• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

34

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Lokasi Penelitian

RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan berada di wilayah Kota Pekalongan namun kepemilikannya adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan kesehatan paripurna yang dilakukan Rumah Sakit Pemerintah sebagai unit sosio ekonomi, dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan No 5 tahun 1995 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Pekalongan menjadi Unit Swadana Daerah dan telah mendapatkan Pengesahan dari Menteri Dalam Negeri No 445.33-177, secara resmi Rumah Sakit Umum Kabupaten Pekalongan menjadi Unit Swadana Daerah dengan sebutan Rumah Sakit Umum Daerah Unit Swadana Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan, dan pada tahun 2003 ditetapkan dengan Perda No 11 Th 2003 tentang Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan. Perda Kabupaten Pekalongan Nomor 15 Tahun 2008 merubah BP RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan menjadi RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Pada awal tahun 2012 RSUD Kraton melaksanakan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) (Profil RSUD Kraton Pekalongan, 2012).

RSUD Kraton Pekalongan telah menempati bangunan di atas areal tanah seluas ± 21278,75 m2 dan bangunan sekitar 8.705,88m2 terdiri dari atas satu lantai yang digunakan untuk pelayanan rumah sakit. Kapsitas RSUD Kraton memiliki 226 tempat tidur, yang terbagi Kelas VIP, Kelas I, Kelas II, Kelas III, ICU dan R. Flu Burung. Peralatan medis canggih yang

(2)

dimiliki antara lain endoskopi (1 unit), haemodialisa (5 unit), USG (1 unit), ECG (3 unit), Tread Mill (1 unit), EEG (1 unit), ECO (1 unit), CT SCAN (1 unit) dan ruang kemoterapi (Profil RSUD Kraton Pekalongan, 2012).

RSUD Kabupaten Pekalongan didukung oleh sekitar 688 orang yang merupakan aset organisasi, dengan jenis tenaga terdiri dari 390 orang PNS, 298 orang non PNS yang terbagi menjadi 16 PTT Daerah dan 275 tenaga BLUD. Sumber daya manusia di rumah sakit ini terdiri dari 143 orang perawat PNS, 49 orang perawat BLUD, 1 perawat PTT Daerah, 19 bidan PNS, 46 bidan BLUD, 13 dokter umum, 20 orang dokter spesialis serta 7 dokter mitra. Ruang rawat inap kelas III meliputi Ruang Kenanga, Seruni dan Nusa Indah (Profil RSUD Kraton Pekalongan, 2012).

2. Analisis Univariat

a. Lama Pemasangan Infus

Hasil penelitian tentang lama pemasangan infus diketahui bahwa sebagian besar (80,5%) lama pemasangan infus tidak beresiko yaitu lama pemasangan kurang dari 72 jam seperti pada tabel 4.1 berikut:

.

Tabel 4.1.

Distribusi Frekuensi Lama Pemasangan Infus di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, Bulan Juli 2013 (n=87)

Lama Pemasangan Infus Frekuensi (n) Persentase (%)

Beresiko Tidak beresiko 17 70 19,5 80,5 Total 87 100 %

b. Lokasi Pemasangan Infus

Hasil penelitian tentang lokasi pemasangan infus diketahui bahwa sebagian besar (75,9%) lokasi pemasangan infus tidak beresiko yaitu

(3)

vena tidak dekat persendian seperti punggung tangan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2.

Distribusi Frekuensi Lokasi Pemasangan Infus di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, Bulan Juli 2013 (n=87)

Lokasi Pemasangan Infus Frekuensi (n) Persentase (%)

Beresiko Tidak beresiko 21 66 24,1 75,9 Total 87 100 % c. Ukuran Kanula

Hasil penelitian tentang ukuran kanula diketahui bahwa sebagian besar (72,4%) ukuran kanula tidak beresiko yaitu ukuran vena kateter lebih kecil (20-22), seperti pada tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3.

