• Tidak ada hasil yang ditemukan

KE-JATIDIRI-AN RAGAM HIAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KE-JATIDIRI-AN RAGAM HIAS"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH :

ARSITEKTUR NUSANTARA

DOSEN :

IR. JOSEF PRIJOTOMO, M.Arch.

KE-JATIDIRI-AN RAGAM HIAS

( ORNAMEN DAN DEKORASI

)

[ KAJIAN KASUS ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI ]

OLEH :

I WAYAN GOMUDHA Nim. 3297 202 003

BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN DAN KRITIK ARSITEKTUR

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER-ITS SURABAYA

(2)

Bali sebagai terminal akhir perjalanan kultur budaya Hindu Indonesia, telah melahirkan berbagai ragam wujud budaya, salah satu adalah ragam-hias arsitektur tradisional Bali. Kehilangan jatidiri dalam perkembangan arsitektur di Indonesia, sangat dirisaukan banyak kalangan budayawan, seniman, arsitek maupun masyarakat pemakai. Ragam hias yang merupakan bagian integral dari estetika terapan, dapat dimanfaatkan sebagai penunjuk jatidiri. Untuk itu pada kesempatan ini dibahas “Ke-jatidiri-an Ragam Hias (Ornamen dan Dekorasi), dengan kasus kajian Arsitektur Tradisional Bali. Melalui kegiatan jelajah Gianyar, laporan/kertas kerja ini akan mencoba untuk mengkaji ke-jatidiri-an ragam-hias, melalui penelusuran konsepsual perwujudan dan penapilannya, tektonika, perannya sebagai suatu daya tarik, dan penghadir suatu langgam atau jatidiri tertentu dari karakternya. Hasil kajian mendapatkan beberapa nilai-nilai perwujudan dan penampilan ragam-hias yakni : nilai-nilai filosofis, nilai-nilai sosial-ekonomis, nilai-nilai teknis-teknologis dan nilai-nilai ke-jatidirian-an yang dapat dikembangkan sebagai penghadir jatidiri Nusantara, di mana dalam penerapannya disesuaikan dengan Tempat (Desa), Waktu (Kala),dan Situasi / Kondisi (Patra).

Dari kajian awal ini, pengkajian ragam hias sebagai warisan budaya Nusantara dapat dikembangkan lebih lanjut, sampai pada akhirnya mendapatkan suatu acuan, landasan atau konsep ber-ragam-hias dalam ber-arsitektur Nusantara yang indonesiawi.

(3)

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang.

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang berbentuk Republik, terdiri dari jajaran pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke. Dihuni oleh berbagai jenis anak bangsa (suku) dengan beraneka ragam budaya yang berkembang sesuai dengan kondisi geografis dan alam yang melingkunginya. Keragaman budaya yang berkembang telah pula mengemas keragaman arsitektur tradisionalnya, seperti yang diungkapkan oleh Gunawan Tjahdjono 1:

Di Nusantara ini banyak tradisi arsitektur suatu suku bangsa yang berupa hasil proses perpaduan pengalaman masyarakat terhadap alam, lahan pertanian, struktur masyarakat, ritual, daur hidup dan panen, bahan dan alat dengan teknik pengolahannya, dan seni.

Arsitektur tradisional yang berkembang pada masing-masing daerah, memiliki wujud tampilan yang berbeda-beda satu sama lainnya, dan mempunyai ciri-cirinya sendiri serta dapat dijadikan sumber kearsitekturan di Indonesia seperti yang dinyatakan oleh Wondoamiseno sebagai berikut 2:

Arsitektur Tradisional Indonesia memiliki ciri-ciri yang khas, berlainan satu dengan yang lainnya. Kekhasan ciri-ciri tersebut sebagai salah satu yang diperlukan untuk mendapatkan identitas Nasional.

Demikian pula bila dikaji lebih jauh atas perkembangan arsitektur tradisional di masing-masing daerah, dikatakan oleh Gunawan Tjahjono bahwa 3 :

Tradisi berarsitektur dibeberapa kawasan di Nusantara ini juga terbentuk dari suatu proses. Proses tersebut tidak terjadi dalam kondisi terisolasi, melainkan ada unsur-unsur luar yang bertransfusi kedalam nilai lokal, menyatu dan menyelesaikan tantangan yang dihadapi sehingga memiliki suatu otentisitas.

Di mana otentisitas inilah yang mengarah kepada pembentukan identitas diri atau ke-jatidiri-an suatu karya Arsitektur, sebagai pembeda dari yang lainnya. Ke-ke-jatidiri-an Arsitektur Tradisional Bali maupun Arsitektur Nusantara adalah ungkapan budaya

1 Tjahjono, Gunawan, “ Makalah Seminar Arsitektur”, di WTC Surabaya, 9 September 1995.

2 Wondoamiseno, RA, “Regionalisme Dalam Arsitektur Indonesia Sebuah Harapan”, hal : 6. 3 Tjahjono, Gunawan, “Op. Cit”.

(4)

Anak Bangsa Nusantara. Ragam-hias (ornamen dan dekorasi) sebagai bagian dari seni terapan, merupakan bagian integral dari arsitektur dalam kehadirannya sebagai bentukan ragawi, sehingga media ini dapat dipakai sebagai petunjuk jati-diri.

Untuk itu dipandang perlu mengadakan kajian yang lebih mendalam tentang ragam-hias, dalam hal ini akan dikaji “Ke-jatidiri-an Ragam-hias (Ornamen dan Dekorasi)” dengan kajian kasus Arsitektur Tradisional Bali.

Pulau Bali sebagai terminal akhir perjalanan budaya Hindu yang berkembang sejak abad ke empat di Kutai, Jawa Barat (Taruma Negara) melalui lembah Prambanan (Mataram Kuna), Jawa Timur (Mataram-Kediri-Singosari-Majapahit) dan akhirnya berkembang di Bali disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (kala) dan situasi/kondisi (patra). Agama Hindu sebagai landasan telah melahirkan Arsitektur Tradisional Bali sebagai runtutan evolusi budaya Hindu di Indonesia. Dengan mengambil kajian kasus di Bali diharapkan dapat diungkap materi yang lebih lengkap sebagai endapan perjalanan kultur arsitektur Nusantara masa lalu.

Pola Pikir dan Proses Kerja Jelajah Gianyar.

Jelajah Gianyar merupakan salah satu kegiatan akademik untuk mata kuliah Arsitektur Nusantara, berupa kuliah lapangan di Gianyar-Bali [lihat Lampiran: I]. Kegiatan ini juga sebagai tindak lanjut dari upaya untuk memperdalam kajian arsitektur Tradisional dalam rangka menemukan nilai-nilai Nusantara, sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang permasalahan. Berikut ini disajikan ringkasan pola pikir dan sekaligus proses kerja [Diagram: I], mengenai Pra-Gianyar, Jelajah-Gianyar, dan Pasca Jelajah-Gianyar.

Prajelajah Gianyar :

Pada tahap ini inti kegiatan adalah perkuliahan dalam rangka pengenalan materi pokok tentang arsitektur Nusantara, diskusi, penjelasan mengenai obyek jelajah,

(5)

penetapan tujuan serta strategi penjelajahan, termasuk juga pemilihan topik dan pencarian definisi/pengertian awal tentang materi dan obyek bahasan.

