351
HUKUM ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL*
(Suatu Pandangan dari Hukum Tata Negara)_ _ _ _ _ Oleh : Prof. Dr. H. Ismail Suny, S.H., M.C.L.
Politik Hukum Hindia Belanda
Hukum Tata Negara adalah hukum yang menentukan berlaku atau tidak-nya suatu jenis hukum laintidak-nya. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda menetapkan politik hukumnya dalam
Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie, disingkat
Regeeringsreglement
(R.R.)
yang di-muat dalam Stbl 1855:2.Regeerings-reglement
adalah Undang-undangDa-sar Hindia Belanda. 1)
Apa yang telah berlaku sejak mulai adanya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, dengan kedatangan VOC hukum kekeluargaan Islam: hukum
perkawinan dan hukum waris, tetap diakui oleh Belanda . . Bahkan oleh
VOC hukum kekeluargaan itu diakui dan dilaksanakan dengan bentuk per-aturan
Resolutie der
Indische
Regeer-•
*
Pidato Ilmiah pada Upacara Wisuda Sar-jana/Sarjana Muda Universitas Muham-madiyah Jakarta tahun 1987 pada tanggal 22 Juni 1987 bertempat di Balai Sidang Jakarta.1). Prof. Supomo dalam Sidang Badan Pe-nyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 15 Juli 1945 menyebutkan Indische S taatsregeling, penggan ti RR sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, lihat Prof. Muhammad Yamin,
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945. Jakarta: Yayasan Prapantja, 1959,
I,hlm.314.
ing
tanggal 25 Mei 1760 yang meru-pakan kumpulan aturan hukum perka-winan dan hukum kewarisan Islam, terkenal sebagaiCompendium
Frei-jer.
2)Hukum Islam yang telah berlaku dari zaman VOC itulah oleh Pemerin-tah Hindia Belanda diberikan dasar hukumnya dalam
Regeeringsreglement
tahun 1855 itu. Pasal 75 RR itu ber-bunyi dalam ayat (3)nya: oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan undang-undang agama
(Godsdienstige
wetten)
dan kebiasaan penduduk Indo-nesia itu. Ayat (4) nya berbunyi: Un dang-un dang agama, instellingendan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada
pengadilan yang lebih tinggi andaikata teijadi hoger beroep atau permintaan pemeriksaan banding.
Bahkan dalam Pasal 78 RR itu di-tegaskan lebih lanjut pada ayat (2)
nya: "dalam hal terjadi perkara per-data antara sesama orang Indonesia itu, atau dengan mereka yang
diper-samakan dengan mereka maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menu-rut undang-undang agama
(godsdiens-2). H. Arso Sastroatmodjo, S.H. dan H.A. Wasit Alawi M.A., HlIkllm Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang,
1978, hIm. 11.
•
352 r
tige wetten)
atau ketentuan-ketentuan lama mereka".Sedangkan Pasal 109 RR menya-takan bahwa ketentuan tennaksud da-lam Pasal 75 dan 78 itu berlaku pula
bagi mereka yang dipersamakan de-ngan
inlander
yaitu orang Arab, orang Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama.Dengan demikian bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam.
Keadaan inilah yang oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christiaan van den Berg, disebut telah terjadinya
Recep-ti~
in Complexu,
penerimaan hukum sepenuhnya 3).Kemudian Belanda mengubah poli-tik hukumnya mengenai hukum keke-luargaan ini dengan anjuran dari Mr. Comelis van Vollenhoven, yang menge-cam Pasal 75 dan 109 RR itu. Di sam-ping itu Dr. Snouck Hurgronje menye-rang ajaran
Receptio in Complexu
dari Prof. Mr. L.W.C. van den Berg dan mengemukakanTheorie Receptie
dengan mengatakan bahwa Hukum Is-lam baru berlaku, bila dikehendaki atau diterima oleh hukum Adat. Pen-,dapat Snouck Hurgronje inilah yang diberi dasar hukumnya dalam Un dang-undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR, yang disebut
Wet op de Staatsinrichting van
Neder-lands-In die,
disingkatIndische
Staats-regeling
(IS). Dalam IS yang diundang-kan dalam Stb!. 1929:212 hukum Is-lam dicabut dari lingkungan tatahu-3). Sayuti ThaJib, S.H ., Receptio A Con-trario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta: Bina Aksara,
1985 hIm. 7.
