• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Simbol dalam Arjuna Wiwaha: Perspektif Filsafat Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bahasa Simbol dalam Arjuna Wiwaha: Perspektif Filsafat Jawa"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bahasa Simbol dalam Arjuna Wiwaha: Perspektif Filsafat Jawa

Syarifah Wardah el Firdausy, Universiti Kebangsaan Malaysia

Abstrak

Arjuna Wiwaha adalah sebuah karya sastra klasik Jawa yang ditulis pada abad XI Masehi karya Mpu Kanwa. Kajian ini menggunakan teks Arjuna Wiwaha yang telah ditulis ulang berupa buku cetakan dengan judul Ardjuna Wiwahaoleh Sanusi Pane (1960) dan Arjuna Wiwahaoleh Sunardi D.M (1993). Secara keseluruhan Arjuna Wiwaha berisi mengenai ajaran mencapai kesempurnaan hidup atau ajaran mencapai derajat Insan Kamil. Bahasa simbol dalam Arjuna Wiwaha ini dianalisis menggunakan konsep Filsafat Jawa yang berorientasi pada cara mencapai kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnaan). Ajaran dalam Filsafat Jawa tidaklah dipaparkan secara langsung melalui penuturan sistematis melainkan dijelaskan melalui perlambangan atau simbol-simbol bahasa.Kajian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan studi pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan terdapat lima macam bahasa simbol dalam Arjuna Wiwaha yaitu (1) Prabu Niwatakawaca sebagai simbol sifat kesombongan dalam diri manusia, (2) Konsep kebaikan melawan keburukan dengan simbol Arjuna melawan Prabu Niwatakawaca, (3) Tapa Brata Arjuna di Gunung Indrakila sebagai simbol ajaran mati sajroning urip, (4) Wanita Muda sebagai simbol dunia, (5) Tujuh bidadari yang mengganggu tapa brata Arjuna sebagai simbol tujuh nafsu dalam diri manusia, (6) Raksasa Momongmurka sebagai simbol sifat kehewanan dalam diri manusia, (7) Simbol ajaran manunggaling kawula Gusti dalam Arjuna Wiwaha, dan (8) Panah Pasopati milik Arjuna sebagai simbol nafsu hewani yang telah binasa dalam diri manusia.

Kata Kunci: Arjuna Wiwaha, Filsafat Jawa, simbol, perlambangan, ajaran mencapai kesempurnaan hidup.

1. Pendahuluan

Cerita Arjuna Wiwaha sangat diminati oleh masyarakat Jawa pada masa itu dengan tokoh utama bernama Arjuna.Masyarakat Jawa pada umumnyasangat menyukai cerita-cerita epos atau kepahlawanan yang mengedepankan sifat kesatria, keprajuritan, pantang menyerah, perjuangan, serta liku-liku romantisme.

Dalam bahasa Sansekerta, secara harfiah kata Arjuna berarti bersinar terang, putih, bersih. Sedangkan jika dilihat dari maknanya, kata Arjuna berarti jujur di dalam wajah dan pikiran. Cerita Arjuna Wiwaha pada mulanya merupakan karya Mpu Kanwa yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042) antara tahun 1028-1035 yang dikenal dengan nama Kakawin Arjuna Wiwaha (Zoetmulder, 1983: 309). Cerita Arjuna Wiwaha bagi orang Jawa dianggap sebagai cerita kepahlawanan, selain itu Arjuna Wiwaha juga dianggap sebagai karya sastra bermutu tinggi yang mengandung nilai etis filosofis serta ajaran mencapai kesempurnaan hidup.

Secara keseluruhan, Arjuna Wiwaha bercerita mengenai seorang tokoh bernama Arjuna. Ia adalah seorang manusia sakti yang pada waktu itu sedang menjalankan tapa brata di Gunung Indrakila dengan tujuan mendapatkan Panah Pasopati yang kelak akan dipergunakannya untuk menjaga perdamaian dunia, serta sebagai senjata yang akan dipergunakannya dalam peperangan Barata Yudha. Pada saat itu, di Kayangan Suralaya sedang terjadi kekacauan karena Raja Raksasa Prabu Niwatakawaca mengancam akan menghancurkan Suralaya apabila permintaannya untuk meminang bidadari tercantik di Suralaya yang bernama Dewi Supraba ditolak. Maka Batara Guru mengatakan bahwa manusia yang dapat mengalahkan Prabu Niwatakawaca tersebut hanyalah seorang manusia sakti bernama Arjuna. Maka untuk menguji kesungguhan tapanya, Batara Indra mengutus tujuh bidadari cantik dari Suralaya untuk menguji kesungguhan tapa Arjuna di Gunung Indrakila. Akan tetapi usaha bidadari tersebut sia-sia,

(2)

Arjuna tidak tergoda sedikit pun daritapanya. Ia tidak terpengaruh dengan rayuan para bidadari. Maka atas kesungguhan tapanya tersebut, Arjuna dinyatakan lolos ujian dan ia dihadiahi Panah Pasopati dari Batara Guru yang kelak ia gunakan dalam peperangan melawan Prabu Niwatakawaca. Pada akhir cerita dikisahkan bahwa Prabu Niwatakawaca mati terbunuh ditangan Arjuna karena terkena Panah Pasopati milik Arjuna yang tepat menancap di ujung lidahnya, sebagaimana kelemahan Prabu Niwatakawaca terdapat pada bagian ujung lidahnya. Atas kemenangannya tersebut, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Suralaya selama tujuh hari (hitungan di dunia) yaitu sama dengan tujuh bulan di Suralaya. Kemudian Batara Indra memberinya gelar Prabu Kariti yang berarti orang yang mendapatkan kemuliaan. Selain itu Arjuna juga dinikahkan dengan ketujuh bidadari tercantik di Suralaya yang sebelumnya pernah menggoda tapanya di Gunung Indrakila. Bidadari tersebut yaitu Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tanjung Biru, dan Dewi Lelengmulat.