DIAGRAM : I

PRAJELAJAH GIANYAR :

PASCAJELAJAH GIANYAR :

Kegiatan penting lainnya adalah studi literatur pendukung, terutama berkaitan dengan pengetahuan ragam-hias. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah belum dipahaminya suatu strategi untuk mengupas sesuatu bukan dari dalam, melainkan dari luar dengan suatu alat atau metode yang sifatnya universal. Hingga tiba di lokasi jelajahpun penulis masih kebingungan untuk membedah lingkaran permasalahan penjelajahan yang masih membulat, harus memulai dari mana?

RAGAM-HIAS DEFINISI PRA GIANYAR SESUAI DEFINISI TIDAK SESUAI DEFINISI TEMUAN TIDAK EFEKTIF DEFINISI BARU [PENYEMPURNAAN] KONSEPSUAL OBYEK VISUAL OBYEK IDENTIFIKASI OBYEK METODA TEKTONIKA PERAN JATI DIRI KAJIAN ATAS DEFINISI BARU KONTRIBUSI KAJIAN TERHADAP ARS. NUSANTARA

(6)

Dilain pihak keakraban penulis dengan Bali selalu mempengaruhi kenetralan pola pikir dan sudut pandang sebagai orang Bali. Memang terasa berat untuk mengganti kacamata yang berbeda untuk melihat tanpa keberpihakan. Namun demikian hal ini justru sebagai pemicu semangat dalam rangka studi pematangan diri serta pe-ngembangan wawasan berarsitektur.

Dalam Jelajah Gianyar :

Penjelajahan dimulai dari Desa Beng sebagai cikal-bakalnya Gianyar, yang lahir dari urat-kata ‘Gria’ dan ‘Anyar’ yang berarti “Rumah Baru” (bagi Brahmana). Beng sebagai daerah asal, dan Gianyar sebagai daerah baru ternyata memendam pernik-pernik dan manik-manik (potensi) perkembangan ragam-hias dalam berbagai jenis, corak, bahan dan cara pembuatan dengan penampilan yang beraneka ragam. Demikian pula di daerah Ubud dan Peliatan sebagai jelajah banding, dikenal sebagai gudangnya seniman, ragam-hias berkembang sangat pesat, dan didukung oleh kemampuan ekonomi masyarakat yang memadai.

Ditemukan, ternyata ragam-hias bukan lagi sebagai ungkapan tolok ukur status sosial di masyarakat dalam upaya men-jatidiri-kan diri, seperti yang dikenal pada jaman kerajaan. Pada jaman kemerdekaan dan globalisasi ini telah berubah menjadi ungkapan status ekonomi/kemampuan sosial-ekonomi masyarakat, di samping ingin terpandang modern. Kolonialisme Belanda dalam upaya memperkuat kekuasaannya juga telah memanfaatkan salah satu unsur arsitektur, yang disebut ragam-hias sebagai alat untuk memberikan kepuasan berarsitektur bagi raja yang telah bersedia bekerjasama. Muncullah ragam-hias tipe lengkung atau gaya kolonial (pada pintu masuk Gedong Gunung Rata yang juga disebut ‘Masterdam’ di Puri Gianyar maupun di Puri Ubud ), Patra Olande, Ragam-hias pra-cetak (Pot-pot bunga di Puri Gianyar) dan berbagai langgam ragam-hias yang diambil dari negara-negara lain seperti Cina dan Eropa. Kehadiran ragam-hias baru ini ternyata dapat memperkaya khasanah keragaman ragam-hias yang telah dimiliki Gianyar pada khususnya, sejak jaman Bali

(7)

Dari hasil jelajah di samping banyak materi yang dapat dirangkum, ternyata banyak sisi lain seperti konsep, wujud/penampilan, tektonika, perkembangan ragam-hias, hingga saat ini belum terungkap.

Pascajelajah Gianyar :

Jelajah demi jelajah telah dilakukan terhadap keragaman wujud ragam-hias, karena banyaknya ragam-hias yang ada dengan berbagai corak dan cara penampilannya serta filosofi yang melatar belakangi, telah memunculkan “kebingungan” dalam mengungkap ke-jatidiri-annya. Walaupun demikian akan tetap diupayakan suatu metoda atau cara pandang maupun strategi pembedahan yang tepat untuk dipilih sesuai dengan konteks permasalahan.

Tujuan Pembahasan.

Dari pembahasan ini diharapkan dapat digali dan diidentifikasi keragaman konsep dan wujud ragam-hias dalam Arsitektur Tradisional Bali untuk selanjutnya dikaji konsepsual perwujudannya dan penampilannya, sehingga dapat dikenali ke-jatidiri-annya dari obyek bersangkutan. Untuk selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan kajian demi kajian tentang ragam-hias sampai pada akhirnya ditemukan acuan, landasan atau konsep ber-‘ragam-hias’ dalam ber- ‘Arsitektur Nusantara’, di masa datang.

Lingkup Bahasan.

Untuk dapat mengkaji ragam-hias sebagai bagian integral dari arsitektur, maka lingkup pembahasan difokuskan pada pengkajian konsep wujud dan tektonika dari bentukan/ perwujudan/penampilan ragam-hias (ornamen dan dekorasi), dalam hal ini dengan mengesampingkan tautannya dengan masalah sosial dan budaya.

(8)

II. D E F I N I S I.

Sebagai penjelajah yang akrab dengan daerah jelajah agaknya terpaku dengan referensi tentang definisi ragam-hias tradisional Bali, sebagaimana dikenal selama ini sbb :

a. Definisi Tradisional Bali ( Definisi Pra-Jelajah ) :

Ornamen dan dekorasi dalam arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya yang mengeras kedalam bentuk-bentuk tata hias bangunan. Benda-benda alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk ragam-hias, tumbuhan-tumbuhan, binatang unsur alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang harmonis, [Gelebet, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, 1982:331].

Penjabaran pengertian definisi pra-Gianyar di atas dapat diformulasikan tipologi ragam -hias tradisional Bali, sesuai dengan rampatan dalam Lampiran : II – Tipologi Ragam hias dalam Arsitektur Tradisional Bali.

Arti dan maksud penggunaan ragam-hias adalah untuk keindahan, ungkapan simbolis, dan sebagai alat komunikasi dengan bahasa simbol. Jenis ragam-hias terdiri dari : ragam-hias flora, fauna, unsur alam, agama dan kepercayaan dan dari unsur-unsur lainnya. Warna ragam-hias yang ada sesuai dengan warna asli bahan dasarnya atau pepulasan/pengecatan. Bentuk ragam-hias berupa ukiran, pahatan (tetatahan), pengecatan (pepulasan), susunan bentuk (pepalihan) dan hiasan sederhana/polos (lelengisan). Pembuatannya dilakukan dengan pahatan, pahatan tempel (dekorasi), pasangan, anyaman, cetakan, rakit-rakitan, dan ornamen (kekupakan).

(9)

Ragam-hias arsitektur adalah himpunan berbagai jenis, corak, warna, dari elemen-

elemen hiasan/tata-hias yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian,

yaitu ornamen dan dekorasi.

Ornamen, adalah tata-hias yang merupakan bagian integral dari konstruksi, lain kata bahwa ornamen tersebut muncul sebagai akibat penyelesaian konstruksi dengan pemahatan yang disebut tektonika, [Rangkuman Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, 1997, oleh Josef Prijotomo].

