BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1. Kondisi Geografis
Perairan Teluk Bone Secara administratif terletak di Propinsi Sulawesi Selatan di sebelah barat dan utara, dan Propinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur. Wilayah administratif dari Propinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Bone, Kab. Wajo, Kab. Luwu, Kodya Polopo, Kab. Luwu Utara, Kab. Luwu Timur. Sedangkan wilayah administratif di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan dengan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bombana dan Kab. Kolaka. Laut Flores adalah batas sebelah selatan dari perairan Teluk Bone.
Luas wilayah daratan Kabupaten Luwu tercatat 294.294 ha. Wilayah Kabupaten Luwu terdiri dari 21 (dua puluh satu) kecamatan, 14 kelurahan dan 174 desa (Tabel 3). Kedudukan Kabupaten Luwu secara administratif berbatasan langsung dengan beberapa kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Sidenreng Rappang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Enrekang dan sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone. Wilayah Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan Teluk Bone adalah Kecamatan Larompong, Kecamatan Larompong Selatan, Kecamatan Suli, Kecamatan Belopa Utara, Kecamatan Ponrang, Kecamatan Bua dan Kecamatan Walenrang. Berikut table luas daerah, presentase luas terhadap luas kabupaten per kecamatan di Kabupaten Luwu.
Teluk Bone dicirikan sebagai tempat bermuaranya Sungai Cenrana. Pada masa lalu, kebijakan pembangunan lebih terkonsentrasi pada wilayah daratan sehingga cenderung mengabaikan pembangunan wilayah pesisir dan laut. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antara wilayah daratan dan laut. Kesenjangan ini terlihat pada tingkat kesejahteraan sosial ekonomi yang rendah dan angka kemiskinan yang tinggi (Balitbangda, 2006).
Kabupaten Luwu yang beribu kota di Belopa terletak pada bagian selatan khatulistiwa antara 2° 39' 58.55" - 3° 40' 0.06" Lintang Selatan dan 119° 52' 28.70" - 120° 25' 17.11" Bujur Timur. Jarak Kabupaten Luwu dari Kota Makassar
berkisar 400 km dan terletak di sebelah utara dan timur Propinsi Sulawesi Selatan. Derah Kabupaten Luwu terbagi dua wilayah sebagai akibat dari pemekaran Kota Palopo, yaitu wilayah Kabupaten Luwu bagian selatan yang terletak sebelah selatan kota Palopo dan wilayah yang terletak disebelah utara Kota Palopo. Pada Tabel 2 menunjukkan luas setiap kecamatan di Kabupaten Luwu.
Tabel 2. Luas daerah, presentase luas terhadap luas kabupaten per kecamatan di Kabupaten Luwu.
No Kecamatan Luas Daerah (Region Area) Luas (Area) km² Prosentase (Percentage) 1 2 3 4 1. 2. 3. 4 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Kec. Basseang Tempe Kec. Latimojong Kec. Walenrang Barat Kec. Walenrang Utara Kec. Larompong Kec. Suli Barat Kec. Bua
Kec. Bua Ponrang Kec. Larompong Selatan Kec. Ponrang
Kec. Bajo Barat Kec. Ponrang Selatan Kec. Suli
Kec. Walenrang Kec. Lamasi Timur Kec. Bajo
Kec. Walenrang Timur Kec. Kamanre
Kec. Lamasi Kec. Belopa Kec. Belopa Utara
40,872 34,614 24,480 23,823 21,975 19,099 18,062 17,543 12,040 11,496 10,496 9,168 8,009 7,770 6,774 5,807 5,551 4,995 4,393 3,149 2,895 13.95 11.81 8.36 8.13 7.50 6.52 6.17 5.99 4.11 3.92 3.58 3.13 2.73 2.65 2.31 1.98 1.89 1.71 1.49 1.07 0.99 Sumber : Hasil Analisis GIS, 2010
Keadaan topografi Kabupaten Luwu secara umum berada pada ketinggian 0-2000 meter dari permukaan air laut dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 persen, 2-15 persen, dan 15-40 persen dan >40 persen. Daerah dataran pegunungan memiliki presentase tertinggi yaitu 53 persen dari luas wilaya Kabupaten Luwu atau sekitar 143,630,49 ha dan terletak di daerah batas Kabupaten Toraja sampai Kabupaten Enrekang memanjang hingga kearah utara.