•
Hukum dan Pembangunan
kum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) dari IS tahun 1929 itu berbunyi: "Dalam hal terjadi perkara perdata an tara sesama orang Islam akan dise-lesaikan oleh hakim agama Islam apa-bila hukum adat mereka menghen-dakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".
Pada pertengahan tahun 1937 pe-merintah Hindia Belanda mengumum-kan gagasan untuk memindah wewe-nang mengatur waris dari Pengadilan
Agama ke Pengadilan Negeri. Apa yang menjadi kompetensi Pengadilan
Agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dan dengan Stb!. 1937: 116 dicabut-lah wewenang Pengadilan Agama itu, dengan alasan hukum kewarisan be-lum diterima sepenuhnya oleh Hu-kum Adat.
Reaksi pihak Islam terhadap cam-pur tangan Belanda dalam masalah-masalah Hukum Islam ini banyak
di-tulis dalam buku-buku dan surat-surat kabar pada waktu itu.4) Tidak perlu diterangkan bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari
ke-tentuan-ketentuan agamanya, sengaja diusahakan Belanda untuk kepenting-an peneguhkepenting-an kekuasakepenting-annya di Indo-nesia. Oleh karen a itu tatkala kesem-patan itu terbuka pada waktu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerde-kaan terbentuk dan bersidang di za-man penjajahan Jepang, pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan
ber-4). H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta LP3ES, 1985, hlm. 30-31, Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam
under the Japanese Occupation 1942-1945. Bandung: W. van Hoeve Ltd,
lakunya kembali Hukum Islam dengan
kekuatan Hukum Islam sendiri, tanpa
hubungannya dengan Hukum Adat.
Dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni
1945,42 tahun yang lalu, dirumuskan
salah satu dasar negara Republik
hi-donesia "ketuhanan, dengan
kewajib-an menjalkewajib-ankkewajib-an syariat Islam bagi
pe-meluk-pemeluknya".
.
Sebagai Gurubesar Hukum Tata
Negara saya dapat menyatakan, bahwa
dengan ketentuan 7 perkataan itu saja,
sarna sekali tidak berarti telah
terben-tuknya Negara Islam dengan Piagam
Jakarta. Dengan kata-kata itu dapat
diartikan bahwa Hukum Islam berlaku
bagi
pemeluk-pemeluk Islam sebagai
halnya
politik hukum Hindia Belanda
sebelum
tahun 1929. Salah paham
pada
waktu itu sebenamya dapat
diatasi kalau ada yang mengusulkan
•
ketujuh kata-kata itu menjadi
ber-bunyi: "dengan kewajiban
menjalan-kan ketentuan agama bagi
pemeluk-pemeluknya,,6). Ini berarti bagi
peme-luk agama Islam wajib menjalankan
Hukum Islam, bagi pemeluk agama
Katholik, wajib menjalankan Hukum
Katholik, bagi pemeluk Kristen, wajib
menjalankan hukum
Kristen,
bagi
pe-meluk agama Hindu, wajib
menjalan-kan Hukum Hindu dan bagi
pemeluk-agama Budha, wajib
menjalankan
Hu-kum Budha.
Politik Hukum Republik Indonesia
Dengan Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dan bedakunya
UUD 1945, walaupun tanpa memuat
7 kata dari Piagam Jakarta, teori
re-5). Ismail Suny, Hukum Islam dan PoUtik Hukum Nasional, Panji Masyarakat, 21
November 1985.