Dekorasi, adalah unsur-unsur tata-hias yang dipasang/dibubuhkan pada elemen-elemen arsitektur, tapi bukan merupakan bagian integral dari konstruksi dan semata-mata dipasang/dibubuhkan sebagai elemen estetis serta merupakan satu kesatuan dengan tempat di mana dekorasi tersebut dipasang, [Rangkuman Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, 1997, oleh Josef Prijotomo].

III. T E M U A N.

Dari definisi pra Gianyar (tradisional Bali) yang diacu di atas dalam jelajah Gianyar ditemukan data ragam-hias yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : a. Ditinjau atas dasar tata-cara penggunaan ragam-hias.

Ragam-hias (ornamen dan dekorasi) sesuai definisi tradisional Bali adalah ragam-hias yang terdapat pada bangunan-bangunan yang masih menggunakan kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bali seperti bangunan: Pura yang ada di : Desa Beng, Gianyar, Bangli, Puri Gianyar, Puri Ubud, Bangunan umum : Bale Kulkul dan Bale Gede di

(10)

Banjar, dan Perumahan tipikal tradisional: Pamrajan, Gedong (Bale Bandung), Bale Gede/Bale Sumanggen dan Angkul-angkul.

Ragam-hias yang tidak sesuai definisi tradisional Bali mencakup sebagian besar pada bangunan-bangunan yang non tradisional Bali :

 Ragam-hias berupa dekorasi tempelan ada pada bangunan-bangunan non tradisional : Bangunan Pertokoan, Perkantoran dan Perumahan di Gianyar.

 Ragam-hias berupa ornamen non tradisional pada bangunan perumahan di Desa Beng terdiri atas: Angkul-angkul, Bale Daja, Bale Dangin, Pamrajan.

 Tidak memakai ragam-hias, didapat pada bangunan-bangunan non tradisional, seperti: Bangunan Bale Banjar di Beng (Bangunan Jengki, Wantilan Konstruksi Beton), bangunan rumah non tradisional di Beng dan di Gianyar.

b. Ditinjau dari Jenis/corak/langgam Ragam-hias.

 Ragam-hias tradisional Bali, di mana jenis, corak, bahan, tekstur dan warna yang dalam penampilannya sesuai dengan kaidah-kaidah/tipologi ragam hias tradisional.

 Ragam-hias non tradisional Bali, adalah jenis, corak, bahan, tekstur dan warna yang dalam penampilannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah/tipologi ragam hias tradisional.

Hasil temuan atas dasar definisi Pra-Gianyar (tradisional Bali) yang diacu ternyata tidak mendukung upaya pengkajian ke-jatidiri-an ragam-hias yang banyak berkembang terutama di luar kaidah-kaidah tradisional. Untuk itu perlu diadakan perubahan sudut pandang dan fokus bahasan dengan memakai definisi baru sebagai titik pijak. Diharapkan hasil temuan sesuai definisi baru dapat mengungkap lebih banyak tentang jatidiri, kondisi pertumbuhan dan perkembangan ragam hias sebagai suatu aset tradisi.

(11)

c. Proses Penghimpunan Data.

Penghimpunan data selama di Gianyar dilakukan dengan jalan menjelajahi obyek-obyek yang ditengarai memiliki keunggulan maupun penyimpangan atau pemakaian di luar kebiasaan/tradisi terhadap ragam-hias. Juga dijelajahi obyek-obyek sebagai hasil atau upaya pemilik/perencana/undagi untuk mengadakan stilisasi, hibrida atau pencampuran unsur-unsur ragam-hias baru dan/atau ragam hias non Bali.

Setelah data lapangan terkumpul kemudian diadakan klasifikasi sesuai dengan definisi Pra-Gianyar dan tipologi fungsi bangunan tradisional Bali [Lampiran : III]. Ragam hias dapat dikelompokkan yakni: 1) Ragam-hias pada bangunan tempat suci atau pamrajan (Parhyangan); 2) Ragam-hias pada bangunan bagi manusia (Pawongan); 3) Ragam-hias pada bangunan service dan fasilitas umum (Palemahan). Banyaknya langgam/corak, jenis, bahan, cara penampilan/pembuatan dan penggunaan ragam-hias dilapangan, cukup menyulitkan dalam pembahasan dari aspek pengetahuan universal. Oleh karenanya pembahasan ragam-hias akan difokuskan kepada aspek konsep perwujudan dan penampilan, tektonika dan perannya untuk memberikan suatu daya tarik atau menghadirkan suatu langgam (style) maupun jatidiri tertentu dari karakteristik atau ciri-ciri yang dikandungnya. Hal ini ditempuh untuk memberikan peluang kajian atas dasar kaidah-kaidah/pengetahuan yang bersifat universal sebagai titik pijaknya. Dengan titik pijak ini pula setiap kajian atas arsitektur tradisional maupun arsitektur Nusantara akan menjadi spesifik (dalam titik pijak tertentu) dan sekaligus ‘sahih’ atau ‘valid’ (dapat dipertang-gung jawabkan dalam kerangka pengetahuan ‘universal’- Barat), [Rangkuman Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, 1997, oleh Josef Prijotomo].

Untuk itu ragam-hias tidak lagi dikelompokkan atas dasar tipologi fungsi bangunan, melainkan akan dikelompokkan atas dasar konsep perwujudan dan penampilannya yakni: ‘konsepsual (conceptual) obyek’ dan ‘visual obyek’:

(12)

1) Konsepsual obyek adalah ragam-hias (ornamen dan dekorasi) yang ditampilkan hanya berupa bagan berwujud abstrak, sehingga masih dapat dikembangkan atau masih memungkinkan untuk diinterpretasikan lagi dan; 2) Visual obyek adalah ragam-hias yang ditampilkan secara tuntas/terselesaikan/real sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pencipta atau perancangnya, demikian pula yang dapat disaksikan oleh pengamatnya, obyek-obyek ini umumnya tidak dapat lagi dikembangkan lebih lanjut.

Kemudian data yang telah terhimpun menjadi dua kelompok di atas akan ditinjau dan dianalisa secara bertahap sesuai dengan rampatan “definisi baru”, sebagai berikut.  Mendeskripsikan konsep perwujudan dan penampilan (konsepsual obyek dan

visual obyek) dari tipologi ragam-hias pada obyek studi kasus.

 Mengidentifikasi apakah ragam-hias yang dipasang/dibubuhkan pada obyek arsitektural dapat memberikan suatu daya tarik atau dapat menghadirkan suatu langgam (style) atau jatidiri tertentu dari karakternya.

 Meninjau metoda tektonika atau sistim penghadiran ragam-hias pada obyek arsitektural yang dijadikan studi kasus.

IV. RAGAM HIAS DAN JATIDIRI. J a t i d i r i :

Menurut Umar Kayam jatidiri adalah kualitas pengungkapan yang khas dari seseorang, sehingga mudah dikenal. Bila dianalogikan dengan apa yang dimaksud ke-jatidiri-an ragam-hias, adalah suatu sifat wujud atau karakter ragam-hias dari suatu masyarakat tertentu yang khas, membedakan dengan ragam-hias lainnya.