2. Batasan Kajian

Kajian ini menggunakan objek karya sastra klasik Jawa Arjuna Wiwaha yang telah ditulis ulang berupa buku cetakan berbahasa Indonesia ejaan lama dan bahasa Indonesia ejaan baru oleh penulis (1) Sanusi Pane (1960) dengan judul Ardjuna Wiwaha, dan (2) Sunardi D.M (1993) dengan judul Arjuna Wiwaha. Makna dan pesan melalui simbol pada Arjuna Wiwahatersebut dianalisis menggunakan konsep Filsafat Jawa.

3. Pendekatan Kajian 3.1 Filsafat Jawa

Indonesia memiliki filsafat asli, iaitu Filsafat Jawa yang tentunya menjadi bagian dari Filsafat Indonesia karena keberadaan Jawa dalam wilayah Indonesia.Zoetmoelderdalam majalah Jawa GeenEignWijsbergeerte ?(1941: 49) merumuskan bahwaFilsafat Jawa sebagai filsafat asli Indonesia, merupakan sebuah saranauntuk mencapai kesempurnaan hidup.Filsafat Jawa berarti cinta kesempurnaan (the love of perfection) atau berusaha mencari kesempurnaan (ngudi kasampurnaan). Maka jika dirumuskan menggunakan bahasa Jawa, antara Filsafat Yunani dengan FilsafatJawa terdapat perbedaan. Apabila Filsafat Yunani dimaknai dengan mencari kebijaksanaan, bahasa Jawa akan menyebut Filsafat Yunani sebagai ngudi kawicaksanaan. Sedangkan Filsafat Jawa sebagai ngudi kasampurnaan atau mencari kesempurnaan. Ngudi kasampurnaan atau mencari kesempurnaan berarti, manusia mencurahkan seluruh eksistensinya baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu (Ciptoprawiro, 2000: 21). Ciptoprawiro (2000: 21) juga merumuskan bahwa Filsafat Jawa merupakan sebuah sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup. Selanjutnya, manusia Jawa mengenal konsep tri hita wacanayaitu tiga penyebab kebahagiaan atau tiga hubungan harmonis yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan. Tri hita wacana terdiri atas (1) hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, (2) hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan (3) hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta atau lingkungannya(Pasha, 2011: 74-75).

3.2 Bahasa Simbol

Perbedaan paling sentral antara manusia dengan hewan adalah manusia dapat berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.Manusia mampu menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol.Kebudayaan pada dasarnya terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia.Dengan demikian, simbol mempunyai kaitan erat dengan kebudayaan manusia (Haryanto, 2013: 1). Simbol ada yang bersifat universal , namun ada juga yang bersifat khusus yaitu hanya dapat dimengerti oleh masyarakat di mana simbol tersebut lahir (Haryanto, 2013: 4).

Menurut Sanstrom (2001) dalam Haryanto (2013: 1), manusia merupakan makhluk yang unik karena kemampuannya mennggunakan simbol. Oleh karena manusia menggunakan simbol, maka manusia tidak hanya meresponstimulasi atau rangsangan secara langsung dan

(3)

otomatis. Melainkan juga memberikan makna berdasarkan pengalamannya dan bertindak sesuai dengan makna yang dimilikinya.Hal itulah yang membedakannya dengan perilaku binatang.

Cliffort Geertz (1973:17) mengaitkan simbol dengan budaya.Menurutnya budaya merupakan sistem simbol.Senada dengan Geertz, Elliot (2006: 618) menyatakan bahwa simbol merupakan jantung dari sistem budaya dan terkait dengan semua produksi dan reproduksi makna.

Makna suatu simbol merupakan persoalan penting dalam kajian mengenai simbol. Makna simbol merupakan pesan atau maksud yang ingin disampaikan atau diungkapkan oleh creator (pencipta) simbol. Sebagai komunikasi ide, simbol merupakan media atau alat bagi sangcreator untuk menyampaikan idea-ide batin agar dapat dipahami atau bahkan menjadi pedoman perilaku bagi orang lain (Haryanto, 2013: 7).

Masyarakat Jawa sangat gemar akan kehidupan yang penuh dengan perlambangan atau simbol. Simbol itu mencakup bahasa, agama, dan tradisi.Dalam hal ini Arjuna Wiwahamenyuguhkan simbol-simbol tersebutyang dikemas melalui cerita yang bersifat mendidik dan menghibur.Mendidik karenamengajarkan bagaimana mencapai kesempurnaan hidup, dan menghibur karena disajikan melalui cerita yang menarik di mana didukung dengan alur atau jalan cerita, tokoh serta ketokohan, setting atau tempat dan keseluruhan unsur cerita yang menarik.

MenurutSoesilo (2000: 11-12) dalam bukunya yang berjudul Sekilas Tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup, Filsafat Jawa dijelaskan berbentuk ungkapan-ungkapan, renungan-renungan falsafi(biasanya terdapat dalam bentuk suluk).Bersifat pendek, berbentuk kiasan, dan perlambangan.Bahwa sebuah konsep dan ide (gagasan) bagi manusia Jawa dapat diekspresikan dalam berbagai macam simbol (Haryanto, 2013: 47).Manusia Jawa menyukai pemahaman melalui simbol-simbol pada hampir semua bidang (Wahyudi, 2014: 162).

4. Bahasa Simbol dalam Arjuna Wiwaha

4.1 PrabuNiwatakawaca sebagai Simbol Sifat Kesombongan dalam Diri Manusia Secara khusus, Niwatakawaca berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata yaituNiweca dan kawaca.Niwecaberarti rumah kediaman dan kawacabermakna baju zirah atau baju berantai.Jika digabungkan maka Niwatakawacaberarti rumah kediaman yang telah tertutup rapat atau dapat juga diartikan sebagai orang yang tidak berdaya (Sastroamidjojo, 1962: 6-7).