Distribusi Frekuensi Ukuran Kanula Responden di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, Bulan Juli 2013 (n=87)

Ukuran Kanula Frekuensi (n) Persentase (%)

Beresiko Tidak beresiko 24 63 27,6 72,9 Total 87 100 %

d. Jenis Cairan Infus

Hasil penelitian tentang jenis cairan infus diketahui bahwa sebagian besar (66,7%) jenis cairan infus tidak beresiko yaitu cairan isotonik dan atau hipotonik, seperti pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4.

Distribusi Frekuensi Jenis Cairan Infus di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, Bulan 2013 (n=87)

Jenis Cairan Infus Frekuensi (n) Persentase (%)

Beresiko Tidak beresiko 29 58 33,3 66,7 Total 87 100 %

(4)

e. Perawatan Infus

Hasil penelitian tentang perawatan infus diketahui bahwa sebagian besar (79,3%) perawatan infus tidak beresiko yaitu perawatan infus dilakukan sesuai semua langkah perawatan infus yang dalam SOP, seperti pada tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5.

Distribusi Frekuensi Perawatan Infus di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, Bulan 2013 (n=87)

Perawatan Infus Frekuensi (n) Persentase (%)

Beresiko Tidak beresiko 18 69 20,7 79,3 Total 87 100 % f. Kejadian Phlebitis

Hasil penelitian tentang kejadian phlebitis diketahui bahwa sebagian besar (83,9%) responden tidak mengalami kejadian phlebitis, seperti pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6.

Distribusi Frekuensi Kejadian Phlebitis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, 2013 (n=87)

Kejadian Phlebitis Frekuensi (n) Persentase (%)

Phlebitis Tidak Phlebitis 14 73 16,1 83,9 Total 87 100 % 3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,027 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio (OR) diperoleh 4,227 (1,226-14,573) yang berarti lama pemasangan infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis

(5)

sebesar 4,2 kali dibandingkan lama pemasangan yang tidak beresiko, yang dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut :

Tabel 4.7.

Analisa Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, 2013 (n=87)

Kejadian Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Total Lama Pemasangan f % f % f % ρ value OR 95% CI Beresiko 6 6,9 11 12,6 17 19,5 Tidak beresiko 8 9,2 62 71,3 70 80,5 0,027 4,227 (1226-14,573) Total 14 16,1 73 83,9 87 100

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan lama pemasangan yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 62 orang (73,3%).

b. Hubungan Lokasi Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,001 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan lokasi pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio (OR) diperoleh 9,150 (2,605-32,138) yang berarti lokasi pemasangan infus yang tidak beresiko berpeluang tidak terjadinya phlebitis sebesar 9,15 kali dibandingkan lokasi pemasangan yang beresiko, yang dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut :

Tabel 4.8.

Analisa Hubungan Lokasi Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, 2013 (n=87)

Kejadian Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Total Lokasi Pemasangan f % f % f % ρ value OR 95% CI Beresiko 9 10,3 12 13,8 21 24,1 Tidak beresiko 5 5,7 61 70,1 66 75,9 0,001 9,150 (206-32,138) Total 14 16,1 73 83,9 87 100

(6)

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan lokasi pemasangan yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 61 orang (70,1%).

c. Hubungan Ukuran Kanula dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,018 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan ukuran kanula dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd

ratio (OR) diperoleh 4,750 (1,438-15,691) yang berarti ukuran kanula

yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 4,75 kali dibandingkan ukuran kanula yang tidak beresiko, yang dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut :

Tabel 4.9.

Analisa Hubungan Ukuran Kanula dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, 2013 (n=87)

Kejadian Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Total Ukuran Kanula f % f % f % ρ value OR 95% CI Beresiko 8 9,2 16 18,4 24 27,6 Tidak beresiko 6 6,9 57 65,5 63 72,4 0,001 9,150 (206-32,138) Total 14 16,1 73 83,9 87 100

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan ukuran kanula yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 57 orang (65,5%).

d. Hubungan Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,000 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan jenis cairan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd

(7)

infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 11,204 kali dibandingkan jenis cairan infus yang tidak beresiko, yang dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut :

Tabel 4.10.

