• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pengatur dan Pengawas Sektor Jasa Keuangan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pengatur dan Pengawas Sektor Jasa Keuangan di Indonesia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pengatur dan Pengawas Sektor Jasa Keuangan di Indonesia

Oleh: Abu Samman Lubis* 1. Latar Belakang

Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997/1998, telah memprokprandakan perbankan Indonesia dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang dikenal sebagai krisis moneter, salah satu issu penting adalah lahirnya ide untuk dapat menjadi dasar reposisi fungsi Bank Indonesia untuk kembali ke khitahnya, yakni menjaga stabilitas moneter, atau dengan kata lain sebagai pemangku kebijakan moneter, yang selama ini juga sekaligus berfungsi sebagai pengawas perbankan. Dua fungsi kewenangan tersebut selama ini di pegang oleh Bank Indonesia (BI). Namun mulai 31 Desember 2013 tugas BI hanya sebagai pengawal stabilitas moneter, sedangkan pengawasan perbankan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga independen yang kemudian disebut dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebagaimana diterapkan di beberapa negara.

Ide pendirian lembaga independen yang mengawasi seluruh aktivitas lembaga perbankan mengalami tarik ulur, yang pertama dilakukan secara konstitusional adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang salah satu pasalnya secara tegas menyebutkan bahwa OJK harus sudah dapat dilaksanakan selambat-lambatnya akhir Desember 2002. Namun dengan berbagai hambatan belum juga terlaksana. Kemudian UU No. 23 tahun 1999 tersebut diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004, pasal 34 (2) menetapkan penjadwalan kembali pendirian OJK selambat-lambatnya pada akhir Desember 2010 sudah dapat dilaksanakan. Faktanya perbedaan pendapat dan tarik ulur dari berbagai pihak terkait dengan pendirian OJK di Indonesia sebagai satu-satunya lembaga pengawasan keuangan masih saja terjadi. dan baru pada tahun 2011 lahirlah UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas jasa Keuangan (OJK) yang mengamanatkan bahwa OJK harus sudah beroperasi paling lambat 31 Desember 2013.

Sebagaimana diketahui bahwa sebeum lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, model pengaturan dan pengawasan jasa keuangan terdapat diberbagai instansi seperti pengawasan perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan.

(2)

2 Dengan pengawasan yang masih terpisah-pisah sehingga supervisi tidak terintegrasi. Walapun supervisi dilaksanakan dengan baik di satu sisi, tetapi belum tentu dilaksanakan dengan baik di sisi yang lain

Hal tersebut berpotensi menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi industri keuangan secara keseluruhan terutama apabila terjadi "trouble" di salah satu sektor dalam industri keuangan.

Skema pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi sangat diperlukan, mengingat telah berkembangnya tren perusahaan konglomerasi. seperti, konglomerasi Sinar Mas Group dengan anak perusahaannya antara lain bank Sinar Mas, Asuransi Sinar Mas, Asuransi Jiwa Sinar Mas, dan multifinance Sinar Mas. Dalam bidang perbankan, misalnya bank Mandiri dengan anak perusahaannya: mandiri tunas finance, Axa mandiri, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya baik swasta maupun BUMN umumnya mempunyai anak-anak perusahaan yang membutuhkan pengawasan atas seluruh aktivitas lembaga keuangan dimaksud.

Pada sisi lain, terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi kebutuhan akan adanya sistem pengawasan sektor keuangan yang terintegrasi, disebabkan beberapa hal, yaitu (1) efisiensi sistem pengawasan, teknologi, dan sumber daya manusia yang bermutu, (2) menyeimbangkan industri keuangan swasta yang semakin terkonglomerasi, (3) globalisasi industri keuangan, (4) produk-produk keuangan semakin beragam dan kompleks sehingga sulit dibedakan, dan (5) pengawasan industri keuangan menjadi lebih terpadu dan terharmonisasi.

Oleh karena itu terlepas apa yang telah terjadi (krisis moneter) perkembangan industri keuangan yang semakin kompleks dan dinamis telah menuntut adanya sebuah lembaga independen di luar pemerintah yaitu OJK yang dapat mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan secara terintegrasi.

Terintegrasi artinya bahwa sistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) saling berhubungan satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Lembaga Penjaminan Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain dengan

(3)

3 tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Tugas, Fungsi dan Wewenang OJK

Sejak tanggal 31 Desember 2012, tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan ke OJK. Sedangkan sejak tanggal 31 Desember 2013, tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.

Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, OJK mempunyai tugas melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap (1) kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, (2) kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, dan (3) kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan maka OJK mempunyai wewenang (1) pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, seperti perizinan untuk pendirian bank, kegiatan usaha bank, (2) pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank seperti likuiditas, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, (3) pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, seperti prinsip mengenal nasabah, dan anti pencucian uang, dan (4) pemeriksaan bank.

Oleh karena itu, sebagai lembaga negara yang independen dalam sektor keuangan, OJK memiliki kewenangan pemeriksaan dan penyidikan sebagai alat kelengkapan sendiri. Meskipun tidak memiliki kewenangan penuntutan, hasil penyidikan OJK wajib ditindaklanjuti oleh kejaksaan paling lama 90 hari sejak diterimanya hasil penyidikan. Untuk melindungi konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum yang meliputi: (a) memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan lembaga jasa keuangan yang dimaksud. (b) mengajukan gugatan, yaitu (i) untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan iktikad tidak baik, (ii) untuk memperoleh ganti

(4)

4 kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

3. Kewenangan OJK seberapa besar yang diberikan Undang-Undang?

Pengesahan UU No. 21 Tahun 2011 menjadi landasan hukum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan. OJK lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan atas Lembaga Jasa Keuangan.

Kedudukan OJK adalah lembaga yang independen, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK.

(1) OJK melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan perbankan

Wewenang pemeriksaan bank dan tingkat kesehatan bank merupakan kewenangan OJK. Namun demikian Bank Indonesia karena tugas dan fungsi serta wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential, dan tetap berkoordinasi dengan OJK terlebih dahulu.

Di samping itu, dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan kegiatan pemeriksaan bank, LPS dapat melakukan pemeriksaan bank dan tetap berkoordinasi dengan OJK terlebih dahulu.

Selanjutnya, lingkup pemeriksaan meliputi pemeriiksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet, bank bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektor perbankan.

(2) OJK mengawasi lembaga keuangan nonbank

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengawasi lembaga keuangan nonbank seperti asuransi, pasar modal, dan lembaga pembiayaan, membuat regulasi dan menjatuhkan sanksi. OJK melakukan evaluasi atas penetapan tarif premi asuransi serta ketentuan biaya akuisisi pada lini usaha asuransi kenderaan bermotor dan harta benda. OJK siap memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang tidak mematuhi aturan itu.

(5)

5 Artinya OJK akan melihat kembali penerapan tarif premi mulai awal Mei 2014 terhadap semua perusahaan asuransi umum. Bila diperlukan, OJK akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke tertanggung dan brokernya.

OJK telah menetapkan tarif premi asuransi serta ketentuan biaya akuisisi, terhitung sejak 24 Januari 2014, serta imbauan kepada pelaku industri asuransi dan masyarakat pemegang polis. Ketentuan ini berlaku pada lini usaha asuransi kenderaan bermotor dan harta benda, serta jenis risiko khusus meliputi banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami.

Dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, Penyedia Barang/Jasa harus menyertakan jaminan penawaran, pelaksanaan, atau jaminan uang muka atau jaminan pemeliharaan. OJK memerbitkan Surat Edaran yang meminta perusahaan asuransi mencantumkan klausul dalam polis suretyship untuk tidak menjamin kerugian yang disebabkan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

(3) Anggaran OJK

Anggaran OJK bersumber dari APBN dan atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pasal 37 UU OJK menyebutkan, OJK mengenakan pungutan atas pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, yaitu pungutan dari pelaku jasa sektor keuangan. Anggaran tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya, atau dengan kata lain iuran tersebut akan digunakan ulang dan dikembalikan ke industri dalam bentuk berbagai program kerja OJK, dengan tujuan meningkatkan kinerja dan kepercayaan diri industri keuangan.

Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 ahun 2014 tentang Pungutan OJK berlaku 12 Februari 2014. Sejak itu, semua lembaga keuangan, baik bank dan nonbank membayar pungutan 0,03 persen dari aset. Jumlah aset dihitung per akhir tahun 2013.

