam sorbat dan kalium sorbat efektif digunakan hingga pH 6.5, tetapi efektifitasnya meningkat seiring dengan menurunnya pH (Sofos dan Busta 1993).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg. Sedangkan pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, jem dan jeli serta pekatan sari nenas, batas maksimum penggunaanya sebesar 1 g/kg. Nilai ADI dari pengawet kalium sorbat adalah 0-25 mg/kg bobot badan (JECFA 2005). Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat

pH Asam Sorbat yang tidak terurai (%)

3 98 4 86 5 37 6 6 7 0.6 (Buckle et al. 1987)

D. ASAM ASETAT

Asam asetat dapat larut dalam air, alkohol, lemak, dan gliserol. Asam organik tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan. Beberapa senyawa mempunyai beberapa batasan minimal dalam penggunaannya seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dimakan per hari oleh manusia

Asam Organik Batasan

(mg/kg berat badan) Asam asetat - * Natrium diasetat 0-15 Asam fumarat 0-6 Asam laktat - * Asam propionat - * Asam tartarat 0-30

*) Tidak ada nilai ADI (Doores 1993)

Asam organik dapat dihasilkan secara alami oleh tumbuhan maupun hewan. Beragam jenis asam organik antara lain asam sitrat, asam sorbat, dan asam benzoat ditemukan pada buah-buahan, sedangkan pada daging ditemukan asam laktat. Asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan seperti asam sitrat dapat mempunyai daya kerja menurunkan pH dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang ada. Pemberian asam organik diharapkan dapat memperpanjang masa simpan dan mencegah kerusakan bahan pangan tersebut (Ray dan Sandine 1992). Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan didasarkan atas daya kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada bahan pangan, dan keamanan penggunaannya. Asam organik kebanyakan mudah larut air, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 6. Menurut WHO/FAO

(21)

8

(ICMSF 1980), sampai saat ini asam organik merupakan bahan pengawet yang dianggap aman. Ada bermacam-macam asam organik yang dapat digunakan sebagai antimikrobial bahan pangan seperti asam asetat, asam laktat, asam propionat, dan asam sitrat (Rahman 1999). Menurut Rahman (1999) dan Doores (1993), asam organik lipofilik, seperti asam asetat, asam propionat, dan asam benzoat sering digunakan sebagai antimikrobial bahan makanan.

Penelitian ini akan menggunakan asam asetat yang akan dikaji potensinya sebagai pengawet pada tahu. Asam asetat (CH3COOH) merupakan asam organik monokarbonik, memiliki bau dan rasa

tajam, bersifat sangat mudah larut dalam air. Asam asetat aman digunakan sebagai bahan pengawet produk makanan dan tidak ada batasan maksimal untuk dikonsumsi oleh manusia. Doores (1993) melaporkan bahwa efektifitas asam asetat antara pH 4 sampai 6. Persentase asam asetat yang tidak terdisosiasi sebanyak 1% sampai 2% pada daging, ikan, dan sayuran mampu menghambat dan membunuh mikroorganisme.

Kemampuan antimikrobial suatu asam organik tergantung pada tiga faktor, antara lain: efek dari kemampuan asam tersebut dalam menurunkan pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri (Smulders 1995). Aktivitas antimikrobial ditentukan oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Bahan makanan yang memiliki pH rendah, banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikrobialnya juga meningkat. Nilai pKa adalah dimana 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai.

Asam organik yang memiliki nilai pKa lebih tinggi maka banyaknya molekul yang tidak terdisosiasi dalam larutan lebih banyak, sehingga pH larutan menjadi asam. Oleh karena itu, proton yang jumlahnya lebih banyak akan masuk ke dalam sitoplasma sel mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya penurunan pH larutan menjadi asam dan denaturasi di dalam sel, proton-proton yang berada di dalam sel berusaha dikeluarkan oleh sel mikroorganisme. Pertumbuhan sel mikroorganisme menjadi lebih lambat bahkan berhenti sama sekali karena dibutuhkan energi untuk mengeluarkan proton dari dalam sel (Eklund 1989 dan Fardiaz 1989).

