• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seperti baji, insang tipis berbentuk seperti papan, umumnya mempunyai kelamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seperti baji, insang tipis berbentuk seperti papan, umumnya mempunyai kelamin"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Bivalvia

Bivalvia memiliki tubuh bilateral simerti, pipih secara lateral kaki berbentuk seperti baji, insang tipis berbentuk seperti papan, umumnya mempunyai kelamin terpisah, tetapi beberapa diantaranya hermaprodit. Tubuh biasanya dilindungi oleh cangkang yang terdiri dari tiga lapis yaitu; periostrakum, lapisan primatik dan lapisan mutiara (Sugiri, 1989).

Bivalvia atau lebih umum dikenal dengan nama kerang-kerangan, mempunyai dua keping atau belahan kanan dan kiri yang disatukan oleh satu engsel yang bersifat elastis disebut ligamen dan mempunyai dua otot yaitu abductor dan adductor dalam cangkangnya, yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua belahan cangkang tersebut (Barnes, 1982).

Menurut Wesz (1973) ciri-ciri umum Bivalvia : hewan lunak, sedentary (menetap pada sedimen), umumnya hidup di laut meskipun ada yang hidup di air tawar, pipih di bagian lateral dan mempunyai tonjolan di bagian dorsal, tidak memiliki tentakel, kaki otot berbentuk seperti lidah, mulut dengan palps (lembaran berbentuk seperti bibir), memiliki radula , insang dilengkapi dengan silis untuk filter feeding (makan dengan menyaring larutan), alat kelamin terpisah atau ada yang hermaprodit, perkembangan lewat trocophora dan viliger pada perairan laut dan tawar.

(2)

Menurut Prawirohartono (2003) secara umum cangkang kerang tersusun atas zat kapur dan terdiri dari 3 (tiga) lapisan yaitu:

a. Periostrakum, merupakan lapisan terluar, tipis, gelap dan tersusun atas zat tanduk. b. Prismatik, merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun atas kristal-kristal

CaCO3 berbentuk prisma.

c. Nakreas, merupakan lapisan terdalam disebut juga lapisan mutiara, tersusun atas kristal CaCOз yang halus dan berbeda dengan kristal-kristal pada lapisan prismatik. Perbedaan yang khas dari cangkang dapat menjadi petunjuk identifikasi sampai ke tingkat jenis. Permukaan cangkang, lekukan dan tonjolan yang tersusun sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu bangunan seperti kipas.

Hewan kelas pelecypoda termasuk kerang, tiram, remis dan sebangsanya. Biasanya bilateral simetris, mempunyai cangkang setangkup dan sebuah mantel yang berupa dua daun telinga atau kuping. Karena cangkang disebut tangkup (valve) dan jumlahnya dua maka kelas ini dinamakan Bivalvia. Bentuk cangkangnya digunakan untuk identifikasi (Romimohtarto dan Sri, 2001). Untuk lebih jelasnya morfologi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar 2.1

(3)

Pergerakan Bivalvia dibantu oleh kaki di antara valves yang melebar atau mengait pada dasar material dengan mekanisme tarik ulur dan kontraksi otot. Aktivitas ini diaktivasi dari keluar masuknya darah ke dalam sinus otot-otot kaki (Nybakken et al., 1982). Selanjutnya menurut (Robet et al, 1982 dalam Syafikri 2008 ) Bivalvia tidak memiliki kepala dan mata di dalam tubuhnya. Bivalvia terdiri dari tiga bagian utama yaitu kaki, mantel dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan di antara dua cangkang tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak. Untuk lebih jelasnya anatomi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar 2.2

(adevalent-gastropoda.blogspot.com/2009_05_01_...) Gambar 2.2 . Anatomi Bivalvia

(4)

2.2 Habitat Bivalvia

Dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya, makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan dan cenderung untuk memilih kondisi lingkungan serta tipe habitat yang terbaik untuk tetap tumbuh dan berkembangbiak.

Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi biota adalah rendahnya kelimpahan biota tersebut pada suatu area ataupun ketidakmampuannya berdistribusi mencapai area tersebut (Dodi, 1998).

Pada umumnya Bivalvia hidup membenamkan dirinya di dalam pasir atau pasir berlumpur dan beberapa jenis di antaranya ada yang menempel pada benda-benda keras dengan menggunakan byssus atau sifon (Kastoro, 1988).

Selanjutnya menurut Nontji (1987) Bivalvia hidup menetap di dasar laut dengan cara membenamkan diri di dalam pasir atau lumpur bahkan pada karang-karang batu. Akan tetapi pada beberapa spesies Bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah kehilangan air (Nybakken, 1992).

Menurut kebiasaan hidupnya, pelecypoda digolongkan ke dalam kelompok makrozobentos dengan cara pengambilan makanan melalui penyaringan zat-zat tersuspensi yang ada di dalam perairan atau filter feeder (Heddy, 1994). Makanan berupa organisme atau zat-zat terlarut yang ada di dalam air yang diperoleh melalui tabung sifon dengan cara memasukkan air ke dalam sifon dan menyaring zat-zat terlarut. Makin dalam kerang membenamkan diri makin panjang sifonnya (Yasin, 1987 dalam Nontji, 1987). Selanjutnya Nybakken (1992) mengklasifikasikan

(5)

Bivalvia ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit. Oleh karena itu jumlahnya cenderung melimpah pada sediment lumpur dan sediment lunak.

Di daerah intertidal kehidupan pelecypoda dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya pasang surut menyebabkan daerah ini kering dan faunanya terkena udara terbuka secara periodik. Bersentuhan dengan udara terbuka dalam waktu lama merupakan hal yang penting, karena fauna ini berada pada kisaran suhu terbesar akan memperkecil kesempatan memperoleh makanan dan akan mengalami kekeringan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kematian. Oleh karena itu perlu melakukan adaptasi untuk bertahan hidup dan harus menunggu pasang naik untuk memperoleh makanan. Bivalvia dapat mati bila kehabisan air yang disebabkan oleh meningkatnya suhu. Gerakan ombak berpengaruh pula terhadap komunitasnya dan harus beradaptasi dengan kekuatan ombak. Perubahan salinitas turut juga mempengaruhinya, ketika daerah ini kering oleh pasang surut kemudian digenangi air atau aliran air hujan salinitasnya akan menurun. Kodisi ini dapat melewati batas toleransinya dan akan mengakibatkan kematian (Nybakken, 1992).

Menurut (Sumich, 1992) berdasarkan habitatnya Bivalvia dapat dikelompokkan ke dalam:

a) Bivalvia yang hidup di perairan mangrove.

Habitat mangrove ditandai oleh besarnya kandungan bahan organik, perubahan salinitas yang besar, kandungan oksigen yang minimal dan kandungan H2S yang tinggi sebagai hasil penguraian sisa bahan organik dalam lingkungan yang

(6)

miskin oksigen. Contoh jenis Bivalvia yang hidup di daerah mangrove; Oatrea

spesies dan Gleonia cocxans.

Menurut (Nybakken, 1982 dalam Hari, 1999) Bivalvia merupakan kelompok kedua dari moluska yang menempati hutan mangrove. Tiram adalah Bivalvia dominan dan melekat pada akar-akar mangrove. Bivalvia mempunyai adaptasi khusus untuk dapat bertahan hidup di lingkungan hutan mangrove yang sering mengalami perubahan salinitas secara ekstrem. Salah satu bentuk adaptasi untuk melindungi hewan tersebut jika terjadi hujan deras atau aliran air tawar yang berlebihan adalah dengan cara menutup cangkang.