Dalam upaya mengeneralisasi arsitektur tradisional Indonesia, oleh Jim Supangkat [1997:10] dikemukakan ciri-ciri khasnya adalah :

Hampir semua bangunan tradisional merupakan bangunan kayu.Hampir semua bangunan tradisional mempunyai tekanan pada atap.

(13)

Hampir semua bangunan tradisional memperlihatkan struktur kerangka dengan

empat tiang penyangga utama, yang dihubungkan dengan blandar.

Dinding senentiasa berfungsi sebagai penyekat, dan mempunyai sifat-sifat ringan.Menggunakan sistim knock-down pada konstruksi kayunya.

Adanya unsur arsitektur yang selalu ada dan tampil tidak disebutkan oleh Jim Supangkat sebagai faktor generalisasi adalah “ragam-hias”. Disinilah sebenarnya letak pembeda antara arsitektur tradisional yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula Josef Prijotomo, [1988], dalam sebuah tulisan mengenai Ornamen dan Dekorasi mengemukakan beberapa rampatan mengenai ragam-hias sbb 4:

Mengenai penempatan ragam-hias (ornamen dan dekorasi), di mana kehadirannya

dapat menjadi petunjuk bagi bagian-bagian mana dari bangunan memiliki tingkat frekuensi kegiatan yang tinggi atau penting.

Nilai melambang (simbolik) dan sekaligus pembentuk jatidiri. Meskipun nilai

simboliknya sama atau serupa untuk beberapa daerah, namun setiap daerah akan menggoreskannya dengan corak dan gaya daerah itu sendiri.

Dengan adanya nilai melambang serta tampilnya jatidiri lewat corak dan gaya, ornamen

dan dekorasi ini sekaligus merupakan sebagian dari ensiklopedia tentang masyarakat pemilik dan penggunanya.

Karena ikatan dengan nilai lambang dan jatidiri itu maka dalam berornamen dan

berdekorasi itu masyarakat tidak menolak proses peniruan (dalam arti mimesis). Dengan tidak ditolaknya peniruan itu tidak sedikit ornamen dan dekorasi menjadi terbuka bagi stilisasi, hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan unsur-unsur baru.

Pada kesempatan yang berbeda Josef Prijotomo, [1994] mengemukakan bahwa :

Dengan menghilangkan ragam-hias kita akan menyaksikan bangunan yang akan menampilkan sosok Melayu. …. disitulah kita saksikan peran yang demikian penting dari ragam-hias. Ragam-hias justru berperan sebagai penunjuk utama Jatidiri.5.

Dalam diagram hubungan kebudayaan dengan ragam-hias yang disusun oleh Kuntjaraningrat dalam konteks arsitektural, dikemukakan bahwa kesenian adalah sebagai bagian integral dari kebudayaan dan merupakan satu-satunya unsur kebudayaan yang paling memungkinkan untuk menunjukkan ke-jatidiri-an. Ragam-hias mencakup: Seni Patung, Seni Relief, Seni Lukis/Gambar, Seni Rias/Hias dan Seni Kerajinan adalah bagian terpenting atau unsur dominan dari Seni Rupa atau Kesenian. Jadi dapat dikatakan bahwa ragam-hias dapat dipakai sebagai penghadir ke-jatidiri-an suatu langgam, [Lampiran IV ].

4 Josef Prijotomo, Pasang Surut Arsitektur di Indonesia, 1988, BAB II, hal.7

5 Josef Prijotomo, “Bangun, Sosok versus Wujud di Arsitektur”, Majalah Konstruksi, Nomor 200,

(14)

Style atau Langgam.

Sesuai definisi baru (tan-Bali) di atas, bahwa dekorasi dipakai untuk menghias bangunan dalam rangka menghadirkan suatu suasana (atmosphere) atau “langgam”

(style) tertentu. Lain kata ragam-hias pada dasarnya dapat mencerminkan langgam

(style) atau ciri-ciri atau karakteristik arsitektur tertentu.Style adalah kesatuan prinsip

yang hidup atas semua pekerjaan, pada suatu jaman. Hasil dari keadaan pikiran yang memiliki karakter khusus, [Le Corbusier, 1920, in Conrads, 1964:60]. Dengan demikian ragam-hias (ornamen dan dekorasi) merupakan salah satu unsur penting pembentuk langgam.

V. PEMBAHASAN.

a. Kajian Obyek atas Definisi Baru (Tan-Bali)

Secara garis besar obyek ragam-hias pada studi kasus sesuai karakteristik penampilan-nya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Konsepsual obyek, yaitu obyek/bangunan yang menampilkan ragam-hias berupa bagan dan berwujud abstrak, termasuk dalam kelompok ini adalah :

 Bangunan-bangunan yang penyelesaian ornamennya memakai teknik

pepalihan atau lelengisan, contoh: Pamrajan/tempat suci di Beng dengan

ornamen plasteran dengan perampungan cat putih, Angkul-angkul di Desa Beng dengan ornamen plaster dan perampungan cat putih, Bale Daja di Desa Beng dengan tiang pilaster berornamen plasteran.

 Bangun-bangunan dengan dekorasi bidang polos bata dan paras tidak diukir. contoh : bangunan Pertokoan Mandara Giri dan Pertokoan Harum Fajar.

(15)

2. Visual obyek, yaitu obyek/bangunan yang menampilkan ragam-hias secara tuntas/ terselesaikan/real atau diukir. Contoh ragam-hias ini ditemukan pada bangunan-bangunan yang sepenuhnya memakai ragam-hias tradisional Bali dan diukir, seperti Puri Gianyar, Puri Ubud, pura Dalem Sidan.

Dari dua strategi metoda penampilan ragam-hias ini, masing-masing diidentifikasikan dan dideskripsikan nilai-nilai ke-jatidiri-an atas dasar definisi baru sebagai berikut : Konsepsual Obyek :

 Bersifat universal kurang dapat menujukkan suatu langgam (style) atau jatidiri yang khas, akan tetapi lebih memungkinkan untuk diangkat sebagai ke-jatidiri-an Nusantara.

 Kurang dapat menarik perhatian pengamat bila perampungannya memakai bahan secara umum sudah dipakai, seperti plasteran warna putih, atau cetakan dengan warna semen. Lihat foto Angkul-angkul, Gapura beton cetak dan Marajan di desa Beng. Namun akan memiliki citra khas bila perampungannya merupakan suatu kombinasi atau perpaduan antara bahan-bahan alam yang diekspose secara alamiah, lihat foto bagian detail bangunan Puri Gianyar dan Pertokoan Mandara Giri.

 Bila ditinjau dari kondisi pengamat yang saat ini memiliki waktu singkat dan skala pergerakkan memakai kendaraan, maka penampilan cara ini akan lebih tepat, karena pengamat hanya dapat menangkap kesan global saja. Metoda ini baik diterapkan untuk bangunan-bangunan dalam skala besar dan berada pada kondisi pengamat tidak memungkinkan untuk melihat secara mendetail.

 Unsur ornamen akan lebih dominan muncul dibanding unsur dekorasi, ornamen dapat berwujud dekorasi, apabila dalam penataannya dilakukan dengan cara/teknik yang tepat, memperhatikan tekstur, gelap-terang/kontras, contoh dapat dilihat pada ornamen “Pecira”.

 Ragam hias ini lebih tepat dipakai sebagai tata rupa (eksterior) bangunan/arsitektur

(16)

 Dalam pembuatannya tidak memerlukan seniman tukang ukir, hanya tukang pasang atau tukang plaster,sehingga biaya lebih murah.