Bogaert dan Naidu (2000) menyatakan bahwa keefektifan asam asetat semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dan suhu, serta menurunnya pH dan jumlah mikroba. Berdasarkan ketahanan bakteri terhadap asam asetat, bakteri gram positif ternyata lebih tahan dibandingkan dengan bakteri aerob, dan spora bakteri, serta virus lebih tahan dibandingkan sel vegetatif. Struktur kimia asam asetat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia asam asetat.

Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi bakteri adalah sebagai berikut :

Asam lemah dapat terurai seperti ini : R-COOH → RCOO−+ H+. Asam yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H+ dalam jumlah banyak akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-COOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang

(22)

9

memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO− dan H+. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel mati karena aktifitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997).

Tabel 6. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan

Asam Organik pKa Solubilitas

(g/100g) ADI (mg/kg berat badan) Konsentrasi maksimum yang digunakan (mg/kg)

Asam asetat 4.75 Mudah larut CPPB* CPPB*

Asam sitrat 3.1 Mudah larut CPPB* CPPB*

Asam laktat 3.1 Mudah larut CPPB* CPPB*

Asam sorbat 4.8 0,16 (20°C) 25 1-2000

*) Cara Produksi Pangan Yang Baik (ICMSF 1980)

(23)

10

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan untuk penelitian adalah tahu putih berukuran 6 x 5.5 x 3 cm dengan berat sekitar 70 gram, tahu yang digunakan dibeli dari pabrik tahu Ashor di Cibanteng. Bahan lain yang digunakan adalah natrium benzoat, kalium sorbat, cuka pasar 25%, air minum, aluminium foil,

plastic wrap, baskom, labu ukur, neraca analitik, aquades, dan perlengkapan laboratorium

lainnya. Bahan-bahan untuk uji Angka Lempeng Total adalah Plate Count Agar, KH2PO4,

alkohol 70%, air destilata, dan spiritus. Adapun karakteristik tahu yang digunakan adalah memiliki ALT 6.3 x 106 cfu/g, memiliki gel strength 0.90 N, nilai pH 4.80, nilai derajat L 87.06, nilai a 0.52, dan nilai b 18.07.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas plastik, plastik HDPE, wadah plastik, botol semprot, plastik klip, tissue, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, label,

Micropipette, tip Micropipette.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Penelitian tahap pertama adalah persiapan sampel yang akan diberi perlakuan. Penelitian tahap kedua adalah pengujian Angka Lempeng Total pada setiap sampel yang ada dilanjutkan dengan pengujian mutu tahu secara organoleptik dan obyektif menggunakan Chromameter dan Texture Analyzer serta pengukuran pH. Diagram alir proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir penelitian. Persiapan sampel tahu

Pembuatan larutan

asetat

Uji organoleptik,

Total Plate Count,

pH, TA, dan

Chromameter

Perendaman

Natrium

Benzoat

0,4 ADI

Kalium Sorbat

0,4 ADI

Air

Natrium Benzoat + Kalium Sorbat 0,4 ADI

(24)

11

1. Penelitian Tahap Pertama: Persiapan sampel

Penelitian ini memiiki 5 macam perlakuan perendaman tahu, yaitu tahu yang direndam air minum (B), asam asetat (C), asam asetat & natrium benzoat (D), asam asetat & kalium sorbat (E), dan asam asetat & natrium benzoat & kalium sorbat (F) sedang tahu kontrol diberi kode A. Tahapan pertama persiapan sampel meliputi perendaman tahu ke dalam larutan pengawet. Tahu direndam dengan larutan asam asetat 1.5%, natrium benzoat dan kalium sorbat, masing-masing dengan konsentrasi 40% dari ADI masing-masing sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Alasan dipilih asam asetat 1.5% adalah karena menurut penelitian Ferdiani (2008), konsentrasi asam asetat 2% memberikan rasa netral dan aroma yang agak asam. Dari penelitian tersebut, maka dipilihlah konsentrasi asam asetat 1.5% untuk membuat larutan pengawet tahu, agar tahu tidak terlalu asam. Selain itu pada pembuatan tahu biasanya penggumpal yang digunakan adalah asam asetat 1%, karena itu dipilih konsentrasi di tengah range itu. pemilihan konsentrasi 40% ADI pun didasari bahwa pengawet yang digunakan sebaiknya tidak melebihi setengah dari jumlah ADI yang sudah ditetapkan. Perendaman dilakukan sampai hari ke-4 sambil dilakukan pengukuran terhadap mutu tahu.