Analisa Hubungan Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, 2013 (n=87)

Kejadian Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Total Jenis Cairan Infus f % f % f % ρ value OR 95% CI Beresiko 11 12,6 18 20,7 29 33,3 Tidak beresiko 3 3,4 55 63,2 58 66,7 0,000 11,204 (2,810-44,672) Total 14 16,1 73 83,9 87 100

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan jenis cairan infus yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 55 orang (63,2%).

e. Hubungan Perawatan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,007 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan perawatan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd

ratio (OR) diperoleh 5,636 (1,650-19,251) yang berarti perawatan

infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 5,6 kali dibandingkan perawatan infus yang tidak beresiko, yang dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut :

(8)

Tabel 4.11.

Analisa Hubungan Perawatan Infus dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan, 2013 (n=87)

Kejadian Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Total Perawatan Infus f % f % f % ρ value OR 95% CI Beresiko 7 8 11 12,6 18 20,7 Tidak beresiko 7 8 62 71,3 69 79,3 0,007 5,636 (1,650-19,251) Total 14 16 73 73 87 100

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang mendapatkan perawatan infus yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 62 orang (71,3%).

B. Pembahasan

Kejadian phlebitis disebabkan oleh beberapa faktor antara lain lama pemasangan infus, lokasi pemasangan infus, ukuran kanula, jenis cairan infus dan perawatan infus. Peneliti membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis sebagai berikut :

1. Lama Pemasangan Infus

Prosedur terapi intravena dimulai dari pemasangan infus. Pemasangan infus dilakukan dengan tujuan mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang hilang. Berdasarkan hasil penelitian tentang lama pemasangan infus diketahui bahwa sebagian besar (80,5%) lama pemasangan infus tidak beresiko yaitu kurang dari 72 jam. .

Lama pemasangan infus yang beresiko yaitu lebih dari 72 jam terutama dengan prosedur pemasangan dan perawatan infus yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Hal ini sesuai dengan Smeltzer & Bare (2001) yang menyatakan bahwa kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena sebagai akibat dari cara kerja

(9)

yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama. The Center

for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter

setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.

Hasil ini dapat disimpulkan bahwa pemasangan infus yang kurang dari tiga hari tidak beresiko terjadi phlebitis. Hal ini sesuai dengan penelitian Mardiah (2012) yang menyatakan bahwa kejadian phlebitis pada pasien yang dipasang infus sebanyak 61,7% terjadi phlebitis dengan rata-rata lama hari pemasangan infus pada hari ke tiga pemasangan infus dan pada hari pertama pemasangan infus responden tidak terjadi phlebitis sama sekali.

.

2. Lokasi Pemasangan Infus

Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOsm/L. .Hasil penelitian tentang lokasi pemasangan infus diketahui bahwa sebagian besar (75,9%) lokasi pemasangan infus tidak beresiko yaitu pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) dan vena metacarpal.

Vena permukaan merupakan tempat yang paling baik untuk pemasangan terapi intravena, vena-vena superficial pada lengan dimulai dari anastomosis vena di lengan dan pergelangan tangan yang kemudian mengalir menuju vena dalam (Perry & Potter, 2005).

Lokasi pemasangan infus berisiko terjadinya kejadian phlebitis, terutama pada lokasi punggung tangan karena mengganggu mobilisasi. Hal ini sesuai dengan Darmawan (2008) yang menyatakan bahwa penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 0,9%, produk darah, dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin.

(10)

Hasil penelitian sesuai dengan Nurjanah (2011) yang menyatakan bahwa sebagian besar (63,2%) pemasangan infus pada vena metacarpal.