Visual obyek :

 Memiliki karakteristik atau ciri-ciri khas, sehingga dapat menapilkan ke-jatidiri-an suatu lke-jatidiri-anggam/style, apakah lke-jatidiri-anggam Bali, Jawa atau Cina, dke-jatidiri-an sebaginya. Jadi langgamnya harus sudah ditentukan pada saat rancangan dibuat dan bersifat final, sehingga tidak dapat diinterpretasi lagi.

 Dapat menarik perhatian karena daya tariknya muncul dari karakter bahan dan ukiran yang dibuat. Contoh beberapa bangunan di Puri Ubud dan Gapura Pura.  Memerlukan pengamatan secara mendetail untuk menangkap makna yang ingin

ditampilkan, sehingga faktor jarak pandang, tata-letak, dan kerumitan atau tipe ukiran menjadi penentu.

 Unsur dekoratif akan lebih dominan, untuk ini tergantung dominasi apakah dekorasi sebagai latar depan dimunculkan atau sosok bangunan sebagai latar belakang dimunculkan sehingga dekorasi hanya sebagai aksen saja.

 Ragam hias ini lebih tepat dipakai sebagai elemen tata hias interior bangunan.  Pembuatan memerlukan pemikiran yang lebih tuntas terhadap tema dekorasi yang

dipasangkan, serta memerlukan biaya yang lebih banyak untuk finishing ukirannya.

b. Tinjauan Tektonika sebagai Ragam-hias.

Tektonika memiliki pengertian sebagai “the art of construction” yakni seni menggarap dan memberikan perampungan terhadap bagian-bagian tampang dari sebuah arsitektur. Pada dasarnya ragam-hias di samping mengandung makna simbolis, keharmonisan, keindahan, dan sebagai media komunikasi arsitektural juga berfungsi sebagai penyelesaian sistem konstruksi. Pada studi kasus banyak ditemukan hal-hal yang berhubungan dengan tektonika, dapat dikelompokkan atas dasar tinjauan sebagai berikut.

(17)

1. Atas dasar Bentuk dan Tata-letak Ragam-hias :

Ragam-hias Batur dan Tembok.

Susunan be-batur-an dan tembok dibuat dengan pasangan pepalihan yang pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian pepalihan, yakni bagian dasar selaku kaki/batur, pengawak selaku badan dan kereb/atap selaku kepala. Pembagian ini sebagai penge-jawantahan Tri-angga dalam bangunan di samping pertimbangan konstruktif.

Susunan/ornamentasi bebaturan dan tembok dengan tata-cara ini memiliki fungsi ganda yaitu Pertama, merupakan penyelesaian konstruksi dengan membuat pembesaran dimensi pada bagian dasar secara horizontal, pada pilaster/kolom (padu

raksa) yang dibuat lebih tebal dari bagian badan/pengawak dinding ke arah vertikal,

dan bagian atap/kereb dibuat lebih tebal dari pengawak atau dinding secara horizontal. Pembesaran ini dilakukan untuk memberikan kekakuan pada bebaturan atau dinding, karena bahan yang dipakai sama satu jenis, berbeda halnya dengan konstruksi dinding dengan pengaku sloff, kolom dan ring dari beton yang memiliki kekuatan lebih dari bahan dinding. Kedua berfungsi sebagai ornamen yang memberikan nilai keindahan di samping sebagai pengejawantahan wujud Tri-angga dalam rangka harmonisasi wujud isi dan wadah.

Ragam-hias Kekarangan :

Ragam-hias ini ditampilkan pada sudut-sudut bangunan terutama pada bangunan-bangunan tugu maupun candi. Kekarangan ini dipasang pada sudut bangunan-bangunan secara konstruktif adalah untuk memberikan keamanan sudut bangunan, karena wujud tajam/ runcing sangat riskan terhadap benturan di samping secara arsitektonis dapat menyembunyikan kesalahan atau ketidak tepatan pertemuan sudut. Dekorasi yang dipasang adalah yang bentuknya dapat distilisasi menjadi dua muka menyudut.

(18)

Ragam-hias Konstruksi Kayu.

Ragam-hias ini dibuat pada penyelesaian konstruksi kayu pada bangunan-bangunan tradisional Bali, terutama bangunan-bangunan yang dipakai pada siang hari atau bangunan yang dianggap penting, sehingga memiliki nilai lebih (indah, menarik, sakral), seperti bale Sumanggen/Bale Gede, serambi Meten Bandung dan bangunan-bangunan tempat suci.

Ornamen akan selalu dimunculkan pada setiap kesempatan dalam penyelesaian konstruksi, sehingga obyek/elemen yang sama dapat berfungsi ganda di samping sebagai elemen konstruksi, juga sebagai elemen estetis/keindahan yang dapat memberikan kesenangan dan rasa bangga. Pemunculan ini juga sebagai upaya memperlakukan bangunan sebagaimana memperlakukan dirinya , “Tat Twam Asi”.

2. Atas dasar Tata-cara/Teknik Pembuatan/Perwujudan Ragam-hias :

Ditinjau dari tata-cara/teknik tata-hias pada umumnya ada dua cara yang dapat ditempuh, yakni ‘pemahatan dan pembubuhan’ [Josef Prijotomo, 1996] 6 :

Teknik pemahatan menunjuk pada penggarapan komponen arsitektural dikatakan telah rampung, bila unsur tata-hias juga telah terampungkan. Dalam teknik ini jelas ada penghapusan atau pembuangan terhadap bagian permukaan komponen arsitektur. Dengan demikian antara bagian yang dipakai komponen arsitektural dengan bahan untuk unsur tata-hias tidak terlihat adanya perbedaan, bahkan hanya satu bahan yang menerus. Dapat disimpulkan bahwa teknik ini ditempuh dalam rangka pembuatan ‘ornamen’. Teknik ini dipakai terutama pada perampungan konstruksi bangunan yang meliputi konstruksi batur, dinding atau tiang, dan atap bangunan.

6 Prijotomo, Josef, “Arsitektur Tradisional Bali, sebuah Dekonstruksi?, dalam Suryani, Ni Ketut, (ed),

1996. “Kajian Budaya Bali, Menghadapi Milleniium Ketiga”, Pertemuan Tahunan, Lembaga Pengkajian Budaya Bali, Denpasar, 1996.

(19)

Teknik pembubuhan menunjuk pada pemberian unsur-unsur tata-hias pada bidang-bidang komponen arsitektur yang dalam perwujudan akhirnya masih terkesan bahwa unsur-unsur tadi dihadirkan setelah komponen arsitektural terampungkan. Sebagai hasil pembubuhan unsur-unsur tata-hias ini tidak menyangkal keberadaan dari teknik yang dipakainya, oleh kerenanya setiap saat bisa saja dicopot atau ditanggalkan. Jadi teknik ini ditempuh dalam rangka men-dekorasi arsitektur/bangunan.

VI. KONTRIBUSI KAJIAN TERHADAP RAGAM HIAS NUSANTARA. Ragam hias (ornamen dan dekorasi) tradisional Bali merupakan bagian integral dari ragam hias Nusantara, sehingga pengkajian dan pemahaman terhadap ragam-hias tradisional Bali yang lebih mendalam berupa: pengertian, nilai-nilai, makna dan teknik ragam-hias merupakan upaya awal dalam rangka pelestarian dan pengembangan ragam hias tradisional Bali khususnya dan ragam hias Nusantara pada umumnya.

