• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ular Sanca (Python sp.)

Ular adalah reptilia yang kehilangan apendiks, sternum, kelopak mata, telinga luar dan kandung kemih. Ular memiliki tengkorak yang lemah, karena bagian-bagian tulangnya dapat bergerak satu sama lain. Gigi tumbuh pada rahang dari tulang langit-langit mulut. Posisi gigi-gigi itu mengarah ke belakang untuk menahan mangsanya. Ular tidak mengunyah atau merobek mangsanya, tetapi menelannya secara utuh. Mangsanya mungkin lebih besar dari penampang tubuhnya. Hal ini mungkin karena: (a) Pertautan ujung dua mandibula oleh ligamentum yang elastis. (b) Tulang kuadrat bebas dari tulang kepala dan mandibula. (c) Tulang langit-langit bergerak bebas. Karena hal tersebut, mulut dapat terbuka lebar. Penelanan mangsa dibantu oleh gigi-gigi yang mengarah ke belakang. (d) Tidak ada tulang dada (sternum) dan rusuk-rusuk bebas, sehingga dada dapat dilatasi. (e) Kulit lunak dan elastis. (f) Esofagus dan lambung dapat melebar (Brotowidjoyo, 1989).

Pythonidae merupakan salah satu keluarga ular yang mencakup ular besar seperti ular sanca batik (Python reticulatus) dan ular sanca bodo (Python molurus). Satwa buruan ular sanca sangat bervariasi dari mamalia dan unggas/aves. Berbeda dengan ular-ular yang mampu membunuh mangsanya dengan bisa, ular sanca membelit untuk melumpuhkan mangsanya (Matswapati, 2009). Feses yang dikeluarkan oleh ular memiliki ciri diantaranya, bentuk bolus utuh memanjang, mengandung rambut/bulu dan tulang dimana kondisi tulang berupa pasta karena tercerna oleh enzim pencernaan yang kuat dan bau pada feses menyengat (Raharyono & Paripurno, 2001).

2.2 Bulu Ayam

Bulu ayam merupakan bagian integral dari industri ayam broiler. Hasil dari pemotongan ternak unggas ini dihasilkan rata-rata bobot bulu 4-9% dari bobot hidup. Kandungan protein tepung bulu ayam (TBA) relatif tinggi yaitu antara

(2)

80-90%, sehingga berpotensi sebagai pakan alternatif sumber protein hewani. Kendala yang paling umum ditemui dalam penggunaan bulu ayam sebagai pakanadalah adanya ikatan keratin yaitu sejenis protein berserat yang bersifat sukar larut dalam air dan sulit dicerna, dimana kandungan keratin dalam TBA adalah 85-90% dari kandungan proteinnya (Sonjaya, 2001).

Sekarang ini, penggunaan mikroorganisme merupakan salah satu metode alternatif untuk meningkatkan nilai nutrisi dari bulu ayam. Limbah bulu ayam dimanfaatkan sebagai bahan dasar suplemen protein makanan untuk hewan. Sebelum digunakan, limbah bulu ayam ini direbus terlebih dahulu atau dapat ditambahkan dengan campuran bahan-bahan kimia untuk memudahkan daya cerna hewan, tapi proses pembuatannya membutuhkan perlakuan dan energi yang signifikan (Kim et al., 2001). Proses-proses ini selain membutuhkan energi yang cukup besar, juga merusak sejumlah asam amino yang terkandung di dalamnya (Panuju, 2003).

Komponen utama pada bulu adalah protein keratin. Adanya ikatan silang yang terbelit dalam bentuk heliks dan saling berhubungan melalui ikatan disulfida, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik, menyebabkan keratin sangat stabil, tidak larut dalam air, tahan terhadap asam atau basa kuat dan tahan terhadap enzim proteolitik yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan (Lin et al., 1992). Kandungan asam amino tepung bulu ayam sangat mirip dengan kandungan asam amino pada keratin, seperti jumlah asam amino serin, arginin dan prolin. Keratin pada bulu ayam mengandung beberapa nutrisi yang terdiri atas 81% protein kasar, 7% lemak kasar, 1% serat kasar, 0,33% kalsium dan 0,55% posfor. Tingginya kandungan nutrisi pada bulu ayam dianggap sebagai kandungan makanan yang baik bagi ternak (Lintang, 2003).