2. Penelitian Tahap Kedua: Analisis umur simpan tahu

Tahap ini meliputi analisis umur simpan tahu dengan serangkaian uji, yaitu uji Angka Lempeng Total, uji warna dengan Chromameter, uji tekstur dengan Texture Analyzer, pengukuran pH, dan uji organoleptik. Dari semua uji yang dilakukan dapat dilihat potensi pengawet dalam memperpanjang umur simpan tahu.

C. METODE ANALISIS

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi uji Angka Lempeng Total, pengukuran warna dengan Chromameter, pengukuran tekstur dengan Texture Analyzer, pengukuran pH, dan uji organoleptik. Data yang didapat kemudian dianalisis secara statistik.

1. Angka Lempeng Total (BAM 2003)

Total Plate Count dilakukan dengan menambahkan 50 g sampel ke dalam 450 ml buffer

fosfat Butterfield dan dicampur selama 2 menit dengan stomacher. Kemudian lakukan pengenceran sesuai dengan kebutuhan analisis dengan mengambil 10 ml pengenceran sebelumnya ke dalam 90 ml larutan pengencer sampai pengenceran yang diinginkan. Kemudian dilakukan pemupukan dengan tiga tingkat pengenceran masing-masing dilakukan duplo. Pada penelitian ini, digunakan dilakukan pengenceran pada tingkat -3, -4, dan -5. Dan pada hari ketiga dilakukan peningkatan tingkat pengenceran menjadi -4, -5, dan -6 karena jumlah mikroba sudah bertambah banyak. Lalu dilakukan pengamatan setelah 48 ± 2 jam pada suhu 35°C. Perhitungan jumlah koloni bisa dilakukan dengan menggunakan metode Standard Plate Count dengan rumus:

dimana: N = Jumlah koloni per ml atau g produk

ΣC = Jumlah seluruh koloni pada semua cawan yang dihitung n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama

(25)

12

n2 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama

d = Pengenceran pada cawan pertama

2. Pengukuran Tekstur

Pengukuran tekstur dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer (Stable Micro System, TA-XT 2i). Prinsip dari pengukuran ini adalah dengan memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan dapat diukur. Probe yang digunakan untuk mengukur tekstur tahu adalah probe silinder stainless 6 mm. Probe silinder digunakan untuk mengukur uji penetrasi dan kompresi terhadap gel, pektin, yoghurt, dan margarin untuk memberi informasi tentang kekerasan, kekompakkan, dan ketahanan. Setelah pemasangan probe, sampel diletakkan di atas meja uji dan kemudian

texture analyzer dinyalakan. Data yang diperoleh dapat divisualisasikan dalam bentuk

grafik dan dapat dilakukan pengolahan lanjutan dengan menggunakan program Texture

Expert dari komputer yang terhubung pada texture analyzer. Pengukuran texture analyzer

dilakukan untuk sampel kontrol (A) pada hari ke-0 dan pada saat sampel sudah tidak bisa diterima oleh panelis lagi (busuk) untuk tiap sampel.

3. Pengukuran Warna

Pengukuran perubahan fisik warna sampel menggunakan alat yang disebut Chromameter Minolta CR300. Sebelum digunakan, alat terlebih dahulu dikalibrasi. Hasil pengukuran berupa CIE Lab menunjukkan Nilai L* merepresentasikan kecerahan sampel, sedangkan a* dan b* digunakan untuk mengkarakterisasi nilai Chroma, dimana a* untuk warna hijau (negatif) ke merah (positif) dan warna biru (negatif) sampai kuning (positif) untuk b* (Pomeranz et al, 1978). Pengukuran sampel dilakukan dua kali, yaitu pada saat sampel tahu diproduksi dan saat mutu tahu sudah tidak dapat diterima oleh panelis. Lalu dilakukan pengukuran ∆E untuk megetahui perubahan warna dengan menggunakan rumus:

Dimana ∆L, ∆a, dan ∆b adalah selisih nilai derajat warna dari sampel dikurangi dengan derajat warna dari standar. Dalam penelitian ini, standar yang digunakan adalah tahu yang baru diproduksi.