353
sepsi yang dasar hukurnnya adalah
IS, dengan tidak berlakunya lagi IS
dengan berlakunya UUD 1945, maka
teori resepsi kehilangan dasar
hukum-nya. Dengan berlakunya UUD 1945
yang Aturan Peralihan Pasal II-nya
menetapkan, "segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang
baru menuru t un dang-un dang dasar
ini", tidak dengan sendirinya Pasal
134 ayat
(2)
dari IS itu tetap berlaku,
karena dasat hukum yang ditetapkan
oleh suatu un dang-un dang dasar yang
tidak berlalqJ lagi, tidak dapat
dijadi-kan dasar hukum bagi suatu
undang-un dang dasar baru, yang sarna sekali
tidak mengatur soal itu.
Walaupun pembaharuan hukum
na-sional tidak dicantumkan secara tegas
dalam UUD 1945, tetapi pasal-pasal
dalam UUD 1945 yang menyebut 16
hal yang harus diatur oleh
undang-un dang organik, dapat disimpulkan
bahwa untuk hal-hal itu diperlukan
hukum nasional
.
Dengan
menyata-kan dalam Aturan Peralihan Pasal II
UUD 1945,
"segala
badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut undang-undang dasar
ini",
secara tersirat menunjuk kepada
perintah melakukan pembaharuan
hu-kum.
6)Setelah berlakunya UUD 1945
Hu-kum Islam berlaku bagi bangsa
Indo-6). Ismail Suny, Hukum Islam dan Pembi-naan Hukum Nasional, prasaran pada Seminar Hukum Islam oleh lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 24-28 Februari
1975, Sinar Darussalam, Maret-April 1975, No. 60, Ismail Suny Meneari Keadilan. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982, hlm. 333-340.
Agustus 1987
354
nesia yang beragama Islam, karena ke-dudukan Hukum Islam itu sendiri. Selama 14 tahun, dari tanggal 22 Juni
1945 waktu ditandatangani
gentlemen
agreement
antara pemimpin-pemimpinIndonesia sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI diundang-kan, kedudukan ketentuan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
peme-luk-pemeluknya adalah
persuasive-source,
bukanauthoritative-source.
Sebagaimana semua hasil sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaandan semua hasil sidang-sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia ada-lah
persuasive-source
bagigrondwet-interpretatiedari
UUD 1945, makaPiagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang Badan Penyelidik Usaha Ke-merdekaan adalah juga merupakan
persuasivesource
dari UUD 1945.Barulah dengan ditempatkannya ke-tentuan Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959,
Pia-gam Jakarta telah menjadi
authorita-tive-source
dalam Hukum Tata Negara•
Indonesia, bukan hanya sekedar
per
-•
suaSIve-source.
Untuk mengetahui dasar hukum dari Piagam Jakarta dalam konside-rans Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli
1959, perlu ditinjau dasar hukum pen-dahuluan atau preambule dalam suatu Konstitusi dan konsiderans atau
per-timbangan dari suatu perundang-un-dangan. Sebagai kita ketahui Piagam
Jakarta itu semuia merupakan pem
-bukaan dari Rancangan UUD 1945 '
yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan dan kemudian tercantum dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Jika kita teliti Konstitusi-konstitusi tertulis yang dibuat setelah adanya
•
Hukum dan Pembanllunan
konstitusi pertama tahun 1787 di Amerika Serikat, maka umumnya da-pat dibagi atas dua jenis konstitusi:
1. Konstitusi yang semata~mata
berbi-cara sebagai naskah hukum, suatu
ketentuan yang mengatur
the rule
of the constitution.
2. Konstitusi yang bukan saja meng-atur ketentuan-ketentuan hukum, tetapi juga mencantumkan ideologi,
aspirasi dan cita-cita politik,
the
statement of idea,
pengakuanke-percayaan, suatu
beloofsbelijdemis,
dari bangsa yang
menciptakan-nya. 7 )
Konstitusi jenis pertama itu biasa-nya Inggeris dianggap sebagai
pem-bentuknya. Kalaupun terdapat sedikit preambule, hanyalah sekedar
menya-takan badan-badan yang membuatnya dan merupakan "konsiderans" dari Undang-undang itu. Sebab sebenarnya konstitusi yang dibuat Westminster untuk negara-negara yang
diciptakan-nya, memang dalam bentuk suatu
sta-tute, suatu undang-undang. Bila dilihat
dari sudut hukum tata negara Inggeris,
umpamanya
Britisch North America
Act,
1867, yang merupakan KonstitusiCanada sekarang ini dan
Common-wealth of Australia Constitution Act,
. 1900 bagi Australia.