Sepanjang daerah pesisir di Teluk Bone, memiliki karakteristik pantai berbeda diantaranya di Kecamatan Larompong Selatan merupakan pantai berpasir,
Kecamatan Larompong kearah utara Kecamatan Suli, Kecamatan Belopa, Ponrang hingga Kecamatan Bua merupakan daerah dominan di tumbuhi mangrove dengan pantai berlumpur dan campuran pasir. Untuk topografi perbukitan dan pegunungan terdapat di daerah bagian barat di Kecamatan Suli Barat, Bajo Barat Latimojong, Basseang Tempe hingga Walenrang Barat yang berbatasan dengan Toraja dan Luwu Utara.
Di daerah dataran rendah yang berada di jalur pesisir Kabupaten Luwu, dari Kecamatan Larompong, Suli, Belopa, Ponrang dan Kecamatan Bua serta daerah pesisir sekitarnya, terdiri atas batuan gunung api Baturape cindako (pusat erupsi), Batuan Gunung api Lamasi (lava andesit, basal, breksi gunung api, batu pasir, dan Batu Lanau, setempat mengandung felsdpatoid, umumnya terkrolitkan dan terkersitkan diduga Oligosen karena menindih Formasi Toraja (Tets) yang berumur Eosen, endapan aluvium dan pantai (kerikil, pasir, lempung, lumpur, batu gamping koral).
Dari 21 (dua puluh satu) kecamatan di Kabupaten Luwu, 7 (tujuh) kecamatan di antaranya yang memiliki wilayah pesisir yang cukup luas. Selain memiliki garis pantai yang cukup panjang tersebar dibeberapa kecamatan, kabupaten Luwu juga memiliki kawasan pertambakan yang cukup luas yang terdapat di Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, Belopa Utara, Ponrang, Bua dan Kecamatan Walenrang Timur. Sebaran Mangrove yang luas tersebar dari ketujuh kecamatan ini disepanjang pesisir Teluk Bone yang pada saat ini semakin berkurang akibat pembukaan lahan pertambakan yang cukup massif.
4.2. Kondisi Demografi
Pada tahun 2005 jumlah penduduk di Kabupaten Luwu sebanyak 312.890 jiwa. Tahun 2009 jumlah penduduk di Kabupaten Luwu sebanyak 333.757 jiwa atau bertambah 2,09 persen dan pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 340.746 jiwa. Laju pertambahan penduduk terbesar dalam kurun waktu tersebut ada di wilayah Kecamatan Belopa Utara sebesar 11,88 persen. Hal tersebut terkait dengan pemindahan ibu kota kabupaten di Kecamatan Belopa, sehingga terjadi perpindahan penduduk dari wilayah lainnya. Sedangkan pertambahan penduduk terkecil terjadi pada Kecamatan Latimojong dengan adanya pengurangan
penduduk sebesar -7,81 persen yang umumnya disebabkan oleh perpindahan sebagaian masyarakat yang bekerja sebagai buruh tambang dan penduduk yang mencari mata pencaharian yang lebih layak.
Pola penyebaran penduduk di Kabupaten Luwu merata dengan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Bua dan Kecamatan Ponrang. Sebagai kabupaten hasil pemekaran penyebaran penduduk lebih besar di dua kecamatan tersebut dikarenakan wilayahnya yang lebih dekat dengan Kota Palopo sebagai pusat jasa dan transaksi jual beli. Sementara jika dilihat dari kepadatan per km², kecamatan Lamasi merupakan daerah terpadat yaitu 465,85 penduduk per kilometer persegi (km²) dengan luas wilayah hanya 1,4 persen dari luas Kabupaten Luwu, dan kepadatan paling rendah terdapat pada Kecamatan Latimojong yaitu hanya 14,27 penduduk per kilometer persegi (km²) dengan luas wilayah 15,6 persen dari luas kabupaten Luwu.