4. Pengukuran Derajat Keasaman (pH) (AOAC 2005)

Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter yang sudah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan pada saat tahu baru diproduksi, hari ke-1, dan pada saat sampel sudah tidak bisa diterima oleh panelis lagi (busuk) untuk tiap sampel. pH meter dicelupkan ke dalam larutan perendam tahu, dengan tujuan untuk mengukur kesesuaian range pH dengan kemampuan dari pengawet. Setiap menganalisis sampel berbeda, elektroda dibilas 6-8 kali dengan air destilata. Pengukuran sampel dilakukan tiga kali, yaitu saat tahu mulai diproduksi, hari pertama, dan pada saat tahu sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen.

5. Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik terhadap tahu berupa uji rating intensitas terhadap sifat mutu tahu. Uji rating digunakan untuk menentukan seberapa besar perbedaan dari tiap sampel berdasarkan atribut spesifik sampel tersebut (Meilgaard 1999). Sifat mutu yang diuji adalah: aroma, tekstur, dan warna. Uji rating intensitas dilakukan untuk menilai intensitas karakteristik sifat mutu tahu setelah disimpan beberapa hari. Pengujian ini dilakukan

(26)

13

terhadap 8 orang panelis terlatih. Skala intensitas terdiri dari skala dengan urutan meningkat yang digunakan mempunyai rentang skor berkisar dari 1 hingga 7, yaitu : 1) sangat segar, 2) segar, 3) agak segar, 4) kurang segar, 5) tidak segar, 6) agak busuk, dan 7) busuk untuk sifat mutu aroma tahu.

Sedang untuk sifat mutu tekstur tahu adalah : 1) amat sangat kompak, 2) sangat kompak, 3) kompak, 4) antara kompak dan tidak kompak, 5) tidak kompak, 6) sangat tidak kompak, dan 7) amat sangat tidak kompak. Untuk sifat mutu warna tahu adalah : 1) amat sangat putih, 2) sangat putih, 3) putih, 4) antara putih dan tidak putih, 5) tidak putih, 6) sangat tidak putih, dan 7) amat sangat tidak putih. Panelis akan diminta untuk memberi penjelasan lebih lanjut tentang mutu sensori tahu.

Uji dilanjutkan dengan uji rating terhadap terhadap sampel tahu yang digoreng. Panelis diminta memberikan skor terhadap semua sampel tahu dengan skala skor berkisar dari 1 hingga 7, dimana untuk rasa tahu skala 1 menunjukkan tingkat keasaman yang paling tinggi dan skala 7 menunjukkan tingkat ketidakasaman yang paling tinggi. Untuk tekstur tahu, skala 1 menunjukkan tingkat kekerasan tekstur tahu yang paling tinggi, dan skala 7 menunjukkan tingkat kelunakan yang paling tinggi. Untuk warna tahu, skala 1 menunjukkan tingkat kecoklatan yang paling tinggi dan skala 7 menunjukkan tingkat ketidakcoklatan yang paling tinggi. Uji organoleptik dilakukan sampai tahu dianggap sudah tidak layak lagi bagi konsumen.

6. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap karakteristik produk selanjutnya diuji secara statistik. Pengolahan data untuk uji statistik menggunakan program SPSS 15.0. Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan analisis ragam dengan one-way ANOVA (analysis of variance) untuk mengetahui perbedaan pada karakteristik produk yang diuji. Setelah diketahui bahwa karakteristik produk berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan apakah terdapat perbedaan nyata pada tiap sampel (Lea et al. 1997). Untuk pengolahan data uji organoleptik menggunakan univariate ANOVA, dan uji lanjut Duncan untuk menunjukkan apakah terdapat perbedaan nyata pada tiap sampel.