b) Bivalvia yang hidup di perairan dangkal

Bivalvia yang hidup di perairan dangkal dikelompokkan berdasarkan lingkungan tempat di mana mereka hidup antara lain; hidup di garis pasang tinggi, hidup di daerah pasang surut dan yang hidup di bawah garis surut terendah sampai kedalaman 2 meter. Contoh jenis yang hidup di daerah ini adalah; Vulsella sp,

Osterea sp, Maldgenas sp, Mactra sp dll.

c) Bivalvia yang hidup di lepas pantai

Habitat lepas pantai adalah wilayah perairan sekitar pulau yang kedalamannya 20-40 meter. Jenis Bivalvia yang ditemukan di daerah ini seperti; Plica sp, Chalamis

sp, Amussium sp, Pleuronectus sp, Malleu albus, Solia sp, Pinctada maxima dll

(7)

2.3 Ekologi Wilayah Pesisir

Pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2006)

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir (Dahuri, 2004).

Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit, wilayah ini disebut zona intertidal. Kawasan pesisir pantai merupakan suatu habitat peralihan antara darat dan perairan laut maupun sungai, Pada kawasan ini terdapat berbagai tipe ekosistem yang cukup luas dan terkhususkan, seperti hutan mangrove terumbu karang dan rumput laut. Kawasan ini berada diantara daratan dan lautan karena menunjukkan ciri-ciri berbeda dengan daratan (Ongkosono, 1990).

(8)

Selanjutnya menurut (Odum, 1998) pada kawasan pesisir di samping hutan mangrove terdapat juga rawa non-mangrove yaitu rawa pasang surut. Rawa pasang surut merupakan daerah antara pasang naik dan pasang surut. Daerah ini dapat meluas jauh melalui muara ke daerah sekitarnya, sehingga membentuk daerah pantai setengah tertutup. Daerah pantai setengah tertutup berhubungan langsung dengan laut terbuka, dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Keadaan air di dalamnya adalah pencampuran antara air laut dengan air tawar. Dilihat dari kondisi demikian daerah ini sering digolongkan ke dalam estuaria atau zona transisi.

Melalui mekanisme pasang surut (pasut) dan aliran sungai terciptalah pencampuran kedua massa air tawar dan air laut secara intensif di estuaria. Selain itu adanya hutan mangrove yang memiliki produksi primer tinggi di sungai besar menyebabkan kandungan detritus organik yang tinggi sehingga produktivitas sekunder di estuaria menjadi tinggi pula. Oleh karena itu, habitat estuaria menjadi sangat produktif hingga dapat berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenile dari berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan dan daerah penangkapan (fising ground) (Dahuri, 2003 ).

Menurut Heddy (1994) estuaria sering disebut dengan ekoton, yaitu peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Komunitas dalam ekoton biasanya mengandung sebagian dari kedua anggota komunitas dan tumpang tindih dengan tambahan beberapa spesies yang terbatas. Umumnya jumlah spesies dan kepadatan populasi pada ekoton lebih besar dari komunitas lainnya.

(9)

Selanjutnya menurut Nybakken (1992) dilihat dari struktur tanah dan bahan penyusunnya pantai intertidal dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu

a) Pantai Berbatu

Daerah ini tersusun dari bahan keras dan merupakan dasar paling padat makroorganismenya dan mempunyai keanekaragaman besar baik spesies hewan maupun tumbuhan. Hamparan tumbuhan vertikal pada zona intertidal berbatu amat beragam, tergantung pada kemiringan permukaan berbatu, kisaran pasang surut dan keterbukaannya terhadap gerakan ombak. Keterangan yang lebih jelas mengenai terjadinya zona adalah bahwa zona-zona tersebut terbentuk dari hasil kegiatan pasang surut di pantai dan oleh karena itu mencerminkan perbedaan toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan terhadap udara dan hasilnya adalah kekeringan dan suhu yang ekstrim. Faktor biologis yang utama adalah persaingan, pemangsa dan grazing (herbivora).