2.3 Keratinase

Enzim adalah protein yang dihasilkan oleh sel hidup dan berfungsi sebagai katalis biologi yang spesifik dan efisien berupa protein globular yang terbentuk dari rantai polipeptida yang berlipat secara kompak. Konformasi tersier protein globular merupakan bentuk yang paling stabil karena ditunjang oleh berbagai ikatan yang menstabilkan struktur tersier protein. Jenis-jenis ikatan tersebut

(3)

adalah ikatan hidrogen yang terdapat di antara gugus R residu asam amino rantai samping yang berdekatan, ikatan ion di antara gugus R yang berlawanan, interaksi hidrofobik dari gugus R asam amino hidrofobik dan ikatan kovalen berupa ikatan disulfida dari residu sistin (Copeland, 2000).

Seperti umumnya enzim-enzim ekstraseluler, produksi keratinase akan terhambat apabila asam amino dan peptida sederhana cukup tersedia dalam media. Enzim ekstraseluler akan aktif di luar sel, ketika keluar dari sel, aktivitasnya akan meningkat tajam, kemudian akan menurun karena enzim akan rusak di luar sel. Keratinase termasuk enzim protease yang merupakan enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler adalah enzim yang dihasilkan di dalam sel tetapi dikeluarkan ke dalam media untuk menghidrolisis dan mendegradasi komponen kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah larut dan diserap oleh mikroorganisme (Winarno, 1983).

Keratinase yang berasal dari mikroba seluruhnya merupakan enzim ekstraseluler dan kebanyakan tergolong protease serin (Friedrich & Antranikian, 1996). Degradasi keratin menjadi molekul yang lebih sederhana merupakan proses yang kompleks dan memerlukan kerja sinergis enzim-enzim keratinolitik. Menurut Bockle & Muller (1997), keratin memiliki struktur yang kaku dan sulit dicerna oleh protease hewan dan manusia. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan silang yang intensif dari jembatan sistin, dimana sistein merupakan asam amino penyusun keratin.

Keratin juga digunakan dalam film, serat dan pelapisan. Keratin digunakan dalam formula sebagai pengontrol sistem pelepasan, contohnya untuk bahan aktif seperti farmasi, agrokimia, bidang kosmetik, minyak wangi dan lain-lain (Floris & Slangen, 2007). Pada umumnya keratinase bersifat alkali dan memiliki spesifisitas substrat luas, karena selain mampu menghidrolisis keratin juga kasein, albumin, elastin, kolagen, gelatin dan fibrin. Sifat tersebut menyebabkan aplikasi protease keratinolitik cukup luas di antaranya di bidang pakan ternak, industri kulit, industri sabun, bioteknologi, lingkungan dan medis/kesehatan. Di bidang pakan ternak, ekstrak kasar keratinase terbukti mampu meningkatkan kualitas nutrisi TPA. Suplementasi preparat enzim protease dan keratinase ke dalam ransum dapat meningkatkan kinerja produksi ayam. Keratinase dapat membantu menghilangkan

(4)

bulu dalam industri penyamakan kulit, sehingga dapat menggantikan peran natrium sulfida yang beracun dan berpolusi bagi lingkungan (Rahayu, 2010).

Banyak faktor-faktor eksternal yang berpengaruh dalam produksi enzim. Faktor-faktor ini diantaranya variasi pH, suhu, waktu inkubasi dan konsentrasi substrat. Suhu memiliki peran yang sangat penting dalam produksi enzim. Suhu yang lebih tinggi pada umumnya menghasilkan produksi enzim yang tinggi (Pandian et al., 2012). Beberapa spesies bakteri menghasilkan keratinase termostabil dengan aktivitas optimal pada kisaran suhu 60–80oC. Keratinase pada umumnya memiliki aktivitas optimal pada pH netral hingga alkali (pH 7.0 – 12). Berat molekul keratinase yang dihasilkan mikroba sangat bervariasi, berkisar dari 30 kDa hingga lebih dari 200 kDa. Substrat yang banyak digunakan dalam berbagai pengujian keratinase adalah tepung bulu ayam dan bulu sapi dengan konsentrasi berkisar 0.1–10% (Rahayu, 2010). Menurut Kim et al. (2001), aktivitas keratinase dapat dideteksi dengan memakai kultur supernatan yang diendapkan amonium sulfat. Enzim ini melakukan aktivitas hidrolitik terhadap bulu secara optimal pada suhu 45°C dengan pH 8,5.

Bagi mikroorganisme keratinolitik, keratin yang mengandung banyak asam amino sistin dimanfaatkan sebagai sumber sulfur, karbon dan nitrogen. Kelebihan sulfur akan dikurangi dengan cara dioksidasi menjadi sulfat inorganik dan disekresikan ke dalam medium pertumbuhan. Melalui cara tersebut sebanyak lebih dari 90% sulfur organik diubah menjadi sulfat. Kadar sistin dalam rambut/bulu beberapa spesies makhluk hidup di alam menentukan tingkat kesulitan degradasi rambut/bulu oleh mikroba (Kunert, 2000).