3. Ukuran Kanula

Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan phlebitismekanis Hasil penelitian tentang ukuran kanula diketahui bahwa sebagian besar (72,4%) ukuran kanula tidak beresiko lebih kecil (20-22).

Pemasangan infus harus memperhatikan ukuran kanula seperti panjang kanula (1,8-3cm), kateter dengan diameter yang kecil vena yang kecil dan ukuran 20-22 untuk kebanyakan cairan IV. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ukuran kanula yang digunakan dalam pemasangan infus tidak beresiko terjadinya phlebitis karena menggunakan ukuran 20-22 cm, kecuali untuk larutan yang mengiritasi atau kental maka akan digunakan ukuran yang lebih besar.

Hal ini sesuai dengan Darmawan (2008) yang menyatakan bahwa phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan phlebitismekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Yesi (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan persiapan termasuk ukuran kanula dengan kejadian phlebitis.

4. Jenis Cairan Infus

Hasil penelitian tentang jenis cairan infus diketahui bahwa sebagian besar (66,7%) jenis cairan infus tidak beresiko yaitu cairan isotonik dan hipotonik.

(11)

Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma.

pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko phlebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline (Darmawan, 2008).

Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 –310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipertonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hipertonik yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006).

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis cairan yang digunakan tidak beresiko terjadinya phlebitis. Hal ini sesuai dengan Suryaningsih (2007) yang menyatakan bahwa dak ada hubungan antara jenis cairan intravena dengan tingkat keparahan phlebitis.

5. Perawatan Infus

Hasil penelitian tentang perawatan infus diketahui bahwa sebagian besar (79,3%) perawatan infus tidak beresiko yaitu perawatan infus yang dilakukan sesuai dengan semua langkah dalam SOP perawatan infus.

(12)

Prosedur perawatan infus dimulai setelah pasien mendapatkan pemasangan infus oleh perawat di Ruang UGD. Perawatan infus dilakukan oleh perawat pelaksana di ruang perawatan. Perawatan infus dilakukan 24 jam pertama sejak pemasangan. Perawatan berdasarkan prosedur perawatan infus yang baik dapat mencegah terjadinya phlebitis pada pasien rawat inap. Perawatan infus dilakukan setiap hari sekali sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh rumah sakit. Hal ini sesuai dengan William & Wilkins (2006) yang menyatakan bahwa setelah infus terpasang, fokusnya pada mempertahankan terapi dan mencegah komplikasi dengan prosedur sesuai dengan standar perawatan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Aprilin (2011) yang menyatakan bahwa 2 (60%) di lakukan sebagaian besar perawatan infus, 2 (10%) dilakukan semua perawatan infus, 2 (10%) tidak di lakukan perawatan infus.

6. Kejadian Phlebitis

Hasil penelitian tentang kejadian phlebitis diketahui bahwa sebagian besar (83,9%) responden tidak mengalami kejadian phlebitis.

Pasien rawat inap yang mengalami phlebitis harus segera mendapatkan penanganan segera dengan menghentikan dan melepas infus, mengkompres dengan air panas, mengkaji nadi di daerah yang mengalami phlebitis. Perawat kemudian melakukan pemasangan infus di bagian lain yang tidak meradang. Hal ini sesuai dengan Weinstein (2000) yang menyatakan bahwa tindakan yang harus dilakukan ketika pasien menderita phlebitis yaitu (1) Melepaskan alat intravena; (2) Meninggikan ekstremitas; (3) Memberitahu dokter; (4) Memberikan kompres panas pada ekstremitas sesuai pesanan; (5) Mengkaji nadi distal terhadap area yang phlebitis; (6) Menghindari pemasangan intravena berikutnya di bagian distal vena yang meradang.

(13)

Phlebitis bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi trombophlebitis. Perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tetapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang dapat menyumbat atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian.