Perumusan kontribusi terhadap ragam hias Nusantara atau nilai-nilai tradisional Bali yang dapat menusantara atau sebaliknya yang nusantara mendukung yang Bali. Pendekatannya dilakukan dengan : a) Mengidentifikasi nilai-nilai spesifik/khas ragam-hias; b) Rumusan nilai-nilai nusantara; dan c) Konsekuensi yang ditimbulkan terhadap ragam-hias Bali dan Nusantara.

a. Nilai-nilai dan makna spesifik/khas.

Nilai-nilai ragam hias yang dapat dipakai sebagai sumber inspirasi dan konsep pengembangan ragam-hias di masa datang sebagai penghadir jati-diri ragam hias (baca: arsitektur) Nusantara yang Indonesiawi. Adapun nilai-nilai ragawi/rinupa dan tan-ragawi/makna/nirupa yang dapat diungkap mencakup:

(20)

Masyarakat tradisional Bali memiliki tujuan hidup lebih mengutamakan ketenangan dan kesenangan bathin yang berlandaskan spiritualistis, masih mengutamakan faktor rasa dibanding rasio. Selalu ingin hidup damai (spiritual

peace), dengan menerapkan kebijaksanaan tradisi secara bersungguh-sungguh

(penghargaan terhadap historis) dan mengupayakan harmonisasi dalam interaksi. Ragam-hias dihadirkan memiliki makna simbolis sebagai media komunikasi arsitektural (fungsi tan-ragawi). Pertama fungsi ini akan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengungkapkan rasa indahnya (sence of

beauty) melalui media ragam-hias. Fungsi kedua adalah dengan terciptanya

suasana indah pada lingkungan-binaan akan dapat memunculkan perasaan halus dan perasaan damai/ketenangan batin, yang pada akhirnya keharmonisan hubungan antar manusia, manusia dengan penciptanya dan manusia dengan lingkungan-binaan dapat terwujud.

2. Nilai-nilai Sosial-ekonomi :

Ragam hias tradisional Bali, yang berlandasan agama Hindu dan berwawasan lingkungan dan budaya, selalu berupaya menerima dan mewariskan konsep, makna, tatanan fisik/rinupa dan tatanan nirupa serta proses pembangunan lingkungan-binaannya secara berkesinambungan (meaning sustainability). Historisisme masih melekat, ungkapan perasaan dalam proses pembangunan memiliki makna utama bersifat ‘handicraft’ (proses perasaan), bukan semata-mata pada saat penggunaan; nilai-nilai mitos dan simbolik sebagai acuan konsep, ‘keuntungan psikologis dan moral’ lebih diutamakan daripada keuntungan materi; motto ‘salunglung sebayantaka’ (dalam keadaan duka maupun suka tetap bersama) yang dilandasi sikap ‘Tat Twam Asi’ (ia adalah kamu atau aku adalah engkau), sehingga segala sesuatu pekerjaan dilakukan secara ‘gotong royong’ dengan manajemen tradisional. Ragam-hias sebagai handicraft ternyata telah memberi peluang lapangan pekerjaan yang cukup luas, sebagai komoditi ekspor yang banyak mendatangkan devisa.

(21)

3. Nilai-nilai Teknis dan Teknologis :

Penghadiran ragam-hias adalah sebagai upaya penyelesaian teknis-teknologis yang dipadukan dengan seni konstruksi (tektonika) dari setiap elemen arsitektur, sehingga elemen-elemen arsitektur memiliki fungsi ganda yakni fungsi teknis dan estetis sebagai suatu nilai tambah.

4. Nilai-nilai Ke-jatidiri-an :

Kehadiran ragam-hias yang melambang bersifat handicraft telah memberikan identitas tersendiri bagi arsitektur tradisional Bali dan membedakannya dengan arsitektur lainnya. Keterbukaan untuk menerima pengaruh luar secara arif dipadukan hingga melahirkan identitas baru (hibrida). Ke-jatidiri-an sebagai suatu kebanggaan akan merangsang tumbuhnya rasa percaya diri untuk dapat tampil dan berkiprah dalam pergaulan globalisasi. Kemampuan berkiprah akan menentukan nilai penghargaan yang akan diperoleh dan akan memicu semangat dan kreativitas untuk berkreasi yang lebih baik dan berkesinambungan, demikian seterusnya akan membentuk ‘siklus anemu-gelang’, siklus bertemu yang terus memuncak.

b. Rumusan Nilai-nilai Nusantara.

Rumusan ini disusun mengacu kepada kemungkinan nilai-nilai tradisional yang dapat diangkat sebagai nilai-nilai yang menusantara atau indonesiawi, demikian pula sebaliknya kemungkinan nilai-nilai luar (nusantara lainnya atau asing) yang mungkin dapat diadaptasikan terhadap ragam-hias langgam Bali.

1. Nilai-nilai Filosofis/Makna :

Nilai-nilai filosofi yang bermakna bagi masyarakat nusantara perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan berbagai media, salah satu adalah melalui ragam-hias. Pelestarian dapat dilakukan dengan mengadakan perlindungan terhadap nilai-nilai atau bangunan bersejarah dengan kandungan ragam-hias yang adiluhung. Pengembangan dapat dilakukan dengan mengangkat tema-tema filosofis kedalam

(22)

wujud ragam-hias, sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Bali, seperti penciptaan ornamen dan dekorasi yang berinspirasikan nilai-nilai agama/adat-istiadat, cerita-cerita rakyat, alam dan lingkungan kehidupan. Kemudian di aplikasikan pada lingkungan-binaan Nusantara, sehingga merakyat dan dapat menjadikan suatu kebanggaan yang patut diteladani. Pada umumnya kehadiran sesuatu yang bermakna akan lebih langgeng/abadi, dibanding sesuatu yang tidak bermakna.

2. Nilai Sosial-ekonomi :

Produksi ragam-hias untuk kepentingan bangunan akan melibatkan tidak sedikit tenaga kerja/seniman dan bahan-baku, keterlibatan ini akan memberikan dampak

multiflier efect kepada masyarakat penyedia bahan-baku dan jasa seni berupa

penghasilan tambahan. Di samping keuntungan materi yang didapat juga memberikan keuntungan psikologis berupa nilai-keindahan yang dapat menggugah perasaan, nilai ini yang sangat sulit diukur dengan nilai-uang. Perkembangan teknologi bahan-baku saat ini memberikan dan sekaligus merupakan tantangan bagi para desainer kreatif untuk memperkaya citra ragam-hias.

3. Nilai-nilai Teknis-Teknologis :

Penyelesaian teknis-teknologis dengan metoda tektonika akan memberikan nilai

tambah (fungsi ganda: teknis dan estetis) pada setiap elemen-elemen yang ditampakkan dalam arsitektur. Nilai tambah ini secara langsung akan berpengaruh terhadap nilai ekonomis karya arsitektur di samping fungsional juga sebagai suatu karya seni. Kemajuan teknis-teknologi bahan-baku dan peralatan, telah memberikan peluang yang sangat besar bagi para seniman untuk berkreasi serta mempercepat proses produksi. Ketidak hati-hatian pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna pada produk seni ragam-hias, justru akan dapat mengurangi nilai-nilai handicraft/man-made dan sekaligus produk tersebut terkesan sebagai produksi mesin/pabrik/masal.