Struktur umur penduduk pada Kabupaten Luwu terdapat tiga struktur yaitu 0-14 tahun, 15-64 tahun, dan di atas 64 tahun. Persentase golongan umur 0-14 tahun sebesar 37, 36 persen dengan jumlah penduduk 121.117 jiwa yang terdiri dari 63.095 orang laki-laki dan 58.022 orang perempuan. Golongan umur 15-64 tahun sebesar 57,59 persen dengan jumlah penduduk 186.738 jiwa yang terdiri dari 89.516 orang laki-laki dan 97.222 orang perempuan. Pengelompokan yang terakhir yaitu penduduk yang berumur diatas 64 tahun sebesar 5,05 persen dengan jumlah penduduk 16,374 jiwa yang terdiri dari 6.359 orang laki-laki dan 10.015 orang perempuan. Jumlah rumah tangga dari keseluruhan kecamatan yang ada di Kabupaten Luwu sebanyak 67.785.
Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk periode selanjutnya yaitu tahun 2030 diperkirakan jumlah penduduk akan mencapai 515.768 jiwa. Berdasarkan data proyeksi yang diperoleh dari hasil analisis kependudukan Kabupaten luwu 2009 maka pada tahun 2010 penyebaran penduduk di Kabupaten Luwu memiliki rata-rata kepadatan penduduk sebanyak 1 jiwa/hektar dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Belopa Utara mencapai 5 jiwa/hektar. Sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Latimojong dan Bastem dengan rata-rata kepadatan penduduk 1 jiwa/hektar. Tingkatan kepadatan penduduk jika diperkirakan hingga tahun 2030 penyebaran penduduk di Kabupaten Luwu memiliki rata-rata
kepadatan penduduk 2 jiwa/hektar dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Belopa Utara yang mencapai 44 jiwa/hektar.
4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi kabupaten Luwu selain sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Menyikapi pentingnya sektor tersebut, Pemda Kabuten Luwu telah melakukan regulasi kelembagaan dengan membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kelautan dan Perikanan. Terbentuknya Dinas Kelautan dan Perikanan merupakan momentum sekaligus tantangan bagi Pemda Kabupaten Luwu untuk meningkatkan kualitas peran fasilitas dan intermediasi bagi masyarakat dan stakeholder yang bergerak pada sektor ini, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas kinerja SKPD yang bersangkutan akan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan kelautan dan perikanan yang menjadi tanggungjawabnya. Tantangan ini semakin nyata di kawasan pesisir dan laut, dimana dituntut keterpaduan pengelolaan untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan perlindungan kualitas lingkungan.
Umumnya nelayan kabupaten Luwu lebih banyak yang memanfaatkan sumberdaya perikanan tangkap. Sebagaian besar wilayah tambak dimanfaatkan untuk budidaya ikan bandeng, udang windu dan rumput laut. Penangkapan dengan sistem tradisional masih banyak ditemukan di beberapa tempat dengan menggunakan alat tangkap sederhana seperti sampan, jaring, pancing dan bubu serta alat tangkap nelayan lokal yang sangat sederhana. Keberadaan nelayan tradisional di Kabupaten Luwu juga menjadi masalah tersendiri yang dalam kebijakan ditingkat lokal luput dari perhatian Pemerintah Daerah. Umumnya Nelayan yang tidak mampu lagi mememnuhi kebutuhan hidupnya selanjutnya lebih banyak menjadi petani sekaligus buru bangunan atau pekerjaan lainnya.