(27)

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Angka Lempeng Total

Hasil pengujian ALT dengan metode BAM menghasilkan data yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil uji Angka Lempeng Total tahu dengan berbagai pengawet. Perlakuan

Jumlah mikroba (cfu/g)

1 RSD 2 RSD 3 RSD 4 RSD A 1.3 x 107 0.3 x 107 5.7 x 107 0.1 x 107 8.3 x 107 0 - - B 1.6 x 106 0.3 x 106 2.5 x 107 0.3 x 107 1.6 x 107 0.5 x 107 7.8 x 107 1.5 x 107 C 2.9 x 106 0.1 x 106 3.8 x 107 0.4 x 107 7.1 x 106 1.1 x 106 5.8 x 106 1.0 x 106 D 4.2 x 106 0.4 x 106 1.3 x 107 0.1 x 107 1.8 x 106 0.1 x 106 5.6 x 106 0.8 x 106 E 2.4 x 106 0.1 x 106 9.6 x 106 0.4 x 106 7.1 x 106 1.0 x 106 7.5 x 106 1.0 x 106 F 4.0 x 106 0.5 x 106 2.0 x 107 0.4 x 107 8.2 x 106 0.4 x 106 6.6 x 106 1.1 x 106

Ket: A= tahu yang tidak direndam, B = tahu yang direndam air, C = tahu yang direndam asam asetat 1,5%, D = tahu yang direndam asam asetat 1,5% dan natrium benzoat, E = tahu yang direndam asam asetat 1,5% dan kalium sorbat, F = tahu yang direndam asam asetat 1,5%, natrium benzoat dan kalium sorbat

Dari data yang didapat bisa dilihat bahwa terjadi kenaikan dan penurunan jumlah mikroba pada tahu dengan perlakuan direndam air, asam asetat, asam asetat & natrium benzoat, asam asetat & kalium sorbat, dan asam asetat & natrium benzoat & kalium sorbat. Tetapi jumlah mikroba yang paling kecil dihasilkan oleh larutan D, yaitu larutan asam asetat & natrium benzoat dengan jumlah mikroba 5.6 x 106 cfu/g. Dapat dilihat bahwa Angka Lempeng Total (ALT) hari ke-4 tahu yang direndam air adalah 7.8 x 107 cfu/g, ALT tahu yang direndam larutan asam asetat 1.5% adalah 5.8 x 106 cfu/g, ALT tahu yang direndam larutan asam asetat 1.5% dan kalium sorbat adalah 7.5 x 106 cfu/g, ALT tahu yang direndam oleh larutan asam asetat 1.5%, natrium benzoat, dan kalium sorbat adalah 6.6 x 106 cfu/g. Terdapat penurunan jumlah mikroba pada perlakuan kombinasi asetat dengan pengawet lain (C,D,E,dan F) pada hari ketiga. Hal ini mungkin dapat terjadi karena asam lemah dapat terurai menghasilkan ion H+. Asam yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H+ dalam jumlah banyak akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-COOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO− dan H+. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel mati karena aktifitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997). Pada hari ketiga mikroba tidak lagi mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan ion H+ sehingga sel mati dan terjadi penurunan jumlah mikroba. Asam asetat yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai fungsi yang luas yaitu disamping dapat sebagai zat penggumpal, asam cuka juga dapat berperan sebagai pengawet dimana asam akan menurunkan pH bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan jumlah asam yang cukup akan menyebabkan denaturasi protein bakteri. Asam cuka juga

(28)

15

dapat berfungsi untuk menambah cita rasa, mengurangi rasa manis, dan dapat pula memperbaiki tekstur (Winarno dan Rahman 1974). Kerusakan bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH mendekati netral biasa disebabkan oleh bakteri. Kerusakan mikrobiologis tahu bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bakteri tahan panas seperti golongan pembentuk spora dan termodurik, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan tahu, suhu penyimpanan, adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh bakteri tertentu (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Komposisi suatu bahan pangan sangat menentukan jenis mikroorganisme yang berkembang biak pada bahan pangan tersebut. Bakteri yang biasa terdapat dalam makanan yang banyak mengandung protein, berkadar air tinggi, dan pH mendekati netral seperti tahu adalah bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan bakteri termodurik (Frazier dan Westhoff 1978). Bakteri proteolitik bisa dibedakan menjadi aerobik/anaerobik fakultatif (Pseudomonas), aerobik/anaerobik fakultatif pembentuk spora (Bacillus), dan anaerobik pembentuk spora (Clostridium). Adapun contoh bakteri pembentuk asam laktat adalah Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc,