Konstitusi jenis kedua, di mana di
-gambarkan filsafat negara yang akan
dibentuk,
philosofisch grondsslag
,
wel
-tanschauung,
ideologi negara dapat kita sebut contoh-contoh konstitusiAmerika Serikat, dan Konstitusi-kon
-stitusi Perancis dan Kon-stitusi-
konsti-tusi Republik Indonesia.
7). K.C. Wheare, Modem Constitutions.
London: Oxford University Press, 1966, hlm.32.
Dan biasanya cita-cita politik itu di-cantumkan dalam preambule, dalam pembukaan dari Konstitusi bahkan preambule UUD 1945 dapat dianggap suatu preambule yang lengkap, karena memenuhi unsur-unsur politis, religius
dan moral, seperti yang disebut oleh Hans Kelsen. 8)
Menuru t Hukum Tata Negara lng-geris, suatu preambule bukan merupa-kan
rule of law,
bukan ketentuan hu-kum. Dalam yurisprudensi Prince of Hanover v. Attorney Genera19) dapatdiketahui bahwa hakim Vaisey telah mempergunakan preambule dari Un-dang-un dang tahun 1705 untuk meng-gambarkan kejelasan kata-kata dalam
undang-undang itu. Tetapi
Court of
Appeal,
Pengadilan Banding Inggerismenolak memperhatikan preambule atau konsiderans, bila kata-kata yang dipergunakan dalam isi
undang-un-dang, diktum undang-undang, sudah
cukup jelas, dan tidak berarti dua
(ambiguous).
Dan preambule hanyada-pat dipergunakan sebagai bahan penaf-siran, bahan interpretasi, bila terda
-pat kata-kata dalam undang-undang yang
dubbel-zinning.
Pendapat bahwapreambule atau konsiderans tidak
mempunyai
legal effect
,
akibat hukum secara umum diterima oleh para ahli hukum Inggeris.10)8). Lihat Ismail Suny, Dasar Hukum Piagam
Jakartfl,kuliah umum pada lAIN
Ja-miah Ar-Raniry di Banda Aeeh, 28 Mei 1965, Majalah AI Djamiah, Yogyakarta,
3, 1967. Ismail Suny, Mencari Keadi/an ,
op. cit. him. 75 - 79.
9). R.W.H. Dias and G.B.J. Hughes,
Juris-prudence, him. 131.
10). Lihat K.C. Wheare, The Statute of
Westminster and Dominion Statutes,
Oxford: University Press, 1953, eet.
ke-5, him. 192, Ismail Suny, Pergeseran
•
355 Di Perancis anggapan yang terkuat ialah bahwa preambule mempunyai ni-lai juridis. Konstitusi Republik Peran-cis ke-IV (1945-58) mencantumkan Pernyataan ten tang Hak-hak Manusia
dan Warganegara, 1789 dalam pream-bulenya. Sewaktu Perancis mengeluar-kan sebuah peraturan yang diskrimi-natif bagi golongan Yahudi, pengadilan
Perancis menolaknya pada tahun
1947, berdasarkan peraturan itu ber-tentangan dengan Konstitusi, karena Preambule Konstitusi melarang diskri-minasi berdasarkan ras, agama dan kepercayaan. l l)
Menurut Hukum Tata Negara di Indonesia, preambule atau konsiderans
adalah mempunyai kedudukan hu
-kum, Preambule atau pembukaan ada-lah bagian integral dari sesuatu
konsti-tusi, begitu pula konsiderans adalah bagian integral dari suatu perundang-undangan.
Sewaktu kembali ke UUD 1945 dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam konsiderans an tara lain dise
-butkan : "Bahwa kami berkey akin an , bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 , menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian ke-satuan dengan konstitusi tersebut".
Dengan demikian Presiden Repu-blik Indonesia berkeyakinan, jadi bu-kannya Ir. Soekarno pribadi, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 .