Sedangkan secara umum, Niwatakawacaberarti (1) seseorang yang memakai baju zirah yang tidak dapat ditembusapa pun. Pada zaman sekaranghal tersebut dapat juga dimaknai sebagai sosok yang kuat dan tidak mudah dikalahkan; (2) Niwatakawaca juga berarti cermin yang telah buta sehingga telah kehilangan kemampuannya yang sejati.Sebuah cermin yang demikian itu tidak lagi dapat digunakan untuk bercermin atau dapat juga diartikan tidak dapat digunakan lagi sebagai patokan untuk mawas diri; (3) Niwatakawaca juga dapat diartikan sebagai cermin yang tidak berguna dan tidak bermanfaat untuk menunaikan tugasnya utamanya (Sastroamidjojo, 1962: 6-7).

PrabuNiwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha merupakan sosok raja raksasa yang sangat sakti.Ia gemar bertapa sewaktu muda dulu dan bergelar RadenNirbita. Batara Guru sangat memperhatikan kesungguhan tapa Raden Nirbita, sehingga beliau berkenan memberikan kesaktian kepadanya yaitu berupa aji gineng soka weda. Kesaktian tersebut membuatnya tidak dapat mati dan kebal terhadap berbagai-bagai macam senjata (oratedhas tapak paluninggurinda). Dengan kesaktiannya tersebut, ia juga berhasil menduduki kerajaan Imantaka. Akan tetapi setelah berhasil mendapatkan kekuatan dan kekuasaan, ia menjadi lupa diri, sombong, dan serakah. Batara Guru telah mengingatkannya agar tidak sombong dan tetap berhati-hati, sebab ia tetap dapat mati di tangan manusia sakti bernama Arjuna. PrabuNiwatakawaca yang sombong tidak menghiraukan peringatan yang telah diberikan oleh Batara Guru. Bahkan ia semakin lupa diri dan ingin meminang bidadari tercantik di Kayangan Suralaya tempat tinggal dewa-dewi. Apabila keinginannya ditolak, maka ia mengancam akan menghancur leburkan Kayangan Suralaya berikut seluruh isinya. Kesombongan PrabuNiwatakawaca dalam Arjuna Wiwaha dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

(4)

Setelah menjadi raja raksasa, PrabuNiwatakawaca memiliki kerajaan di Manikmantaka atau Imantaka yang terletak di kaki Gunung Semeru. Sang Hyang Pramesti Guru berpesan kepada Niwatakawaca agar berhati-hati dan berwaspada terhadap manusia sakti yang dapat mematikan

Aji Gineng Soka Weda miliknya. Manusia sakti yang dimaksudkan yaitu Arjuna. Akan tetapi

Niwatakawaca mengabaikan pesan Sang Hyang Pramesti Guru. Ia justru lupa diri dan menjadi tamak, serakah, sombong, dan berani tidak pada tempatnya. Ia bahkan ingin menaklukan Kahendaran atau Suralaya atau Kahyangan, tempat tinggal para Dewa Dewi dan para bidadari. Ia bercita-cita untuk menaklukan Suralaya dan ingin memainkannya sewenang-wenang (Sastroamidjojo, 1962: 6-7).

Sosok PrabuNiwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha ini seolah mewakili sifat kesombongan yang ada pada diri manusia.Sebagaiman kesombongan yang ada pada diri PrabuNiwatakawaca, maka kesombongan diibaratkan sebagai sebuah cermin yang sudah kehilangan fungsinya. Cermin tersebut dapat juga dikatakan sebagai cermin yang telah buta.Cermin yang demikian tersebut tentu saja tidak dapat lagi memantulkan dan mengungkapkan kebenaran yang sejati pula.

Filsafat Jawa juga senantiasa mengingatkan manusia agar selalu berpedoman pada ungkapan aja dumeh.Aja dumeh bermakna jangan sok atau jangan semena-mena (Santosa, 2008: 2),yaitu ketika hendak melakukan sebuah tindakan hendaknya tidak gegabah atau ceroboh hanya karena merasa bahwa dirinya bisa melakukan hal tersebut. Sebab pada hakikatnya kesombongan dapat menjerumuskan seseorang kepada kenistaan maupun kedalam jurang penderitaan.Ketercelaan perbuatan sombong juga sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

11. Dan sungguh, Kami telah menciptakan kamu, kemudian membentuk (tubuh) mu, kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlahkamu kepada Adam,” maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia (Iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud.

12. Allah berfirman: “Apakah yang mengahalangimmu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

13. (Allah) berfirman: “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah !Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.”(QS. Al-A’raf, [7]: 11-13)

18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(QS. Luqman, [31]: 18)

4.2 Konsep Kebaikan Melawan Keburukan dengan Simbol Arjuna Melawan PrabuNiwatakawaca

Peperangan antara Arjuna dengan Prabu Niwatakawaca dapat diartikan sebagai lambang perjuangan antara kebaikan melawan keburukan. Sebagaimana hukum alam, maka kebenaran pada akhirnya selalu menang melawan kejahatan. Akhir dari cerita Arjuna Wiwaha diceritakan bahwa sosok Arjuna menang melawan raja raksasa Prabu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Arjuna memang terlihat seperti lemas pingsan. Padahal sebenarnya ia tidak pingsan. Ia sadar sepenuhnya. Ia menunggu waktu yang tepat, yaitu kapan raksasa itu tertawa lebar. Senjata Pasopati yang dikempitnya itu telah disiapkannya.