Streptococcus, Pediococcus. Bakteri termodurik adalah bakteri yang mampu bertahan pada

suhu tinggi. Contoh bakteri termodurik adalah Micrococcus, Bacillus, dan Brevibacteria (Frazier dan Westhoff 1978). Di dalam tahu juga terdapat aktifitas bakteri yang bersifat

putrefactive yang menghasilkan bau busuk pada tahu. Contoh bakteri ini adalah Clostridium

dan Pseudomonas. Bakteri ini akan menghidrolisis komponen protein dan asam-asam amino secara lanjut yang menghasilkan senyawa-senyawa dan gas-gas yang berbau busuk. Senyawa-senyawa dan gas-gas hasil hidrolisis tersebut antara lain adalah metil sulfida, etil sulfida, dan hidrogen disulfida. Senyawa-senyawa ini yang akan menimbulkan bau busuk yang muncul pada tahu. Selain itu juga adanya aktifitas bakteri pembentuk lendir pada tahu. Lendir adalah polimer (polisakarida) dari monosakarida yang membentuk kapsul di sekeliling sel atau tersekresi sebagai massa berbentuk amorf (tidak jelas bentuknya) dalam media di sekeliling sel. Contoh mikroba yang dapat menghasilkan gum atau lendir adalah

Alcaligenes, Pseudomonas, Leuconostoc (Glicksman 1982).

Namun berdasarkan uji statistik, pada hari keempat tidak diketemukan perbedaan nyata antar perlakuan asam asetat maupun kombinasi dengan pengawet lain. Keempat kombinasi pengawet berbeda nyata dengan tahu yang direndam air. Hasil uji statistik Angka Lempeng Total dapat dilihat pada Lampiran 3, Lampiran 4 ,Lampiran 5, dan Lampiran 6. Penelitian Setyadi (2008) menyatakan uji ALT pada tahu kontrol menghasilkan jumlah mikroba 4.8 x 105 koloni/ml, pada hari pertama 3.7 x 106 koloni/ml, dan pada hari kedua dan ketiga jumlah mikroba sudah lebih dari 2.5 x 107 koloni/ml. Untuk tahu yang dicelup larutan asam asetat 2% selama 1 menit, didapatkan jumlah mikroba pada hari pertama, kedua, dan ketiga adalah 4.3 x 105 koloni/ml, 2.2 x 106 koloni/ml, dan1.6 x 107 koloni/ml. Jumlah mikroba pada penelitian Setyadi (2008) lebih sedikit bila dibandingkan dengan ALT pada penelitian ini, hal ini dapat terjadi karena tahu yang digunakan pada penelitian ini sudah memiliki perbedaan ALT dengan penelitian dari Setyadi (2008). Penelitian Saputra (2006) menyatakan uji ALT tahu yang dicelup asam benzoat 800 ppm hari pertama, kedua, dan ketiga adalah 4.3 x 104 cfu/g, 1.7 x 105 cfu/g, 6.5 x 105 cfu/g. ALT tahu yang dicelup kalium sorbat 800 ppm pada hari pertama, kedua, dan ketiga adalah 2.5 x 107 cfu/g, 2.2 x 108 cfu/g, dan 7 x 108 cfu/g. Sementara itu tidak dilakukan perhitungan ALT dengan tahu kontrol pada penelitian Saputra (2006). Pada penelitian ini, digunakan konsentrasi kalium sorbat 600 ppm, dan jumlah mikroba yang dihitung lebih sedikit dibandingkan tahu yang direndam kalium sorbat 800 ppm pada penelitian Saputra (2006). Hal ini dapat disebabkan karena kombinasi kalium

(29)