Hasil penelitian ini diketahui sebagian besar responden tidak mengalami kejadian phlebitis yang sesuai dengan hasil penelitian Prastika dkk (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar (67,8%) pasien tidak beresiko terjadi phlebitis.

7. Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,027 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio (OR) diperoleh 4,227 (1,226-14,573) yang berarti lama pemasangan infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 4,2 kali dibandingkan lama pemasangan yang beresiko.

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan lama pemasangan yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 62 orang (73,3%). Lama hari pemasangan infus pada pasien yang dipasang infus memiliki resiko tinggi terjadi phlebitis dan kejadiannya tergantung pada kondisi kesehatan secara keseluruhan dan lamanya pemasangan infus. Dari hasil tabulasi tersebut juga diketahui terdapat 8 orang (9,2%) yang tidak beresiko namun mengalami phlebitis. Walaupun lama pemasangan infus tidak beresiko namun kejadian phlebitis yang dialami oleh responden dapat disebabkan faktor lain seperti ukuran kanula, jenis cairan, lokasi pemasangan dan perawatan infus.

(14)

Hasil penelitian Cholina Trisa Siregar (2012) menunjukkan bahwa kejadian phlebitis pada pasien yang dipasang infus sebanyak 61,7% terjadi phlebitis dengan rata-rata lama hari pemasangan infus pada hari ke tiga pemasangan infus dan pada hari pertama pemasangan infus responden tidak terjadi phlebitis sama sekali.

8. Hubungan Lokasi Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,001 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan lokasi pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio (OR) diperoleh 9,150 (2,605-32,138) yang berarti lokasi pemasangan infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 9,15 kali dibandingkan lokasi pemasangan yang tidak beresiko.

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan lokasi pemasangan yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 61 orang (70,1%). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lokasi pemasangan infus berhubungan dengan kejadian phlebitis.

Vena di ekstremitas dipilih sebagai lokasi perifer dan pada mulanya merupakan tempat satu-satunya yang digunakan oleh perawat. Karena vena ini relative aman dan mudah dimasuki, vena-vena diekstremitas atas paling sering digunakan. Tempat-tempat tambahan untuk dihindari termasuk vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area yang phlebitis; vena yang sklerotik atau bertrombus; lengan dengan pirai arteriovena atau fistula; atau lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah; atau kerusakan kulit. Selain itu, lengan pada sisi yang mengalami mastektomi dihindari karena aliran balik vena yang terganggu (Smeltzer & Bare, 2002)

(15)

Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Nurjanah (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan lokasi penusukan infus dengan kejadian phlebitis.

9. Hubungan Ukuran Kanula dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,018 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan ukuran kanula dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio (OR) diperoleh 4,750 (1,438-15,691) yang berarti ukuran kanula yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 4,75 kali dibandingkan ukuran kanula yang tidak beresiko.

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan ukuran kanula yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 57 orang (65,5%). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ukuran kanula berhubungan dengan kejadian phlebitis.

Plebitis dengan penyebab ukuran kanula sering disebut plebitis mekanik. Plebitis mekanik dapat terjadi ketika pembuluh darah mengalami trauma akibat kontak fisik dengan kanulintravena organik dan anorganik. Penting untuk mempertimbangkan ukuran kateter IV untuk mencegah plebitis. Hal ini sesuai dengan Darmawan (2008) yang menyatakan bahwa phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan phlebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

10. Hubungan Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,000 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan jenis cairan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio

(16)

(OR) diperoleh 11,204 (2,810-44,672) yang berarti jenis cairan infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 11,204 kali dibandingkan jenis cairan infus yang tidak beresiko.