(23)

4. Nilai-nilai Ke-jatidirian :

Bagi setiap orang dan pada umumnya jatidiri merupakan sesuatu yang sangat potensial/penting untuk menyatakan eksistensi/kehadiran dalam suatu lingkungan. Dalam konteks pergaulan arsitektural yang mengglobal nilai-nilai ragam-hias, adalah sebagai salah satu unsur potensial penghadir jatidiri. Ragam-hias sebagai salah satu bagian integral dari kesenian/seni terapan (sistem kebudayaan) menurut Koentjaraningrat [lihat Lampiran: V], merupakan ‘satu-satunya’ sub-sistem budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai penghadir jatidiri dibanding sub sistem lainnya, seperti : Religi dan upacara keagamaan; Sistem dan Organisasi kemasyarakatan; Sistem pengetahuan; Bahasa; Sistem mata pencaharian; dan Sistem teknologi dan peralatan. Dengan menyaksikan kesenian suatu daerah, orang akan mengetahui identitas/jatidiri pemilik seni itu sendiri.

Sangat potensialnya peran ragam-hias sebagai penghadir jatidiri, dalam pengembangan lebih lanjut, nilai-nilai ragam-hias nusantara yang beraneka ragam sangat penting dihadirkan dalam rangka menghadirkan jatidiri nusantara yang indonesiawi. Manfaat kehadiran ragam-hias, berpulang kembali kepada kemampuan para seniman/desainer dan pekerja seni untuk mengolah sesuai konteks (desa, kala, patra).

c. Konsistensi dan Konsekuensi.

Konsistensi dan konsekuensi yang dimaksudkan adalah suatu sikap dan langkah yang ditimbulkan atau harus dilaksanakan terkait dengan nilai-nilai ke-jatidiri-an ragam-hias tradisional Bali dalam kontribusinya terhadap arsitektur Nusantara yang meng-indonesia atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Ketaatan asas :

Ornamen dan dekorasi sesuai pengertiannya adalah, segenap himpunan unsur-unsur karya seni dan unsur desain yang dibubuhkan dan ditata dalam arsitektur. Di mana pembubuhan dan penataan tersebut diharapkan secara langsung maupun tidak

(24)

langsung dapat menarik perhatian pengamat atau sebagai pembentuk suasana dan identitasnya. Dalam konteks arsitektur Nusantara maka dapat dikemukakan bahwa, langkah-langkah yang dapat ditempuh seperti dikemukakan Josef Prijotomo [1994:23-27] yaitu :

a) Konsisten pada langgam tertentu, bila berasitektur konsisten dengan yang modern, taatilah kaidah-kaidah langgam arsitektur modern dalam beragam-hias, namun yang muncul adalah identitas modern yang menjagad (international style), atau sebaliknya bila berarsitektur tradisional taatilah kaidah-kaidah arsitektur tradisional, akan muncul arsitektur beridentitas tradisional. Konsistensi ini menimbulkan konsekuensi bahwa kehadiran langgam Bali-modern atau Nusantara-modern tidak pernah akan terwujud, dilain pihak masyarakat sebagai pemakai justru menghendaki kemodernan itu sendiri. Hal ini belum memecahkan persoalan kebingungan arah arsitektur Nusantara di masa depan.

b) Konsisten dan bersikap tegas, bila menghadirkan dua langgam berbeda, dapat dihadirkan dengan menyandingkan kedua langgam tersebut tanpa saling lebur-luluh dan menyatu. Hal ini merupakan penegasan atas dua kesetiaan langgam yang berbeda dan diwujudkan secara terpisah dan tegas. Sebagai konsekuensinya akan ada persaingan tampil di antara keduanya, persaingan yang mengungguli salah satu dan terjadi ketidak harmonisan akan merugikan nilai-nilai kedua langgam tersebut.

c) Bersifat kompromis, di antara keduanya, yaitu menggabungkan kedua langgam secara arif dan bijaksana secara konsisten, sehingga kedua langgam tersebut tetap eksis dalam istilah populer “hibrida”, sebagaimana telah dilakukan di Bali terhadap Patra Mesir, Patra Olande dan Patra Cina. Hasil hibrid ini telah terbukti melahirkan keturunan yang unggul tanpa konsekuensi yang merugikan nilai-nilai kedua langgam tersebut, dapat dilihat dari nama/identitas langgam patra yang dijuluki oleh seniman Bali.

(25)

2. Kebulatan Tekad.

Tekad menghilangkan kebingungan arah pengembangan ornamen dan dekorasi sudah tentu harus memiliki landasan yang kuat dan rasional sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping memiliki keberanian untuk memulai dan memasayarakatkannya, sehingga dapat diterima oleh masyarakat tradisional yang lagi menuju kemodernan.

Sebagaimana tekad yang dikemukakan oleh Josep Prijotomo [1994:27] bahwa, “Menuju Arsitektur Indonesia” telah cukup lama digemakan. Tentunya bukanlah yang modern ditempeli Indonesia yang diarah oleh tekad tadi; adalah ke-indonesia-an masa kini dan mendatang yang dituju. Bila memang itu yang dituju, maka menjadi kewajiban dan konsekuensi para desainer/seniman untuk dapat menindak lanjuti rumusan hasil jelajah menjadi konsep dan/atau acuan beragam-hias Nusantara yang Indonesiia-wi.

Pengkajian ragam-hias sebagai warisan budaya Nusantara diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut, kajian demi kajian tentang ragam-hias sampai pada akhirnya ditemukan acuan, landasan atau konsep “ragam-hias” dalam ber-“Arsitektur Nusantara”, di masa datang.

VII. KESIMPULAN.

a. Ringkasan Temuan dan Bahasan.

Ternyata definisi Pra-Gianyar yang bersifat tradisional Bali tidak dapat menemukan data-data di luar definisi yang dapat dibahas secara universal, sehingga memerlukan definisi baru sebagai titik pijak pembahasan lebih lanjut.

Salah satu ciri kehadiran arsitektur tradisioanl Bali adalah ditandai dengan hadirnya ragam-hias. Tidak ada bidang dan garis dalam arsitektur tradisional Bali tanpa penyelesaian, ini menujukkan betapa seriusnya para Undagi, Sangging dan tukang

(26)

dalam menggarap hasil karyanya. Ragam-hias ditampilkan adalah sebagai upaya penyelarasan atau harmonisasi hubungan antara manusia selaku isi dan bangunan selaku wadah, sehingga jagadhtita dan kedamaian dapat dicapai karena selalu menyaksikan keindahan yang menumbuhkan perasaan halus.

Dari pembahasan yang telah dilakukan, ditemukan konsepsi perwujudan dan penampilan ragam-hias dalam arstektur tradisional Bali dapat digolongkan menjadi dua bagian yakni : ‘konseptual obyek’ dan ‘visual obyek’, yang kedua-duanya memiliki nilai-nilai jatidiri atau karakter dan spesifikasi masing-masing.