Penguatan ekonomi masyarakat pesisir melalui program dan kegiatan yang mampu meningkatkan pendapatan, memberi hak atas sumberdaya pesisir kepada masyarakat, penguatan komunitas dan jaminan hukum dari pengambil kebijakan melalui regulasi seharusnya diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan semua stakeholder yang berkepentingan. Langkah-langkah
Pemda Kabupaten Luwu untuk menyiapkan produk-produk hukum yang menjadi acuan dalam pengeloaan wilayah pesisir termasuk langkah strategis dalam memproteksi perilaku merusak sumberdaya pesisir, namun pada sisi lain juga dapat mempersempit ruang atau akses masyarakat terhadap sumberdaya pesisir sehingga pada sisi lain akan meyebabkan kemiskinan nelayan yang berkepanjangan.
4.4. Pemerintahan
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda termasuk daerah yang berstatus kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56 tahun 1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 (tujuh) daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain ; Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar, Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4 Tahun 1957, maka daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja. Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3 Tahun 1957 adalah meliputi, Kewedanaan Palopo, Kewedanaan Masamba, dan, Kewedanaan Malili (http://www.luwukab.go.id/).
Tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu. Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur pemerintahan daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100 Tahun 1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu, Wara, Larompong, Suli, Bajo, Bupon, Bastem, Walenrang, Limbong, Sabbang, Malangke, Masamba, Bone-bone, Wotu, Mangkutana, Malili dan Nuha.
Beberapa bulan kemudian, SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067 Tahun 1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan diterbitkan. Dengan berpedoman pada SK tersebut, maka status distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100 Tahun 1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Pada tahun 1999, awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya Undang-undang No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah, tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun1999 (http://www.luwukab.go.id/).
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kecamatan Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu Kecamatan Lamasi, Walenrang, Pembantu Telluwanua, Warautara, Wara, Pembantu Waraselatan, Bua, Pembantu Ponrang, Bupon, Bastem, Pembantu Latimojong, Bajo, Belopa, Suli, Larompong, Pembantu Larompong Selatan. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kecamatan Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sabbang, Pembantu Baebunta, Limbong, Pembantu Seko, Malangke, Malangke Barat, Masamba, Pembantu Mappedeceng, Pembantu Rampi, Sukamaju, Bone-bone, Pembantu Burau, Wotu, Pembantu Tomoni, Mangkutana, Pembantu Angkona, Malili, Nuha, Pembantu Towuti (BPS Luwu Utara, 2002).
4.5. Potensi Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu
Sebagai wilayah yang memiliki garis pantai yang cukup panjang, Kabupaten Luwu merupakan bagian yang sangat strategis bagi pengelolaan kawasan Teluk Bone. Di sepanjang garis pantai terdapat hutan mangrove yang terbentang luas, padang lamun dan beberapa pulau-pulau kecil yang dikelilingi terumbuh karang. Konversi lahan mangrove menjadi pertambakan intensif mendorong degradasi lingkungan pesisir yang cukup cepat. Selain itu pertambahan penduduk dan pemukiman disekitar wilayah pesisir juga menjadi potret yang dapat dilihat saat ini di kawasan pesisir Kabupaten Luwu.
Sumberdaya perikanan kabupaten Luwu terdiri atas perikanan laut dan perrikanan darat. Total potensi lahan untuk kegiatan budidaya perikanan seluas 28.315 ha, terdiri atas lahan tambak seluas 10.525 ha, lahan mina padi 2.711 ha, lahan kolam 79 ha, dan perairan pantai 15.000 ha. Tingkat pemanfaatan lahan mencapai 12.743 ha, atau sekitar 45 persen dari total potensi budidaya perikanan yang tersedia. Sumberdaya kelautan yang dimiliki Kabupaten Luwu sangat potensial, meliputi wilayah laut seluas 800.000 ha dengan panjang garis pantai 116,16 km. berdasarkan data yang ada luas tutupan terumbu karang diperkirakan sekitar 17.310 ha, dengan estimasi persentase tutupan karang 10 persen dalam kondisi baik, 25 persen dalam kondisi sedang dan 65 persen dalam kondisi rusak. Wilayah perairan di Kabupaten Luwu selain dimanfaatkan untuk perikanan tangkap, juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut dan bagan ikan.