Dan karen a perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 itu hanyalah 7 perkataan "dengan
kewa-Kekuasaan Eksekutij; Jakarta: Aksara
Baru, 1986, eet ke-6, him. 40-41.
11). Herman Finer, Govemment of Greater
European Power, New York, Henry
Holt and Company, 1956, him. 331.
•
356
jiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", maka itu ber-arti bahwa ketujuh perkataan itulah yang menjiwai UUD 1945. Kata "men-jiwai" seeara negatif berarti bahwa
tidak boleh dibuat perundang-undang-an dalam negara RI yperundang-undang-ang bertentperundang-undang-angperundang-undang-an
dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan seeara positif berarti bahwa bagi pemeluk-pemeluk Islam di-wajibkan menjalankan syariat Islam.
Dan untuk itu harus diperbuat Un-dang-un dang yang akan memperlaku-kan Hukum Islam dalam Hukum Na-sional. Pendapat ini sesuai dengan ke-terangan Perdana Menteri Juanda pa-da tahun 1959: ''Pengakuan apa-danya Piagam Jakarta sebagai dokumen-his-toris, bagi pemerintah berarti peng-akuan pula akan pengaruhnya
terha-dap Un dang-Un dang D~ar 1945. J adi
pengakuan tersebut tidak mengenai
Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 saja, tetapi juga rnengenai Pasal
29 Un dang-Un dang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan".12)
Politik hukum ini terlihat pula
pada Ketetapan MPRS No. II/MPRS/
1960 di mana diny atakan dalam
pe-nyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan
ada-nya faktor-faktor agama.
Sampai tidak berlakunya lagi Kete-tapan MPRS No. II/MPRS/1960 pada
27 Maret 1968 tidak satupun
undang-undang muneul di bidang hukum per-kawinan dan hukum waris, walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Na-12). Kembali ke UUD 1945, Jakarta :
De-partemen Penerangan RI 1959, hlm. 85.
Hullum dan Pembonl1unon
sional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap Peneatatan Perkawinan, RU RUU Hukum Perkawinan dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang jurisprudensi dengan
Keputusan-kepu-tusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah dieiptakan beberapa kepu-tusan dalam bidang hukum waris na-sional menurut sis tern bilateral seeara
judge made law.
Di sini terlihat di bi-dang hukum waris nasional yang bila-teral mendekati hukum Islam dari hukum Adat.Politik hukum memperlakukan
hu-kum Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
oleh -Pemerintah Orde Baru, terbukti
dalam UU No. 1/1974 tentang Perka-winan. Pasal 2 UU itu menyatakan: Perkawinan adalah sah apabila
dila-kukan menuru t hukum masing-masing
agamanya. Dan Pasal 63 UU
Perkawin-an menyatakPerkawin-an yPerkawin-ang dimaksud dengPerkawin-an Pengadilan dalam Undang-undang ini
adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam. Pasal ini
mem-beri dasar hukum adanya Pengadilan Agama yang oleh Pasal 10 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
(UU No. 14/1970) kedudukannya
sarna dan sederajat dengan pengadilan
dalam lingkungan peradilan lainnya.13)
Pembinaan hukum nasional bukan
hanya menj~di tugas Pemerintah,
te tapi juga partisipasi organisasi so sial
politik, organisasi kemasyarakatan,
perkumpulan profesi hukum dan
seba-gainya. Untuk itu semua
fund and
forces
harus dikerahkan, baik untuk13). Lihat H. M11hammad Daud Ali, S.H.,
Kedud.ukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Indonesia, Hukum dan
Pemba-ngunan, XV, 2 Februari 1985, hlm.
penelitian hukum, perencanaan hukum
serta akhirnya pengundangan hukum.
Peranan yang lebih positif
diharap-kan dari ahli-ahli hukum Islam un tuk
membuat
Rencana Undang-undang
357
Waris dan hukum-hukum lainnya yang
sesuai dengan
'
jiwa dan prinsip Hukum
Islam disatu pihak dan menunjang
pembangunan dan modernisasi di
pi-hak lain.
•
•