Arsitektur tradisional Bali cukup kaya dengan tektonika konstruksi dalam ber-arsitektur, karena diharapkan elemen-elemen konstruksi di samping sebagai faktor keamanan juga dapat memberikan suatu keindahaan (fungsi ganda).

b. Pandangan Kritis Terhadap Pentahapan, Teknik dan Metoda Persiapan dan Pelaksanaan Jelajah Gianyar.

Keakaraban dengan sesuatu obyek yang telah melekat sebagai suatu mental map telah memunculkan definisi Pra-Gianyar yang berpegang pada tradisi. Dalam kasus jelajah Gianyar, pada tahap awal telah dirasakan memberikan suatu penilaian yang sangat subyektif. Segala penemuan di luar definisi tradisional diklasifikasikan sebagai sesuatu yang salah, menyimpang dan di luar kebiasaan/tradisi. Bila demikian penjelajahan tidak akan dapat mengenal ke-jatidiri-an ragam-hias yang ada di luar definisi, untuk dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai penghadir jatidiri Nusantara. Untuk itu diperlukan definisi baru sebagai titik pijak dan sudut pandang dengan fokus kajian arsitektural khususnya ragam hias, tautannya dengan masalah sosial-budaya dikesampingkan. Temuan sesuai definisi baru (Tan-Bali) dapat diidentifikasi dan dikalsifikasi sebagai penghadir jatidiri ragam hias, untuk memperkaya khasanah aset ragam hias nusantara.

c. Komentar, Kritik dan Pandangan Pribadi.

Bahwa dalam pengkajian hasil karya arsitektur dikehendaki suatu metoda yang universal dengan mengesampingkan tautan masalah sosial-budaya, sehingga didapat hasil yang sahih dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

(27)

Ragam-hias (ornamen dan dekorasi) merupakan unsur terpenting dan satu-satunya dari pada tujuh sistem budaya lainnya yang dapat dipakai sebagai penunjuk jatidiri. Ini terbukti dari munculnya aliran Post Modern sebagai survival dari arsitektur modern yang anti ornamen.

Ornamen dan dekorasi tidak selalu berkonotasi mahal, hal ini sangat tergantung kepada kemampuan perancang untuk mengolah rancangannya, dengan biaya yang sama dapat menghadirkan bangunan yang indah. Prinsip-prinsip tektonika ornamentasi kontruksi tradisional Bali dapat dikembangkan.

Kecendrungan masyarakat ber-“ragam-hias” secara berlebihan sebagai cetusan emosional dan sebagai ungkapan peningkatan status sosial, telah mengarah kepada eklektisme dan pendangkalan terhadap makna dan arti ragam-hias itu sendiri serta bersifat mubazir. Untuk itu akan lebih efektif untuk mencapai sasaran optimal bila telah ada rambu-rambu dan guidelines atau contoh-contoh dalam ber-“ragam-hias” Demikian materi ringkas ini disampaikan sebagai hasil jelajah Gianyar, semoga bermanfaat sebagai bahan kajian dan diskusi, dalam rangka menumbuhkan kecintaan akan Arsitektur Nusantara.

DAFTAR PUSTAKA.

Achmad Djunaedi, 1989.

Pengantar Metodologi Penelitian Arsitektural, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas

Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.. Broadbent, Geoffrey, Richard Bunt, Charles Jencks, 1980.

Sign, Symbol and Architecture. John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto.

Budihardjo, Eko (Editor), 1989.

Jati Diri Arsitektur Indonesia. Alumni , Bandung.

Gelebet, dkk., 1982.

Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi. Gunawan Tjahjono, 1995.

Keajegan dan Perubahan Berarsitektur di Indoneisa Menghadapi Abad Pasifik,

Seminar Arsitektur, “Arsitektur Nusantara , Keajegan dan Perubahan “ , Word Trade Centre , 9 September 1995, Surabaya.

(28)

Dictionary Of Architecture and Construction, Mc, Graw Hill Book Company, New York.

Jencks Charles and George Baird, 1970.

Meaning in Architecture. Barrie & Jenkins, London. Josef Prijotomo, 1988.

Pasang-Surut Arsitektur di Indonesia, CV. Arjun Surabaya.

Josef Prijotomo, 1997.

Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, Program Pascasarjana - S2. Program Studi

Arsitektur, ITS, Surabaya. Josef Prijotomo, 1997

Dekonstruksi Arsitektur Nusantara (?), Jelajah Pendek Tipe Tajug/k dari Arsitektur Jawa. Seri Kuliah Umum 1997/1998, Jurusan Arsitektur, Universitas Katolik

Parahyangan, Bandung. Julia Brannen, 1997.

Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Fakultas Tarbiyah IAIN

Antasari Samarinda dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Kerthiyasa, I Made, 1984.

Rumusan Arsitektur Bali, Hasil Sabha Arsitektur Tradisional Bali.

Meganada, 1990.

Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional Dalam Perumahan KPR_BTN di Bali,

Thesis Program Pascasarjana S2, Arsitektur ITB, Bandung. Purwita, Ida Bagus Putu, 1993.

Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat

Daerah Tingkat I Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar. Robi Sularto Sastrowardojo, IAI

A Brief Introduction Traditional Architecture of Bali, Some Basic Norm, PT. Atelier 6, Jakarta.

Suasthawa Dharmayuda. D, I Made, 1990

Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan , CV. Kayumas, Denpasar.

Suryani, Ni Ketut, ( Editor ) , 1996.

Kajian Budaya Bali, Menghadapi Milleniium Ketiga, Pertemuan Tahunan, Lembaga

(29)

LAMPIRAN - LAMPIRAN :

I. PETA LOKASI JELAJAH GIANYAR - BALI.

II. TIPOLOGI RAGAM-HIAS DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI.

III. TIPOLOGI FUNGSI DAN BANGUNAN DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI.

IV. HUBUNGAN KEBUDAYAAN DENGAN RAGAM-HIAS DALAM KONTEKS ARSITEKTURAL.

V. GAMBAR-GAMBAR RAGAM-HIAS.

Referensi

Dokumen terkait

Target merupakan anak-anak dari keluarga kelas menengah dan menengah ke atas yang sekarang lebih banyak disekolahkan di Playgroup/Taman Kanak-kanak Internasional, di mana

Dari penelitian lapangan di sekitar jalan setapak menuju puncak Gunung Merbabu melalui jalur pendakian Selo, Boyolali diketahui bahwa Nepenthes hanya tumbuh pada kisaran

Revisi 1 Halaman 1/1 STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Tanggal Terbit : 1 April 2015 Ditetapkan oleh : Direktur RSIA Esto

Meter listrik atau kWh meter, alat ini berfungsi untuk mengukur besaran daya yang digunakan oleh rumah tinggal tersebut dalam satuan kWh (kilowatt hour). Pada bargainser, meter

Pada tabel 1, menunjukan data sekunder material spesimen, lalu diambil 5 titik pengujian untuk 4 buah spesimen dengan permukaan patahan seperti diilustrasikan pada

Struktur modal sendiri yang dimiliki KPRI Sri Rejeki Kecamatan Donomulyo terdiri dari beberapa aspek, yaitu (1) Simpanan Pokok Anggota, (2) Simpanan Wajib Anggota, (3)

Berdasarkan latar belakang di atas dan penelitian yang pernah dilakukan maka dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai ZNT di Kota Surabaya dengan

Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang postal, 2 hari sebelum DOC (Day old Chick) datang, alas kandang dipasang dengan sekam yang telah disemprot