Tiba-tiba raksasa takabur itu tertawa, karena tantangannya tidak mendapat sambutan dari siapapun, “Hahahaa. Kalian semua pengecut, hahahaa.”

Kesempatan itu tidak disia-siapkan oleh Arjuna, ujung lidah sang prabu yang selama ini disembunyikannya dengan wasapada kali ini terlihat. Arjuna segera melepaskan panah Pasopati cepat sekali dan tepat mengenai ujung lidah sang prabu dan langsung tembus ke tenggorokan. Prabu Niwatakawaca roboh tewas. Arjuna cepat melepaskan panah api yang membakar habis tubuh sang prabu berikut semua pengikutnya. Tiada lagi yang tertinggal. Semua raksasa terbakar habis(Sunardi, 1993: 121-122).

Arjuna digambarkan seorang ksatria berwatak baik hati. Ia senang mendekatkan diri menghadap sang pencipta dengan jalan tapa brata juga sebagai ksatria yang gemar menolong

(5)

sesama. Prabu Niwatakawaca digambarkan seorang raja raksasa yang berwatak sombong dan rakus. Kelak kesombongan itulah yang akan mengantarkannya kedalam kebinasaan untuk selama-lamanya. Arjuna merupakan simbol dari kebaikan, sedangkan Prabu Niwatakawaca merupakan simbol dari keburukan. Filsafat Jawa telah mengajarkan perjuangan kebaikan melawan keburukan dengan konsep :

1. Ngunduh wohing pakerti yang berarti memetik buah dari hasil perbuatannya sendiri. Manusia akan memetik apa yang ia tanam (Santosa, 2008: 91). Kebaikan akan memperoleh kebaikan, sebaliknya keburukan akan memperoleh keburukan pula. 2. Sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh yang berarti siapa yang

bersungguh-sungguh akan bertemu, siapa salah akan menyerah (Santosa, 2008: 110). Bahwa setiap kerja keras dan kebaikan akan memperoleh hasil yang sepadan. Sedangkan apabila berbuat salah bagaimanapun juga akan memperoleh hukuman setimpal.

3. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti yang berarti sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan (Santosa, 2008: 122). Sebaliknya sifat terpuji sangat dianjurkan agar dimiliki oleh setiap manusia Jawa.

4.3 Tapa Brata Arjuna di Gunung Indrakila sebagai Simbol Ajaran Mati Sajroning Urip Mati sajroning urip berarti mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Mati disini bukan bermakna kematian yang sebenarnya, melainkan menekan hawa nafsu atau mengendalikan hawa nafsu (keinginan) dalam diri manusia.Mati sajroning uripdicapai dengan cara mengendalikan hawa nafsu, sejatinya akan menyadarkan manusia bahwa dunia dan seisinya ini bukanlah tujuan hidup manusia yang sebenarnya, melainkan hanyalah sebagai sarana manusia dalam mencari tujuan yang sebenarnya yaitu kebahagiaan, keridhoan dan kedekatan bersama dengan Tuhan. Sama halnya ketika seseorang akan pergi ke Jakarta menggunakan kereta api. Maka tujuan orang tersebut adalah kota Jakarta, bukanlah kereta api. Kereta api hanyalah sebuah sarana agar dapat sampai ke tujuannya (Jakarta). Orang tersebut nantinyaakan meninggalkan kereta api saat sudah sampai di kota Jakarta. Adalah sebuah hal yang tidak masuk akal apabila seseorang menjadikan tujuan terhadap apa yang akan ditinggalkannya. Contoh tersebut samaartinya dengan hendaknya seseorang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Sebab, kelak manusia akan meninggalkan dunia dan menuju kepada tujuan yang sebenarnya yaitukeridhoan Ilahi dan kebahagiaan sejati bersama Ilahi. Sama halnya dengan contoh kereta api di atas, maka kedudukan, jabatan, kekayaan, kecerdasan, kesehatan, keelokan rupa hanyalah sebuah sarana di dunia bagi manusia untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya. Kelak semua sarana tersebut akan ditinggalkan saat manusia mengalami kematian. Oleh karena dunia bukanlah tujuan hidup manusia yang sebenarnya, maka saat masih hidup di dunia hendaknya manusia belajar mengendalikan hawa nafsunya terhadap segala kesenangan dunia yang bersifat semu dan sementara. Semakin banyak manusia memiliki keinginan dan bersandar kepada dunia, maka akan semakin sengsara dan tidak bahagia. Oleh karena itu ajaran mati sajroning urip di sini hendak mengingatkan manusia kembali agar dapat mengendalikan hawa nafsunya. Ajaran mati sajroning urip juga sejalan dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi:

Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abu Bakar, “matikan dirimu sebelum mati.” (Hadist Nabi Muhammadd SAW) Sabda Nabi Muhammad SAW diatas jelas mengajak umat manusia untuk mematikan keinginan sebelum dipaksa untuk mematikannya melalui perantara kematian. Sakit yang dialami seseorang saat sakaratul maut disebabkan karena masih banyaknya keinginan-keinginan mereka terhadap alam duniawi yang belum terpenuhi. Ruh akan mengalami kesulitan saat keluar dari tubuh manusia, manakala jiwa yang penuh keinginan itu masih menahannya. Maka satu-satunya cara bagi malaikat maut adalah menarik paksa ruh tersebut dari badan sehingga jiwa akan mengalami rasa sakit yang luar biasa. Saat sakaratul maut tiba, manusia akan dipaksa berpisah dengan apa yang dicintainya yaitu dunia seisinya bila ia mencintainya dengan berlebihan dan tidak mencoba meninggalkan keinginan-keinginan duniawi tersebut. Maka seyogyanya, saat manusia masih diberi kenikmatan sehat dalam hidup, sebaiknya berlatih untuk meninggalkan

(6)

keinginan-keinginan duniawi. Sehingga saat mengalami sakaratul maut nanti, ia bisa menghadapi peristiwa tersebut dengan tenang.