16

sorbat dengan asam asetat membuat pengurangan jumlah mikroba lebih optimum. Sementara itu jumlah mikroba pada tahu yang dicelup dengan asam benzoat 800 ppm pada penelitian Saputra (2006) lebih kecil dari natrium benzoat karena asam benzoat lebih efektif sebagai pengawet dibandingkan dengan natrium benzoat (Inchem 2000). Menurut penelitian Tuasamu (2004), tahu yang dibuat dengan bubuk kunyit 0.8% tanpa pengawet memiliki angka TPC pada jam ke-0, 12, dan 24 berturut-turut adalah 7.8 x 102 cfu/g, 2.4 x 104 cfu/g, 3.0 x 106 cfu/g. Tahu yang dibuat dari bubuk kunyit 0.8% lalu direndam dengan kalium sorbat 0.1% dan kalsium propionat 0.3% memiliki angka TPC pada jam ke-0, 12, dan 24 berturut-turut adalah 4.8 x 102 cfu/g, 7.7 x 103 cfu/g, 1.1 x 105 cfu/g. Tahu yang dibuat dari bubuk kunyit 0.8% lalu direndam dengan natrium benzoat 0.1%, kalium sorbat 0.05% dan kalsium propionat 0.3% memiliki angka TPC pada jam ke-0, 12, dan 24 adalah berturut-turut 6.1 x 102 cfu/g, 9.5 x 103 cfu/g, 1.3 x 105 cfu/g. Bila dibandingkan dengan tahu kontrol pada penelitian ini yang tidak menggunakan bubuk kunyit dan diproduksi oleh pabrik secara massal tanpa memperhatikan higienitas maka jumlah mikroba yang terdapat pada kedua jenis tahu pasti berbeda, jumlah mikroba pada tahu kontrol pada penelitian ini lebih tinggi. Akan tetapi kenaikan jumlah mikroba pada penelitian Tuasamu (2004) lebih cepat dibanding kenaikan jumlah mikroba tahu pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas pengawet yang dicampur dengan asam asetat akan membuat jumlah mikroba pada tahu tidak meningkat drastis dibanding hanya menggunakan pengawet komersial, dalam hal ini natrium benzoat dan kalium sorbat, tanpa menggunakan pengasam. Efektifitas natrium benzoat, kalsium propionat, dan kalium sorbat berada pada pH asam sehingga tidak bisa bekerja maksimal jika tidak ditambah pengasam pada tahu. Karena itu kenaikan jumlah mikroba sangat cepat sekali dalam hitungan 24 jam pada penelitian Tuasamu (2008).

B. Pengukuran Tekstur

Hasil pengukuran tekstur dengan menggunakan Texture Analyzer dapat dilihat pada Gambar 5. Pengukuran untuk tahu A dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-3, dimana tahu sudah tidak dapat diterima secara organoleptik oleh konsumen. Sampel yang baru diproduksi memiliki tekstur yang masih baik. Ini ditunjukkan dengan nilai force yang dibutuhkan untuk memecahkan gel tahu sangat tinggi yaitu 0.90 N. Sementara perlakuan perendaman dengan larutan D menunjukkan gel strength yang paling kecil diantara ke semua sampel yang ada dengan force 0.46 N. Tahu A pada hari ke-0 berbeda nyata dengan tahu A hari ke-3, hal ini menunjukkan penurunan kekuatan gel tahu. Kemudian tahu yang diberi perlakuan asam asetat (tahu C, D, E, dan F) berbeda nyata dengan tahu yang tidak diberi asam asetat (tahu A dan B). Tahu yang direndam asam asetat-benzoat serta yang hanya diberi asetat berbeda nyata dengan tahu yang direndam air, benzoat-sorbat, dan sorbat. Hasil uji statistik untuk pengukuran tekstur bisa dilihat pada Lampiran 7. Tekstur dari tahu yang diberi asetat dan asetat-benzoat lebih lunak dibandingkan dengan yang diberi campuran sorbat karena tahu yang diberi perlakuan asetat dan kombinasi asetat-benzoat lebih asam dibandingkan tahu yang diberi asetat-sorbat ataupun kombinasi asetat-sorbat-benzoat. Pelunakan tekstur dapat terjadi karena protein terhidrolisis oleh asam dan membuat tekstur tahu menjadi lunak. Sedangkan untuk tahu yang tidak direndam asam, pelunakan tekstur dapat disebabkan oleh aktivitas mikrobiologi bakteri proteolitik. Pelunakkan tekstur dapat disebabkan oleh bakteri proteolitik yang terdapat pada pangan tinggi protein seperti tahu (Yasuda 2011). Bakteri proteolitik dapat menghasilkan enzim proteolitik yang dapat memecah protein dan dapat melunakkan jaringan. Menurut Raharjo (1996), enzim protease dapat melunakkan tekstur daging. Jenis bakteri protelitik adalah Pseudomonas dan Bacillus. Pada penelitian Setyadi