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dengan jenis cairan infus yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 55 orang (63,2%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa jenis cairan infus berhubungan dengan kejadian phlebitis. Jenis cairan infus yang mengandung pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5 tidak berisko mengalami phlebitis. Hal ini sesuai dengan Darmawan (2008) yang menyatakan bahwa pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Asrin dkk (2006) yang menyatakan bahwa jenis cairan infus mempengaruhi kejadian phlebitis yaitu cairan intravena hipertonis. Hal ini terjadi akibat cairan tersebut masuk sel endotelial sehingga terjadi ruptur. Iritasi dapat terjadi ketika cairan hipotensik NaCl 0,45% dicampurkan dengan air yang dimasukkan dalam terapi infus.

11. Hubungan Perawatan Infus dengan Kejadian Phlebitis

Hasil uji chi square diperoleh  value sebesar 0,007 < 0,05, berarti H0

ditolak, sehingga ada hubungan perawatan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. Nilai odd ratio (OR) diperoleh 5,636 (1,650-19,251) yang berarti perawatan infus yang beresiko berpeluang terjadinya phlebitis sebesar 5,6 kali dibandingkan perawatan infus yang tidak beresiko.

(17)

Dari tabulasi silang di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang mendapatkan perawatan infus yang tidak beresiko dan tidak mengalami kejadian phlebitis yaitu sebanyak 62 orang (71,3%). Perawatan infus bertujuan untuk mempertahankan tehnik steril, mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah, pencegahan/ meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi sehingga dapat mengurangi kejadian phlebitis.

William & Wilkins (2006) menyatakan bahwa setelah infus IV terpasang, fokus pada mempertahankan terapi dan mencegah komplikasi. Pelaksanaan tindakan perawatan rutin dan khusus serta menghentikan infus ketika terapi selesai. Tindakan perawatan rutin membantu mencegah komplikasi.

Hasil penelitian Aprilin (2011) menyebutkan ada hubungan perawatan infus dengan terjadinya phlebitis pada pasien yang terpasang infus.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara observasi. Peneliti mengalami kesulitan terutama dalam pengumpulan data perawatan infus, sehingga peneliti meminta bantuan peneliti lain (numerator), yang lebih dahulu diberikan penjelasan tentang cara mengobservasi berdasarkan check list yang ada.

D. Implikasi Keperawatan

Perawat dapat lebih meningkatkan pelayanan kesehatan pada pasien rawat inap yang terpasang infus dengan lebih memperhatikan dalam menentukan lokasi pemasangan, lama pemasangan, ukuran kanula yang digunakan, jenis cairan infus dan perawatan infus. Perawat juga perlu meningkatkan perawatan infus sebagai salah satu pencegahan kejadian phlebitis terutama pada pasien dengan lama pemasangan yang beresiko sehingga dapat mencegah phlebitis pada pasien.

Referensi

Dokumen terkait

Satellite Timing and Ranging Equipment (SATRE) mengukur jalannya penundaan uplink dan downlink antara ground segment dengan satelit ACeS dan akan menggunakan

Apabila dikaitkan antara proyeksi pendapatan daerah dengan proyeksi belanja daerah Kabupaten Barru, maka jumlah pendapatan yang ada tidak mencukupi untuk mendanai

Tanah adalah benda alami yang terdapat di permukaan bumi yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukkan batuan dan bahan organik (pelapukkan

Berdasarkan penjabaran kebutuhan, peneliti melihat adanya peluang untuk mengantisipasi timbulnya keluhan pada bagian tubuh tertentu dan untuk meminimalkan timbulnya rasa

berfungsi mengeluarkan air dari suatu areal perkebunan ke sungai alami atau ke lokasi yang rendahan, dan lainnya. Sistem drainse buatan di wilayah studi bervariasi

Dari data survey serta teori menurut para ahli dan UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa pelayanan yang ada di Kantor Kecamatan Tulungagung

Pada awal perencanaan bangunan tersebut didesain dengan menggunakan struktur beton bertulang yang kemudian akan dimodifikasi ulang menjadi 16 lantai dengan

Hal ini menunjukkan bauran pemasaran jasa ( product , price , place , promotion , people , process , dan physical evidence ) berpengaruh secara simultan terhadap niat