Filsafat Jawa juga mengajarkan bahwa ajaran mati sajroning urip dapat dilatih dengan memperbanyak latihan tapa brata puja mantra.Tapa brata, puja mantra digunakansebagai sarana untuk mencapai ketaatan kepada Tuhan. Manusia hendaknya memahami dan mengamalkan apa yang disebut dengan tapa brata, puja mantra yang terdiri dari lima hal yaitu (1) mengurangi makan dan tidur, (2) mengurangi nafsu syahwat, (3) mengurangi perkatan yang tidak berguna dan (4) pandai menyembunyikan dan menghilangkan duka.

Dalam Arjuna Wiwaha juga digambarkan bahwa Arjuna merupakan ksatria yang gemar melakukan tapa brata. Bahkan diceritakan pula Arjuna saat itu sedang bertapa di Gunung Indrakila. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Walaupun demikian, Arjuna tetap saja tekun bertapa. Ia selalu hidup berprihatin, selalu mendekatkan diri pada penciptanya (Sunardi, 1993: 16).

Arjuna bertapa sangat khusyuk di Gunung Indrakila. Ia bahkan melupakan segala sesuatu yang ada di dunia yang bersifat semu atau fana ini untuk mencapai tujuan dari tapa bratanya tersebut. Ia melakukan tapa brata dengan khusyuk dan menghilangkan nafsunya dari makan, minum, tidur, bahkan nafsu kelaki-lakiannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Sang Bagawan ternyata sedang menutup panca indra. Begitu khusyuk semadi BagawanMintaraga itu sehingga dapat dikatakan ia sedang angraga sukmayaitu tubuhnya saja yang ada, jiwanya seperti sedang tiada. Dalam keadaan demikian itu biasanya seorang pertapa lantas menjadi luput ingbancana atau terhindar dari bahaya apapun (Sunardi, 1993: 31).

4.4 Wanita Muda sebagai Simbol Dunia

Pada saat Arjuna sedang melakukan tapa brata di Gunung Indrakila, ia diuji kesungguhan tapanya dengan kehadiran tujuh bidadari berparas cantik. Ketika seseorang sudah berniat untuk mengalahkan hawa nafsunya, maka ia akan diuji dengan dua hal. Ujian pertama yaitu wanita muda yang elok menawan dan kedua adalah emas atau harta kekayaan. Wanita muda adalah simbol dari dunia.

Dunia ini bagaikan seorang wanita tua yang menampakkan diri dengan paras muda menawan. (Ali bin Abi Thalib)

Pemilihan tujuh bidadari untuk mengganggu tapa Arjuna bukanlah kebetulan semata. Tujuh bidadari yang sejatinya adalah sosok wanita muda dan berparas cantik menjadi simbol dari dunia yang hendak menggoyahkan tapa Arjuna pada saat ia ingin menghilangkan hawa nafsunya dengan jalan melakukan tapa brata. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini:

Akhirnya dipilihlah tujuh bidadari yang akan pergi mengganggu Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Indrakila. Mereka adalah Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tunjung biru, dan Dewi Lelengmulat. Semuanya sangat cantik dan menggiurkan. Semuanya mencoba menari menunjukkan keluwesan, tarikan muka dan lirikan mata yang menarik hati pria (Sunardi, 1993: 16).

Menurut Sastroamidjojo (1962: 22), ketujuh bidadari yang dikirim oleh Dewa Indra untuk mengganggu tapa Arjuna di Gunung Indrakila memiliki arti masing-masing yaitu (1) Supraba berarti malaikat yang berkuasa atas segala pancaran yang baik yaitu yang bersifat luhur; (2) Wilutama / Tilottomo berarti seseorang yang serba sempurna sifatnya; (3) Warsiki berarti seseorang yang sangat unggul kecantikannya; (4) Surendra berarti seseorang yang nafsu birahinya sangat besar; (5) Gagarmayang berarti perhiasan yang terbuat dari bunga pohon kelapa pada acara perkawinan / seseorang yang sangat kurus; (6) Tanjung biru berarti seseorang yang luar biasa kecantikannya; dan (7) Lelengmulat berarti seseorang yang memiliki paras muka sangat indah, sehingga akan menarik dan membelenggu setiap perhatian kepadanya. 4.5 Tujuh Bidadari yang Mengganggu Tapa Brata Arjuna sebagai Simbol Tujuh Nafsu

yang Ada dalam Diri Manusia

Untuk mendapatkan senjata sakti panah Pasopati, maka Arjuna melakukan tapa brata di Gunung Indrakila. Saat ia bertapa, Dewa Indra menguji kesungguhan tapanya dengan

(7)

mengirimkan ketujuh bidadari yang cantik jelita untuk menggaggu tapanya. Apabila Arjuna tidak terpengaruh oleh godaan ketujuh bidadari tersebut, maka ia dinyatakan lulus tapanya dan mendapatkan hadiah panah Pasopati dari Sang Hyang Pramesti Guru. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Akhirnya dipilihlah tujuh bidadari yang akan pergi mengganggu Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Indrakila. Mereka adalah Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tanjung biru, dan Dewi Lelengmulat. Semuanya sangat cantik menggiurkan. Semuanya mencoba menari atau terbang menunjukkan keluwesan, tarikan muka dan lirikan mata yang menarik hati pria(Sunardi, 1993: 16).