(4) Hubungan Internasional

OJK dapat bekerjasama antara lain dengan organisasi internasional seperti

International Organization of Securities Commissions (IOSCO), International

Organization of Pension Supervisors (IOPS), International Association of Insurance Supervisors (IAIS), organisasi pengawas dan pengatur perbankan internasional; dan

(6)

6 lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank, Islamic Development Bank (ADB), dan Finacial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

(5) Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan yang merupakan implementasi dari pasal 29 UU OJK, OJK menyiapkan perangkat, menyusun mekanisme dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan pelaku di lembaga jasa keuangan. Mekanisme penyelesaian sengketa dimaksud antara lain untuk penyelesaian sengketa antara lembaga jasa keuangan dan konsumen lewat dua tahapan. Pertama, penyelesaian pengaduan konsumen oleh lembaga jasa keuangan (internal dispute resolution), Kedua, penyelesaian sengketa konsumen dengan lembaga jasa keuangan lewat lembaga alternatif penyelesaian sengketa di luar lembaga jasa keuangan (external dispute resolution), maupun melalui pengadilan. Langkah ini dilakukan apabila penyelesaian pengaduan konsumen di internal lembaga tidak dapat diselesaikan.

(6) Koordinasi dengan Instansi Lain

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI. Namun demikian "Bank yang kesulitan likuiditas" dalam pasal 41 ayat (2) harus diperjelas penafsirannya, apakah akibat faktor sistemik ataui kegagalan manajemen bank tersebut.

Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. OJK, Bank Indonesia dan LPS wajib membangun, memelihara dan mengembangkan sarana pertukaran informasi secara terintegrasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

(7)

7 Selanjutnya selain melaksanakan koordinasi ketiga lembaga tersebut di atas, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) dengan anggota terdiri atas: (1) Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator, (2) Gubernur BI selaku anggota, (3) Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota, dan (4) Ketua Dewan Komisioner LPS selaku anggota.

Dalam kondisi normal, FKSSK (a) wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan, (b) melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan, (c) membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan, dan (d) melakukan pertukaran informasi.

Sedangkan dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisiner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. FKSSK menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Keputusan FKSSK yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik mengikat LPS.

Yang dimaksud dengan “krisis pada sistem keuangan” berdasarkan Penjelasan UU No. 21 tahun 2011 adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.

Sedangkan yang dimaksud “bank gagal” adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

4. Penutup

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK telah memunculkan sistem pengawasan sektor keuangan yang terintegrasi, yang selama ini model

(8)

8 pengaturan dan pengawasan jasa keuangan diberbagai instansi seperti pengawasan perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modan dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) beralih ke OJK. Artinya, mempunyai konsekuensi bahwa sebagian tugas dan wewenang BI dan tugas dan wewenang Bapepam-LK Kementerian Keuangan menjadi wewenang dan tanggung jawab OJK.

Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan siap mempertanggungjawabkan atas penggunaan pungutan dari industri keuangan. Pungutan tersebut digunakan untuk berbagai progran kerja OJK, tujuannya untuk meningkatkan kinerja industri perbankan.

Selanjutnya, dengan adanya OJK, konsumen di sektor jasa keuangan semakin terlindungi bilamana terjadi sengketa. Telah dibentuk suatu lembaga yang disebut dengan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. OJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan pelaku di lembaga jasa keuangan.

RUJUKAN:

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Kompas. 2011. “OJK Awasi Bank Mulai Awal 2014”. 28 Oktober 2011. Jakarta.

Kompas. 2014. “Jasa Keuangan: Konsumen Semakin Dilindungi” . 26 Februari 2014. Jakarta. Kompas. 2014. “OJK Siap Bertanggung Jawb” . 01 Maret 2014. Jakarta. Kompas. 2014. “Asuransi Beri Defisit”. 26 Maret 2014. Jakarta.

Seminar Nasional: Dalam rangka Dies Natalis ke 51 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya dan Dies Natalis ke-50 Universitas Brawijaya Malang. 12 November 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Indikator ini didukung oleh 2 sub output, yaitu (1) Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Paket C, yang telah merealisasikan anggaran Rp. Jumlah desa

Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Produk Puyuh melalui Supplementasi dalam Ransum serta Potensi Telur Puyuh sebagai Bahan Pembuat Juice Telur

Meditasi hanya akan menjadi bahaya apabila orang yang melaksanakan tidak mempunyai tujuan yang benar, misalnya ingin melarikan diri dari masalah kehidupan yang

penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Template Dokumen ini adalah milik Direktorat Pendidikan - ITB Dokumen ini adalah milik Program Studi PSPA-SF ITB. Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui

Para peneliti dari University of Michigan mengumpulkan data fisiologi (tinggi berat badan, tekanan darah, kadar glukosis darah, dan kolestrol) dan jawaban para

Adapun fungsi RTRWK adalah sebagai Acuan dalam penyusunan RPJPD dan RPJMD, acuan dalam pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, acuan untuk mewujudkan keseimbangan

Dengan demikian maka apabila terdapat perbedaan intensitas rasa pahit antara kedua jenis tempe yang diproduksi, maka perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan cara