Total jumlah produksi kegiatan budidaya perikanan pada tahun 2009 sebesar 340.039 ton atau meningkat sebesar 83.548 ton (32 persen) dibandingkan tahun 2008 yang hanya mencapai 256.491 ton. Peningkatan produksi perikanan budidaya disebabkan oleh besarnya pertambahan luasan pemanfaatan lahan budidaya, terutama untuk budidaya rumput laut jenis gracillaria sp dan Eucheuma cottoni serta ikan mas. Pemanfaatan lahan tambak yang lain adalah budidaya udang windu dan ikan bandeng. Secara keseluruhan luas areal tambak yang dikelola oleh masyarakat sampai dengan tahun 2009 adalah 7.423 ha yang tersebar disepuluh wilayah kecamatan. Masing-masing menurut komoditas yang dibudidayakan, areal budidaya udang windu seluas 180 ha, ikan bandeng seluas 2.760 ha, dan rumput laut 4.483 ha.
Pada tahun 2008 produksi lahan tambak untuk 3 jenis komoditas utama yakni ikan bandeng (Chanos chanos) sebesar 3.220 ton, udang windu (Penaeus monodon) sebesar 13 ton, dan rumpu laut (Gracillaria sp) sebesar 196.020 ton. Apabila dibandingkan dengan produksi budidaya perikanan pada tahun 2009 mengalami peningkatan 3.864 ton (16,7 persen) untuk budidaya ikan bandeng, 90 ton (85,6 persen) ton udang windu dan rumput laut meningkat menjadi 134.248 ton atau berkisar 31 persen.
Kegiatan pengembangan budidaya air tawar untuk jenis ikan mas (Cipirus carpio) dahulunya banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki lahan persawahan. Namun dalam perkembangannya dan meningkatnya permintaan pasar masyarakat melakukan pengembangan budidaya ikan mas dengan membuka lahan kolam baru dan keramba yang banyak ditemukan pada saluran pengairan sawah. Luas areal budidaya ikan mas yang dikelola oleh masyarakat berkisar 1.520 ha, terdiri dari lahan mina padi dan kolam. Lahan budidaya ikan mas tersebar di 15 kecamatan. Produksi ikan mas pada tahun 2009 mencapai 380 ton. Di beberapa kecamatan masyarakat melakukan usaha-usaha unit pembenihan rakyat (UPR) yang tersebar di kecamatan Lamasi Timur, Walenrang Timur, Walenrang, Walenrang Barat, Walenrang Utara, Bajo, Suli, dan Kecamatan Larompong. Selain itu terdapat empat unit sarana Balai Benih Ikan (BBI) di Kecamatan Lamasi Timur, Walenrang Timur, Walenrang dan Bajo.
Dalam kegiatan budidaya laut yang berkembang pesat di empat kecamatan yakni Kecamatan Bua, Ponrang, Suli dan Kecamatan Larompong komoditas utamanya adalah budidaya rumput laut jenis Euchema cottoni. Total luas pemanfaatan tahun 2009 seluas 6.725 ha yang juga menyebabkan total produksi yang dihasilkan meningkat dua kali lipat dari 57.000 ton pada tahun 2008 menjadi 201.372 ton pada tahun 2009.
Perairan laut di perairan tropis dicirikan dengan tingginya tingkat keanekaragaman hayati, sehingga jenis peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan pun sangat bervariasi, baik untuk jenis demersal maupun pelagis. Jumlah alat tangkap pada tahun 2009 sebanyak 2.276 unit yang tersebar di tujuh kecamatan. Jenis alat tangkap tersebut terdri atas jala, jala insang (gili net) dan
pancing. Disain khusus dari ketiga jenis alat tangkap ini disesuaikan dengan lokasi penangkapan ikan dan cara pergerakan (ruaya) dari jenis ikan yang ditangkap.