Bidadari berjumlah tujuh tersebut, sejatinya merupakan sebuah simbol yaitu empat sifat hewani yang berada dalam jiwa manusia yaitu (1) memiliki sifat rendah seperti anjing yang berjalan dengan kepala menunduk dan selalu menciumi mangsa sebelum dimakannya; (2) memiliki sifat ragu-ragu; (3) memiliki sifat takut pada segala sesuatu yang baru; dan (4) memiliki sifat yang selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga (Achmad, 2012 : 107-108). Selain empat sifat hewani yang berada dalam diri manusia, maka manusia sejatinya harus bisa menaklukan tiga nafsu lainnya yang juga ada dalam diri manusia. Tiga nafsu lainnya tersebut yaitu (5) Nafsu lawwamah berarti angangsa. Menimbulkan dahaga, kantuk, lapar, dan sebagainya. Tempatnya ada di dalam perut, lahirnya dari mulut. Diibaratkan sebagai hati yang bersinar hitam; (6) Nafsu amarah berarti garang. Memiliki watak angkara murka, iri, pemarah dan sebagainya. Bersumber di empedu, timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah; (7) Nafsu sufiyah berarti birahi. Menimbulkan watak rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dan sebagainya. Bersumber dari limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning (Simuh, 1988: 340).

Selain itu, tujuh bidadari juga dapat diartikan sebagai tujuh anggota badan yang membuat kesalahan lahir yang disebut maksiat, yaitu (1) Lidah-berdusta / berbohong / ghibah, (2) pendengaran-mendengar cerita kosong atau tidak bermanfaat, (3) penglihatan-melihat yang haram, (4) penciuman (hidung)-menimbulkan rasa benci, (5) tangan-merusak dan lainnya, (6) kaki-berjalan membuat maksiat, dan (7) kemaluan (termasuk perut)-bersyahwat / berzina (termasuk makan makanan yang haram) (Zulkifli dan Santoso, 2008: 35).

4.6 Raksasa Momongmurka sebagai Simbol Sifat Kehewanan dalam Diri Manusia

Momongmurka berasal dari kata mamang dan kata murka atau murko. Mamang berarti tidak dapat dipercaya atau tidak dapat berbuat sesuatu. Sedangkan murka berarti tamak atau sifat yang tidak terpenuhi untuk menguasai segala sesuatu untuk kepentingan diri semata-mata. Sedangkan bila digabungkan, momongmurka berarti suatu sifat yang tidak dapat dipercaya atau sebuah perwujudan hawa nafsu yang terendah.

Raksasa Momongmurka kemudian menyamar menjadi seekor Babi hutan. Pemilihan hewan Babi hutan sebagai jelmaan dari Momongmurka bukanlah sebuah kebetulan, melainkan memiliki makna. Babi hutan sejatinya merupakan binatang yang najis. Babi hutan juga dapat diartikan sebagai simbol sifat kehewanan pada diri manusia karena ia memiliki sifat rakus, yaitu tidak pernah merasa puas dan selalu merasa kurang. Hawa nafsu dan sifat kehewanan yang digambarkan sebagi seekor Babi hutan itulah yang seharusnya diperangi oleh manusia. Oleh karena itu, dalam cerita Arjuna Wiwaha digambarkan Arjuna memanah Babi Hutan tersebut karena ia telah mengganggu tapanya dan telah mengacaukan keadaan warga disekitar Gunung Indrakila. Panah Arjuna yang ditujukan kepada Babi Hutan tersebut juga memiliki arti memanah atau membunuh sifat kehewanan dalam dirinya iaitu sifat rakus, selalu merasa kurang, dan segala bentuk hawa nafsu lainnya.

Gunung Indrakila seperti bergetar terkena amukan Momongmurka. Di daerah itu ladang seperti sedang dilanda gempa bumi. Gua tempat Arjuna bertapa menjadi retak. Arjuna yang sedang bertapa terkejut. Dari dalam gua ia seperti melihat raksasa besar yang sedang mengamuk. Arjuna segera menarik senjata panah. Ia sudah mengambil keputusan menghentikan amukan raksasa itu. Ia merasa kasihan dengan rakyat kecil yang tidak bersalah. Ternyata raksasa sakti utusan Prabu Niwatakawaca tersebut telah mengubah diri menjadi seekor Babi Hutan. Babi hutan itulah yang terlihat jelas oleh Arjuna. Arjuna tidak ragu-ragu lagi, bahwa Babi hutan itu adalah jelmaan dari

(8)

raksasa tersebut. Arjuna telah siap dengan senjata panah ditangannya dan segera melepaskan anak panah tepat mengenai tubuh binatang jadi-jadian itu (Sunardi, 1993: 59-61).

4.7 Simbol ajaran Manunggaling Kawula Gusti dalam Arjuna Wiwaha

Tujuan akhir atau orientasi utama manusia dalamFilsafat Jawa adalah apa yang disebut sebagai manunggaling kawula Gusti (bersatunya manusia sebagai makhluk dengan Tuhannnya). Konsep manunggaling kawula Gusti berkaitan dengan filsafat yang lainyaitukawruh sangkan paraningdumadi (ilmu mengenai asal-usul dan tujuan akhir manusia). Jika manusia telah mengetahui dan memahami hakikat kediriannya dari mana ia berasal dan ke mana tujuan akhir hidupnya, maka pada titik itu manusia telah memasuki pintu gerbang untuk mencapai tahap manunggaling kawula Gusti. Bersatunya manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai penciptanya dalam hal ini dipahami dengan pengertian bersatu dalam kehendak, bukan dalam pengertian bersatunya dzat. Manusia Jawa memahami bahwadzat manusia mempunyai perbedaan asasi dengan Tuhannya sehingga tidak mungkin dapat dipersatukan (Haryanto, 2013: 47).