(30)

17

(2008), tahu yang direndam asam asetat yang semakin meningkat konsentrasinya memiliki tekstur yang semakin lunak. Hal ini juga terjadi pada penelitian ini dimana tahu yang direndam asam asetat dan pengawet lainnya memuat tekstur tahu menjadi lunak. Akan tetapi menurut Winarno dan Rahman (1974), asam cuka juga dapat berfungsi untuk menambah cita rasa, mengurangi rasa manis, dan dapat pula memperbaiki tekstur. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapat di dalam penelitian ini, dimana tekstur justru melunak ketika direndam dengan asam cuka. Hal ini mungkin disebabkan karena penentuan konsentrasi asam asetat yang optimal untuk memperbaiki dan menjaga tekstur tahu harus ditentukan terlebih dahulu agar tekstur tahu tidak melunak.

Gambar 5. Grafik hasil pengukuran gel strength

C. Pengukuran Warna

Pengukuran warna secara objektif yang dilakukan dengan Chromameter menghasilkan data yang bisa dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil pengujian warna tahu dengan menggunakan Chromameter.

Hari Sampel L a b ∆E

3 A 82.54 ± 0.113 2.04 ± 0.113 17.76 ± 0.057 4.78 4 B 87.03± 0.247 -0.33 ± 0.021 17.02 ± 0.042 1.35 4 C 86.40± 0.255 0.80 ± 0.014 15.29 ± 0.035 2.87 4 D 83.34± 0.424 1.23 ± 0.021 14.43 ± 0.085 5.25 4 E 85.65± 0.601 0.83 ± 0.035 14.90 ± 0.099 3.48 4 F 86.73± 0.156 0.74 ± 0.021 14.78 ± 0.007 3.31

Sampel tahu yang baru diproduksi memiliki nilai kecerahan 87.06. Dari data yang didapat, nilai kecerahan yang paling tinggi dari tahu yang diberi perlakuan didapat dari sampel B dengan tingkat kecerahan 87.03. Sedang untuk kecerahan yang paling rendah terjadi pada sampel A yaitu 82.54. Hal ini dapat terjadi karena saat hari ke-3 kontrol

Gambar

Tabel 2. Syarat mutu tahu (SNI 01-3142-1998)
Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat
Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat
Tabel 6. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

adanya perbaikan data (redress) yang terjadi lagi, purpose (maksud): untuk memperlancar proses pengeluaran barang impor tepat pada waktunya, outuput (hasil):

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: (a) materi-materi yang terkandung dalam BIEDA dapat disebut sebagai buku teks yang sangat layak, yakni sebesar 98%,

Campuran arang batok kelapa dan tanah humus dapat digunakan sebagai adsorben untuk menurunkan kadar logam krom walaupun tidak sempurna. Persen penurunan kadar logan krom pada

Asia Forestama Raya tentang karakteristik kayu lapis berdasarkan kelas umur pohon dapat ditarik kesimpulan dari analisis sifat fisik (pengujian kerapatan kayu dan

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan perencanaan strategi sistem dan teknologi informasi adalah sebuah rencana yang melibatkan penggunaan

Selama periode 2011-2015, laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Banjarnegara cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya, artinya Kabupaten Banjarnegara memiliki

Miiko adalah manga populer dan digemari remaja dan dewasa, yang mengingatkan pembaca agar tidak malas untuk belajar Memberikan pesan moral melalui tokoh dengan

Saran yang dapat diberikan yaitu mengoptimalkan sistem control landfill dalam pengelolaan TPA Mrican sebelum TPA baru dengan sistem sanitary landfill siap digunakan,