b) Pantai Berpasir

Pantai pasir intertidal umumnya terdapat di seluruh dunia dan lebih terkenal dari pada pantai berbatu, karena pantai pasir ini merupakan tempat yang dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi.

c) Pantai Berlumpur

Pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Kelompok makro fauna yang dominan di daerah pantai berlumpur ini sama dengan yang terdapat di

(10)

pantai pasir yaitu berbagai cacing polikaeta, moluska Bivalvia dan krustacea besar dan kecil tetapi dengan jenis yang berbeda tipe cara makan yang dominan di dataran lumpur adalah pemakan deposit dan pemakan bahan yang melayang (suspensi) sama halnya dengan pantai pasir, contohnya tiram telinidae yang kecil dari genus macoma atau Scrobicularia.

2.4 Pencemaran Pesisir

Pencemaran laut (perairan pesisir) didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) terhadap biota, sumber daya dan kekayaan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1987).

Dampak negatif pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia bahkan penyebab kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan dan merugikan secara sosial ekonomi. Bentuk dampak pencemaran berupa sedimen, eutrofikasi, anoksia (kekurangan oksigen) masalah kesehatan umum, pengaruh terhadap perikanan, kontaminasi trace elemen dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing dan kerusakan fisik habitat.

Limbah rumah tangga banyak mengandung mikroorganisme diantaranya virus, bakter, fungi dan protozoa yang dapat bertahan hidup sampai ke lingkungan laut. Meskipun limbah rumah tangga mendapatkan perlakuan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme hingga mencapai 10.000/ml atau lebih, tetap saja mikroorganisme bersifat patogen ini menimbulkan masalah kesehatan manusia.

(11)

Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pemberantas hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Aplikasi bahan tersebut tidak tepat, baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan-rembesan (leeching) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya (Dahuri, 2004).

2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia merupakan dua faktor pembatas distribusi populasi selain faktor tingkah laku dan interaksi antara organisme. Setiap organisme mempunyai kisaran toleransi faktor fisik dan kimia tertentu dalam menunjang kehidupannya tergantung spesies dan lingkungannya serta keterkaitan antara keduanya. Beberapa faktor fisik dan kimia antara lain:

a. Suhu

Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan diurnal yang lebih besar dari pada di laut terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air yang masuk (pada saat pasang naik) ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah yang subtratnya terekspos (Supriharyono 2006). Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam pertumbuhan dan perkembangan Bivalvia. Kerang Anodonta woodiana menyukai lingkungan dengan temperatur 24 – 29 oC. (Thana, 1976 dalam Suwignyo, 1981).

(12)

b. Penetrasi Cahaya

Kejernihan air sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi (Levinton, 1982). Selanjutnya menurut Romimohtarto (1985) kekeruhan tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa.

c. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis air. Sebagian cahaya tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar permukaan air. Bagi organisme air intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme dalam habitatnya (Barus, 2004).

Menurut Michael (1994) intensitas matahari mempengaruhi produktifitas primer. Hasil perubahan energi matahari menjadi energi kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesis sangat tergantung pada intensitas matahari, konsentrasi CO2, oksigen terlarut dan temperatur perairan.

(13)

d. TDS (Total Dissolved Solid)

Nilai total dissolved solid mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu perairan. Nilai TDS mempengaruhi kecerahan dan warna air, semakin tinggi jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparansi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air (Levinton, 1982).

e. TSS (Total Suspension Solid)

TSS merupakan zat-zat tersuspensi yang ada di dalam air. Secara teoritis muatan padatan tersuspensi adalah semua bahan yang masih tetap tertinggal sebagai sisa penguapan dan pemanasan pada suhu 103 – 105 0C. Semakin besar kandungan muatan tersuspensi di dalam air akan mengakibatkan terhalangnya berbagai proses fisika kimia di dalam perairan (Dahuri dan Damar, 1994 dalam Arthana, 2006). f. Kandungan Organik Substrat

Kandungan bahan organik terlarut maupun dalam sedimen mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan organisme (Levinton, 1982).

g. Tipe Substrat

Hewan Bivalvia sebagai makrozobentos umumnya hidup pada dasar perairan. Substrat yang disukai, berpasir dan berlumpur. Pennak (1989) dalam Prihatini (1999) menyatakan bahwa lingkungan yang disukai kerang famili Anodontidae adalah substrat pasir atau campuran dengan material lain, namun beberapa jenis Anodonta menyukai lumpur.