Konsep manunggalingkawuloGusti merupakan konsep yang rumit dan dalam sejarahnya merupakan buah dari pikiran Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.Para wali dalam menyebarkan Islam menggunakan pendekatan kultural dan hal itu tercermin dalam konsep manunggaling kawula Gusti yang merupakan adopsi dari tradisi tasawuf dalam Islam. Pandangan manusia Jawa mengenai manunggaling kawula Gusti merupakan penjawaan terhadap apa yang terdapat dalam hadistQudsi. Salah satu hadistQudsi tersebut menyatakan bahwa ketika seorang hamba Allah mendekat dengan menjalani berbagai macam ibadah sunah, maka dia akan sampai pada tingkat di mana semua tindak-tanduknya bukan lagi berasal dari dirinya, melainkan berasal dari Allah SWT. Dalam bahasa manusia Jawa, seseorang yang mencapai tingkatan semacam ini telah mencapai tingkat manunggaling kawula Gusti.Kemauan si kawula adalah kemauanGustinya dan kemauanGusti adalah kemauan si kawula juga (Ahimsa-Putera, 2005: 57).

Dalam Arjuna Wiwaha dikisahkan bahwa pada saat itu Batara Guru menyamar menjadi seorang raja yang sedang berburu bernama Prabu Kitarupa. Arjuna yang merasa terganggu tapanya oleh kehadiran Raksasa Momongmurka yang menjelma menjadi seekor babi hutan, dengan sigap mengarahkan panahnya kearah babi hutan tersebut. Panah Arjuna tepat mengenai babi hutan tersebut dan bersamaan dengan panah Prabu Kitarupa yang juga memanah babi hutan tersebut. Arjuna dan Kitarupa pada akhirnya terlibat perselisihan dan saling bertengkar. Hingga pada akhirnya Batara Guru yang menyamar menjadi Kitarupa segera mengubah kembali wujudnya sebagai Batara Guru. Anak panah milik Prabu Kitarupa dan Arjuna yang bersamaan mengenai babi hutan, secara simbolik merupakan simbol dari Manunggaling Kawula Gusti. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :

Arjuna yang telah siap dengan senjata panah di tangan itu segera melepaskan anak panah, tepat mengenai tubuh binatang jadi-jadian tersebut. Tetapi pada waktu yang sama anak panah Hyang Syiwa juga mengenai tubuh babi hhutan dan tepat di tempat yang sama. Dapat dikatakan “nunggal tatu” atau melukai bagian yang sama. Sehingga hanya anak panah Arjuna saja yang terlihat menancap di tubuh celeng tersebut, karena anak panah Kitarupa tertindih masuk. Baik Arjuna maupun Kitarupa cepat-cepat mendekati binatang yang telah mati terpanah itu. Arjuna cepat melangkah untuk mencabut anak panahnya (Sunardi, 1993 : 61).

4.8 Panah Pasopati Milik Arjuna sebagai Simbol Nafsu Hewani yang Telah Binasa dalam Diri Manusia

Arjuna diceritakan memiliki tujuan ingin mendapatkan panah Pasopati dengan jalan bertapa di Gunung Indrakila. Keinginan Arjuna untuk mendapatkan panah Pasopati tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini :

Memang tujuan dari tapaku antara lain juga mencari senjata sakti untuk digunakan dalam perang Bharata Yudha yang akan datang (Sunardi, 1993: 57).

Pasopati sendiri berasal dari kata paso dan pati. Paso atau phasu memiliki makna hewan. Selanjutnya pati memiliki makna mati. Dengan demikian Pasopati bermakna nafsu

(9)

hewani yang telah mati atau binasa dalam jiwa manusia (Achmad, 2012: 107-108). Tapa brata Arjuna di Gunung Indarkila juga dapat diibaratkan seperti orang Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Dimana saat melaksanakan puasa tidak diberbolehkkan makan dan minum dimulai dari setelah subuh hingga tenggelamnya matahari. Berpuasa atau tapa brata adalah bagian dari sifat nafsu muthmainah. Nafsu muthmainah digambarkan senang berpuasa atau senang melakukan tapa brata tanpa mengenal batas kemampuan. Ia memiliki watak senang akan kebaikan, keutamaan, dan keluhuran. Nafsu muthmainah tersebut sumbernya dari tulang, timbulnya dari hidung, ibarat hati bersinar putih (Simuh, 1988: 340). Nafsu Muthmainah merupakan lawan dari ketujuh nafsu yaitu (1) memiliki sifat rendah seperti anjing yang berjalan dengan kepala menunduk dan selalu menciumi mangsa sebelum dimakannya; (2) memiliki sifat ragu-ragu; (3) memiliki sifat takut pada segala sesuatu yang baru; dan (4) memiliki sifat yang selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga; (5) Nafsu lawwamah berarti angangsa. Menimbulkan dahaga, kantuk, lapar, dan sebagainya. Tempatnya ada di dalam perut, lahirnya dari mulut. Diibaratkan sebagai hati yang bersinar hitam; (6) Nafsu amarah berarti garang. Memiliki watak angkara murka, iri, pemarah dan sebagainya. Bersumber di empedu, timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah; dan (7) Nafsu sufiyah berarti birahi. Menimbulkan watak rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dan sebagainya. Bersumber dari limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning. Ketujuh nafsu tersebut diibaratkan dalam cerita Arjuna Wiwaha sebagai ketujuh bidadari yang menggoda Arjuna saat ia bertapa di Gunung Indrakila. Dalam konsep Jawa, Nafsu lawwamah, nafsu amarah, nafsu sufiyah dan nafsu muthmainah biasa disebut dengan supiyah, mutmainah, amarah, dan aluamah.