2.4 Degradasi Keratin

Keratin bersifat tidak larut dan tidak dapat didegradasi oleh enzim proteolitik pada umumnya. Keratin banyak ditemukan pada rambut, kuku, bulu, dan semua produk epidermal. Rantai keratin dikemas dengan kuatdalam bentuk α-heliks (α-keratin) atau β-sheet (β-keratin) menjadi rantai polipeptida superkoil (Parry & North, 1998). Metode yang paling umum untuk melarutkan protein keratin adalah dengan pemotongan ikatan peptida bersamaan melalui hidrolisis asam dan alkali,

(5)

pengurangan ikatan disulfida dengan larutan natrium sulfida (Na2S). Teknik ini

efektif untuk mengekstraksi keratin 75% (Kock, 2006).

Banyaknya ikatan disulfida pada struktur keratin tampaknya menstimulasi sel untuk mensekresikan enzim disulfida reduktase sebagai proses awal membuka struktur keratin. Terbukanya struktur keratin menyebabkan keratinase lebih mudah mengakses peptida target pada molekul keratin dan menyempurnakan proses degradasi sehingga nutrisi keratin dapat dimanfaatkan oleh sel. Kandungan sistein pada keratin berkisar antara 11–20% dan tidak dimiliki oleh jenis protein lainnya. Jembatan sistein adalah struktur penting keratin dan merupakan penghambat kerja enzim proteolitik dalam memecah keratin. Berdasarkan strukturnya, maka degradasi lengkap keratin memerlukan enzim keratinase dan disulfida reduktase atau senyawa pereduksi. Keratinase akan memotong ikatan peptida keratin sedangkan disulfida reduktase atau senyawa pereduksi akan mengurai ikatan disulfida pada residu sistin (Rahayu, 2010).

Biodegradasi keratin oleh mikroorganisme yang memiliki aktivitas keratinolitik merupakan metode alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai limbah keratin pada bulu ayam. Struktur protein keratin dapat didegradasi oleh keratinase yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Aplikasi keratinase tidak hanya terbatas untuk mengatasi masalah limbah, namun keratinase juga dipakai pada industri tekstil, pakan ternak, farmasi, kosmetik dan industri kulit (Panuju, 2003). Protease keratinolitik yang tidak memiliki aktivitas kolagenase namun mempunyai cukup aktivitas elastase dapat membantu proses dehairing dengan memutus secara selektif jaringan keratin pada folikel kulit sehingga rambut akan terlepas tanpa memengaruhi kekuatan kulit (Macedo et al., 2005).

Keratinase dihasilkan oleh berbagai spesies Bacillus yaitu Bacillus FK 28 (Pissuwan & Suntornsuk, 2001), Bacillus sp. strain 16 (Werlang & Brandelli, 2005), Bacillus pumilus (Huang et al., 2003), Bacillus sp. SCB-3 (Lee et al., 2002), Bacillus halodurans (Takami et al., 1992). Burtt & Ichida (1999), melakukan isolasi bakteri keratinolitik dari 134 ekor burung dalam 32 spesies, hasilnya adalah sembilan dari sebelas bakteri keratinolitik diidentifikasi sebagai Bacillus licheniformis dan satu isolat sebagai Bacillus pumilus.

Referensi

Dokumen terkait

METODE PENGAMBILAN MINYAK JAHE DENGAN VARIASI JUMLAH PENAMBAHAN SOLVENT DAN SUHU DALAM RIMPANG JAHE MERAH.. MENGGUNAKAN EKSTRAKSI

Hasil-hasil prediksi pada variabel suhu dan kelembaban udara untuk tahun 2014 akan menjadi input bagi kepentingan prediksi jumlah curah hujan di tahun 2014

Kami melihat penurunan produksi batubara di Indonesia lebih dikarenakan banyak perusahaan yang tidak mampu bertahan di tengah belum stabilnya harga batubara.. Namun,

Sebagai respon atas segala permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan tersebut, Bupati Sragen menggagas pembentukan UPT-PK (Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan

Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan nelayan perempuan yang menjadi buruh pada usaha budidaya rumput laut, buruh industri arang, dan pencari kerang yang ditemui

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi bahan dengan menggunakan fraksi berat serat kelapa, serbuk baja, serbuk tembaga dan resin

Status gizi selama kehamilan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kehamilan dengan umur ibu yang terlalu muda (kurang dari 20 tahun) atau umur ibu yang terlalu