Nelayan menggunakan alat tangkap yang bersifat statis, misalnya Sero dan Bagang tancap. Alat tangkap jenis ini bersifat massif dan di gunakan hanya pada musim tertentu. Disamping Bagan Tancap juga terdapat Bagan Perahu yang mampu mendekati fishing ground. Jauhnya operasi nelayan ditentukan oleh kemampuan perahu atau kapal tangkap dan jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebagian besar kegiatan nelayan masih terkonsentrasi pada perairan pantai hingga empat mil laut dari tempat asalnya (fishing base), sesuai dengan kemampuan jelajah perahu motor temple. Fishing ground bagi nelayan dengan kapal motor dan alat tangkap poleline tidak terbatas pada teluk bone saja, tetapi mencapai wilayah perairan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Produksi perikanan tangkap pada tahun 2009 sebesar 15.047 ton, terdiri atas ikan-ikan pelagis 12.930 ton dan ikan demersal 2.117 ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2008 14.206 ton, jumlah produksi mengalami peningkatan sebesar 5,59 persen. Jumlah hasil tangkapan ini diperkirakan masih dibawah potensi lestari sumberdaya ikan (maximum sustainable yield) karena sebagian besar armada penangkap ikan hanya mampu beroperasi diperairan pantai dan dengan frekuensi melaut nelayan yang terbatas. Berikut ini data mengenai jumlah produksi dan armada perikanan tangkap dalam kurun tahun 2005-2009.
Panjang dan luas garis pantai dari Kabupaten Luwu yakni berkisar 116,16 km dan 860,52 km². Sepanjang garis pantai Kabupaten Luwu merupakan wilayah yang dapat dikembangkan pada berbagai bidang utamanya perikanan. Pengembangan usaha perikanan disepanjang garis pantai semestinya juga tetap melindungi kawasan mangrove, yang merupakan ekosistem yang dapat menunjang pelestarian sumberdaya alam utamanya sumberdaya alam perikanan laut.
Sebagai wilayah pesisir yang potensial, wisata alam pesisir, pantai dan pelabuhan banyak dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Luwu. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir posisi masyarakat atas akses yang adil terhadap sumberdaya alam pesisir saat ini belum menjadi pertimbangan utama bagi pengelolaan sumberdaya pesisir. Penelitian ini akan melihat keinginan
konstitusional pemerintah daerah dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dalam kerangka pembangunan berkelanjutan berbasis komunitas dan masyarakat dengan melihat peraturan-peraturan daerah dan analisis stakeholder yang menunjukkan peta stakeholder yang dominan mengakses dan memiliki tingkat kepentingan terhadap sumberdaya alam pesisir Kabupaten Luwu.
4.6. Kebijakan Sektor Pesisir
Lima belas kabupaten/kota yang berada di kawasan Teluk Bone telah bersepakat mengembangkan sistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan Kawasan Teluk Bone Terpadu berbasis wilayah dengan prinsip kemitraan, yaitu kerja sama antar daerah yang juga merupakan gagasan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI), khususnya yang mewakili Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan telah menjadi salah satu program prioritas Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI).
Wilayah pesisir Teluk Bone terbagi atas 15 kabupaten/kota yang meliputi: Kabupaten Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, uwu Utara, Luwu Timur, Kota Palopo, Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Bombana, Muna, Kota Bau Bau dan Kabupaten Buton, di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang membentang sepanjang 1128 km garis pantai dengan luas sekitar 31.837 km2 dan dihuni oleh 3.885.472 jiwa penduduk.
Teluk Bone merupakan salah satu kawasan potensial perikanan yang apabila dikelola secara optimal dan terpadu diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata pada program pemerintah dalam revitalisasi perikanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 pasal 60 tentang Perikanan, dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasioanal (RPJMN) yang meliputi program pengentasan kemiskinan (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job), dan percepatan pertumbuhan (pro-growth).
Inisiatif pengelolaan Kawasan Teluk Bone Terpadu dalam penelitian ini dinilai dengan melihat kesiapan pemerintah daerah dalam mempersiapkan prasyarat-prasyarat kebijakan melalui peraturan daerah yang ada, rencana aksi kolektif pemerintah daerah dan sampai pada kesiapan level operasional dengan melakukan studi kebijakan dan analisis stakeholder di Kabupaten Luwu.