Saat bertapa di Gunung Indrakila, Arjuna diganggu oleh ketujuh bidadari agar membuyarkan tapanya, setelah itu ujian langsung dari Batara Indra yang menyamar menjadi pendeta yang bernama Resi Padya, kemudian yang terakhir Arjuna mendapat ujian langsung dari Batara Guru yang menyamar menjadi Prabu Kitarupa untuk menguji kemampuan berperang Arjuna. Setelah lulus dari ketiga ujian tersebut, maka oleh Sang Hyang Guru Arjuna dianugerahkan panah Pasopati sebagai hadiah dari kelulusan tapanya di Gunung Indrakila. Kelak dengan panah Pasopati itulah ia dapat mengalahkan Raja Raksasa Prabu Niwatakawaca yang menjadi musuh dari para dewa. Pemberian panah Pasopati oleh Sang Hyang Guru dapat dilihat dari kutipan dibawah ini :

Batara Guru, “He Arjuna putraku. Aku merasa puas mencoba keterampilan dan kesaktianmu dengan bertempur melawanmu. Aku merasa puasa bahwa engkau mampu melawanku. Engkau telah melawanku bertempur dengan cara apa pun, dengan mengadu kesaktian, kecekatan, kekebalan, dan lain-lain. Sekarang dengarkanlah olehmu putraku, ada anugerah dariku untukmu, yaitu sebuah senjata panah sakti bernama Pasopati. Senjata itu ku berikan padamu, terimalah.” Setelah berkata demikian itu tangan Hyang Guru keluar api besar berbentuk raksasa yang sangat besar. Raksasa itu menjinjing senjata Pasopati. Ia mendekati arjuna dan memberikan senjata Pasopati itu padanya. Setelah senjata sakti itu diterima oleh Arjuna, api besar itu menghilang. Arjuna melakukan sembah sungkem dengan khidmat sekali kepada Hyang Guru dengan mengucapkan terima kasih. Batara Guru kemudian memberi nasihat-nasihat seperlunya kepada Arjuna (Sunardi, 1993: 64-65).

5. Kesimpulan

Berdasarkan teks (1) Ardjuna Wiwaha karya Sanusi Pane (1960), dan (2) Arjuna Wiwaha karya Sunardi (1993) maka dapat ditemui adanya simbol-simbol bahasa dalam kedua teks tersebut. Simbol-simbol bahasa tersebut terlihat padabeberapa hal yaitu (1) PrabuNiwatakawaca sebagai simbol sifat kesombongan dalam diri manusia, (2) Konsep kebaikan melawan keburukan dengan simbol Arjuna melawan PrabuNiwatakawaca, (3) Tapa Brata Arjuna di Gunung Indrakila sebagai simbol ajaran mati sajroning urip, (4) Wanita Muda sebagai simbol dunia, (5) Tujuh bidadari yang mengganggu tapa brata Arjuna sebagai simbol tujuh nafsu yang ada dalam diri manusia,(6) Raksasa Momongmurka sebagai simbol sifat kehewanan dalam diri manusia, (7) Simbol ajaran manunggaling kawula Gusti dalam Arjuna Wiwaha, dan (8) Panah Pasopati milik Arjuna sebagai simbol nafsu hewani yang telah binasa dalam diri manusia. Banyaknya simbol-simbol bahasa dalam Arjuna Wiwahasebagai produk

(10)

karya sastera klasik Jawa disebabkan karena manusia Jawa mengekspresikan berbagai macam konsep dan ide (gagasan) melalui penggunaan simbol. Manusia Jawa juga menyukai pemahaman melalui simbol-simbol pada hampir semua bidang, termasuk pemakaian simbol untuk menjelaskan ilmu ketuhanan

.

Pustaka Acuan

Ahimsa-Putera, HeddyShri.2005. Budaya Lokal dan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Adicitra Karya Nusa.

Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Khairul Bayaan. Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia.

Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Elliot, Anthony. 2007. Symbols. The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Book Inc. Publisher.

Haryanto, Sindung. 2013. Dunia Simbol Orang Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Pane, Sanusi. 1960. Ardjuna Wiwaha. Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka. Pasha, Lukman. 2011. Butir-Butir Kearifan Jawa.Yogyakarta: IN AzNa Books.

Santosa, Imam Budhi. 2012. Spiritualisme Jawa (Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran). Yogyakarta: Memayu Publishing.

Sastroamidjojo, Seno. 1962. Ardjuna Wiwaha. Djakarta: Kinta.

Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita (Suatu Studi Terhadap -Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

______.1995.Sufisme Jawa (Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Soesilo. 2000. Sekilas Tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup. Surabaya: CV Medayu Agung.

Sunardi. 1993. Arjuna Wiwaha. Jakarta: Balai Pustaka.

Wahyudi, Agus. 2014. Pesona Kearifan Jawa (Hakikat Manusia dalam Jagad Jawa). Yogjakarta: DIPTA.

Zoetmulder.1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Seri ILDEP. Jakarta: Penerbit Djembatan.

Zulkifli dan Santoso, Sentot Budi. 2008. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran) Solo: CV Mutiara Kertas.

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi nilai jual buah naga merah dapat mengalami penurunan harga ketika panen raya terjadi, hal ini karena waktu panen buah naga terjadi bersamaan, Buah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh jumlah cacing tanah dan waktu pengomposan terhadap kandungan NPK limbah media tanam jamur tiram,

Pengembangan game edukasi ini dapat dijadikan sebagai media bantu pembelajaran yang menarik dan efektif meningkatkan prestasi belajar siswa

Dalam web survey yang penulis buat, penulis menanyakan 7 pertanyaan untuk mengetahui identitas responden: seperti nama, id Kaskus (khusus bagi Kaskuser), id

Kota Padang berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman dengan menggunakan metode MCE menunjukkan bahwa seluas 12.543 ha (18%) zona lahan yang

Bagaimana pengaruh susunan sudut pitch terhadap karakteristik aliran fluida dan perpindahan panas yang melintasi serrated fin tube economizer dengan

Teori structural fungsional adalah sebuah teori yang menggmbarkan berfungsinya sebuah struktur dalam tindakan manusia yang ditentukan oleh adanya adaptasi (adaptation),

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, peranan pendamping dari Bank Sampah Melati Bersih