(14)

h. Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air biasanya dinyatakan dalam satuan per mil ‰. Berdasarkan nilai salinitas air diklasifikasikan sebagai berikut: air tawar <0,5 ‰, air payau (0,5 – 30 ‰) laut (30 – 40 ‰) dan hiperhalin (>40 ‰) (Barus, 2004). Selanjutnya komponen fauna di estuaria berdasarkan salinitasnya di kelompokkan menjadi 3 (tiga) yakni fauna air tawar, payau dan laut (Dahuri, 2003). Menurut Romimohtarto, (1985) pada salinitas 18‰ keberhasilan menempel kerang darah (Anadara granosa) lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan salinitas yang lebih rendah dari pada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah.

i. pH

Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. pH sangat penting sabagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju

kecepatan reaksi di dalam air. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme pada umumnya antara 7 – 8,5. Kodisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Menurut Romimohtarto (1985) pH permukaan laut Indonesia pada umumnya antara 6,0 – 8,5. Perubahan nilai pH mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut.

(15)

j. Oksigen Terlarut ( Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2004).

k. Biological Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 20°C. Pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari atau BOD5 (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Angka BOD5 tinggi menunjukan terjadinya pencemaran organik di perairan. Brower et al., (1990) menyatakan nilai konsentrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.

l. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD (Chemical Oxygen Demand) yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air, atau jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia (Wardhana, 2001).

(16)

m. Nitrat (NO3)

Menurut Barus (2004) nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitiplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

n. Fosfat

Fosfat di perairan merupakan unsur yang sangat penting untuk pertumbuhan alga. Semakin besar fosfat yang tersedia maka pertumbuhan alga semakin baik. Berdasarkan nilai kadar fosfatnya kawasan hutan mangrove Teluk Kalisusu termasuk kategori perairan yang subur (Hari, 1999).

Gambar

Gambar 2.1.  Morfologi Bivalvia (www.palaeos.com/../Bivalvia/Bivalvia.html)

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti juga memberikan penugasan kepada siswa SMPN 1 Bojong Gede, Bogor untuk membuat karangan narrative bahasa Inggris menggunakan kata kerja simple past

Suatu kumpulan atau pemusatan yang mewadahi dan menampung kegiatan bisnis yang bergerak dibidang desain dengan memberikan pelayanan konsultasi jasa dan pengenalan

Puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan penyertaan, tuntunan, pertolongan dan kekuatan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui informasi mengenai Pemanfaatan New Media (Whatsapp) Antara Guru Dengan Siswa Berkebutuhan Khusus Dalam

Orang tuli tidak dapat menangkap suara dari luar termasuk perkataan orang lain dengan baik karena ada kerusakan atau kelainan pada sistem pendengaran yang mereka miliki.. Ia hidup

Primer rRNA-12S mitokondria dapat secara spesifik mengamplifikasi DNA sapi diantara DNA ayam, babi, celeng, kambing, DNA gelatin babi, dan DNA yang terdapat pada

Dilakukan reklasifikasi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dan penilaian individu obyek pajak non standar seperti pabrik dan SPBE yang baru berdiri di Nganjuk. Pemberian

'i bagian tepi luar (korteks) terdapat substansia grisea, lalusemakin ke dalam dibatasi dengan luar (korteks) terdapat substansia grisea, lalusemakin ke dalam dibatasi dengan